BAB SEPULUH PIPER

BAB SEPULUH PIPER

ACARA API UNGGUN MEMBUAT PIPER panik. Dia jadi memikirkan api unggun ungu besar dalam mimpinya, dan ayahnya yang diikat di pasak.

Yang didapat Piper justru tidak kalah mengerikan: nyanyi bareng. Sisi bukit diukir sehingga membentuk undakan amfiteater, menghadap lubang perapian besar bertepi batu. Kira-kira lima puluh hingga enam puluh anak duduk berderet-deret, berkelompok di bawah aneka panji-panji.

Piper melihat Jason di bagian depan, di samping Annabeth. Leo tidak jauh dari sana, duduk bersama sekumpulan pekemah berpenampilan kekar di bawah panji-panji kelabu baja berhiaskan gambar palu. Di depan api unggun, berdirilah kira-kira setengah lusin pekemah yang membawa gitar dan harpa gaya lama yang aneh —lira?—sambil berjingkrak-jingkrak, mempimpin nyanyian tentang baju zirah dan sesuatu tentang bagaimana nenek mereka memperlengkapi diri sendiri ketika hendak berperang. Semua orang menyanyi bersama mereka dan membuat gerakan yang menyimbolkan baju zirah serta berkelakar. Mungkin ini adalah hal teraneh yang pernah disaksikan Piper —lagu api unggun bakalan amat memalukan bila dinyanyikan di tengah hari bolong; namun di malam hari, dengan semua orang yang ikut bernyanyi lagu tersebut jadi terkesan lucu dan mengasyikkan. Saat level energi kian meninggi, api pun berkobar kian besar, berubah warna dari merah menjadi jingga hingga keemasan.

Akhirnya lagu itu berakhir, diiringi tepuk tangan berisik. Kuda yang ditunggangi seorang laki-laki mendompa. Setidaknya di tengah cahaya kelap-kelip, Piper menyadari itu adalah centaurus —paruh bawah tubuhnya seperti kuda jantan putih, sedangkan paruh atas tubuhnya berwujud laki-laki setengah baya dengan rambut keriting dan janggut yang terpangkas rapi. Laki-laki tersebut mengacungkan tombak yang dipuncaki marshmallow panggang. “Bagus sekali! Dan selamat datang untuk para

pendatang baru. Aku Chiron, direktur kegiatan perkemahan. Aku senang kalian semua telah tiba di sini dengan selamat, dan dalam keadaan utuh. Sebentar lagi kita akan membuat s’mores, aku janji, tapi pertama-tama —“

“Bagaimana kalau tangkap bendera?” seseorang berteriak. Gerutuan pecah di antara anak-anak berbaju zirah, yang duduk di bawah panji-panji merah beremblem kepala celeng.

“Ya,” kata sang centaurus. “Aku tahu pondok Ares sudah tak sabar kembali ke hutan untuk permainan rutin kita.”

“Dan membunuh orang-orang!” teriak salah seorang dari mereka. “Namun demikian,” kata Chiron, “sampai sang naga berhasil dikendalikan, itu tidaklah mungkin. Pondok

sembilan, ada laporan mengenai hal itu?” Dia menoleh ke kelompok Leo. Leo berkedip kepada Piper, dan menembaknya dengan senapan jari.

Cewek yang duduk di sebelah Leo berdiri, tampak tidak nyaman. Dia mengenakan jaket tentara yang mirip seperti punya Leo, dengan rambut ditutupi bandana merah. “Kami sedang berusaha mengatasinya.”

Gerutuan lagi. “Gimana, Nyssa?” tuntut seorang anak Ares. “Kami berusaha dengan sangat keras,” kata Nyssa itu.

Nyssa duduk diiringi banyak teriakan dan keluh kesah, yang menyebabkan lidah api meliuk-liuk liar. Chiron menjejakkan kakinya ke batu di tepi perapian —buk, buk, buk—dan para pekemah pun terdiam.

“Kita harus sabar,” kata Chiron. “Sementara itu, ada masalah yang lebih mendesak yang perlu kita diskusikan.”

