BAB EMPAT PULUH DELAPAN LEO

BAB EMPAT PULUH DELAPAN LEO

PADA MULANYA, LEO MENGIRA BATU —BATULAH yang meng-hantam kaca depan. Kemudian dia menyadari bahwa biang keroknya adalah es. Bunga es terbentuk di pinggiran kaca, sedang-kan butir- butir es turun dengan deras sehingga menghalangi penglihatan Leo. "Badai es?" teriak Piper, melampaui bunyi mesin dan angin. "Apa memang di Sonoma sedingin ini?" Leo tidak yakin, tapi badai ini terkesan jahat dan disengaja —seolah-olah memang berniat mencelakakan mereka. Jason bangun dengan cepat. Dia merayap ke depan, mencengkeram kursi mereka untuk menyeimbangkan diri. "Kira pasti sudah dekat." Leo tidak menjawab, sebab dia terlalu sibuk bergulat dengan tongkat kendali. Tiba-tiba saja mengemudikan helikopter tidak lagi mudah. Gerakan helikopter jadi lambat dan tersendat-sendat. Seluruh mesinnya bergetar di tengah terpaan angin sedingin es. Helikopter itu barangkali tidak dipersiapkan untuk terbang

pada cuaca dingin. Panel kendalinya menolak merespons, dan ketinggian mereka mulai merosot. Di bawah mereka, tanahnya berupa hamparan kegelapan yang dipenuhi pepohonan dan kabut. Bubungan bukit menjulang di hadapan mereka dan Leo pun menarik tongkat kendali, hampir saja mengenai puncak-puncak pohon. "Di sana!" teriak Jason. Sebuah lembah kecil terbentang di depan mereka. Di tengah-tengah lembah, terdapat bentuk samar sebuah bangunan. Leo mengarahkan helikopter lurus ke sana. Di sekeliling mereka bermunculan kilatan cahaya yang mengingatkan Leo akan sensor laser di pekarangan Midas. Pohon-pohon meledak dan hancur berkeping-keping di tepi bukaan tersebut. Sosok- sosok samar bergerak di tengah-tengah kabut. Pertempuran sepertinya tengah berlangsung di mana- mana. Leo mendaratkan helikopter di lapangan berlapis es kira-kira empat puluh lima meter dari rumah dan mematikan mesin. Leo sudah hampir merasa rileks ketika dia mendengar siulan dan melihat sebentuk benda gelap melesat ke arah mereka di tengah-tengah kabut. "Keluar!" teriak Leo. Mereka melompat dari helikopter dan baru saja keluar dari jangkauan baling-balingnya sebelum bunyi DUAR dahsyat mengguncangkan tanah, menjatuhkan Leo hingga sekujur tubuh-nya berlumuran es. Leo bangkit sambil gemetaran dan melihat bahwa bola salju terbesar di dunia —gumpalan salju, es, dan tanah seukuran garasi —telah membuat helikopter Bell 412 gepeng. "Kau baik-baik saja?" Jason lari menghampiri Leo, Piper di sisinya. Mereka berdua kelihatannya baik-baik saja, hanya kena cipratan salju dan Lumpur. [ 516 ] "Iya." Leo menggigil. "Kurasa kita berutang helikopter baru pada wanita tadi." Piper menunjuk ke selatan. "Pertempurannya ada di sebelah sana." Kemudian dia mengerutkan kening. "Tidak pertem-purannya ada di sekeliling kita." Piper benar. Bunyi pertempuran berkumandang di seluruh lembah. Susah melihat dengan jelas karena ada salju dan kabut, tapi tampaknya terdapat lingkaran pertempuran di sekitar Rumah Serigala. Di belakang mereka menjulanglah rumah impian Jack London —reruntuhan mahabesar yang terdiri dari batu merah serta kelabu dan palang-palang kayu kasar. Leo bisa membayangkan seperti pada cuaca dingin. Panel kendalinya menolak merespons, dan ketinggian mereka mulai merosot. Di bawah mereka, tanahnya berupa hamparan kegelapan yang dipenuhi pepohonan dan kabut. Bubungan bukit menjulang di hadapan mereka dan Leo pun menarik tongkat kendali, hampir saja mengenai puncak-puncak pohon. "Di sana!" teriak Jason. Sebuah lembah kecil terbentang di depan mereka. Di tengah-tengah lembah, terdapat bentuk samar sebuah bangunan. Leo mengarahkan helikopter lurus ke sana. Di sekeliling mereka bermunculan