BAB TIGA PULUH TIGA PIPER

BAB TIGA PULUH TIGA PIPER

PIPER TERBANGUN DALAM KEADAAN DINGIN dan menggigil. Dia bermimpi buruk tentang lelaki tua berkuping keledai yang mengejar-ngejarnya lalu berteriak, Kena kau! "Ya ampun." Gigi Piper bergemeletuk. "Dia mengubahku jadi emas!" "Kau tak apa-apa sekarang." Jason mencondongkan badan

dan menyampirkan selimut hangat ke tubuh Piper, namun dia masih merasa sedingin Boread. Piper berkedip, mencoba mencari tahu di mana mereka berada. Di sampingnya, api unggun berkobar-kobar, menjadikan udara pekat menusuk karena asap. Cahaya api berkedip-kedip, dilatarbelakangi dinding batu. Mereka tengah berada dalam gua dangkal, namun gua tersebut kurang menyediakan perlindungan. Di luar, angin melolong. Salju bertiup ke samping. Hari mungkin masih siang atau sudah malam. Badai membuat suasana terlalu gelap sehingga sulit untuk menentukannya. "L-L-Leo?" Piper berhasil berkata- kata. "Hadir dan sudah bebas emas." Leo juga terbungkus selimut. Leo tidak terlihat prima, tapi lebih baik daripada Piper. "Aku dapat perawatan logam berharga juga," katanya. "Tapi aku pulih lebih cepat. Entah apa sebabnya. Kami harus membenamkanmu ke sungai untuk memulihkanmu sepenuhnya. Berusaha mengering-kanmu, tapi udaranya amat sangat dingin." "Kau kena hipotermia," kata Jason. "Kami mengambil risiko, memberimu nektar sebanyak mungkin. Pak Pelatih Hedge me-ngeluarkan sedikit sihir alam —" "Kedokteran olahraga." Wajah jelek sang pelatih menjulang di atas Piper. "Itu hobiku, kurang- lebih. Napasmu mungkin akan berbau seperti jamur liar dan minuman berenergi selama beberapa hari, tapi nanti juga hilang. Kau barangkali takkan mati. Barangkali." "Makasih," kata Piper lemah. "Bagaimana caramu mengalahkan Midas?" Jason menceritakan kisahnya kepada Piper, menyatakan bahwa keberuntunganlah yang terutama pegang peranan. Sang pelatih mendengus. "Bocah ini bersikap rendah hati. Kau seharusnya melihat dia. Ciaat! Sabet! Sambar dengan petir!" "Pak Pelatih, Bapak bahkan tidak melihatnya," kata Jason. "Bapak sedang di luar makan rumput halaman." Tapi sang satir baru pemanasan. "Kemudian aku masuk dengan pentunganku, dan kami mendominasi ruangan itu. Sesudahnya, kubilang padanya, `Bocah, aku bangga padamu! Kalau saja kau bisa memperbaiki kekuatan tubuh bagian atasmu —'" "Pak Pelatih," ujar Jason. "Iya?" "Tolong tutup mulut." "Tentu." Sang pelatih duduk di depan api dan mulai me-ngunyah pentungannya.

