BAB DUA PULUH ENAM JASON

BAB DUA PULUH ENAM JASON

JASON KHAWATIR MEREKA BAKAL KEHILANGAN target mereka. Ventus tersebut bergerak laksana yah, laksana angin. "Tambah kecepatan!" desaknya. "Bung," kata Leo, "kalau kita lebih dekat lagi, dia Bakal melihat kita. Naga perunggu ini bukan pesawat siluman." "Pelan-pelan!" jerit Piper. Roh badai tersebut terjun ke jalanan di tengah kota. Festus mencoba mengikuti, namun bentangan sayapnya terlalu lebar. Sayap kirinya mengenai tepi sebuah bangunan, mengiris sebuah gargoyle batu sebelum Leo menyetirnya ke atas. "Naik ke atas bangunan," Jason menyarankan. "Akan kita lacak dia dari sana." "Kau mau mengemudikan benda ini?" gerutu Leo, tapi dia melakukan yang diminta Jason. Setelah beberapa menit, Jason melihat roh badai itu lagi, melejit melewati jalanan tanpa tujuan yang jelas —meniup pejalan kaki, melecut-lecutkan bendera, membuat mobil menikung. "Aduh, gawat," kata Piper. "Ada dua." Dia benar. Ventus kedua melesat dari sudut Hotel Renaissance dan bergabung dengan yang pertama. Mereka meliuk-liuk bersama dalam tarian kaus, melejit ke puncak gedung pencakar langit, membengkokkan menara pemancar radio, dan terjun kembali ke clan. "Mereka tidak butuh tambahan kafein," kata Leo. "Kurasa Chicago memang tempat yang bagus buat nongkrong," kata Piper. "Tidak bakalan ada yang mempertanyakan tambahan satu atau dua angin bandel lagi." "Lebih dari dua," kata Jason. "Lihat." Sang naga berputar-putar di atas jalan besar di sebelah taman camping danau. Roh-roh badai tengah berkumpul —jumlahnya paling tidak selusin, berpusing mengelilingi sebuah karya seni berukuran besar yang dipamerkan untuk umum. "Menurut kalian Dylan yang mana?" tanya Leo. "Aku ingin menimpuknya dengan sesuatu." Tapi Jason memfokuskan perhatian pada karya seni itu. Semakin dekat mereka dengan karya seni itu, semakin kencang detak jantung Jason. Karya seni itu hanya berupa air mancur publik, namun anehnya tidak asing bagi Jason. Dua monolit setinggi gedung lima lantai menjulang dari sebelah kiri dan kanan kolam granit. Kedua monolit tersebut tampaknya tersusun dari layar video, terdiri dari kombinasi gambar berupa wajah raksasa yang menyemburkan air ke kolam. Mungkin itu hanya kebetulan, tapi kolam tersebut bentuknya menyerupai kolam bobrok yang Jason JASON KHAWATIR MEREKA BAKAL KEHILANGAN target mereka. Ventus tersebut bergerak laksana yah, laksana angin. "Tambah kecepatan!" desaknya. "Bung," kata Leo, "kalau kita lebih dekat lagi, dia Bakal melihat kita. Naga perunggu ini bukan pesawat siluman." "Pelan-pelan!" jerit Piper. Roh badai tersebut terjun ke jalanan di tengah kota. Festus mencoba mengikuti, namun bentangan sayapnya terlalu lebar. Sayap kirinya mengenai tepi sebuah bangunan, mengiris sebuah gargoyle batu sebelum Leo menyetirnya ke atas. "Naik ke atas bangunan," Jason menyarankan. "Akan kita lacak dia dari sana." "Kau mau mengemudikan benda ini?" gerutu Leo, tapi dia melakukan yang diminta Jason. Setelah beberapa menit, Jason melihat roh badai itu lagi, melejit melewati jalanan tanpa tujuan yang jelas —meniup pejalan kaki, melecut-lecutkan bendera, membuat mobil menikung. "Aduh, gawat," kata Piper. "Ada dua." Dia benar. Ventus kedua melesat dari sudut Hotel Renaissance dan bergabung dengan yang pertama. Mereka meliuk-liuk bersama dalam tarian kaus, melejit ke puncak gedung pencakar langit, membengkokkan menara pemancar radio, dan terjun kembali ke clan. "Mereka tidak butuh tambahan kafein," kata Leo. "Kurasa Chicago memang tempat yang bagus buat nongkrong," kata Piper. "Tidak bakalan ada yang mempertanyakan tambahan satu atau dua angin bandel lagi." "Lebih dari dua," kata Jason. "Lihat." Sang naga berputar-putar di atas jalan besar di sebelah taman camping danau. Roh-roh