kilatan cahaya yang mengingatkan Leo akan sensor laser di pekarangan Midas. Pohon-pohon meledak dan hancur berkeping-keping di tepi bukaan tersebut. Sosok- sosok samar bergerak di tengah-tengah kabut. Pertempuran sepertinya tengah berlangsung di mana- mana. Leo mendaratkan helikopter di lapangan berlapis es kira-kira empat puluh lima meter dari rumah dan mematikan mesin. Leo sudah hampir merasa rileks ketika dia mendengar siulan dan melihat sebentuk benda gelap melesat ke arah mereka di tengah-tengah kabut. "Keluar!" teriak Leo. Mereka melompat dari helikopter dan baru saja keluar dari jangkauan baling-balingnya sebelum bunyi DUAR dahsyat mengguncangkan tanah, menjatuhkan Leo hingga sekujur tubuh-nya berlumuran es. Leo bangkit sambil gemetaran dan melihat bahwa bola salju terbesar di dunia —gumpalan salju, es, dan tanah seukuran garasi —telah membuat helikopter Bell 412 gepeng. "Kau baik-baik saja?" Jason lari menghampiri Leo, Piper di sisinya. Mereka berdua kelihatannya baik-baik saja, hanya kena cipratan salju dan Lumpur. [ 516 ] "Iya." Leo menggigil. "Kurasa kita berutang helikopter baru pada wanita tadi." Piper menunjuk ke selatan. "Pertempurannya ada di sebelah sana." Kemudian dia mengerutkan kening. "Tidak pertem-purannya ada di sekeliling kita." Piper benar. Bunyi pertempuran berkumandang di seluruh lembah. Susah melihat dengan jelas karena ada salju dan kabut, tapi tampaknya terdapat lingkaran pertempuran di sekitar Rumah Serigala. Di belakang mereka menjulanglah rumah impian Jack London —reruntuhan mahabesar yang terdiri dari batu merah serta kelabu dan palang-palang kayu kasar. Leo bisa membayangkan seperti

Thalia berdiri dan mengambil anak panahnya lagi, tapi mata panah tersebut patah. "Itu panah terakhirku." Thalia menendang gundukan tanah liat dengan sebal. "Ogre bodoh." "Tapi tembakanmu bagus," kata Leo. Thalia mengabaikan Leo seperti biasa (tak diragukan lagi bermakna bahwa Thalia menganggap Leo keren seperti biasa). Dia memeluk Jason dan mengangguk kepada Piper. "Tepat waktu. Para Pemburuku bertahan di perimeter griya, tapi kami bakalan kalah jumlah tidak lama lagi." "Kalah jumlah dibandingkan Anak Bumi?" tanya Jason. "Dan serigala —anak buah Lycaon." Thalia meniup bercak salju dari hidungnya. "Juga roh-roh badai —" "Tapi kami sudah menyerahkan mereka pada Aeolus!" protes Piper. "Yang berusaha membunuh kita," Leo mengingatkannya. "Mungkin dia membantu Gaea lagi." "Entahlah," ujar Thalia. "Tapi para monster terus saja mewujud kembali, hampir secepat kami membunuh mereka. Kami merebut Rumah Serigala tanpa kesulitan: mengagetkan para penjaga dan langsung mengirim mereka ke Tartarus. Tapi kemudian datanglah badai salju ganjil ini. Monster mulai menyerang secara bergelombang. Sekarang kami terkepung. Aku tak tahu siapa atau apa yang memimpin penyerbuan, tapi menurutku mereka sudah merencanakan ini. Ini adalah jebakan bagi siapa pun yang mencoba menyelamatkan Hera." "Di mana dia?" tanya Jason. "Di dalam," kata Thalia. "Kami mencoba membebaskannya, tapi kami tak tahu cara membuka kurungan. Matahari terbenam beberapa menit lagi. Menurut Hera, saat itulah Porphyrion bakal lahir kembali. Selain itu, sebagian monster lebih kuat di malam hari. Seandainya kita tak segera membebaskan Hera —" Thalia tidak perlu menyelesaikan pengandaian itu. Leo, Jason, dan Piper mengikuti Thalia ke dalam griya yang porak-poranda. *** Jason melangkahi ambang pintu dan serta-merta ambruk. "Heir Leo menangkapnya. "Hati-hati, Bung. Ada apa?" "Tempat ini ..." Jason menggeleng-gelengkan kepala. "Maaf Aku teringat begitu saja." kau pernah ke sini," ujar Piper. "Kami berdua pernah