Jason menempelkan tangan di kening Piper dan memeriksa temperaturnya. "Leo, bisakah kaubesarkan apinya?" "Siap." Leo memanggil gumpalan api seukuran bola bisbol dan melemparkannya ke api unggun. "Apa penampilanku seburuk itu?" Piper menggigil. "Tidak," kata Jason. "Kau pembohong yang payah," kata Piper. "Di mana kita?" "Pikes Peak," Jason berkata. "Colorado." "Tapi itu kan, berapa —delapan ratus kilo dari Omaha?" "Kira-kira segitu," Jason sepakat. "Kukekang roh-roh badai untuk membawa kita sejauh ini. Mereka tidak suka —melaju sedikit lebih cepat daripada yang kuinginkan, hampir menabrakkan kita ke sisi gunung sebelum aku bisa mengembalikan mereka ke tas. Aku tak akan mencoba itu lagi." "Kenapa kita di sini?" Leo menyedot ingus. "Itulah yang kutanyakan padanya." Jason menatap badai seakan tengah menantikan sesuatu. "Jejak angin berkelip yang kita lihat kemarin? Jejak itu masih ada di langit, walaupun sudah pudar sekali. Aku mengikutinya sampai aku tak bisa melihatnya lagi. Lalu--sejujurnya aku juga tidak yakin. Aku cuma merasa inilah tempat yang tepat untuk berhenti." "Tentu saja." Pak Pelatih Hedge meludahkan serpihan kayu pentungan. "Istana apung Aeolus semestinya ditambatkan di atas kita, tepat di puncak. Ini adalah salah satu tempat favoritnya untuk berlabuh." "Mungkin itulah sebabnya." Jason mengerutkan alis. "Entah-lah. Ada alasan lain juga ..." "Para Pemburu menuju barat," Piper teringat. "Apa menurutmu mereka berada di sekitar sini?" Jason menggosok-gosok lengan bawahnya, seolah tatonya mengganggunya. "Menurutku tak mungkin ada orang yang bisa bertahan hidup di gunung saat ini. Badainya lumayan besar. Ini sudah malam sebelum titik balik matahari musim dingin, tapi kita tak punya banyak pilihan selain menunggu badai Jason menempelkan tangan di kening Piper dan memeriksa temperaturnya. "Leo, bisakah kaubesarkan apinya?" "Siap." Leo memanggil gumpalan api seukuran bola bisbol dan melemparkannya ke api unggun. "Apa penampilanku seburuk itu?" Piper menggigil. "Tidak," kata Jason. "Kau pembohong yang payah," kata Piper. "Di mana kita?" "Pikes Peak," Jason berkata. "Colorado." "Tapi itu kan, berapa —delapan ratus kilo dari Omaha?" "Kira-kira segitu," Jason sepakat. "Kukekang roh-roh badai untuk membawa kita sejauh ini. Mereka tidak suka —melaju sedikit lebih cepat daripada yang kuinginkan, hampir menabrakkan kita ke sisi gunung sebelum aku bisa mengembalikan mereka ke tas. Aku tak akan mencoba itu lagi." "Kenapa kita di sini?" Leo menyedot ingus. "Itulah yang kutanyakan padanya." Jason menatap badai seakan tengah menantikan sesuatu. "Jejak angin berkelip yang kita lihat kemarin? Jejak itu masih ada di langit, walaupun sudah pudar sekali. Aku mengikutinya sampai aku tak bisa melihatnya lagi. Lalu--sejujurnya aku juga tidak yakin. Aku cuma merasa inilah tempat yang tepat untuk berhenti." "Tentu saja." Pak Pelatih Hedge meludahkan serpihan kayu pentungan. "Istana apung Aeolus semestinya ditambatkan di atas kita, tepat di puncak. Ini adalah salah satu tempat favoritnya untuk berlabuh." "Mungkin itulah sebabnya." Jason mengerutkan alis. "Entah-lah. Ada alasan lain juga ..." "Para Pemburu menuju barat," Piper teringat. "Apa menurutmu mereka berada di sekitar sini?" Jason menggosok-gosok lengan bawahnya, seolah tatonya mengganggunya. "Menurutku tak mungkin ada orang yang bisa bertahan hidup di gunung saat ini. Badainya lumayan besar. Ini sudah malam sebelum titik balik matahari musim dingin, tapi kita tak punya banyak pilihan selain menunggu badai

