BAB DUA PULUH SEMBILAN LEO

BAB DUA PULUH SEMBILAN LEO

LEO TERUS MENENGOK KE BELAKANG. Dia menduga bakal melihat kedua naga matahari yang bengis itu menarik kereta perang terbang berpenumpang seorang pramuniaga sihir yang menjerit-jerit sambil melemparkan ramuan, tapi tak ada yang mengikuti mereka. Leo menyetir sang naga ke barat daya. Akhirnya, asap dari toko serbaada yang terbakar mengabur di kejauhan, tapi Leo tidak merasa rileks sampai pinggiran Chicago digantikan oleh ladang bersalju, dan matahari mulai terbenam. "Kerja bagus, Festus." Leo menepuk kulit logam sang naga. "Kau luar biasa." Sang naga menggeletar. Roda gigi berbunyi di lehernya. Leo mengerutkan kening. Dia tidak suka suara itu. Jika piringan pengendali rusak lagi —Tidak, moga-moga cuma kerusakan kecil. Sesuatu yang bisa dia perbaiki. "Akan kuganti olimu kali berikutnya kita mendarat," Leo berjanji. "Kau layak diberi oli motor dan saus Tabasco."

Festus memutar gigi-giginya, tapi itu sekalipun terdengar Irmah. la terbang dengan kecepatan tetap, sayap besarnya memiringkan untuk menangkap angin, tapi is membawa beban yang berat. dua kandang di cakarnya plus tiga orang di punggungnya —, semakin Leo memikirkannya, semakin dia merasa khawatir. Naga logam sekalipun punya batas. "Leo." Piper menepuk bahunya. "Kau baik-baik saja?" " Iya tidak jelek buat zombi yang baru dicuci otak." Leo hrrharap dia tidak tampak semalu yang dirasakannya. "Terima kasih sudah menyelamatkan kami di sana tadi, Ratu Kecantikan. Kalau kau tak bicara untuk menyadarkanku dari mantra itu —" "Sama-sama," ujar Piper. Tapi Leo amat khawatir. Dia merasa tidak enak karena gampang sekali bagi Medea untuk mengadu domba Leo dengan habatnya. Dan perasaan itu bukannya muncul sekonyong —rasa sebalnya karena Jason selalu mendapat sorotan dan sepertinya tidak benar-benar membutuhkan Leo. Leo memang merasa seperti itu kadang-kadang, sekali pun dia tidak bangga .akan perasaannya itu. Yang lebih mengusik Leo adalah kabar mengenai ibunya. Medea telah melihat masa depan saat di Dunia Bawah. Itulah sebabnya pelindung Medea, wanita berjubah tanah itu, datang ke bengkel mesin tujuh tahun lalu untuk menakut-nakuti Leo dan menghancurkan hidupnya. Itulah sebabnya ibu Leo meninggal —karena sesuatu yang mungkin dilakukan Leo kelak. Jadi, dengan cara yang ganjil, sekalipun kekuatan apinya tak bisa disalahkan, tetap saja kematian Ibu adalah salahnya. Ketika mereka meninggalkan Medea di toko yang meledak itu, Leo merasa sedikit lebih senang. Dia berharap Medea tak bakal selamat, dan bakal langsung kembali ke Padang Hukuman,

tempat yang memang layak baginya. Tapi perasaan itu juga tidak membuat Leo bangga. Dan jika jiwa- jiwa kembali dari Dunia Bawah mungkinkah ibu Leo dapat dihidupkan kembali? Leo mencoba menyingkirkan gagasan tersebut. Itu cara berpikir Frankenstein. Itu tidak wajar. Itu tidak benar. Medea mungkin telah dihidupkan kembali, tapi dia sepertinya tidak manusiawi, dengan kuku yang berdesis serta kepala menyala-nyala dan sebagainya. Tidak, ibu Leo sudah berpulang. Berpikir sebaliknya hanya akan membuatnya gila. Walau begitu, pemikiran itu terus saja merongrong Leo, seperti gema suara Medea. "Kita harus turun sebentar lagi," Leo