ke sini," kata Thalia. Ekspresinya muram, seperti sedang menceritakan kematian seseorang. "Ke sinilah ibuku membawa kami ketika Jason masih kecil. Ibuku meninggalkan Jason di sini, memberitahuku bahwa dia sudah mati. Dia menghilang begitu saja." "Dia menyerahkanku pada para serigala," gumam Jason. "Atas paksaan Hera. Dia menyerahkanku pada Lupa." "Bagian itu aku tidak tahu." Thalia mengerutkan kening. "Siapa itu Lupa?" Sebuah ledakan mengguncangkan bangunan. Tepat di luar, awan jamur biru membubung, menghasilkan hujan salju dan es bagaikan ledakan nuklir yang dingin alih-alih panas. "Mungkin ini bukan waktunya untuk bertanya," tukas Leo. "Antar kami ke sang dewi." Begitu berada di dalam, Jason sepertinya pulih kembali. Rumah itu dibangun membentuk huruf U raksasa, dan Jason membimbing mereka melewati kedua sayap bangunan Thalia berdiri dan mengambil anak panahnya lagi, tapi mata panah tersebut patah. "Itu panah terakhirku." Thalia menendang gundukan tanah liat dengan sebal. "Ogre bodoh." "Tapi tembakanmu bagus," kata Leo. Thalia mengabaikan Leo seperti biasa (tak diragukan lagi bermakna bahwa Thalia menganggap Leo keren seperti biasa). Dia memeluk Jason dan mengangguk kepada Piper. "Tepat waktu. Para Pemburuku bertahan di perimeter griya, tapi kami bakalan kalah jumlah tidak lama lagi." "Kalah jumlah dibandingkan Anak Bumi?" tanya Jason. "Dan serigala —anak buah Lycaon." Thalia meniup bercak salju dari hidungnya. "Juga roh-roh badai —" "Tapi kami sudah menyerahkan mereka pada Aeolus!" protes Piper. "Yang berusaha membunuh kita," Leo mengingatkannya. "Mungkin dia membantu Gaea lagi." "Entahlah," ujar Thalia. "Tapi para monster terus saja mewujud kembali, hampir secepat kami membunuh mereka. Kami merebut Rumah Serigala tanpa kesulitan: mengagetkan para penjaga dan langsung mengirim mereka ke Tartarus. Tapi kemudian datanglah badai salju ganjil ini. Monster mulai menyerang secara bergelombang. Sekarang kami terkepung. Aku tak tahu siapa atau apa yang memimpin penyerbuan, tapi menurutku mereka sudah merencanakan ini. Ini adalah jebakan bagi siapa pun yang mencoba menyelamatkan Hera." "Di mana dia?" tanya Jason. "Di dalam," kata Thalia. "Kami mencoba membebaskannya, tapi kami tak tahu cara membuka kurungan. Matahari terbenam beberapa menit lagi. Menurut Hera, saat itulah Porphyrion bakal lahir kembali. Selain itu, sebagian monster lebih kuat di malam hari. Seandainya kita tak segera membebaskan Hera —" Thalia tidak perlu menyelesaikan pengandaian itu. Leo, Jason, dan Piper mengikuti Thalia ke dalam griya yang porak-poranda. *** Jason melangkahi ambang pintu dan serta-merta ambruk. "Heir Leo menangkapnya. "Hati-hati, Bung. Ada apa?" "Tempat ini ..." Jason menggeleng-gelengkan kepala. "Maaf Aku teringat begitu saja." kau pernah ke sini," ujar Piper. "Kami berdua pernah ke sini," kata Thalia. Ekspresinya muram, seperti sedang menceritakan kematian seseorang. "Ke sinilah ibuku membawa kami ketika Jason masih kecil. Ibuku meninggalkan Jason di sini, memberitahuku bahwa dia sudah mati. Dia menghilang begitu saja." "Dia menyerahkanku pada para serigala," gumam Jason. "Atas paksaan Hera. Dia menyerahkanku pada Lupa." "Bagian itu aku tidak tahu." Thalia mengerutkan kening. "Siapa itu Lupa?" Sebuah ledakan mengguncangkan bangunan. Tepat di luar, awan jamur biru membubung, menghasilkan hujan salju dan es bagaikan ledakan nuklir yang dingin alih-alih panas. "Mungkin ini bukan waktunya untuk bertanya," tukas Leo. "Antar kami ke sang dewi." Begitu berada di dalam, Jason sepertinya pulih kembali. Rumah itu dibangun membentuk huruf U raksasa, dan Jason membimbing mereka melewati kedua sayap bangunan

