BAB EMPAT PULUH TUJUH LEO

BAB EMPAT PULUH TUJUH LEO

MENERBANGKAN HELIKOPTER? TENTU, KENAPA TIDAK. Leo sudah melakukan banyak hal yang lebih gila minggu itu. Matahari sudah turun saat mereka terbang ke utara, melintasi Jembatan Richmond, dan Leo tak percaya bahwa hari itu telah berlalu sedemikian cepat. Sekali lagi, tak ada yang bisa menandingi GPPH dan pertarungan sengit dalam hal membunuh waktu. Saat mengemudikan helikopter tersebut, Leo silih berganti merasa percaya diri dan panik. Jika dia tidak berpikir, Leo mendapati dirinya secara otomatis menekan kenop yang benar, mengecek altimeter, menarik stik dengan santai, dan terbang lurus. Jika Leo mulai memikirkan tindakannya, dia mulai panik. Leo membayangkan Bibi Rosa membentak-bentaknya dalam bahasa Spanyol, memberitahunya bahwa dia adalah berandalan sinting yang bakal celaka. Sebagian diri Leo curiga bibinya benar. "Baik-baik saja?" Piper bertanya dari kursi kopilot. Gadis itu kedengarannya lebih gugup daripada dia, jadi Leo memasang tamp ang berani. "Enteng," kata Leo. "Jadi, Rumah Serigala itu apa?"

Jason berlutut di antara kursi mereka. "Rumah mewah telantar di Lembah Sonoma. Seorang demigodlah

yang membangunnya —Jack London." Leo tidak ingat itu nama siapa. "Dia aktor?" "Penulis," ujar Piper. "Kisah-kisah petualangan, kan? Call of the Wild? White Fang?" "Iya," kata Jason. "Dia putra Merkurius — maksudku, Hermes. Dia seorang petualang, berkelana ke seluruh dunia. Dia bahkan pernah jadi gelandangan sebentar. Kemudian dia mendapat uang banyak dengan cara menulis. Dia membeli peternakan di pedesaan dan memutuskan untuk membangun griya besar —Rumah Serigala." "Dinamai begitu karena dia menulis tentang serigala?" tebak Leo. "Sebagian," kata Jason. "Tapi lokasi tersebut, dan alasannya menulis tentang serigala —dia menyiratkan petunjuk mengenai pengalaman pribadinya. Ada banyak lubang dalam riwayat hidupnya —bagaimana dia dilahirkan, siapa ayahnya, kenapa dia sering sekali keluyuran —hal-hal yang hanya bisa kita jelaskan jika kita tahu dia seorang demigod." Teluk meluncur di belakang mereka, dan helikopter pun terus terbang ke utara. Di depan mereka, perbukitan kuning terbentang sejauh mata Leo memandang. "Jadi, Jack London masuk Perkemahan Blasteran," terka Leo. "Tidak," kata Jason. "Tidak, dia tidak masuk sana. "Bung, kau membuatku takut gara-gara cara bicaramu yang misterius. Kau teringat masa lalumu atau tidak?" "Sepotong-sepotong," kata Jason. "Hanya sepotong-sepotong. Tidak ada yang bagus. Rumah Serigala terletak di lahan keramat. Di sanalah London memulai perjalanannya semasa kanak-kanak —di sanalah dia mengetahui bahwa dia adalah demigod. Itulah sebabnya dia kembali ke sana. Dia kira dia bisa tinggal di sana, mengklaim tanah itu, tapi bukan begitu takdirnya. Rumah Serigala itu dikutuk. Rumah itu kebakaran sebelum dia dan istrinya di-jadwalkan pindah ke sana. Beberapa tahun kemudian, London meninggal, dan abunya dikubur di lokasi tersebut." "Jadi," ujar Piper, "bagaimana kau bisa tahu semua ini?" Bayangan gelap melintasi wajah Jason. Barangkali cuma awan, tapi Leo bersumpah bentuknya seperti elang. "Aku memulai perjalananku di sana juga," kata Jason. "Rumah Serigala adalah tempat yang kuat bagi demigod, tempat yang berbahaya. Jika Gaea bisa mengklaimnya, menggunakan kekuatan tempat itu untuk mengubur Hera pada titik balik matahari musim dingin dan membangkitkan Porphyrion —itu mungkin cukup untuk membangunkan sang Dewi Bumi sepenuhnya." Leo terus memegangi tongkat kendali, mengarahkan helikopter dengan kecepatan penuh —berpacu ke utara. Dia bisa melihat cuaca di depan—petak gelap seperti gumpalan awan atau badai, tepat di arah yang mereka tuju. Tadi ayah Piper memanggilnya pahlawan. Dan Leo talc bisa memercayai sejumlah hal yang telah dia perbuat —menghajar Cyclops, menonaktifkan bel pintu yang bisa meledak, bertarung melawan ogre bertangan enam dengan alat konstruksi. Semua itu seolah dialami orang lain. Dia cuma Leo Valdez, anak yatim piatu dari Houston. Dia menghabiskan seumur hidupnya untuk kabur, dan sebagian dari dirinya masih ingin lari. Apa pula yang dia pikirkan, terbang ke griya terkutuk untuk bertarung melawan monster jahat lagi? Suara ibunya bergema dalam kepalanya: Tiada yang tak bisa diperbaiki. Selain fakta bahwa Ibu sudah pergi selamanya, pikir Leo.