memperingatkan teman-temannya. "Sekitar dua jam lagi, mungkin, untuk memastikan Medea tidak membuntuti kita. Menurutku Festus tak bisa terbang lebih lama dari itu." "Iya," Piper setuju. "Pak Pelatih Hedge barangkali ingin keluar dari kandang kenarinya juga. Pertanyaannya —kita mau ke mana?" "Area Teluk," tebak Leo. Ingatannya tentang kejadian di toko serbaada memang kabur, tapi dia sepertinya pernah mendengar tentang itu. "Bukankah Medea menyebut-nyebut sesuatu tentang Oakland?" Lama sekali Piper tidak merespons sampai-sampai Leo bertanya-tanya apakah dia telah mengucapkan sesuatu yang keliru. "Ayah Piper," timpal Jason. "Sesuatu terjadi pada ayahmu, kan? Dia dipancing ke dalam sebuah perangkap." Piper mengembuskan napas tempat yang memang layak baginya. Tapi perasaan itu juga tidak membuat Leo bangga. Dan jika jiwa- jiwa kembali dari Dunia Bawah mungkinkah ibu Leo dapat dihidupkan kembali? Leo mencoba menyingkirkan gagasan tersebut. Itu cara berpikir Frankenstein. Itu tidak wajar. Itu tidak benar. Medea mungkin telah dihidupkan kembali, tapi dia sepertinya tidak manusiawi, dengan kuku yang berdesis serta kepala menyala-nyala dan sebagainya. Tidak, ibu Leo sudah berpulang. Berpikir sebaliknya hanya akan membuatnya gila. Walau begitu, pemikiran itu terus saja merongrong Leo, seperti gema suara Medea. "Kita harus turun sebentar lagi," Leo memperingatkan teman-temannya. "Sekitar dua jam lagi, mungkin, untuk memastikan Medea tidak membuntuti kita. Menurutku Festus tak bisa terbang lebih lama dari itu." "Iya," Piper setuju. "Pak Pelatih Hedge barangkali ingin keluar dari kandang kenarinya juga. Pertanyaannya —kita mau ke mana?" "Area Teluk," tebak Leo. Ingatannya tentang kejadian di toko serbaada memang kabur, tapi dia sepertinya pernah mendengar tentang itu. "Bukankah Medea menyebut-nyebut sesuatu tentang Oakland?" Lama sekali Piper tidak merespons sampai-sampai Leo bertanya-tanya apakah dia telah mengucapkan sesuatu yang keliru. "Ayah Piper," timpal Jason. "Sesuatu terjadi pada ayahmu, kan? Dia dipancing ke dalam sebuah perangkap." Piper mengembuskan napas

"Oke, baiklah. Kau tidak suka satu nama pun yang kukarang untukmu. Tapi kalau ayahmu sedang dalam kesulitan dan kami bisa membantu —" "Kahan tidak bisa," kara Piper, suaranya semakin gemetar. "Dengar, aku capek. Kalau kau tidak keberatan Piper bersandar ke Jason dan memejamkan mata. Baiklah, pikir Leo —isyarat yang cukup jelas bahwa Piper tidak mau bicara. Mereka terbang dalam keheningan selama beberapa waktu. Festus tanipaknya tahu dia akan menuju mana. Dia melaju penuh kepastian, dengan lembut berbelok ke barat daya dan mudah-mudahan ke benteng Aeolus. Satu lagi dewa angin yang harus dikunjungi, satu lagi kegilaan rasa baru yang dapat dicicipi —Ya ampun, Leo sudah tidak sabar. Leo memikirkan banyak hal sehingga tidak bisa tidur, tapi kini setelah dia keluar dari bahaya, badannya punya ide lain. Tingkat energinya merosot tajam. Kepak sayap naga yang monoton membuat mata Leo terasa berat. Kepalanya mulai terangguk-angguk. "Tidur saja sebentar," kata Jason. "Tidak apa-apa. Ke sinikan kekangnya." "Tidak kok, aku tak apa —" "Leo," kata Jason, "kau kan bukan mesin. Lagi pula, akulah satu-satunya yang bisa melihat