para raksasa yang merupakan putra Tartarus, dan tentang Leo yang kehilangan teman dalam perjalanan. Piper mencoba berkonsentrasi pada sesuatu yang bagus: pelukan Jason, kehangatan yang pelan-pelan menyebar ke seluruh tubuhnya, tapi dia ketakutan. "Aku tak mengerti. Jika demigod dan dewa harus bekerja sama untuk membunuh raksasa, kenapa para dewa membisu? Jika mereka membutuhkan kita — " "Ha," kata Pak Pelatih Hedge. "Para dewa membenci fakta bahwa mereka membutuhkan manusia. Mereka ingin dibutuhkan oleh manusia, bukan sebaliknya. Keadaan harus bertambah buruk dulu sebelum Zeus mengakui dia membuat kekeliruan saat menutup Olympus." "Pak Pelatih," ujar Piper, "yang barusan hampir-hampir bisa disebut komentar pintar." Hedge mendengus. "Apo? Aku memang Aku tak heran kalian bocah-bocah lembek belum pernah dengar tentang Perang Raksasa. Para dewa tak suka membicarakannya. Jelek buat pencitraan jika mereka mengaku butuh manusia fana untuk membantu mengalahkan musuh. Yang seperti itu sangat memalukan." "Tapi ada lagi," ujar Jason. "Waktu aku bermimpi tentang Hera dalam kurungannya, dia bilang bahwa Zeus bersikap paranoid, lebih daripada biasanya. Dan Hera —dia bilang dia mendatangi reruntuhan itu karena sebuah suara berbicara dalam kepalanya. Bagaimana seandainya seseorang memengaruhi para dewa, seperti Medea memengaruhi kita?" Piper bergidik. Dia punya pemikiran serupa —bahwa suatu kekuatan yang tidak dapat mereka lihat sedang melakukan manipulasi di balik layar, membantu para raksasa. Mungkin kekuatan yang sama juga menginformasikan pergerakan mereka kepada Enceladus, dan bahkan menjatuhkan naga mereka dari langit di atas Detroit. Barangkali Wanita Tanah yang dilihat Leo, atau salah satu abdinya yang lain ... Leo meletakkan roti hamburger di wajan untuk dipanggang. "Iya, Hephaestus mengatakan sesuatu yang mirip, bahwa Zeus bertingkah lebih aneh daripada biasanya. Tapi yang mengusikku adalah hal yang tidak dikatakan ayahku. Misalnya saat dia beberapa kali membicarakan demigod, serta betapa dia punya banyak anak demigod dan sebagainya. Entahlah. Dia menyiratkan bahwa mengumpulkan semua demigod terhebat jadi satu adalah tindakan yang mendekati mustahil —dia juga menyiratkan bahwa Hera sedang mencobanya, tapi menurutnya itu adalah tindakan yang benar-benar bodoh. Lalu ada juga rahasia yang tak boleh diberitahukan Hephaestus padaku." Jason bergeser. Piper bisa merasakan ketegangan di lengan pemuda itu. "Chiron juga sama waktu di perkemahan," ujar Jason. "Dia menyebut- para raksasa yang merupakan putra Tartarus, dan tentang Leo yang kehilangan teman dalam perjalanan. Piper mencoba berkonsentrasi pada sesuatu yang bagus: pelukan Jason, kehangatan yang pelan-pelan menyebar ke seluruh tubuhnya, tapi dia ketakutan. "Aku tak mengerti. Jika demigod dan dewa harus bekerja sama untuk membunuh raksasa, kenapa para dewa membisu? Jika mereka membutuhkan kita — " "Ha," kata Pak Pelatih Hedge. "Para dewa membenci fakta bahwa mereka membutuhkan manusia. Mereka ingin dibutuhkan oleh manusia, bukan sebaliknya. Keadaan harus bertambah buruk dulu sebelum Zeus mengakui dia membuat kekeliruan saat menutup Olympus." "Pak Pelatih," ujar Piper, "yang barusan hampir-hampir bisa disebut komentar pintar." Hedge mendengus. "Apo? Aku memang Aku tak heran kalian bocah-bocah lembek belum pernah dengar tentang Perang Raksasa. Para dewa tak suka membicarakannya. Jelek buat pencitraan jika mereka mengaku butuh manusia fana untuk membantu mengalahkan musuh. Yang seperti itu sangat memalukan." "Tapi ada lagi," ujar Jason. "Waktu aku bermimpi tentang Hera dalam kurungannya, dia bilang bahwa Zeus