BAB EMPAT PULUH LIMA PIPER
BAB EMPAT PULUH LIMA PIPER
MEMINJAM HELIKOPTER ADALAH PERKARA MUDAH. Menaikkan ayahnya ke helikopterlah yang tidak gampang. Piper hanya perlu mengutarakan beberapa patah kata lewat megafon buatan Leo untuk meyakinkan sang pilot agar mendarat di gunung. Helikopter Jagawana berukuran cukup besar untuk evakuasi medis atau proses pencarian dan penyelamatan korban bencana, dan ketika Piper memberi tahu pilot jagawana yang teramat ramah bahwa menerbangkan mereka ke Bandara Oakland adalah ide hebat, wanita itu serta-merta setuju. "Tidak," gumam ayah Piper selagi mereka naik, meninggalkan tanah. "Piper, apa —ada monster—ada monster—" Piper membutuhkan pertolongan Leo dan Jason untuk memegangi ayahnya, sementara Pak Pelatih Hedge mengumpulkan perbekalan mereka. Untungnya Hedge telah mengenakan celana dan sepatunya kembali, jadi Piper tidak perlu menjelaskan kaki kambingnya. Hati Piper hancur melihat ayahnya seperti ini —terdorong hingga melampaui titik kewarasan, menangis seperti anak kecil. Piper tidak tahu apa persisnya yang telah dilakukan si raksasa pada ayahnya, bagaimana para monster telah menghancurkan jiwa ayahnya, tapi menurut Piper dia takkan tahan jika tahu. "Semuanya pasti baik-baik saja, Yah," kata Piper, membuat suaranya semenenangkan mungkin. Dia tidak mau menggunakan charmspeak untuk ayahnya sendiri, tapi sepertinya charmspeak adalah satu-satunya cara. "Orang-orang ini temanku. Kami akan menolong Ayah. Ayah aman sekarang." Ayahnya berkedip, dan memandang baling-baling helikopter. "Bilah tajam. Mereka punya mesin dengan banyak sekali bilah tajam. Mereka punya enam tangan ..." Ketika mereka memapah ayah Piper ke pintu helikopter, sang pilot menghampiri untuk membantu. "Kenapa dia?" tanya wanita itu. "Menghirup asap," tukas Jason. "Atau kelelahan karena sengatan panas." "Sebaiknya kita antar dia ke rumah sakit," kata sang pilot.
"Tidak apa-apa," kata Piper. "Bandara saja sudah cukup." "Iya, bandara saja sudah cukup," sang pilot langsung setuju. Kemudian dia mengerutkan kening, seolah tidak yakin apa sebabnya dia berubah pikiran. "Bukankah dia Tristan McLean, sang bintang film?" "Bukan," ujar Piper. "Dia cuma mirip bintang film itu. Lupakan saja." "Iya," kata sang pilot. "Cuma mirip bintang film itu. Aku —" Dia berkedip, kebingungan. "Aku lupa apa yang kukatakan. Ayo berangkat." Jason mengangkat alis kepada Piper, jelas- jelas terkesan, namun Piper merasa menderita. Dia tidak mau mengacaukan pikiran orang-orang, meyakinkan mereka akan hal yang tidak mereka percayai. Rasanya teramat sok dan keliru —seperti sesuatu
yang bakal dilakukan Drew di perkemahan, atau Medea di toko serbaada jahatnya. Dan bagaimana pula charmspeak dapat mem-bantu ayahnya? Piper tidak bisa meyakinkannya bahwa semua bakalan baik- baik saja, atau bahwa tak ada yang terjadi. Traumanya terlalu dalam. Akhirnya mereka menaikkan ayah Piper, dan helikopter pun berangkat. Sang pilot terus-menerus memperoleh pertanyaan dari radio, menanyakan dia hendak ke mana, tapi dia mengabaikan semuanya. Mereka menikung, menjauhi gunung yang dilanda kebakaran dan menuju Perbukitan Berkeley. "Piper." Ayahnya mencengkeram tangannya dan berpegangan seakan takut jatuh. "Ini benar-benar kau? Mereka memberitahuku — mereka memberitahuku bahwa kau akan mati. Mereka bilang hal-hal buruk akan terjadi." "Ini aku, Yah." Piper harus mengerahkan segenap tekadnya agar tidak menangis. Piper harus tegar demi ayahnya. "Semuanya pasti akan baik-baik saja." "Mereka monster," kata ayahnya. "Monster sungguhan. Roh bumi, persis