jejak gas itu. Akan kupastikan kita tak melenceng.), Mata Leo mulai terpejam. "Baiklah. Mungkin sebentar ..." Dia tidak menyelesaikan kalimat itu sebelum terkulai ke depan, menempel ke leher hangat sang naga. *** Dalam mimpinya, Leo mendengar bunyi listrik statis, seperti radio AM yang jelek: "Halo? Apa benda ini berfungsi?" Penglihatan Leo pun terfokus —kurang-lebih. Semuanya kabur dan kelabu, gelombang interferensi melintang di depan penglihatannya. Dia tak pernah bermimpi dengan sambungan yang jelek sebelumnya. Dia sepertinya tengah berada di sebuah bengkel. Dari ekor matanya Leo melihat meja penggergaji, bubut logam, dan sangkar perkakas. Sebuah penempaan yang merapat ke tembok berpendar crang. Itu bukan penempaan di perkemahan —terlalu besar. Bukan Bunker 9—lebih hangat dan lebih nyaman, kentara sekali penempaan ini tidak terbengkalai. Kemudian Leo menyadari bahwa sesuatu mengadang di tengah-tengah sudut pandangnya —sesuatu yang besar serta berbulu, dan begitu dekat sampai-sampai Leo harus menjerengkan mata untuk melihat dengan jelas. Sesuatu itu ternyata "Oke, baiklah. Kau tidak suka satu nama pun yang kukarang untukmu. Tapi kalau ayahmu sedang dalam kesulitan dan kami bisa membantu —" "Kahan tidak bisa," kara Piper, suaranya semakin gemetar. "Dengar, aku capek. Kalau kau tidak keberatan Piper bersandar ke Jason dan memejamkan mata. Baiklah, pikir Leo —isyarat yang cukup jelas bahwa Piper tidak mau bicara. Mereka terbang dalam keheningan selama beberapa waktu. Festus tanipaknya tahu dia akan menuju mana. Dia melaju penuh kepastian, dengan lembut berbelok ke barat daya dan mudah-mudahan ke benteng Aeolus. Satu lagi dewa angin yang harus dikunjungi, satu lagi kegilaan rasa baru yang dapat dicicipi —Ya ampun, Leo sudah tidak sabar. Leo memikirkan banyak hal sehingga tidak bisa tidur, tapi kini setelah dia keluar dari bahaya, badannya punya ide lain. Tingkat energinya merosot tajam. Kepak sayap naga yang monoton membuat mata Leo terasa berat. Kepalanya mulai terangguk-angguk. "Tidur saja sebentar," kata Jason. "Tidak apa-apa. Ke sinikan kekangnya." "Tidak kok, aku tak apa —" "Leo," kata Jason, "kau kan bukan mesin. Lagi pula, akulah satu-satunya yang bisa melihat jejak gas itu. Akan kupastikan kita tak melenceng.), Mata Leo mulai terpejam. "Baiklah. Mungkin sebentar ..." Dia tidak menyelesaikan kalimat itu sebelum terkulai ke depan, menempel ke leher hangat sang naga. *** Dalam mimpinya, Leo mendengar bunyi listrik statis, seperti radio AM yang jelek: "Halo? Apa benda ini berfungsi?" Penglihatan Leo pun terfokus —kurang-lebih. Semuanya kabur dan kelabu, gelombang interferensi melintang di depan penglihatannya. Dia tak pernah bermimpi dengan sambungan yang jelek sebelumnya. Dia sepertinya tengah berada di sebuah bengkel. Dari ekor matanya Leo melihat meja penggergaji, bubut logam, dan sangkar perkakas. Sebuah penempaan yang merapat ke tembok berpendar crang. Itu bukan penempaan di perkemahan —terlalu besar. Bukan Bunker 9—lebih hangat dan lebih nyaman, kentara sekali penempaan ini tidak terbengkalai. Kemudian Leo menyadari bahwa sesuatu mengadang di tengah-tengah sudut pandangnya —sesuatu yang besar serta berbulu, dan begitu dekat sampai-sampai Leo harus menjerengkan mata untuk melihat dengan jelas. Sesuatu itu ternyata