“Percy?” seseorang bertanya. Api kian meredup, tapi Piper tidak butuh kobaran api untuk mendeteksi keresahan khalayak.

Chiron memberi isyarat kepada Annabeth. Cewek itu menarik nafas dalam-dalam dan berdiri. “Aku tidak menemukan Percy,” Annabeth mengumumkan. Suaranya tercekat sedikit ketika dia

mengucapkan nama Percy. “Dia tak berada di Grand Canyon seperti yang kukira. Tapi kita takkan menyerah. Kita punya tim dimana-mana. Grover, Tyson, Nico, para Pemburu Artemis —semuanya

mencari. Kita pasti menemukan Percy. Maksud Pak Chiron bukan itu. Misi baru.” “Ada hubungannya dengan Ramalan Besar, ya?” seru seorang cewek. Semua orang menoleh. Suara itu berasal dari kelompok di belakang, duduk di bawah panji-panji

berwarna mawar dengan emblem merpati. Mereka dari tadi mengobrol sendiri dan tidak memperhatikan sampai pemimpin mereka berdiri: Drew.

Yang lain kelihatan terkejut. Rupanya Drew tidak sering bicara kepada khalayak ramai. “Drew?” kata Annabeth. “Apa maksudmu?” “Yah, apa lagi?” Drew merentangkan tangan, seolah kebenarannya sudah jelas. “Olympus tertutup.

Percy menghilang. Hera mengrimimu visi dan kau kembali bersama demigod dalam sehari. Maksudku, sesuatu yang aneh sedang terjadi. Ramalan Besar sudah dimulai, kan?”

Piper berbisik kepada Rachel, “Apa yang sedang dibicarakannya—Ramalan Besar?” Lalu Piper menyadari semua orang sedang memandang Rachel juga. “Jadi?” seru Drew. “Kau kan Oracle. Sudah dimulai atau belum?” Mata Rachel terlihat mengerikan di tengah cahaya api unggun. Piper takut dia bakal menegang dan

kesurupan dewi merak menakutkan itu lagi, tapi Rachel melangkah maju dengan tenang dan berbicara kepada seisi perkemahan.

“Ya,” katanya. “Ramalan Besar telah dimulai.”

Kehebohan pun pecah. Piper menangkap pandangan mata Jason. Jason berucap tanpa suara, Kau baik-baik saja? Piper

mengangguk dan berhasil tersenyum, tapi kemudian berpaling. Terlalu menyakitkan melihat Jason lagi dan tak bisa bersamanya.

Ketika kasak-kusuk akhirnya mereda, Rachel lagi-lagi melangkah maju ke tengah-tengah hadirin, dan lima puluh sekian demigod mencondongkan badan menjauhi cewek itu, seakan seorang cewek fana berambut merah lebih mengerikan daripada mereka semua dijadikan satu.

“Bagi kalian yang belum mendengarnya,” kata Rachel, “Ramalan Besar adalah ramalanku yang pertama. Ramalan tersebut datang di bulan Agustus. Bunyinya seperti ini:

“Tujuh blasteran akan menjawab panggilan. Karena badai atau api dunia akan terjungkal —“

Jason terlompat hingga berdiri. Matanya berkilat liar, seakan dia baru saja kena setrum. Rachel sekalipun sepertinya tercengang. “J-Jason?” katanya. “Ada a—“

“Ut cum spiritu postrema sacramentum dejuremus,” ucap Jason. “Er hostes ornamenta addent ad ianuam necem.”

Keheningan menggelisahkan melingkupi kelompok tersebut. Piper bisa melihat dari wajah mereka bahwa beberapa orang berusaha menerjemahkan kalimat tersebut. Piper tahu itu bahasa Latin, tapi dia tidak yakin mengapa calon pacarnya —moga-moga—mendadak mengoceh dalam bahasa Latin seperti seorang pastor Katolik.

“Kau ... baru saja menuntaskan ramalan itu,” Rachel terbata-bata. “—Sumpah yang harus ditepati hingga tarikan napas penghabisan/Dan musuh panggul senjata menuju Pintu Ajal. Bagaimana kau —“

“Aku tahu larik-lari itu.” Jason berjengit dan menempelkan tangannya ke pelipis. “Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku tahu ramalan itu.”