badai tengah berkumpul —jumlahnya paling tidak selusin, berpusing mengelilingi sebuah karya seni berukuran besar yang dipamerkan untuk umum. "Menurut kalian Dylan yang mana?" tanya Leo. "Aku ingin menimpuknya dengan sesuatu." Tapi Jason memfokuskan perhatian pada karya seni itu. Semakin dekat mereka dengan karya seni itu, semakin kencang detak jantung Jason. Karya seni itu hanya berupa air mancur publik, namun anehnya tidak asing bagi Jason. Dua monolit setinggi gedung lima lantai menjulang dari sebelah kiri dan kanan kolam granit. Kedua monolit tersebut tampaknya tersusun dari layar video, terdiri dari kombinasi gambar berupa wajah raksasa yang menyemburkan air ke kolam. Mungkin itu hanya kebetulan, tapi kolam tersebut bentuknya menyerupai kolam bobrok yang Jason

"Leo ..." kata Jason gugup. "Aku melihatnya," ujar Leo. "Aku tidak menyukainya, tapi aku melihatnya." Lalu layar-layar tersebut menjadi gelap. Para Ventus berpusing bersama membentuk angin puting beliung dan melesat ke air mancur, menyemburkan air yang tingginya hampir sama dengan kedua monolit. Mereka sampai di tengah-tengah kolam, mencopot tutup saluran air, dan menghilang ke bawah tanah. "Apa mereka baru saja turun ke gorong-gorong?" tanya Piper. "Bagaimana kita bisa mengikuti mereka?" "Mungkin sebaiknya tidak usah," kata Leo. "Air mancur itu betul-betul membuatku merinding. Dan bukankah kita harus berhati-hati terhadap bumi?" Jason berpendapat serupa, namun mereka harus mengikuti roh-roh badai itu. Itulah satu-satunya cara agar mereka bisa melangkah ke depan. Mereka harus menemukan Hera, dan mereka kini hanya punya dua hari lagi sampai titik balik matahari musim dingin. "Turunkan kita di taman usulnya. "Akan kita periksa dengan berjalan kaki." *** Festus mendarat di area terbuka antara danau dan gedung pencakar langit. Plangnya berbunyi: Grant Park, dan Jason membayangkan taman tersebut pasti merupakan tempat yang nyaman di musim panas; tapi kini taman tersebut hanya berupa ladang es, salju, dan jalan setapak berlumur garam. Kaki logam panas sang naga berdesis saat mereka menyentuh tanah. Festus mengepakkan sayap tidak senang dan menyemburkan api ke angkasa, tapi tak seorang pun memperhatikan karena tidak ada siapa-siapa di sekitar sana. Angin yang dingin dan menggigit berembus dari danau. Siapa saja yang berakal sehat pasti akan tetap berada di rumah. Mata Jason perih sekali sampai-sampai dia nyaris tak dapat melihat. Mereka pun turun, dan Festus sang naga mengentakkan kakinya. Salah satu mata rubinya berkelip sehingga dia seakan berkedip. "Apa itu normal?" tanya Jason. Leo mengeluarkan godam karet dari sabuk perkakasnya. Dia memukul mata sang naga yang rusak, dan sinarnya pun kembali normal. "Ya," kata Leo. "Tapi, Festus tidak bisa diam di sini, di tengah-tengah taman. Mereka bakal menahannya karena menggelandang. Mungkin kalau aku punya peluit anjing ..." Leo merogoh-rogoh sabuk perkakasnya, tapi tidak mendapat apa-apa. "Terlalu spesifik?" tebak Leo. "Oke, beri aku peluit bahaya. Yang seperti itu banyak di bengkel mesin." Kali ini, Leo mengeluarkan peluit plastik besar berwarna jingga. "Pak Pelatih Hedge bakalan iri! Oke, Festus, dengarkan." Leo meniup peluit. Bunyi melengking tersebut berangkali merambat hingga ke seberang Danau Michigan. "Kalau kau dengar suara itu, cari dan datangi aku, oke? Sampai saat itu, terbanglah ke mana pun yang kau mau. Asalkan kau tidak memanggang pejalan kaki saja." Sang naga mendengus —mudah-mudahan tanda setuju. Kemudian dia mengembangkan sayap dan meluncur ke udara. Piper maju selangkah dan berjengit. "Ah!" "Pergelangan kakimu?" Jason merasa tidak enak karena sudah melupakan cedera yang didapat Piper di pabrik Cyclops. "Efek nektar yang kami berikan padamu pasti sudah berkurang."