"Sekarang baru Anda muncul?" tuntutnya. "Setelah lima belas tahun? Didikan Anda sebagai orangtua sungguh hebat, Muka Bulu. Buat apa menampakkan batang hidung Anda ke dalam mimpiku?" Sang dewa mengangkat alis. Muncul bunga api kecil di janggutnya. Lalu dia menelengkan kepala ke belakang dan tertawa begitu lantang sampai-sampai perkakas di meja kerjanya berkelontangan. "Kau kedengarannya persis seperti ibumu," kata Hephaestus. "Aku merindukan Esperanza." "Ibuku sudah meninggal tujuh tahun lalu." Suara Leo gemetar. "Bukan berarti Anda peduli." "Tapi aku memang peduli, Bocah. Pada kalian berdua." "Begitu, ya? Itulah sebabnya aku tak pernah melihat Anda sebelum hari ini." Sang dewa mengeluarkan suara menggemuruh dari tenggorok-annya, tapi dia terlihat tidak enak hati alih-alih marah. Hephaestus mengeluarkan motor mini dari sakunya dan mulai memain-mainkan pistonnya tanpa radar —lama seperti tingkah Leo ketika dia sedang gugup. "Aku tak pandai menghadapi anak-anak," sang Dewa mengakui. "Atau orang-orang. Yah, bentuk kehidupan organik apa saja, sebenarnya. Aku mempertimbangkan untuk bicara kepadamu di pemakaman ibumu. Lalu lagi ketika kau kelas lima ... proyek sains yang kaubuat, pencabut bulu ayam bertenaga uap. Sangat mengesankan." "Anda melihat itu?" Hephaestus menunjuk meja kerja terdekat. Di sana, terdapat cermin perunggu mengilap yang menunjukkan gambar kabur Leo, sedang tidur di punggung naga. "Apa itu aku?" tanya Leo. "Maksudku —aku yang sekarang ini, sedang bermimpi—melihat diriku sendiri yang sedang bermimpi?" Hephaestus menggaruk-garuk janggutnya. "Sekarang kau yang membuatku bingung. Tapi ya —itu memang kau. Aku selalu mengawasimu, Leo. Tapi bicara kepadamu itu lain soal." "Anda takut," ujar Leo. "Demi roda gigi dan baut!" teriak sang Dewa. "Tentu saja tidak!" "Iya, Anda takut." Tapi amarah Leo sudah mereda. Dia menghabiskan bertahun-tahun untuk memikirkan apa yang akan dikatakannya kepada ayahnya andaikata mereka bertemu —betapa Leo bakal mencecarnya karena sudah menelantarkan dirinya dan ibunya. Kini, melihat cermin perunggu itu, Leo memikirkan ayahnya yang menyaksikan perkembangannya selama bertahun-tahun, bahkan eksperimen sainsnya yang konyol. Mungkin Hephaestus masih tetap ayah yang talc bertanggung jawab, tapi Leo memahaminya. Leo tahu rasanya kabur dari orang-orang, tidak cocok dengan orang-orang. Dia tahu rasanya bersembunyi di bengkel alih-alih mencoba menghadapi bentuk kehidupan organik. "Jadi," gerutu Leo, "apa Anda memantau pertumbuhan semua anak Anda? Anda punya kira-kira dua belas anak di perkemahan. Bagaimana pula Anda bisa —Lupakan saja. Aku talc mau tahu." Hephaestus mungkin saja tersipu, tapi wajahnya memang sudah babak belur dan merah sehingga sulit mengetahuinya. "Dewa-dewi berbeda dengan manusia fana, Bocah. Kami bisa eksis di banyak tempat sekaligus —di mana pun orang-orang memanggil kami, di tempat mana pun, di mana pengaruh kami tertanam kuat. Malahan, keseluruhan esensi kami jarang berkumpul di satu tempat —wujud sejati kami. Wujud sejati kami berbahaya, cukup kuat untuk menghancurkan manusia fana mana saja yang memandang kami. Jadi, ya banyak anak.