“Dalam bahasa Latin, pula,” seru Drew. “Cakep dan pintar.” Terdengar tawa cekikikan dari pondok Aphrodite. Ya ampun, dasar pecundang, pikir Piper. Tapi sikap

mereka tetap tidak memecah ketegangan. Api unggun kini berkobar liar, dengan warna hijau meresahkan.

Jason duduk lagi, kelihatan malu, tapi Annabeth meletakkan tangannya di bahu Jason dan menggumamkan sesuatu yang menenangkan. Piper merasakan tusukan kecemburuan. Seharusnya dialah yang berada di samping Jason dan menghiburnya.

Rachel Dare masih kelihatan agak terguncang. Dia melirik Chiron untuk minta bimbingan, tapi sang centaurus berdiri dengan raut muram dan diam saja, seperti sedang menonton sandiwara yang tidak boleh dia interupsi —tragedi yang diakhiri tewasnya banyak orang di panggung.

“Yah,” kata Rachel, berusaha memulihkan diri hingga tenang kembali. “Begitulah bunyi Ramalan Besar. Kita berharap ramalan tersebut takkan terwujud sampai bertahun-tahun lagi, tapi aku khawatir ramalan

tersebut sudah dimulai sekarang. Aku tak bisa memberi kalian bukti. Itu cuma firasat. Dan seperti yang dikatakan Drew, sejumlah peristiwa aneh sedang berlangsung. Ketujuh demigod, siapa pun mereka,

belum berkumpul. Aku punya firasat sebagian hadir di sini malam ini. Sebagian tidak ada di sini.” Para pekemah mulai gelisah dan bergumam, saling pandang dengan gugup, hingga sebuah suara

mengantuk di t engah massa berseru, “Hadir! Oh ... bukannya tadi kalian sedang mengabsen?” “Tidur lagi sana, Clovis,” seseorang berteriak, dan banyak orang tertawa.

“Pokoknya,” lanjut Rachel, “kita tidak tahu makna Ramalan Besar itu. Kita tidak tahu tantangan apa yang akan dihadapi para demigod, tapi karena Ramalan Besar pertama memprediksikan Perang Titan, dapat kita tebak bahwa Ramalan Besar kedua akan mempredikisi sesuatu yang setidaknya sama buruknya.”

“Atau lebih buruk lagi,” gumam Chiron. Mungkin dia tidak bermaksud didengar oleh semua orang, tapi semuanya mendengar. Api unggun

seketika berubah warna menjadi ungu gelap, sewarna dengan api dalam mimpi Piper. “Apa yang kita ketahui,” kata Rachel, “adalah bahwa tahap pertama telah dimulai. Masalah besar terjadi,

dan kit a membutuhkan misi untuk memecahkannya. Hera, ratu para dewa, telah diculik.” Hening karena kaget. Lalu lima puluh demigod mulai bicara berbarengan. Chiron mengentakkan kakinya lagi, namun Rachel tetap harus menunggu sebelum dia bisa kembali

memperoleh perhatian mereka. Rachel menceritakan kepada mereka tentang insiden di titian Grand Canyon —bagaimana Gleeson

Hedge telah mengorbankan dirinya ketika roh-roh badai menyerang, dan para roh tersebut mengingatkan bahwa kejadian itu barulah permulaannya. Mereka rupanya mengabdi kepada majikan perempuan hebat yang bakal membinasakan semua demigod.

Lalu Rachel menceritakan kepada mereka tentang Piper yang pingsan di pondok Hera. Piper berusaha mempertahankan ekspresinya agar tetap tenang, bahkan ketika dia menyadari bahwa di baris belakang, Drew sedang berpantomim layaknya orang pingsan, dan teman-temannya cekikikan. Akhirnya Rachel menceritakan visi Jason di ruang tengah Rumah Besar. Pesan yang disampaikan Hera begitu mirip sampai-sampai Piper jadi merinding. Satu-satunya perbedaannya: Hera memperingati Piper agar tidak Lalu Rachel menceritakan kepada mereka tentang Piper yang pingsan di pondok Hera. Piper berusaha mempertahankan ekspresinya agar tetap tenang, bahkan ketika dia menyadari bahwa di baris belakang, Drew sedang berpantomim layaknya orang pingsan, dan teman-temannya cekikikan. Akhirnya Rachel menceritakan visi Jason di ruang tengah Rumah Besar. Pesan yang disampaikan Hera begitu mirip sampai-sampai Piper jadi merinding. Satu-satunya perbedaannya: Hera memperingati Piper agar tidak