"Tak apa-apa." Piper menggigil, dan Jason teringat janjinya untuk membelikan gadis itu jaket snowboarding baru. Semoga saja Jason hidup cukup lama supaya bisa membelikan Piper jaket yang dijanjikannya. Piper maju beberapa langkah lagi, sedikit terpincang-pincang, namun Jason tahu gadis itu sedang berusaha untuk tidak meringis. "Ayo menyingkir dari angin," usul Jason. "Turun ke gorong- gorong?" Piper bergidik. "Kedengarannya nyaman." Mereka merapatkan pakaian sebisa mungkin dan

menuju air mancur. *** Menurut plangnya, air terjun itu bernama Air Terjun Mahkota. Seluruh airnya dikuras kecuali segelintir petak yang mulai membeku. Menurut Jason memang tidak wajar ada air di kolam itu pada musim dingin. Tapi tentu saja, tadi monitor-monitor besar itu menampakkan wajah musuh mereka yang misterius, si Wanita Tanah. Tempat ini memang sama sekali tidak wajar. Mereka melangkah ke tengah-tengah kolam. Tidak ada roh badai yang berusaha untuk menghentikan mereka. Dinding monitor raksasa tetap gelap. Lubang saluran air hanya cukup untuk satu orang, dan terdapat tangga yang mengarah ke dalam keremangan. Jason masuk duluan. Selagi dia menuruni tangga, Jason menguatkan diri untuk menahan bau selokan yang menjijikkan, namun ternyata tidak seburuk itu. Tangga menurun ke terowongan bata yang mengarah dari utara ke selatan. Udaranya hangat dan kering, sedangkan di lantai hanya terdapat sedikit air. Piper dan Leo turun sesudah Jason. "Apa semua gorong-gorong senyaman ini?" Piper bertanya-tanya. "Tidak," ujar Leo. "Percayalah padaku." Jason mengerutkan kening. "Bagaimana kau bisa tahu —" "Hei, Bung, aku kabur enam kali. Aku pernah tidur di tempat-tempat aneh, oke? Nah, sekarang kita mau ke arah mana?" Jason menelengkan kepala, mendengarkan, lalu menunjuk ke selatan. "Ke sana." "Kok kau bisa seyakin itu?" tanya Piper. "Ada angin yang berembus ke selatan," kata Jason. "Mungkin para ventus itu mengikuti aliran udara." Bukan petunjuk yang bagus, tapi tak ada yang mengemukakan petunjuk yang lebih baik. Sayangnya, begitu mereka mulai berjalan, tubuh Piper limbung. Jason harus menangkapnya. "Pergelangan kaki bodoh," umpat Piper. "Ayo kita istirahat," Jason memutuskan. "Kita semua memerlukannya. Kita sudah bepergian nonstop selama lebih dari sehari. Leo, bisakah kaukeluarkan makanan dari sabuk perkakas itu selain permen mint penyegar napas?" "Kukira kau tak bakalan bertanya. Chef Leo siap beraksi!" Piper dan Jason duduk di tubir bata selagi Leo merogoh-rogoh tasnya. Jason lega bisa beristirahat. Dia masih lelah serta pusing, dan juga lapar. Tapi terutama, dia tidak antusias menghadapi apa pun yang mengadang di depannya. Jason memutar koin emas di jari-jarinya. Jika kau meninggal, Hera memperingatkan, pasti di tangan wanita itu. Siapa pun "wanita itu." Setelah Khione, ibu Cyclops, dan wanita tidur aneh, hal terakhir yang Jason butuhkan adalah satu lagi penjahat perempuan sinting dalam hidupnya. "Bukan salahmu," kata Piper. Jason menatapnya sambil bengong. "Apa?" "Disergap Cyclops," kata Piper. "Itu bukan salahmu." Jason memandangi koin emas di telapak tangannya. "Aku bodoh. Aku meninggalkanmu sendirian dan masuk ke dalam perangkap. Aku seharusnya tahu ..." Jason tidak menyelesaikan ucapannya. Ada terlalu banyak hal yang seharusnya dia tahu —siapa dirinya, cara melawan monster, bagaimana para Cyclops memancing korban mereka dengan cara menirukan suara serta bersembunyi dalam bayang-bayang dan ratusan trik lainnya. Semua informasi itu seharusnya ada di dalam kepala Jason. Dia bisa merasakan tempat-tempat di kepalanya yang seharusnya menyimpan informasi tersebut —seperti kantong kosong. Jika Hera ingin Jason berhasil, kenapa dia merampas ingatan yang dapat membantu Jason? Sang dewi menyatakan bahwa Jason masih hidup karena dia tidak ingat apa-apa, tapi itu tak