Belum lagi aspek kami yang berlainan, Yunani dan Romawi —" Jemari sang Dewa

membeku di mesin yang sedang digarapnya. "Mmm, singkatnya, menjadi dewa itu rumit. Dan ya, aku berusaha mengawasi semua anakku, tapi terutama kau." Leo lumayan yakin bahwa Hephaestus hampir keseleo lidah dan mengucapkan sesuatu yang penting, namun dia tidak yakin apakah itu. "Kenapa menghubungiku sekarang?" tanya Leo. "Kukira dewa-dewa telah membisu." "Memang," gerutu Hephaestus. "Perintah Zeus —sangat aneh, bahkan untuk ukuran Zeus. Dia memblokir semua visi, mimpi, dan pesan Iris yang ditujukan dan dikirim dari Olympus. Hermes duduk-duduk saja, kebosanan setengah mati karena dia tak boleh mengantarkan surat. Untungnya, aku menyimpan alat siaran bajakanku yang lama." Hephaestus menepuk-nepuk sebuah mesin di meja. Mesin itu kelihatannya seperti perpaduan antena parabola, mesin V-6, dan pembuat espreso. Tiap kali Hephaestus menyenggol mesin tersebut, mimpi Leo berkedip dan berubah warna. "Aku menggunakan ini waktu Perang Dingin," kata sang Dewa penuh kasih. "Radio Bebas Hephaestus. Zaman keemasan. Aku menyimpannya untuk nonton siaran pay- for-view, terutama, atau membuat video virus otak —" "Video virus otak?" "Tapi sekarang alat ini jadi bermanfaat lagi. Jika Zeus tahu aku menghubungimu, dia bakal menghajarku." "Kenapa Zeus bersikap begitu menyebalkan?" "Hah. Dia ahli dalam hal itu, Bocah." Hephaestus memanggilnya bocah seolah Leo adalah komponen mesin yang mengganggu —sekeping ring ekstra, barangkali, yang kegunaannya tidak jelas, tapi yang tidak ingin dibuang Hephaestus karena khawatir kalau-kalau dia bakal membutuhkannya lagi suatu hari. Sama sekali tidak menghibur hati. Tapi tentu saja, Leo tidak yakin dia ingin dipanggil "Nak." Leo juga tak bakalan mulai memanggil laki-laki besar jelek ini "Ayah." Hephaestus bosan dengan mesinnya dan membuang mesin tersebut ke balik pundaknya. Sebelum mesin tersebut sempat menabrak lantai, mesin itu mencuatkan baling-baling helikopter dan terbang sendiri ke dalam keranjang daur ulang. "Penyebabnya Perang Titan kedua, kurasa," kata Hephaestus. "Itulah sebabnya Zeus jadi resah. Kami para dewa jadi malu. Menurutku tak ada cara lain untuk mengatakannya." "Tapi kalian menang," kata Leo. Sang dewa menggeram. "Kami menang karena para demigod dari" —lagi-lagi dia bimbang, seakan dia hampir keseleo lidah —"dari Perkemahan Blasteran angkat senjata. Kami menang karena anak-anak kami bertarung dalam pertempuran kami untuk kami, lebih pandai daripada kami. Jika kami mengandalkan rencana Zeus, kami semua akan terjerumus ke dalam Tartarus selagi melawan Typhon si raksasa badai, dan Kronos pasti akan menang. Sudah cukup buruk bahwa para manusia fana memenangi perang kami untuk kami, tapi kemudian si anak muda kurang ajar itu, Percy Jackson —" "Cowok yang hilang." "Hmpfh. Ya. Dia. Dia berani-berani menolak tawaran hidup kekal dari kami dan menyuruh kami agar lebih memperhatikan anak-anak kami. Eh, jangan diambil hati." "Oh, mana mungkin kuambil hati? Silakan, terus saja abaikan aku." "Kau sungguh penuh pengertian ..." Hephaestus mengerutkan kening, lalu mendesah letih. "Itu sarkasme, ya? Mesin tidak memiliki sarkasme, biasanya. Tapi seperti yang tadi kukatakan, para dewa merasa malu, diajari oleh manusia fana. Pada mulanya,