“Jason,” kata Rachel. “Anu ... apa kauingat nama belakangmu?” Jason terlihat jengah, namun dia menggelengkan kepalanya. “Kami akan memanggilmu Jason saja, kalau begitu,” kata Rachel. “Jelas bahwa Hera sendiri telah

mengutusmu dalam sebuah misi.” Rachel terdiam, seakan memberi Jason kesempatan untuk memprotes takdirnya. Mata semua orang

tertuju kepada Jason; ada begitu banyak tekanan, menurut Piper dia bakal lemas jika berada dalam posisi Jason. Walau begitu, Jason terlihat berani dan penuh tekad. Pemuda itu menggertakkan

rahangnya dan mengangguk. “Aku setuju.” “Kau harus menyelamatkan Hera demi mencegah petaka besar,” lanjut Rachel. “Mencegah bangkitnya

seorang raja yang jahat. Atas alasan yang belum kita pahami, kebangkitan tersebut harus terjadi pada hari titik balik musim dingin, tinggal empat hari dari sekarang.”

“Yaitu ketika dewa-dewi mengadakan rapat dewan,” kata Annabeth. “Jika para dewa belum tahu bahwa Hera menghilang, mereka pasti akan menyadari ketidakhadirannya pada saat itu. Mereka barangkali bakal berkelahi, saling tuduh telah menculik Hera. Biasanya itulah yang akan mereka lakukan.”

“Titik balik matahari musim dingin,” Chiron angkat bicara, “juga merupakan hari tergelap dalam setahun. Dewa-dewi berkumpul pada hari itu, sebagaimana manusia fana, sebab kita jadi kuat bilamana bersatu.

Titik balik matahari musim dingin merupakan hari ketika sihir jahat paling kuat. Sihir kuno, lebih tua daripada para dewa. Hari di mana ban yak hal ... teraduk menjadi satu.”

Dari caranya mengucapkan kata itu, mengaduk terdengar amat menakutkan —seolah itu adalah sejenis hukuman mati, bukan sesuatu yang kaulakukan ketika membuat adonan kue.

“Oke,” kata Annabeth sambil memelototi sang centaurus. “Terima kasih, Kapten Ceria. Apa pun yang terjadi, aku sepakat dengan Rachel. Jason telah dipilih untuk memimpin misi ini, jadi —“

“Kenapa dia belum diakui?” teriak seseorang dari pondok Ares. “Kalau dia memang sepenting itu—“ “Dia sudah diakui,” Chiron mengumumkan. “Dulu sekali. Jason, beri mereka demontrasi.” Pada mulanya, Jason sepertinya tak mengerti. Dia melangkah maju dengan gugup, namun Piper tak mau

berpikir, betapa menakjubkannya pemuda itu, dengan rambut pirangnya yang gemerlap diterpa sinar api unggun, sosoknya yang agung bagaikan patung Romawi. Jason melirik Piper, dan dia pun mengangguk untuk memberikan dukungan. Piper menirukan gerakan melempar koin.

Jason merogoh sakunya. Koinnya berkilat di udara, dan ketika Jason menangkap koin tersebut di tangannya, dia memegang sebatang tombak —tongkat emas kira-kira sepanjang dua meter, dengan mata runcing di salah satu ujungnya.

Para demigod yang lain terperangah. Rachel dan Annabeth melangkah mundur untuk menghindari ujung tombak, yang kelihatannya setajam alat pemecah es.