seperti dalam dongeng Kakek Tom —dan Ibu Pertiwi marah padaku. Dan si raksasa, menyemburkan api —" Dia memfokuskan perhatian pada Piper lagi, matanya seperti kaca pecah, memancarkan cahaya yang ganjil. "Mereka bilang kau demigod. Ibumu ..." "Aphrodite," ujar Piper. "Dewi Cinta." "Aku —aku—" Dia menarik napas dengan susah payah, lalu sepertinya lupa mengembuskannya lagi. Teman-teman Piper berhati-hati agar tidak menonton. Leo memain-mainkan mur dari sabuk perkakasnya. Jason menatap lembah di bawah —jalanan macet ketika para manusia fana menghentikan mobil dan memandangi kebakaran di gunung sambil melongo. Gleeson mengunyah puntung anyelirnya, dan sekali ini sang satir tidak terlihat antusias untuk berteriak-teriak atau menyombong. Tristan McLean tak seharusnya tampak seperti ini. Dia seorang bintang. Dia percaya diri, modis, memesona —selalu pegang kendali diri. Itulah citra publik yang diproyeksikannya. Piper pernah melihat citra itu terbuyarkan sebelumnya. Tapi ini lain. Kini citra tersebut hancur lebur, lenyap. "Aku tidak tahu tentang Ibu," Piper memberi tahu ayahnya. "Tidak sampai Ayah diculik. Ketika kami menemukan di mana Ayah berada, kami langsung datang. Teman-temanku membantuku. Takkan ada yang menyakiti Ayah lagi." Ayahnya tak bisa berhenti menggigil. "Kahan pahlawan —kau dan teman-temanmu. Aku tak percaya. Kau pahlawan sungguhan, bukan seperti aku. Bukan berakting. Aku bangga sekali padamu, Pipes." Tapi kata-kata itu digumamkan dengan lesu, seperti ucapan orang yang setengah radar. Ayah Piper menatap lembah di bawah, dan cengkeramannya di tangan Piper mengendur. "Ibumu tak pernah memberitahuku." "Dia bilang itulah yang terbaik." Alasan seperti itu kedengar-annya basi, bagi Piper sekalipun, dan charmspeak sebanyak apa pun tak bisa mengubahnya. Tapi Piper tidak memberi tahu ayahnya hal yang sesungguhnya dikhawatirkan Aphrodite: Jika dia harus menghabiskan sisa hidupnya dengan ingatan itu, mengetahui bahwa dewa-dewi dan roh-roh berjalan di muka bumi ini, kenyataan tersebut akan membuatnya remuk redam. Piper meraba-raba bagian dalam saku jaketnya. Vial itu masih berada di yang bakal dilakukan Drew di perkemahan, atau Medea di toko serbaada jahatnya. Dan bagaimana pula charmspeak dapat mem-bantu ayahnya? Piper tidak bisa meyakinkannya bahwa semua bakalan baik- baik saja, atau bahwa tak ada yang terjadi. Traumanya terlalu dalam. Akhirnya mereka menaikkan ayah Piper, dan helikopter pun berangkat. Sang pilot terus-menerus memperoleh pertanyaan dari radio, menanyakan dia hendak ke mana, tapi dia mengabaikan semuanya. Mereka menikung, menjauhi gunung yang dilanda kebakaran dan menuju Perbukitan Berkeley. "Piper." Ayahnya mencengkeram tangannya dan berpegangan seakan takut jatuh. "Ini benar-benar kau? Mereka memberitahuku — mereka memberitahuku bahwa kau akan mati. Mereka bilang hal-hal buruk akan terjadi." "Ini aku, Yah." Piper harus mengerahkan segenap tekadnya agar tidak menangis. Piper harus tegar demi ayahnya. "Semuanya pasti akan baik-baik saja." "Mereka monster," kata ayahnya. "Monster sungguhan. Roh bumi, persis seperti dalam dongeng Kakek Tom —dan Ibu Pertiwi marah padaku. Dan si raksasa, menyemburkan api —" Dia memfokuskan perhatian pada Piper lagi, matanya seperti kaca pecah, memancarkan cahaya yang ganjil. "Mereka bilang kau demigod. Ibumu ..." "Aphrodite," ujar Piper. "Dewi Cinta." "Aku —aku—" Dia menarik napas dengan susah payah, lalu sepertinya lupa mengembuskannya lagi. Teman-teman Piper berhati-hati agar tidak menonton. Leo memain-mainkan mur dari sabuk perkakasnya. Jason