tentu saja kami berterima kasih. Tapi setelah beberapa bulan, perasaan itu berubah menjadi kegetiran. Biar bagaimanapun, kami ini dewa. Kami harus dikagumi, diteladani, dipuja-puji dengan rasa takjub dan terpesona." "Meskipun kalian salah?" "Terutama saat kami salah! Dan saat Percy Jackson menolak hadiah kami, menyiratkan bahwa menjadi manusia fana entah bagaimana lebih baik daripada menjadi dewa yah, Zeus benar-benar gusar. Dia memutuskan sudah waktunya kembali ke nilai-nilai tradisional.

Dewa-dewi harus dihormati. Anak-anak kami hanya boleh dilihat dan tidak boleh dikunjungi. Olympus ditutup. Setidaknya itulah sebagian argumennya. Dan, tentu saja, kami mulai mendengar tentang hal-hal buruk yang bergolak di bawah bumi." "Para raksasa, maksud Anda. Monster yang seketika mewujud kembali. Yang mati bangkit kembali. Hal-hal sepele seperti itu?" "Betul, Bocah." Hephaestus memutar kenop di mesin siaran bajakannya. Mimpi Leo jadi tajam, berwarna-warni, namun wajah sang Dewa terlalu semarak dengan bilur merah dan memar kuning-hitam sehingga Leo berharap semoga saja mimpinya kembali jadi hitam-putih. "Zeus mengira dia dapat membalikkan keadaan," kata sang dewa, "melenakan bumi agar kembali tidur, asalkan kami diam saja. Tak satu pun dari kami benar-benar memercayai hal itu. Dan sejujurnya, kondisi kami sedang tidak prima untuk kembali berperang. Kami nyaris tidak berhasil mengalahkan para Titan. Jika kami mengulangi pola lama, yang terjadi berikutnya pastilah jauh lebih buruk." "Para raksasa," kata Leo. "Hera bilang demigod dan dewa harus menggabungkan kekuatan untuk mengalahkan mereka. Benarkah itu?" "He-eh. Aku benci sepakat dengan ibuku dalam perkara apa saja, tapi ya. Para raksasa itu sulit dibunuh, Bocah. Mereka ras yang lain daripada yang lain." "Ras? Anda membuat mereka terdengar seperti kuda pacu." "Ha!" kata sang Dewa. "Anjing perang lebih tepat. Begini, pada mulanya, semua diciptakan dari orangtua yang sama —Gaea dan Ouranos, Bumi dan Langit. Mereka memiliki anak-anak yang jenisnya berlainan —Titan, Cyclops Tetua, dan sebagainya. Lalu Kronos, pimpinan Titan—yah, kau barangkali sudah dengar bagaimana kisahnya, Zeus mencincang ayahnya, Ouranos, dengan sabit dan mengambil alih dunia. Kemudian muncullah kami, para dewa, dan kami pun mengalahkan mereka, para Titan, Tapi ceritanya belum berakhir. Bumi melahirkan anak-anak yang lain, hanya saja mereka dibuahi oleh Tartarus, roh penghuni jurang abadi tiada berujung —tempat tergelap dan terkeji di Dunia Bawah. Anak- anak itu, para raksasa, dilahirkan dengan satu