“Bukannya itu ...” Annabeth ragu-ragu. “Kukira kau punya pedang.” “Anu, kurasa ini adalah sisi lain dari koin itu,” kata Jason. “Koinnya sama, tapi wujud senjatanya beda,

yang ini senjata jarak jauh.” “Bung, aku mau dong!” teriak seseorang dari pondok Ares. “Lebih bagus daripada tombak listrik si Clarisse yang payah!” salah satu saudara laki-laki Clarisse sepakat. “Listrik,” gumam Jason, seakan itu adalah ide bagus. “Mundur.” Annabeth dan Rachel menangkap maksudnya. Jason mengangkat lembingnya, dan guntur pun

membelah langit. Seluruh bulu di lengan Piper berdiri tegak. Petir merambati mata tombak emas dan menyambar api unggun dengan ledakan sedahsyat selongsong arteri.

Ketika asap telah menipis, dan denging di telinga Piper sudah mereda, seisi perkemahan duduk mematung karena tercengang, setengah buta, berselimut abu, menatap lokasi bekas api unggun. Arang berjatuhan di mana-mana. Sebatang kayu yang terbakar menancapkan diri beberapa inci dari Clovis si anak tidur, yang bahkan tidak bergerak sama sekali.

Jason menurunkan tombaknya. “Anu ... maaf.” Chiron membersihkan sisa-sisa bara yang masih menyala dari janggutnya. Dia meringis seakan-akan

kekhawatirannya yang terbesar telah dikonfirmasi. “Agak berlebihan, mungkin, tapi kau sudah menunjukkan maksudmu dengan jelas. Dan aku yakin kami tahu siapa ayahmu.”

“Jupiter,” Jason berkata. “Maksudku, Zeus. Penguasa langit.” Piper mau tak mau tersenyum. Itu benar-benar masuk akal. Dewa paling perkasa, ayah dari semua

pahlawan terhebat dalam mitos kuno —tak mungkin ayah Jason adalah dewa lain. Rupanya, orang-orang lain di perkemahan tidak seyakin itu. Suasana jadi ricuh karena lusinan orang

mengajukan pertanyaan secara serempak sampai Annabeth mengangkat tangannya. “Tunggu dulu!” kata gadis itu. “Bagaimana mungkin dia adalah putra Zeus? Tiga Besar ... kesepakatan

mereka untuk tidak memiliki anak manusia ... kok kita tidak mengetahui tentang Jason lebih awal?” Chiron tidak menjawab, namun Piper merasa sang centaurus tahu sebabnya. Dan kebenaran tersebut

bukan sesuatu yang bagus.

“Yang penting,” kata Rachel, “Jason di sini sekarang. Dia punya misi yang harus diselesaikan. Berarti, dia butuh ramalan untuknya sendiri.”

Rachel memejamkan mata dan jatuh pingsan. Dua pekemah buru-buru maju dan menangkapnya. Pekemah ketiga lari ke samping amfiteater dan menyambar bangku perunggu berkaki tiga, seolah mereka telah terlatih untuk tugas ini. Mereka menundukkan Rachel ke bangku itu di hadapan api unggun yang porak-poranda. Tanpa api unggun, malam terasa gelap gulita, namun kabut hijau mulai berputar-putar di sekeliling kaki Rachel. Ketika dia membuka mata, matanya bercahaya. Asap hijau zamrud keluar dari mulutnya. Suara yang terucap serak dan purba —layaknya suara yang dihasilkan ular apabila ia bisa bicara:

“Putra petir, waspadalah terhadap bumi, Balas dendam para raksasa, tujuh pendekar pun lahir, Palu besi dan merpati ‘kan patahkan sangkar,

Dan kematian pun terlepas dari murka Hera.”

Sesudah kata terakhir, Rachel pun ambruk, namun para pembantunya sudah menunggu untuk menangkapnya. Mereka menggendong Rachel menjauhi perapian dan membaringkannya di pojok untuk beristirahat.

“Apa itu normal?” tanya Piper. Lalu dia menyadari dirinya bicara di tengah-tengah kesunyian, dan semua orang memandanginya. “Maksudku ... apa dia sering menyemburkan asap hijau?”