masuk di akal. Jason mulai paham apa sebabnya Annabeth ingin membiarkan sang dewi membusuk di kurungannya. "Hei." Piper menyikut lengan Jason. "Beri dirimu keringanan. Cuma karena kau putra Zeus bukan berarti kau yang harus mengatasi semuanya." Beberapa meter dari sana, Leo menyalakan api kecil untuk memasak. Dia mengeluarkan perbekalan dari tas serta sabuk perkakasnya sambil bersenandung. Di tengah-tengah cahaya api, mata Piper seolah menari-nari. Saat ini Jason sudah mengamat-amati Piper selama berhari- menuju air mancur. *** Menurut plangnya, air terjun itu bernama Air Terjun Mahkota. Seluruh airnya dikuras kecuali segelintir petak yang mulai membeku. Menurut Jason memang tidak wajar ada air di kolam itu pada musim dingin. Tapi tentu saja, tadi monitor-monitor besar itu menampakkan wajah musuh mereka yang misterius, si Wanita Tanah. Tempat ini memang sama sekali tidak wajar. Mereka melangkah ke tengah-tengah kolam. Tidak ada roh badai yang berusaha untuk menghentikan mereka. Dinding monitor raksasa tetap gelap. Lubang saluran air hanya cukup untuk satu orang, dan terdapat tangga yang mengarah ke dalam keremangan. Jason masuk duluan. Selagi dia menuruni tangga, Jason menguatkan diri untuk menahan bau selokan yang menjijikkan, namun ternyata tidak seburuk itu. Tangga menurun ke terowongan bata yang mengarah dari utara ke selatan. Udaranya hangat dan kering, sedangkan di lantai hanya terdapat sedikit air. Piper dan Leo turun sesudah Jason. "Apa semua gorong-gorong senyaman ini?" Piper bertanya-tanya. "Tidak," ujar Leo. "Percayalah padaku." Jason mengerutkan kening. "Bagaimana kau bisa tahu —" "Hei, Bung, aku kabur enam kali. Aku pernah tidur di tempat-tempat aneh, oke? Nah, sekarang kita mau ke arah mana?" Jason menelengkan kepala, mendengarkan, lalu menunjuk ke selatan. "Ke sana." "Kok kau bisa seyakin itu?" tanya Piper. "Ada angin yang berembus ke selatan," kata Jason. "Mungkin para ventus itu mengikuti aliran udara." Bukan petunjuk yang bagus, tapi tak ada yang mengemukakan petunjuk yang lebih baik. Sayangnya, begitu mereka mulai berjalan, tubuh Piper limbung. Jason harus menangkapnya. "Pergelangan kaki bodoh," umpat Piper. "Ayo kita istirahat," Jason memutuskan. "Kita semua memerlukannya. Kita sudah bepergian nonstop selama lebih dari sehari. Leo, bisakah kaukeluarkan makanan dari sabuk perkakas itu selain permen mint penyegar napas?" "Kukira kau tak bakalan bertanya. Chef Leo siap beraksi!" Piper dan Jason duduk di tubir bata selagi Leo merogoh-rogoh tasnya. Jason lega bisa beristirahat. Dia masih lelah serta pusing, dan juga lapar. Tapi terutama, dia tidak antusias menghadapi apa pun yang mengadang di depannya. Jason memutar koin emas di jari-jarinya. Jika kau meninggal, Hera memperingatkan, pasti di tangan wanita itu. Siapa pun "wanita itu." Setelah Khione, ibu Cyclops, dan wanita tidur aneh, hal terakhir yang Jason butuhkan adalah satu lagi penjahat perempuan sinting dalam hidupnya. "Bukan salahmu," kata Piper. Jason menatapnya sambil bengong. "Apa?" "Disergap Cyclops," kata Piper. "Itu bukan salahmu." Jason memandangi koin emas di telapak tangannya. "Aku bodoh. Aku meninggalkanmu sendirian dan masuk ke dalam perangkap. Aku seharusnya tahu ..." Jason tidak menyelesaikan ucapannya. Ada terlalu banyak hal yang seharusnya dia tahu —siapa dirinya, cara melawan monster, bagaimana para Cyclops memancing korban mereka dengan cara menirukan suara serta bersembunyi dalam bayang-bayang dan ratusan trik lainnya. Semua informasi itu seharusnya ada di dalam kepala Jason. Dia bisa merasakan tempat-tempat di kepalanya yang seharusnya menyimpan informasi tersebut —seperti kantong kosong. Jika Hera ingin Jason berhasil, kenapa dia merampas ingatan yang dapat membantu Jason? Sang dewi menyatakan bahwa Jason masih hidup karena dia tidak ingat apa-apa, tapi itu tak masuk di akal. Jason mulai paham apa sebabnya Annabeth ingin membiarkan sang dewi membusuk di kurungannya. "Hei." Piper menyikut lengan Jason. "Beri dirimu keringanan. Cuma karena kau putra Zeus bukan berarti kau yang harus mengatasi semuanya." Beberapa meter dari sana, Leo menyalakan api kecil untuk memasak. Dia mengeluarkan perbekalan dari tas serta sabuk perkakasnya sambil bersenandung. Di tengah-tengah cahaya api, mata Piper seolah menari-nari. Saat ini Jason sudah mengamat-amati Piper selama berhari-