tujuan —membalaskan dendam kepada kami atas jatuhnya para Titan. Mereka bangkit untuk menghancurkan Olympus, dan mereka nyaris berhasil." Janggut Hephaestus mulai membara. Dia tanpa sadar menepuk-nepuk api tersebut hingga padam. "Yang dilakukan Hera, ibuku yang terkutuk, saat ini —dia tolol karena memainkan permainan yang berbahaya, tapi dia benar tentang satu hal: kalian, para demigod, harus bersatu. Itulah satu-satunya cara untuk membuka mata Zeus, meyakinkan dewa-dewi Olympia bahwa mereka harus menerima pertolongan kalian. Dan itulah satu-satunya cara untuk mengalahkan dia yang akan datang. Kau berperan besar dalam hal itu, Leo. " Tatapan sang dewa menerawang. Leo bertanya-tanya apakah sang Dewa benar- benar dapat membelah diri menjadi bagian-bagian yang berlainan —di mana lagi dia berada sekarang?

Mungkin kepribadian Yunaninya sedang memperbaiki mobil atau berkencan, sedangkan kepribadian Romawinya sedang nonton bola atau memesan piza. Leo mencoba membayangkan bagaimana rasanya berkepribadian banyak. Dia harap itu bukan penyakit keturunan. "Kenapa aku?" Leo bertanya, dan begitu dia mengucapkannya, semakin banyak pertanyaan yang membanjir ke luar. "Kenapa mengakuiku sekarang? Kenapa bukan waktu aku berusia tiga belas tahun, seperti seharusnya? Atau Anda bisa mengakuiku waktu umurku tujuh tahun, sebelum ibuku meninggal! Kenapa Anda tidak mencariku lebih awal? Kenapa Anda tidak memperingatkanku soal ini?" Api mendadak menyala-nyala dari tangan Leo. Hephaestus memandanginya dengan sedih. "Bagian yang paling sulit, Bocah, Adalah membiarkan anak- anakku menapaki jalan mereka sendiri. Ikut campur tak ada gunanya. Moirae memastikan itu. Mengenai pengakuan, kau adalah kasus istimewa, Bocah. Waktunya harus tepat. Aku tak bisa menjelaskannya lebih lanjut lagi, tapi —" Mimpi Leo mengabur. Sekejap saja, mimpinya berubah menjadi tayangan ulang Mungkin kepribadian Yunaninya sedang memperbaiki mobil atau berkencan, sedangkan kepribadian Romawinya sedang nonton bola atau memesan piza. Leo mencoba membayangkan bagaimana rasanya berkepribadian banyak. Dia harap itu bukan penyakit keturunan. "Kenapa aku?" Leo bertanya, dan begitu dia mengucapkannya, semakin banyak pertanyaan yang membanjir ke luar. "Kenapa mengakuiku sekarang? Kenapa bukan waktu aku berusia tiga belas tahun, seperti seharusnya? Atau Anda bisa mengakuiku waktu umurku tujuh tahun, sebelum ibuku meninggal! Kenapa Anda tidak mencariku lebih awal? Kenapa Anda tidak memperingatkanku soal ini?" Api mendadak menyala-nyala dari tangan Leo. Hephaestus memandanginya dengan sedih. "Bagian yang paling sulit, Bocah, Adalah membiarkan anak- anakku menapaki jalan mereka sendiri. Ikut campur tak ada gunanya. Moirae memastikan itu. Mengenai pengakuan, kau adalah kasus istimewa, Bocah. Waktunya harus tepat. Aku tak bisa menjelaskannya lebih lanjut lagi, tapi —" Mimpi Leo mengabur. Sekejap saja, mimpinya berubah menjadi tayangan ulang