dua pilar dari batu dan sulur akar yang telah merekah keluar dari fondasi. Salah satu pilar jauh lebih besar —massa hitam padat setinggi kira-kira enam meter, dan menurut Leo bentuknya seperti kantong mayat dari batu. Di bawah kumpulan sulur yang menyatu, Leo dapat melihat bentuk sebuah kepala, bahu lebar, dada serta lengan mahabesar, seperti makhluk yang terbenam di tanah sampai sepinggang. Bukan, bukan terbenam —tumbuh. Di seberangnya kolam itu, terdapat pilar lain yang lebih kecil dan jalinannya lebih longgar. Tiap sulur setebal tiang telepon, sedangkan rongga-rongganya demikian sempit sehingga Leo ragu lengannya bisa lewat. Walau begitu, dia bisa melihat ke dalam. Dan di tengah-tengah kurungan itu berdirilah Tia Callida. Dia persis seperti yang diingat Leo: rambut hitam yang ditutupi selendang, jubah hitam ala janda, wajah keriput dengan mata mengerikan yang berkilat-kilat. Dia tidak berpendar atau memancarkan kekuatan sama sekali. Dia terlihat seperti manusia fana biasa, layaknya pengasuh lama Leo yang sinting. Leo menjatuhkan diri ke dalam kolam dan mendekati kurungan tersebut. "Hola, Ti'a. Ada masalah kecil, ya?" Wanita itu bersedekap dan mendesah jengkel. "Jangan amati aku seperti salah satu mesinmu, Leo Valdez. Keluarkan aku dari sini!" Thalia melangkah ke samping Leo dan memandangi kurungan itu dengan sebal —atau mungkin dia sedang memandangi sang dewi. "Kami sudah mencoba semua cara yang terpikir oleh kami, Leo, tapi mungkin hatiku sebenarnya tak sudi. Kalau terserah aku, akan kubiarkan saja dia di sana." "Ohh, Thalia Grace," kata sang Dewi. "Ketika aku keluar dari sini, kau akan menyesal dirimu pernah dilahirkan." "Sudahlah!" bentak Thalia. "Kau sudah membawa petaka bagi semua anak Zeus selama berabad-abad. Kau mengutus sekawanan sapi mencret untuk mengejar temanku Annabeth —" "Dia bersikap kurang ajar!" "Kau menjatuhkan patung ke kakiku." "Itu kecelakaan!" "Dan kau mengambil adikku!" Suara Thalia pecah karena emosi. "Di sini —di tempat ini. Kau menghancurkan hidup kami. Semestinya kami serahkan raja kau pada Gaea!" "Hei," potong Jason. "Thalia —Kak—aku tahu. Tapi ini bukan waktunya. Kau sebaiknya membantu para Pemburu." Thalia mengatupkan rahangnya. "Baiklah. Demi kau, Jason. Tapi kalau kautanya pendapatku, dia tak layak diselamatkan." Thalia berbalik, melompat keluar dari kolam, dan mening-galkan bangunan sambil bersungut-sungut. Leo menoleh kepada Hera, mau tak mau angkat topi. "Sapi mencret?" "Fokuskan perhatianmu pada kurungan, Leo," gerutu Hera. "Dan Jason —kau lebih bijaksana daripada kakakmu. Aku sudah memilih jagoanku dengan tepat." "Aku bukan jagoan Anda, Nyonya," kata Jason. "Aku cuma membantu Anda karena Anda telah mencuri ingatanku dan menyelamatkan Anda masih lebih baik, dibandingkan dengan alternatif yang satu lagi. Ngomong- ngomong, itu apa?" Jason mengangguk ke pilar satu lagi yang menyerupai kantong mayat granit ukuran raksasa. Apakah Leo cuma berkhayal, ataukah pilar itu memang makin tinggi sejak mereka sampai di sini? "Itu, Jason," kata Hera, "adalah raja raksasa yang tengah dilahirkan kembali." "Jijik," kata Piper. [ 522 ] LEO "Benar sekali," kata Hera. "Porphyrion, yang terkuat di antara kaumnya. Gaea membutuhkan kekuatan yang besar untuk membangkitkannya lagi —kekuatanku. Selama berminggu-minggu aku semakin lemah sementara esensiku digunakan untuk menum-buhkan wujud baru bagi Porphyrion." "Jadi, Anda seperti lampu inframerah," tebak Leo. "Atau pupuk." Sang dewi memelototinya, tapi Leo tak peduli. Wanita tua ini telah membuat hidupnya sengsara sejak dia bayi. Dia berhak mempermainkan wanita tersebut.