“Demi para dewa, kau ini bebal deh!” cemooh Drew. “Dia baru saja mengutarakan ramalan—ramalan tentang Jason yang akan pergi menyelamatkan Hera! Kenapa kau tidak —“

“Drew,” bentak Annabeth. “Piper mengajukan pertanyaan yang wajar. Jelas ada yang tidak normal terkait dengan ramalan itu. Jika membobol kurungan Hera sama artinya dengan melepaskan murkanya dan menyebabkan kematian ... buat apa kita membebaskannya? Mungkin itu jebakan, atau —atau

barangkali Hera akan menyeran g para penolongnya. Dia tak pernah bersikap baik terhadap pahlawan.” Jason pun bangkit. “Aku tidak punya banyak pilihan. Hera merampas ingatanku. Aku membutuhkannya

kembali. Lagi pula, kita tak bisa tidak menolong sang ratu langit jika dia sedang dalam kesulitan. Seorang cewek dari pondok Hephaestus berdiri —Nyssa, yang memakai bandana merah. “Mungkin. Tapi

kau sebaiknya pertimbangkan perkataan Annabeth. Hera bisa bersikap keji. Dia melempar putranya sendiri —ayah kami—ke gunung hanya karena beliau buruk rupa.”

“Buruk rupa banget,” cemooh seseorang dari pondok Aphrodite.

“Tutup mulut!” geram Nyssa. “Pokoknya, kita juga harus memikirkan—kenapa kita harus berhati-hati pada bumi? Dan apa itu balas dendam para raksasa? Makhluk apa sebenarnya yang kita hadapi, yang cukup perkasa untuk menculik sang ratu langit?”

Tak ada yang menjawab, tapi Piper menyadari bahwa Annabeth dan Chiron tengah menjalin percakapan tanpa suara. Piper menduga isinnya seperti ini:

Annabeth: Balas dendam para raksasa ... tidak, itu tak mungkin. Chiron: Jangan bicarakan hal itu di sini. Jangan takut-takuti mereka. Annabeth: Bapak bercanda! Kita tidak mungkin seapes itu. Chiron: Nanti saja, Nak. Jika kau memberitahukan segalanya pada mereka, mereka pasti terlalu takut

sehingga takkan sanggup melangkah maju. Piper tahu dia sinting jika mengira bisa membaca ekspresi mereka selihai itu —dua orang yang baru saja

dia kenal. Tapi Piper yakin sekali bahwa dia memahami mereka, dan itu membuatnya takut setengah mati.

Annabeth menarik napas dalam- dalam. “Ini misi Jason,” dia mengumumkan, “jadi terserah pilihan Jason. Jelas bahwa dia adalah putra petir. Berdasarkan tradisi, dia diperkenankan memilih dua orang yang mana saja sebagai rekan.”

Seseorang dari pondok Hermes berteriak, “Yah, kau orangnya, Annabeth, sudah jelas. Kaulah yang paling berpengalaman.”

“Tidak, Travis,” kata Annabeth. “Pertama-tama, aku tidak mau membantu Hera. Tiap kali aku berusaha, dia mengelabuiku, atau aku malah kena sial belakangan. Lupakan. Aku tidak mau. Kedua, aku akan pergi besok pagi- pagi sekal untuk mencari Percy.”

“Semuanya berhubungan,” sembur Piper, tidak yakin bagaimana dia mendapatkan keberanian. “Kautahu itu benar, kan? Seluruh kejadian ini, hilangnya pacarmu—keduanya berhubungan.”

“Bagaimana?” tuntut Drew. “Kalau kau memang pintar banget, bagaimana?” Piper mencoba untuk membalasnya, tapi dia tidak bisa. Annabeth menyelamatkannya. “Kau mungkin benar, Piper. Jika semua ini memang berhubungan, akan

kucari pemecahannya dari ujung yang satu lagi —dengan cara mencari Percy. Seperti yang kubilang, aku tidak mau buru-buru menyelamatkan Hera, bahkan jika hilangnya Hera bisa memicu perkelahian antara dewa-dewi Olympia yang lain. Tapi ada alasan lain sehingga aku tak bisa ikut. Ramalan tersebut tidak

menyebutkan bahwa aku harus ikut.” “Ramalan itu memberi petunjuk tentang siapa yang akan kupilih,” Jason sepakat. “Palu besi dan merpati

kan patahkan sangkar. Palu besi adalah simbol Vul —Hephaestus.”