bersikap paranoid, lebih daripada biasanya. Dan Hera —dia bilang dia mendatangi reruntuhan itu karena sebuah suara berbicara dalam kepalanya. Bagaimana seandainya seseorang memengaruhi para dewa, seperti Medea memengaruhi kita?" Piper bergidik. Dia punya pemikiran serupa —bahwa suatu kekuatan yang tidak dapat mereka lihat sedang melakukan manipulasi di balik layar, membantu para raksasa. Mungkin kekuatan yang sama juga menginformasikan pergerakan mereka kepada Enceladus, dan bahkan menjatuhkan naga mereka dari langit di atas Detroit. Barangkali Wanita Tanah yang dilihat Leo, atau salah satu abdinya yang lain ... Leo meletakkan roti hamburger di wajan untuk dipanggang. "Iya, Hephaestus mengatakan sesuatu yang mirip, bahwa Zeus bertingkah lebih aneh daripada biasanya. Tapi yang mengusikku adalah hal yang tidak dikatakan ayahku. Misalnya saat dia beberapa kali membicarakan demigod, serta betapa dia punya banyak anak demigod dan sebagainya. Entahlah. Dia menyiratkan bahwa mengumpulkan semua demigod terhebat jadi satu adalah tindakan yang mendekati mustahil —dia juga menyiratkan bahwa Hera sedang mencobanya, tapi menurutnya itu adalah tindakan yang benar-benar bodoh. Lalu ada juga rahasia yang tak boleh diberitahukan Hephaestus padaku." Jason bergeser. Piper bisa merasakan ketegangan di lengan pemuda itu. "Chiron juga sama waktu di perkemahan," ujar Jason. "Dia menyebut-

"Wow." Piper berusaha tidak memandang teman-temannya. "Benar-benar susah dipercaya." Pak Pelatih memberengut. "Iya, kemudian akhirnya kami berperang melawan para Titan, dan apakah mereka menempatkanku di garis depan? Tidak! Mereka mengutusku sejauh mungkin —perbatasan Kanada, bisakah kalian percaya itu? Lalu sesudah perang, mereka menyuruhku merumput. Sekolah Alam Liar. Bah! Seakan aku ini sudah ketuaan sehingga tidak bisa membantu lagi, cuma gara-gara aku bertindak agresif. Dasar anggota Dewan kebanyakan omong —mengoceh tentang alam liar." "Kukira satir suka alam liar," selidik Piper. "Memang, aku suka sekali alam liar," kata Hedge. "Alam liar berarti: makhluk- makhluk besar membunuh dan memakan makhluk-makhluk kecil! Dan seandainya kalian adalah —kalian tahu —satir yang kurang tinggi sepertiku, kalian akan menjaga tubuh agar tetap bugar, membawa pentungan besar, dan kalian jangan mau diremehkan siapa saja! Itulah yang namanya alam liar." Hedge mendengus muak. "Satir-satir banyak omong. Omong-omong, kuharap kau membuat masakan vegetarian, Valdez. Aku tidak makan daging." "Iya, Pak Pelatih. Jangan makan pentungan Bapak. Aku punya burger tahu kok. Piper vegetarian juga. Sebentar lagi kumasakkan." Bau burger yang digoreng memenuhi udara. Piper biasanya benci bau daging yang dimasak, tapi perutnya keroncongan seperti ingin memberontak. Aku tidak tahan, pikir Piper. Pikirkan brokoli. Wortel. Lentil. Bukan cuma perut Piper yang memberontak. Berbaring di dekat api, sementara Jason memeluknya, nurani Piper bagaikan peluru panas yang bergerak pelan-pelan menuju hatinya. Semua rasa bersalah yang telah dia simpan selama seminggu terakhir, sejak . Enceladus sang raksasa kali pertama mengiriminya mimpi, serasa hendak membunuhnya. Teman-teman Piper ingin menolongnya. Jason bahkan mengatakan dia mau berjalan ke dalam perangkap demi menyelamatkan ayah Piper. Dan Piper mengesampingkan mereka. Setahu Piper, dia bisa saja sudah mendatangkan petaka bagi ayahnya ketika dia menyerang Medea. Piper menahan isak tangis. Mungkin dia telah melakukan hal yang benar di Chicago saat menyelamatkan teman-temannya, namun dia cuma mengulur-ulur waktu. Dia tidak sanggup