"Beres!" Leo mengumumkan. Leo datang sambil membawa tiga piring di lengannya seperti pelayan. Jason tidak punya gambaran dari mana Leo memperoleh semua makanan tersebut, atau bagaimana dia bisa memasaknya dengan sedemikian cepat, tapi makanan tersebut kelihatannya lezat: taco paprika dan daging dilengkapi keripik kentang serta salsa. "Leo," kata Piper kagum. "Bagaimana kau —?" "Taco Garasi ala Chef Leo untuk mengisi perut kalian!" katanya bangga. "Ngomong-ngomong, ini tahu, bukan daging, Ratu Kecantikan, jadi jangan panik. Makan saja!" *** Jason tidak yakin soal tahu itu, tapi rasa taco buatan Leo sama sedapnya dengan aromanya. Selagi mereka makan, Leo berusaha mencerahkan suasana dan berkelakar. Jason bersyukur Leo ada di antara mereka. Berkat Leo, kebersamaan dengan Piper jadi tak terlalu intens serta tidak nyaman. Pada saat yang bersamaan, Jason berharap dia berduaan saja dengan Piper; tapi Jason mengomeli dirinya sendiri karena merasa seperti itu. Sesudah Piper makan, Jason mendesaknya agar tidur. Tanpa sepatah kata pun, Piper bergelung dan meletakkan kepalanya di pangkuan Jason. Dalam waktu dua detik, dia sudah mendengkur. Jason mendongak untuk memandang Leo, yang jelas-jelas sedang berusaha tak tertawa. Mereka duduk dalam kesunyian selama beberapa menit, meneguk limun yang dibuatkan Leo dari air botolan dan minuman serbuk. "Enak, kan?" Leo menyeringai. "Kau sebaiknya buka kios," kata Jason. "Bisa dapat penghasilan yang lumayan." Tapi selagi Jason menatap bara api, sesuatu mulai mengusiknya. "Leo ... tentang kemampuanmu mendatangkan api apakah itu benar?" Senyum Leo menghilang. "Iya, begitulah ..." Dia membuka angannya. Bola api kecil mendadak muncul, menari-nari di elapak tangannya. "Keren sekali," kata Jason. "Kenapa kau tak pernah bilang?" Leo menutup tangannya dan api pun padam. "Tidak mau kelihatan seperti orang aneh." "Aku punya kemampuan mendatangkan petir dan angin," Jason mengingatkan Leo. "Piper bisa jadi cantik dan memikat orang-orang supaya memberinya BMW Kau tak lebih aneh daripada kami. Dan, hei, mungkin "Beres!" Leo mengumumkan. Leo datang sambil membawa tiga piring di lengannya seperti pelayan. Jason tidak punya gambaran dari mana Leo memperoleh semua makanan tersebut, atau bagaimana dia bisa memasaknya dengan sedemikian cepat, tapi makanan tersebut kelihatannya lezat: taco paprika dan daging dilengkapi keripik kentang serta salsa. "Leo," kata Piper kagum. "Bagaimana kau —?" "Taco Garasi ala Chef Leo untuk mengisi perut kalian!" katanya bangga. "Ngomong-ngomong, ini tahu, bukan daging, Ratu Kecantikan, jadi jangan panik. Makan saja!" *** Jason tidak yakin soal tahu itu, tapi rasa taco buatan Leo sama sedapnya dengan aromanya. Selagi mereka makan, Leo berusaha mencerahkan suasana dan berkelakar. Jason bersyukur Leo ada di antara mereka. Berkat Leo, kebersamaan dengan Piper jadi tak terlalu intens serta tidak nyaman. Pada saat yang bersamaan, Jason berharap dia berduaan saja dengan Piper; tapi Jason mengomeli dirinya sendiri karena merasa seperti itu. Sesudah Piper makan, Jason mendesaknya agar tidur. Tanpa sepatah kata pun, Piper bergelung dan meletakkan kepalanya di pangkuan Jason. Dalam waktu dua detik, dia sudah mendengkur. Jason mendongak untuk memandang Leo, yang jelas-jelas