Di bawah panji-panji Pondok Sembilan, bahu Nyssa merosot, seakan sebuah paron berat baru saja diberikan kepadanya. “Jika kau harus berhati-hati terhadap bumi,” katanya, “kau harus menghindari perjalanan darat. Kau bakal membutuhkan transportasi udara.”

Piper hendak berseru bahwa Jason bisa terbang. Tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Jason-lah yang berhak memberitahukan hal itu, dan pemuda tersebut tidak mengungkapkan informasi tersebut secara sukarela. Mungkin Jason berpendapat sudah cukup dia membuat semua orang ngeri untuk satu malam.

“Kereta terbang sedang rusak,” lanjut Nyssa, “dan para pegasus, kita menggunakan mereka untuk mencari Percy. Tapi mungkin pondok Hephaestus bisa mengajukan orang lain untuk membantu. Karena Jake sedang tidak sehat, akulah pekemah yang paling senior. Aku bisa mengajukan diri untuk misi tersebut.”

Kedengarannya dia tidak bersemangat. Lalu Leo berdiri. Leo diam saja sedari tadi sampai-sampai Piper lupa dia ada di sana, yang sama sekali

tidak seperti Leo. “Aku orangnya,” kata Leo. Rekan-rekan sepondoknya bergerak. Beberapa berusaha menariknya agar kembali ke tempat duduknya,

namun Leo melawan. “Tidak, aku orangnya. Aku tahu pasti. Aku punya ide mengenai masalah transportasi. Biarkan aku

mencoba. Aku bisa membereskan masalah ini!” Jason memperhatikan Leo selama sesaat. Piper yakin Jason akan berkata tidak kepada Leo. Kemudian

Jason tersenyum. “Kita memulai ini bersama-sama, Leo. Sepertinya memang tepat kalau kau ikut. Kalau kau bisa mencarikan kendaraan untuk kita, kau boleh ikut.”

“Sip!” Leo mengacungkan tinjunya. “Misi tersebut bakal berbahaya,” Nyssa memperingatkan Leo. “Kesulitan, monster, penderitaan tak

terperi. Mungkin saja tak satu pun dari kalian kembali hidup- hidup.” “Oh.” Tiba-tiba Leo tidak terlihat terlalu antusias. Kemudian dia ingat semua orang sedang

memperhatikan. “Maksudku ... Wah, keren! Penderitaan? Aku suka penderitaan! Ayo kita lakukan ini.” Annabeth mengangguk. “Kalau begitu, Jason, kau hanya perlu memilih anggota misi yang ketiga.

Merpati —“ “Oh, tentu saja!” Drew kontan berdiri dan menyunggingkan senyum kepada Jason. “Merpati adalah

simbol Aphrodi te. Semua orang tahu itu. aku milikmu seutuhnya.” Tangan Piper terkepal. Dia melangkah maju. “Tidak.”

Drew memutar- mutar bola matanya. “Yang benar saja, Cewek Tong Sampah. Mundur sana.” “Aku yang mendapatkan visi dari Hera, bukan kau. Aku yang harus melakukan ini.” “Siapa saja bisa mendapatkan visi,” kata Drew. “Kau kebetulan saja berada di tempat yang tepat pada

waktu yang tepat.” Cewek itu berpaling kepada Jason. “Dengar, tidak ada salahnya bertarung, kurasa. Dan orang-orang yang merakit macam-macam ... ” Dia memandang Leo dengan muak. “Yah, kurasa

harus ada yang tangannya kotor. Tapi kau membutuhkan pesona di pihakmu. Aku bisa sangat persuasif. Aku bisa banyak membantu.”

Para pekemah mulai menggumamkan betapa Drew memang lumayan persuasif. Piper bisa melihat bahwa Drew telah merebut simpati mereka. Chiron bahkan menggaruk-garuk janggutnya, seolah dia mendadak berpendapat bahwa partispasi Drew masuk akal.