Melihat Piper dan ayahnya bersama kembali benar-benar menyadarkan Leo akan hal itu. Meskipun Leo masih hidup se-sudah misi ini dan menyelamatkan Hera, Leo takkan pernah merasakan reuni yang bahagia. Dia takkan pernah berkumpul lagi dengan keluarganya. Dia takkan pernah bertemu ibunya lagi. Helikopter bergetar. Logam berderit, dan Leo hampir bisa membayangkan bahwa deritan itu berupa kode Morse: Belum usai. Belum usai. Leo menyeimbangkan helikopter, dan deritan itu pun berhenti. Dia cuma berkhayal. Dia tidak bisa memikirkan ibunya terus, atau ide yang terus saja merongrongnya — bahwa Gaea mengeluarkan jiwa-jiwa dari Dunia Bawah —jadi kenapa Leo tidak memanfaatkannya saja? Berpikir seperti itu bakal membuatnya gila. Leo punya pekerjaan yang harus dituntaskan. Leo

membiarkan instingnya mengambil alih —sama seperti menerbangkan helikopter. Jika dia terlalu memikirkan misi tersebut, atau apa yang mungkin terjadi sesudahnya, dia bakal panik. Triknya adalah tidak berpikir —dijalani saja. "Tiga puluh menit lagi," kata Leo kepada teman-temannya, meskipun dia tak yakin bagaimana dia bisa tahu. "Kalau kalian ingin istirahat, sekaranglah saat yang bagus." *** Jason mengeratkan sabuk pengaman di kursi belakang helikopter dan tertidur hampir seketika. Piper dan Leo tetap terjaga. Setelah keheningan yang canggung selama beberapa menit, Leo berkata, "Ayahmu pasti baik-baik saja, kautahu. Tak seorang pun bakal mengganggu ayahmu selama kambing gila itu ada di dekatnya." [ 512 ] Leo Piper melirik ke samping, dan Leo terperanjat menyaksikan bagaimana Piper telah berubah. Bukan hanya secara fisik. Kehadirannya lebih terasa. Dia sepertinya lebih eksis. Di Sekolah Alam Liar, Piper menghabiskan semester itu dengan cara berusaha tak terlihat, bersembunyi di baris belakang kelas, bagian belakang bus, pojok kantin, sejauh mungkin dari anak-anak yang berisik. Kini, mustahil melewatkan Piper. Tak peduli apa pun yang dikenakannya —kita pasti akan melihatnya. "Ayahku," kata Piper serius. "Iya, aku tahu. Aku sedang me-mikirkan Jason. Aku mengkhawatirkannya." Leo mengangguk. Semakin dekat mereka dengan kumpulan awan gelap itu, Leo semakin khawatir juga. "Dia mulai ingat. Itu pasti membuatnya agak tegang." "Tapi, bagaimana seandainya dia adalah orang yang berbeda?" Leo berpikiran sama. Jika Kabut dapat memengaruhi memori mereka, mungkinkah kepribadian Jason hanya ilusi juga? Jika teman mereka bukan teman mereka, dan mereka tengah menuju griya terkutuk —tempat berbahaya bagi demigod—apa yang bakal terjadi seandainya seluruh ingatan Jason pulih kembali di tengah-tengah pertempuran? "Tidak lah," Leo memutuskan. "Sesudah semua yang telah kita lewati? Aku tidak bisa membayangkannya. Kita ini tim. Jason pasti bisa mengatasi dilemanya." Piper merapikan rok birunya, yang robek-robek dan terbakar gara-gara pertempuran mereka di Gunung Diablo. "Kuharap kau benar. Aku membutuhkannya ..." Piper berdeham. "Maksudku aku harus memercayainya ..." "Aku tahu," kata Leo. Setelah menyaksikan ayahnya luluh lantak seperti tadi, Leo mengerti Piper tidak boleh kehilangan Jason juga. Piper baru saja menyaksikan Tristan McLean, ayahnya,

sang bintang film yang keren dan memesona, nyaris jadi gila. Leo saja hampir tak sanggup menyaksikan itu, tapi bagi Piper —Wah, Leo bahkan tak bisa membayangkannya. Leo menduga kejadian tadi bakal membuat Piper tak yakin dengan dirinya sendiri. Jika kelemahan adalah sifat turunan, Piper pasti bertanya-tanya, mungkinkah dia bisa hilang kendali seperti ayahnya? "Hei, jangan cemas," kata Leo. "Piper, kau Ratu Kecantikan yang paling kuat dan paling perkasa yang pernah kutemui. Kau bisa memercayai dirimu sendiri. Paling tidak, kau bisa memercayaiku juga." Helikopter menukik karena diempaskan angin, dan Leo nyaris saja terlompat kaget. Dia menyumpah-nyumpah dan kembali memperbaiki posisi helikopter. Piper tertawa gugup. "Memercayaimu, ya?" "Ah, tutup mulut sajalah." Tapi Leo menyeringai kepada Piper, dan selama sedetik, rasanya Leo cuma sedang bersantai dengan nyaman bersama seorang teman. Kemudian mereka berpapasan dengan awan badai.[]