mengkhianati teman-temannya, tapi bagian kecil dari dirinya cukup putus asa sehingga berpikir, Bagaimana kalau aku mengkhianati mereka? Piper mencoba membayangkan apa yang akan dikatakan ayahnya. Eh, Ayah, kalau kapan-kapan Ayah dibelenggu oleh raksasa kanibal dan aku harus mengkhianati dua orang teman untuk menyelamatkan Ayah, aku harus berbuat apa? Lucu, hal itu tidak pernah muncul ketika mereka main Tiga Pertanyaan Apa Saja. Ayahnya takkan pernah menganggap serius pertanyaan itu, tentu saja. Dia barangkali akan mengisahkan salah satu dongeng lama Kakek Tom —sesuatu tentang landak berpendar dan burung yang bisa bicara—dan kemudian menertawakan cerita itu seolah-olah sarannya itu konyol. Piper berharap dia bisa mengingat kakeknya dengan lebih baik. Kadang-kadang dia memimpikan rumah dua kamar di Oklahoma itu. Dia bertanya-tanya bagaimana rasanya tumbuh besar di sana. Ayahnya bakal mengira Piper sinting. Dia

menghabiskan seumur hidupnya untuk melarikan diri dari tempat itu, menjauhkan diri dari penampungan, memainkan peran apa saja kecuali orang Indian. Dia selalu memberi tahu Piper betapa putrinya itu beruntung karena tumbuh besar dalam keadaan kaya dan terawat, dalam sebuah rumah bagus di California. Piper belajar merasa tidak nyaman dengan latar belakang etnisnya —seperti foto lama Ayah dari tahun delapan puluhan, ketika dia mengenakan bulu di rambut dan pakaian aneh. Percayakah kau aku pernah berpenampilan seperti itu? kata Ayah. Menjadi Cherokee juga terasa seperti itu bagi Ayah —lucu dan agak memalukan. Tapi kalau mereka bukan orang Cherokee, lalu mereka itu apa? Ayah sepertinya tidak tahu. Mungkin itulah sebabnya dia selalu tidak bahagia, bergonta-ganti peran. Mungkin itulah sebabnya Piper mulai mencuri, mencari sesuatu yang tak dapat diberikan ayahnya kepadanya. Leo meletakkan burger tahu di wajan. Angin terus mengamuk. Piper memikirkan sebuah kisah lama yang pernah diceritakan ayahnya kepadanya kisah yang mungkin bisa menjawab sebagian pertanyaan Piper. * * Suatu hari di kelas dua, Piper pulang sambil menangis dan menuntut penjelasan apa sebabnya ayahnya menamainya Piper. Anak-anak menertawakannya karena Piper Cherokee adalah sejenis pesawat terbang. Ayahnya tertawa, seolah-olah hal tersebut tak pernah terbetik di benaknya. "Bukan, Pipes, bukan pesawat terbang. Bukan itu arti namamu. Kakek Tom yang memilih namamu. Pertama kalinya dia mendengarmu menangis, dia bilang kau memiliki suara yang kuat —lebih indah daripada suara yang dapat dihasilkan oleh peniup seruling alang-alang mana pun. Dia bilang kau akan belajar menyanyikan lagu-lagu Cherokee yang paling sukar, bahkan lagu ular." "Lagu ular?" Ayah mengisahkan legenda tersebut kepada Piper —bagaimana suatu hari seorang wanita Cherokee melihat seekor ular bermain terlalu dekat dengan anak-anaknya dan membunuh ular itu dengan batu, tidak menyadari bahwa is adalah raja ular derik. Ular-ular bersiap untuk berperang melawan umat manusia, tapi suami wanita tersebut berusaha berdamai. Dia berjanji akan melakukan apa saja untuk membayar kerugian kaum ular derik. Para ular memegang janjinya. Mereka menyuruhnya mengirim istrinya ke sumur supaya ular-ular dapat menggigitnya dan mencabut nyawa wanita itu sebagai imbalan. Pria tersebut hancur hatinya, namun dia melakukan hal itu. Sesudah itu, kaum ular begitu terkesan karena pria tersebut harus berkorban sedemikian besar namun tetap menepati janjinya. Mereka mengajarinya lagu ular untuk dipergunakan oleh semua orang Cherokee. Sejak saat itu, jika orang Cherokee bertemu ular dan menyanyikan lagu