“Yah ...” ujar Annabeth. “Mengingat kata-kata dalam ramalan itu—“ “Tidak!” Suara Piper sendiri terdengar aneh di telinganya—lebih memaksa, bernada lebih merdu.

“Akulah yang semestinya memaksa ikut.” Lalu terjadilah hal yang paling janggal. Semua orang mulai mengangguk-angguk, bergumam bahwa hmm,

sudut pandang Piper masuk akal juga. Drew menoleh ke sekelilingnya, tidak percaya. Bahkan sejumlah pekemah sepondoknya ikut mengangguk-angguk.

“Sadar dong!” Drew membentak. “Memangnya Piper bisa apa?” Piper mencoba merespons, namun kepercayaan dirinya mulai berkurang. Apa yang bisa dia tawarkan?

Dia bukan petarung, atau perencana, atau pakar reparasi. Dia tidak punya keahlian selain terlibat masalah dan terkadang meyakinkan orang untuk melakukan hal bodoh.

Selain itu, dia seorang pembohong. Dia harus ikut dalam misi ini karena alasan yang tidak ada hubungannya dengan Jason —dan jika Piper akhirnya ikut, ujung-ujungnya dia akan mengkhianati semua orang di sana. Piper mendengar suara dari mimpi itu: Lakukan perintah kami, dan kau mungkin bisa hidup. Bagaimana mungkin dia membuat pilihan semacam itu —antara menolong ayahnya atau menolong Jason.

“Nah,” kata Drew pongah, “kurasa sudah diputuskan.” Mendadak semua terkesiap serempak. Semua orang menatap Piper seolah dia baru saja meledak. Piper

bertanya-tanya kesalahan apa yang sudah dilakukannya. Lalu Piper menyadari ada pendar kemerahan di sekelilingnya.

“Apa?” tuntutnya. Piper menengok ke atasnya, tapi tidak ada simbol membara seperti yang muncul di atas kepala Leo. Lalu

dia menengok ke bawah dan memekik.

Pakaiannya ... apa pula yang dia kenakan? Dia benci gaun. Dia bahkan tidak punya gaun. Tapi kini dia mengenakan gaun putih elok tak berlengan yang menjuntai hingga ke pergelangan kaki, dengan leher berbentuk V yang kelewat rendah sehingga teramat memalukan. Gelang lengan indah dari emas melingkari bisepnya. Kalung molek dari ambar, koral, dan bunga emas berkilauan di dadanya, sedangkan rambutnya ...

“Ya Tuhan,” kata Piper. “Ada apa ini?” Annabeth yang terperanjat menunjuk belati Piper, yang kini mengilap karena sudah diminyaki. Belati itu

menggantung dari tali emas yang dililitkan ke pinggangnya. Piper tidak mau menghunus belati tersebut. Dia takut pada apa yang mungkin dia lihat. Tapi rasa penasarannya menang. Piper mencabut Katopris dari sarungnya dan menatap pantulan dirinya di bilah logam yang berkilat. Rambutnya sempurna: cokelat panjang kemilau, dikepang satu dengan pita emas hingga mencapai bahunya. Dia bahkan memakai rias wajah, lebih bagus daripada yang bisa Piper bubuhkan sendiri —sentuhan tipis yang membuat bibirnya semerah ceri serta mengeluarkan semua warna yang berlainan di matanya.

Dia ... Dia ... “Cantik,” seru Jason. “Piper, kau ... kau cantik banget.” Pada situasi berbeda, itu pastilah akan jadi saat paling membahagiakan dalam hidup Piper. Namun

sekarang semua orang menatapnya seakan-akan dia orang aneh. Wajah Drew diwarnai ekspresi ngeri dan jijik. “Tidak!” pekik Drew. “Tidak mungkin!”

“Ini bukan aku,” Piper memprotes. “Aku—tak mengerti.” Chiron sang centaurus menekuk kaki depannya dan membungkuk kepada Piper, dan semua pekemah

pun mengikuti gerakannya. “Salam, Piper McLean,” Chiron mengumumkan dengan khidmat, seolah sedang dalam pemakaman Piper.

“Putri Aphrodite, penguasa merpati, sang Dewi Cinta.”