sedang berusaha tak tertawa. Mereka duduk dalam kesunyian selama beberapa menit, meneguk limun yang dibuatkan Leo dari air botolan dan minuman serbuk. "Enak, kan?" Leo menyeringai. "Kau sebaiknya buka kios," kata Jason. "Bisa dapat penghasilan yang lumayan." Tapi selagi Jason menatap bara api, sesuatu mulai mengusiknya. "Leo ... tentang kemampuanmu mendatangkan api apakah itu benar?" Senyum Leo menghilang. "Iya, begitulah ..." Dia membuka angannya. Bola api kecil mendadak muncul, menari-nari di elapak tangannya. "Keren sekali," kata Jason. "Kenapa kau tak pernah bilang?" Leo menutup tangannya dan api pun padam. "Tidak mau kelihatan seperti orang aneh." "Aku punya kemampuan mendatangkan petir dan angin," Jason mengingatkan Leo. "Piper bisa jadi cantik dan memikat orang-orang supaya memberinya BMW Kau tak lebih aneh daripada kami. Dan, hei, mungkin

Leo tidak menjawab. Dia tidak perlu menjawab. Fakta bahwa dia diam saja, tidak berkelakar —sudah mengungkapkan segalanya bagi Jason. "Leo, meninggalnya ibumu bukanlah salahmu. Apa pun yang terjadi malam itu —penyebabnya bukan karena kau memanggil api. Si Wanita Tanah ini, siapa pun dia, sudah bertahun-tahun berusaha menghancurkanmu, merusak kepercayaan dirimu, merenggut semua yang kausayangi. Dia berusaha membuatmu merasa bagaikan orang gagal. Kau bukan orang gagal. Kau penting." "Itulah yang dia katakan." Leo mendongak, matanya dipenuhi kepedihan. "Dia bilang aku ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang penting —sesuatu yang bakal mewujudkan atau membatalkan ramalan besar mengenai tujuh demigod. Itulah yang membuatku takut. Aku tak tahu apakah aku siap atau tidak." Jason ingin memberitahunya bahwa semua pasti akan baik-baik saja, tapi perkataan seperti itu kedengarannya palsu. Jason tidak tahu apa yang akan terjadi. Mereka adalah demigod, yang berarti bahwa kadang-kadang semuanya tak berakhir bahagia. Kadang-kadang demigod dimakan oleh Cyclops. Jika kita tanyai sebagian besar anak, "Hei, kau mau men-datangkan api atau petir atau rias wajah ajaib?" mereka bakal berpendapat bahwa kemampuan itu kedengarannya lumayan keren. Tapi kekuatan itu selalu disertai dengan cobaan berat, misalnya duduk dalam gorong-gorong di tengah musim dingin, melarikan diri dari monster, kehilangan ingatan, menyaksikan teman-teman kita hampir dimasak, dan mendapatkan mimpi yang memperingatkan kita akan ajal kita sendiri. Leo mengorek sisa-sisa api, membalik arang panas merah membara dengan tangan telanjang. "Kau pernah bertanya-tanya soal keempat demigod yang lain? Maksudku seandainya kita ini adalah tiga demigod dari Ramalan Besar, yang lain siapa? Di mana mereka?" Jason memang sudah memikirkannya, namun dia berusaha mengusir pemikiran itu dari benaknya. Jason memiliki kecurigaan mengerikan bahwa dia akan memimpin para demigod yang lainnya, dan dia takut dirinya bakalan gagal. Kahan akan saling mencabik satu sama lain, Boreas berjanji. Jason telah dilatih agar tak pernah menunjukkan rasa takut. Dia meyakini itu berkat mimpinya bersama serigala. Dia diharuskan bersikap percaya diri, sekalipun dia tidak merasa seperti itu. Tapi Leo dan Piper bergantung padanya, dan dia takut mengecewakan mereka. Jika dia harus memimpin kelompok beranggotakan enam orang —enam orang yang mungkin bakalan tidak akur —itu pasti lebih buruk lagi. "Entahlah," kata Jason pada akhirnya. "Kurasa empat demigod lainnya bakal muncul ketika waktunya tepat. Siapa tahu? Mungkin mereka sedang menjalani misi lain saat ini." Leo mendengus. "Taruhan, gorong-gorong mereka pasti lebih bagus daripada gorong-gorong kita." Angin berembus, bertiup ke ujung selatan terowongan. "Istirahatlah, Leo," kata Jason. "Aku akan berjaga duluan." *** Susah mengukur waktu, namun Jason menebak teman-temannya tertidur selama kira-kira empat jam.