"Bercandalah sesukamu," kata Hera dengan nada judes. "Tapi saat matahari terbenam, semuanya sudah terlambat. Sang raksasa akan terbangun. Dia akan menawariku pilihan: menikahinya, atau dimakan oleh bumi. Dan aku talc bisa menikahinya. Kita semua akan binasa. Dan saat kita mati, Gaea akan terjaga." Leo memandang pilar si raksasa sambil mengerutkan kening. "Tak bisakah kita ledakkan pilar itu atau apalah?" "Tanpa aku, kalian tak memiliki kekuatan," kata Hera. "Tak ada bedanya dengan mencoba meledakkan gunung.” "Kami sudah melakukan itu sekali hari ini," kata Jason. "Bergegas sajalah dan

bebaskan aku!" tuntut Hera. Jason menggaruk-garuk kepala. "Leo, bisa kau melakukannya?" "Entahlah." Leo berusaha tidak panik. "Lagi pula, kalau dia dewi, kenapa dia tak membobol kurungannya sendiri?" Hera mondar-mandir dengan gusar dalam kurungannya, mengumpat dalam bahasa Yunani Kuno. "Pakai otakmu, Leo Valdez. Aku memilihmu karena kau pintar. Begitu terperangkap, kekuatan seorang dewa tak dapat digunakan. Ayahmu sendiri pernah memerangkapku di kursi emas. Sungguh memalukan! Aku harus mengemis-ngemis —mengemis-ngemis kepadanya agar

membebaskanku dan minta maaf karena sudah mengusirnya dari Olympus." "Kedengarannya adil," Leo berkata. Hera memelototi Leo dengan galak. "Aku memperhatikanmu sejak kecil, Putra Hephaestus, sebab aku tahu kau bisa membantuku saat ini. Jika ada yang bisa menemukan cara untuk menghancurkan benda terkutuk ini, kaulah orangnya." "Tapi ini bukan mesin. Justru kelihatannya Gaea menjulurkan tangannya dari tanah dan ..." Leo merasa puling. Larik ramalan mereka muncul kembali dalam benaknya: Pahl besi dan merpati `lean patahkan sangkar. "Tunggu sebentar. Aku memang punya ide. Piper, aku membutuhkan pertolonganmu. Dan kita bakalan membutuhkan waktu." Udara mendadak jadi dingin. Temperatur turun sedemikian cepat sampai-sampai bibir Leo pecah-pecah dan napasnya berubah menjadi kabut. Bunga es melapisi dinding Rumah Serigala. Para ventus menyerbu masuk —tapi alih-alih berupa pria bersayap, mereka berbentuk seperti kuda dengan tubuh gelap dari awan badai dan surai yang berkilat-kilat karena petir. Sebagian tertusuk panah perak di bagian samping. Di belakang mereka masuklah serigala bermata merah dan Anak Bumi bertangan enam. Piper menghunus belatinya. Jason menyambar papan berlapis es dari lantai kolam. Leo merogoh sabuk perkakasnya, tapi dia begitu terguncang sampai-sampai yang dia keluarkan hanyalah sekaleng permen penyegar napas rasa mint. Leo menjejalkan kaleng permen itu kembali, berharap semoga tak ada yang memperhatikan, dan mengeluarkan godam sebagai gantinya. Salah satu serigala menapak maju. Serigala tersebut menyeret patung seukuran manusia dengan cara menggigit kakinya. Di tepi kolam, si serigala membuka mulutnya dan menjatuhkan patung itu [ 524 ] LEO untuk mereka lihat —patung es seorang gadis, pemanah berambut pendek cepak dan bermimik terkejut. "Thalia!" Jason buru-buru maju, tapi Piper dan Leo menariknya ke belakang. Tanah di sekeliling Thalia sudah mengeras karena jejaring es. Leo khawatir kalau Jason menyentuh Thalia, dia jugs akan membeku. "Siapa yang melakukan ini?" teriak Jason. Tubuhnya berderak dialiri listrik. 'Akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri!" Danbelakang para monster, Leo mendengar tawa seorang gadis, jernih dan dingin. Gadis itu melangkah keluar dari tengah-tengah kabut dalam balutan gaun putih saljunya, mahkota perak bertengger di rambut hitam panjangnya. Gadis tersebut memandangi mereka dengan mata cokelat tua yang menurut Leo teramat cantik di Quebec. "Bonsoir, mes amis," ujar Khione, sang Dewi Salju. Dia membebaskanku dan minta maaf karena sudah mengusirnya dari Olympus." "Kedengarannya adil," Leo berkata. Hera memelototi Leo dengan galak. "Aku memperhatikanmu sejak kecil, Putra Hephaestus, sebab aku tahu kau bisa membantuku saat ini. Jika ada yang bisa menemukan cara untuk menghancurkan benda terkutuk ini, kaulah orangnya." "Tapi ini bukan mesin. Justru kelihatannya Gaea menjulurkan tangannya dari tanah dan ..." Leo merasa puling. Larik ramalan mereka muncul kembali dalam benaknya: Pahl besi dan merpati `lean patahkan sangkar. "Tunggu sebentar. Aku memang punya ide. Piper, aku membutuhkan pertolonganmu. Dan kita bakalan membutuhkan waktu." Udara mendadak jadi dingin. Temperatur turun sedemikian cepat sampai-sampai bibir Leo pecah-pecah dan napasnya berubah menjadi kabut. Bunga es melapisi dinding Rumah Serigala. Para ventus menyerbu masuk —tapi alih-alih berupa pria bersayap, mereka berbentuk seperti kuda dengan tubuh gelap dari awan badai dan surai yang berkilat-kilat karena petir. Sebagian tertusuk panah perak di bagian samping. Di belakang mereka masuklah serigala bermata merah dan Anak Bumi bertangan enam. Piper menghunus belatinya. Jason menyambar papan berlapis es dari lantai kolam. Leo merogoh sabuk perkakasnya, tapi dia begitu terguncang sampai-sampai yang dia keluarkan hanyalah sekaleng permen penyegar napas rasa mint. Leo menjejalkan kaleng permen itu kembali, berharap semoga tak ada yang memperhatikan, dan mengeluarkan godam sebagai gantinya. Salah satu serigala menapak maju. Serigala tersebut menyeret patung seukuran manusia dengan cara menggigit kakinya. Di tepi kolam, si serigala membuka mulutnya dan menjatuhkan patung itu [ 524 ] LEO untuk mereka lihat —patung es seorang gadis, pemanah berambut pendek cepak dan bermimik terkejut. "Thalia!" Jason buru-buru maju, tapi Piper dan Leo menariknya ke belakang. Tanah di sekeliling Thalia sudah mengeras karena jejaring es. Leo khawatir kalau Jason menyentuh Thalia, dia jugs akan membeku. "Siapa yang melakukan ini?" teriak Jason. Tubuhnya berderak dialiri listrik. 'Akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri!" Danbelakang para monster, Leo mendengar tawa seorang gadis, jernih dan dingin. Gadis itu melangkah keluar dari tengah-tengah kabut dalam balutan gaun putih saljunya, mahkota perak bertengger di rambut hitam panjangnya. Gadis tersebut memandangi mereka dengan mata cokelat tua yang menurut Leo teramat cantik di Quebec. "Bonsoir, mes amis," ujar Khione, sang Dewi Salju. Dia