itu, si ular akan mengenali orang Cherokee tersebut sebagai kawan, dan takkan menggigit. "Mengerikan sekali!" kata Piper waktu itu. "Laki-laki itu membiarkan istrinya mati?" Ayahnya merentangkan tangan. "Itu pengorbanan yang berat. Tapi satu nyawa membawa perdamaian bergenerasi-generasi antara ular dan orang-orang Cherokee. Kakek Tom percaya bahwa musik Cherokee bisa memecahkan hampir semua masalah. Menurutnya, kau akan mengenal banyak lagu, dan menjadi musisi terhebat dalam keluarga. Itulah sebabnya kami menamaimu Piper —peniup seruling." Pengorbanan yang berat. Apakah kakeknya telah melihat sesuatu mengenai Piper, bahkan saat dia masih bayi? Apakah

Kakek merasakan bahwa Piper adalah anak Aphrodite? Ayahnya barangkali akan mengatakan kepada Piper bahwa itu gila. Kakek Tom bukan oracle. Tapi tetap saja ... Piper telah menjanjikan uluran tangannya dalam misi ini. Teman-temannya mengandalkannya. Mereka telah menyelamatkannya ketika

Midas mengubahnya jadi emas. Mereka menghidupkannya kembali. Dia tidak bisa membalas budi dengan dusta. *** Lambat laun, Piper mulai merasa lebih hangat. Dia berhenti menggigil dan menyandar ke dada Jason. Leo menyajikan makanan. Piper tidak mau bergerak, bicara, atau melakukan apa pun untuk mengusik momen tersebut. Tapi dia harus melakukannya. "Kita harus bicara." Piper duduk tegak supaya tidak perlu menghadapi Jason. "Aku tak mau menyembunyikan apa-apa lagi dari kalian." Mereka memandang Piper dengan mulut penuh burger. Sudah terlambat untuk berubah pikiran sekarang. "Tiga malam sebelum perjalanan ke Grand Canyon," kata Piper, "aku mendapat visi dalam mimpi —seorang raksasa memberitahuku bahwa ayahku telah ditawan. Dia menyuruhku untuk bekerja sama, atau ayahku akan dibunuh." Api meretih. Akhirnya Jason berkata, "Enceladus? Kau pernah menyebut nama itu sebelumnya." Pak Pelatih Hedge bersiul. "Raksasa besar. Punya napas api. Bukan seseorang yang ingin kuajak bersenang-senang." Jason memberinya ekspresi tutup mulut. "Piper, lanjutkan. Apa yang terjadi kemudian?" "Aku —aku mencoba menghubungi ayahku, tapi aku hanya tersambung ke asisten pribadinya, dan dia memberitahuku agar jangan khawatir." "Jane?" Leo teringat. "Bukankah Medea bilang dia mengontrol Jane?" Piper mengangguk. "Supaya ayahku kembali, aku harus menyabotase misi ini. Aku tak tahu bahwa kita bertigalah yang akan menjalani misi. Lalu setelah kita memulai misi ini, Enceladus mengirimiku peringatan lagi. Dia bilang dia ingin kalian berdua mati. Dia ingin aku menuntun kalian ke gunung. Aku tak tahu persis gunung yang mana, tapi letaknya di Area Teluk —aku bisa melihat Jembatan Golden Gate dari puncaknya. Aku harus sudah berada di sana pada tengah hari saat titik balik matahari musim dingin, besok. Untuk sebuah pertukaran." Piper tidak bisa menatap mata teman-temannya. Dia me-nunggu mereka membentak-bentaknya, atau memunggunginya, atau mengusirnya ke tengah- tengah badai salju. Tapi, Jason justru beringsut ke samping Piper dan merangkul-nya lagi. "Ya ampun, Piper. Aku ikut berduka." Leo mengangguk. "Betul. Kau sudah membawa-bawa beban ini selama hampir seminggu? Piper, kami bisa membantumu." Piper memelototi mereka. "Kenapa kalian tidak membentak-bentakku atau semacamnya? Aku kan diperintahkan untuk membunuh kalian!" "Aduh, sudahlah," kata Jason. "Kau sudah menyelamatkan kami berdua dalam misi ini. Aku akan mempertaruhkan nyawaku di tanganmu kapan saja." "Sama," ujar Leo. "Boleh aku minta dipeluk juga?" "Kahan tidak paham!" kata Piper. "Aku barangkali baru saja membunuh ayahku, saat memberitahukan ini pada kalian."