Jason tidak keberatan. Kini setelah dia beristirahat, dia tak lagi merasa butuh tidur. Dia sudah pingsan cukup lama di punggung naga. Selain itu, dia perlu waktu untuk memikirkan misinya, kakaknya Thalia, dan peringatan Hera. Dia juga tak keberatan Piper menggunakannya sebagai bantal.

Gadis itu punya cara bernapas yang lucu waktu tidur —menarik napas lewat hidung, mengembuskannya pelan-pelan lewat mulut. Jason hampir-hampir kecewa ketika Piper bangun. Akhirnya mereka membereskan perkemahan dan mulai menyusuri terowongan. Terowongan tersebut berliku-liku dan berbelok-belok dan seakan tak berujung. Jason tidak yakin apa yang bakal ditemuinya di ujung gorong- gorong —penjara bawah tanah, laboratorium ilmuwan gila, atau mungkin reservoar yang menampung semua limbah toilet portabel, membentuk wajah toilet jahat yang cukup besar untuk menelan seisi dunia. Namun alih-laih itu semua, mereka justru menemukan sepasang pintu lift baja, masing-masing memuat ukiran huruf M berlekuk-lekuk. Di samping lift terdapat petunjuk arah, seperti yang ada di toko serbaada. "M singkatan dari Macy's?" terka Piper. "Kurasa ada tokc Macy's di tengah kota Chicago." "Atau Monocle Motors lagi?" kata Leo. "Teman-Teman, baa-petunjuk itu deh. Aneh banget." Parkir, Kandang, Pintu Masuk Utama Perabotan dan Kafe M Busana Wanita dan Benda-Benda Magis Busana Pria dan Koleksi Senjata Kosmetik, Ramuan, Racun, dan Lain-lain Lantai Gorong-gorong 1 2 3 4 "Kandang apa?" ujar Piper. "Dan toko apa yang pintu masuk nya di gorong-gorong?" "Atau menjual racun," kata Leo. "Bung, lain-lain di sin maksudnya apa? Pakaian dalam?" Jason menarik napas dalam-dalam. "Kalau ragu-ragu, mulailah dari atas." *** Pintu bergeser terbuka di lantai empat, dan wangi parfum pun melayang-layang ke dalam lift. Jason melangkah ke luar lebih dulu, pedangnya terhunus. "Teman-Teman," katanya. "Kahan harus melihat ini." Piper bergabung dengannya dan terkesiap. "Ini bukan Macy's." Toko serbaada tersebut menyerupai bagian dalam sebuah kaleidoskop. Seluruh langit-langitnya terbuat dari mozaik kaca berwarna dengan simbol-simbol zodiak yang mengelilingi matahari raksasa. Sinar matahari yang menembus melalui kaca tersebut tumpah ruah ke dalam, membanjiri semuanya dengan ribuan warna yang berlainan. Lantai- lantai atas membentuk balkon yang mengelilingi serambi sentral besar, jadi mereka bisa melihat sampai ke lantai dasar. Pagar emas berkilau sedemikian terang sampai-sampai susah dilihat. Selain langit-langit dari kaca berwarna dan lift, Jason tidak melihat jendela atau pintu lain, namun dua set tangga berjalan dari kaca terjulur dari lantai ke lantai. Lantai dilapisi karpet oriental yang motif dan warnanya bertabrakan, sedangkan rak-rak yang memajang barang jualan benar-benar janggal. Ragam barang yang dijual terlalu banyak sehingga mustahil diidentifikasi dalam sekali lihat, namun Jason melihat benda- benda normal seperti rak sepatu dan baju, berbaur dengan maneken berbaju zirah, tempat tidur berpaku, dan mantel bulu yang tampaknya bergerak. Leo melangkah ke pagar dan menengok ke bawah. "Coba lihat."