menatap lembah di bawah —jalanan macet ketika para manusia fana menghentikan mobil dan memandangi kebakaran di gunung sambil melongo. Gleeson mengunyah puntung anyelirnya, dan sekali ini sang satir tidak terlihat antusias untuk berteriak-teriak atau menyombong. Tristan McLean tak seharusnya tampak seperti ini. Dia seorang bintang. Dia percaya diri, modis, memesona —selalu pegang kendali diri. Itulah citra publik yang diproyeksikannya. Piper pernah melihat citra itu terbuyarkan sebelumnya. Tapi ini lain. Kini citra tersebut hancur lebur, lenyap. "Aku tidak tahu tentang Ibu," Piper memberi tahu ayahnya. "Tidak sampai Ayah diculik. Ketika kami menemukan di mana Ayah berada, kami langsung datang. Teman-temanku membantuku. Takkan ada yang menyakiti Ayah lagi." Ayahnya tak bisa berhenti menggigil. "Kahan pahlawan —kau dan teman-temanmu. Aku tak percaya. Kau pahlawan sungguhan, bukan seperti aku. Bukan berakting. Aku bangga sekali padamu, Pipes." Tapi kata-kata itu digumamkan dengan lesu, seperti ucapan orang yang setengah radar. Ayah Piper menatap lembah di bawah, dan cengkeramannya di tangan Piper mengendur. "Ibumu tak pernah memberitahuku." "Dia bilang itulah yang terbaik." Alasan seperti itu kedengar-annya basi, bagi Piper sekalipun, dan charmspeak sebanyak apa pun tak bisa mengubahnya. Tapi Piper tidak memberi tahu ayahnya hal yang sesungguhnya dikhawatirkan Aphrodite: Jika dia harus menghabiskan sisa hidupnya dengan ingatan itu, mengetahui bahwa dewa-dewi dan roh-roh berjalan di muka bumi ini, kenyataan tersebut akan membuatnya remuk redam. Piper meraba-raba bagian dalam saku jaketnya. Vial itu masih berada di
sebaliknya. Ayahnya takkan mengirimnya pergi lagi sekarang. Mereka memiliki rahasia bersama. Bagaimana mungkin Piper mau kembali ke keadaan semula? Piper menggandeng tangan ayahnya, bicara kepadanya mengenai hal-hal kecil —waktu yang dihabiskannya di Sekolah Alam Liar, pondok di Perkemahan Blasteran. Piper menceritakan bagaimana Pak Pelatih Hedge memakan anyelir dan semaput di Gunung Diablo, bagaimana Leo menjinakkan seekor naga, dan bagaimana Jason membuat para serigala mundur hanya dengan berbicara dalam bahasa Latin. Teman-temannya tesenyum enggan saat Piper mengisahkan petualangan mereka. Ayah Piper tampaknya menjadi santai selagi putrinya berbicara, namun dia tidak tersenyum. Piper bahkan talc yakin apakah ayahnya mendengarnya. Selagi mereka melintasi perbukitan untuk menuju East Bay, Jason menegang. Dia mencondongkan badan sejauh mungkin ke luar ambang pintu. Piper khawatir dia bakal jatuh. Jason menunjuk. "Apo itu?" Piper melihat ke bawah, tapi dia tidak melihat apa pun yang menarik —cuma perbukitan, hutan, rumah-rumah, jalan kecil yang mengular menembus jurang. Jalan bebas hambatan yang menembus bukit, membentuk terowongan penghubung East Bay dengan kota-kota yang lebih jauh dari pesisir. "Mana?" tanya Piper. "Jalan itu," ujar Jason. "Jalan yang menembus perbukitan." Piper mengambil helm komunikasi yang diberikan pilot kepadanya dan menyampaikan pertanyaan itu lewat radio. Jawabannya tak terlalu menggairahkan. "Dia bilang itu Highway 24," Piper melaporkan. "Itu Terowongan Caldecott. Memangnya kenapa?" Jason menatap jalan masuk terowongan lekat-lekat, tapi dia tak berkata apa-apa. Terowongan tersebut menghilang dari pandangan selagi mereka terbang di atas pusat kota Oakland, tapi Jason masih menerawang ke kejauhan, ekspresinya hampir sama resahnya seperti ayah Piper. "Monster," ayah Piper berkata, air mata meninggalkan jejak di pipinya. "Aku hidup di dunia yang penuh monster." []