"Kuragukan." Pak Pelatih Hedge beserdawa. Dia memakan burger tahu yang dijepit piring kertas, mengunyah semuanya seperti taco. "Raksasa itu belum mendapatkan apa yang dia inginkan, jadi dia masih membutuhkan ayahmu untuk mendongkrak posisinya dalam tawar-menawar ini. Dia akan menunggu sampai tenggat waktunya lewat, mencari tahu apakah kau datang. Dia ingin kau menyimpangkan misi ini ke gunung, kan?" Piper mengangguk tak yakin. "Jadi, itu berarti Hera ditahan di tempat lain," Hedge ber-argumen. "Dan dia harus diselamatkan pada hari yang sama. Jadi, kau harus memilih —menyelamatkan ayahmu, atau menye-lamatkan Hera. Jika kau mengejar Hera, setelah itu baru Enceladus membereskan ayahmu. Lagi pula, Enceladus takkan mem-biarkanmu pergi meskipun kau mau bekerja sama. Kau jelas-jelas merupakan salah satu dari tujuh demigod dalam Ramalan Besar." Salah satu dari tujuh demigod. Piper pernah membicarakan ini sebelumnya dengan Jason serta Leo, dan

Piper rasa itu pasti benar, tapi dia masih kesulitan memercayainya. Piper tidak merasa sepenting itu. Dia cuma anak bodoh Aphrodite. Bagaimana mungkin dia layak dikelabui dan dibunuh? kita tak punya pilihan," ujar Piper merana. "Kita harus menyelamatkan Hera, atau raja raksasa bakal terbebas. Itulah misi kita. Dunia bergantung padanya. Dan Enceladus tampaknya punya cara untuk mengawasiku. Dia tidak bodoh. Dia bakalan tahu kalau kita mengubah arah, menuju arah yang keliru. Dia pasti membunuh ayahku." "Dia takkan membunuh ayahmu," kata Leo. "Kita akan menyelamatkannya." "Kita tak punya waktu!" seru Piper. "Lagi pula, itu jebakan." "Kami temanmu, Ratu Kecantikan," ujar Leo. "Kami takkan membiarkan ayahmu meninggal. Kita hanya harus menyusun rencana yang baik." Pak Pelatih Hedge menggeram sepakat. "Akan membantu jika kita tahu letak gunung tersebut. Mungkin Aeolus bisa memberitahumu. Area Teluk punya reputasi jelek bagi demigod. Rumah lama para Titan, Gunung Othrys, bertengger di atas Gunung Tam, tempat Atlas menopang langit. Kuharap bukan gunung itu yang kaulihat." Piper mencoba mengingat-ingat pemandangan dalam mimpinya. "Kurasa bukan. Letaknya di daratan." Jason memandang api sambil mengerutkan kening, seperti sedang berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Reputasi jelek rasanya tidak tepat. Area Teluk ..." "Kau pernah ke sana?" tanya Piper. "Aku ..." Jason kelihatannya telah berada di ambang suatu pencerahan. Lalu kesedihan kembali ke matanya. "Entahlah. Pak Hedge, apa yang terjadi di Gunung Othrys?" Hedge menggigit kertas dan burger lagi. "Yah, Kronos membangun istana baru di sana musim panas lalu. Bangunan besar seram, akan dijadikan markas besar untuk kerajaan barunya dan sebagainya. Tapi, tidak terjadi pertempuran di sana. Kronos berderap ke Manhattan, berusaha merebut Olympus. Kalau tidak salah, dia meninggalkan beberapa Titan lain untuk menjaga istananya, tapi setelah Kronos kalah di Manhattan, istana tersebut runtuh sendiri." "Tidak," kata Jason. Semua memandangnya. "Apa maksudmu `Tidak'?" tanya Leo. "Bukan begitu kejadiannya. Aku —" Jason menegang, menoleh ke pintu gua. "Kahan dengar itu?" Selama sedetik, tidak terdengar apa-apa. Lalu Piper men-dengarnya: lolongan yang membelah malam.