Di tengah-tengah serambi, air mancur menyemburkan air setinggi enam meter ke udara, berubah warna dari merah menjadi kuning lalu biru. Dasar kolam berkilauan oleh koin-koin emas yang ada di sana, dan di kanan-kiri air mancur terdapat kurungan bersepuh emas —seperti kandang burung kenari yang kebesaran. Di dalam salah satu kurungan, angin topan mini berpui ar-putar, dan petir berkilat.

Seseorang telah mengurung roh-roh badai, dan kurungan tersebut bergetar selagi mereka mencoba keluar. Dalam kurungan satunya lagi, membeku bagaikan patung, terdapat seorang satir pendek gempal yang memegang pentungan dari dahan pohon. "Pak Pelatih Hedge!" kata Piper. "Kita harus turun ke sat

a. Sebuah suara berkata, "Bisa kubantu kalian mencari sesuat u?" Mereka bertiga terlompat ke belakang. Seorang wanita muncul begitu saja di hadapan mereka. Dia mengenakan gaun hitam anggun dengan perhiasan berlian, dan dia kelihatan seperti seorang model yang sudah pensiun —mungkin lima puluh tahun, meskipun Jason susah menebak usianya yang sebenarnya. Rambut gelap wanita itu panjang, diurai ke salah satu bahu, sedangkan wajahnya menawan, sangat cantik layaknya supermodel —tirus, angkuh, dan dingin; kurang manusiawi. Ku ku-kukunya panjang dan dicat merah, jari-jarinya lebih mirip cakar. Wanita itu tersenyum. "Aku gembira sekali melihat pelanggan baru. Bisa kubantu?" Leo melirik Jason, seolah mengatakan Silakan kautan ani sendiri. "Arm," Jason memulai, "apa ini toko Anda?" Wanita tersebut mengangguk. "Aku menemukannya dalam keadaan terbengkalai, kalian tahu. Banyak sekali toko yang terbengkalai dewasa ini. Kuputuskan bahwa toko ini akan jadi tempat yang sempurna. Aku gemar mengoleksi benda-benda berkelas, membantu orang-orang, menawarkan barang-barang berkualitas dengan harga bersaing. Jadi, toko ini tampaknya bagus untuk apa namanya akuisisi pertama di negara ini." Dia berbicara dengan logat yang enak didengar, tapi Jason tidak bisa menebak dari mana asalnya. Walau begitu, jelas bahwa wanita tersebut tidak tak bersahabat. Jason mulai merasa Suara wanita itu merdu dan eksotik. Jason ingin mendengarnya lagi. "Jadi, Anda baru datang ke Amerika?" tanyanya. "Aku baru," sang wanita mengiyakan. "Aku Putri dari Colchis. Teman-temanku memanggilku Yang Mulia. Nah, apa yang kalian cari?" Jason pernah mendengar tentang orang asing kaya yang membeli toko serbaada di Amerika. Tentu saja mereka biasanya tidak menjual racun, mantel bulu hidup, roh badai, atau satir, tapi tetap saja —mengingat suaranya yang seindah itu, Putri dari Colchis tak mungkin jahat. Piper menyikut iganya. "Jason ..." "Ah, iya. Sebenarnya, Yang Mulia ..." Jason menunjuk kurungan bersepuh emas di lantai satu. "Yang di bawah sana itu teman kami Gleeson Hedge. Sang satir. Bolehkah kami ambil dia kembali, kumohon?" "Tentu saja!" sang putri langsung setuju. "Aku ingin sekali menunjukkan koleksiku kepada kalian. Pertama-tama, boleh kutahu nama kalian?" Jason ragu-ragu. Sepertinya memberitahukan nama mereka adalah gagasan yang buruk. Sebuah kenangan muncul di belakang benaknya —sesuatu yang diperingatkan Hera, tapi kenangan itu kabur. Di sisi lain, Yang Mulia sepertinya bisa diajak bekerja sama. Jika mereka dapat memperoleh apa yang mereka inginkan tanpa