“Festus,” gumam Leo. “Ini tempat apa?”

“Festus,” gumam Leo. “Ini tempat apa?”

Sang naga melenggang ke tengah-tengah ruangan, meninggalkan jejak di debu tebal, dan bergelung di atas panggung besar berbentuk lingkaran.

Gua itu seukuran hanggar pesawat terbang, dilengkapi meja kerja serta rak-rak penyimpanan barang yang tak terhitung jumlahnya, deretan pintu seukuran garasi di dinding kiri maupun kanan, serta tangga yang mengarah ke jalanan sempit yang semrawut di atas. Di mana-mana ada bermacam-macam peralatan —tuas hidrolik, peralatan mengelas, seragam tukang, penyemprot udara, forklift, juga sesuatu yang Leo curigai mirip bilik reaksi nuklir. Papan-papan pengumuman ditutupi cetak biru usang yang sudah geripis. Selain itu, ada senjata, baju zirah, tameng —segalam macam perlengkapan perang tersebar di tempat tersebut, banyak yang baru setengah jadi.

Jauh di atas panggung sang naga tergantunglah panji-panji tua koyak, sudah pudar sehingga hampir tidak bisa terbaca. Huruf-hurufnya berupa aksara yunani, tapi Leo entah bagaimana tahu bahwa bunyinya adalah: BUNKER 9.

Apa maksudanya sembilan seperti pondok Hephaestus, atau sembilan yang berarti ada delapan lagi? Leo memandang Festus yang masih bergelung di panggung. Sekonyong-konyong terbetik di benak Leo bahwa naga itu terlihat begitu nyaman karena ia sudah pulang. Ia barangkali dibangun di panggung itu.

<p>“Apa anak-anak yang lain tahu ...?” Pertanyaan Leo terjawab selagi dia memikirkannya. Jelas bahwa tempat ini sudah ditinggalkan selama berabad-abad. Sarang laba-laba dan debu menyelimuti segalanya. Lantai tidak menapakkan jejak kaki lain selain jejak Leo dan tapak kaki besar sang naga. Leo adalah orang pertama yang pernah memasuki bunker ini sejak ... sejak dulu sekali. Bunker 9 telah ditinggalkan sementara masih banyak proyek setengah jadi di meja-meja. Terkunci dan terlupakan, tapi kenapa?</p>Leo melihat peta di dinding —peta perang perkemahan, tapi kertasnya sudah menyerpih dan sekuning kulit bawang bombai. Di bagian bawahnya tertera tanggal, 1864.

“Tidak mungkin,” gumam Leo. Lalu Leo melihat cetak biru di papan pengumuman di dekatnya, dan jantungnya hampir meloncat

keluar dari tenggrokannya. Dia lari ke meja kerja dan menatap skema yang sudah sedemikian pudar sehingga nyaris tak dapat dikenal: kapal Yunani dari beberapa sudut yang berlainan. Di bawahnya terdapat guratan kata-kata samar yang berbunyi: RAMALAN? TIDAK JELAS. TERBANG?

Itu adalah kapal yang Leo lihat dalam mimpinya —kapal terbang. Seseorang telah berusaha merakit kapal itu di sini, atau setidaknya menggambarkan idenya. Lalu skema itu ditinggalkan, dilupakan ... ramalan yang belum lagi terwujud. Dan yang paling aneh, tiang kalap itu dipuncaki dekorasi yang persis sama dengan yang digambar Leo waktu umurnya lima tahun —kepala naga. “Persis seperti kau, Festus,” gumam Leo. “Seram deh.”

Dekorasi tiang kapal itu menimbulkan perasaan tidak enak dalam dirinya, tapi benak Leo yang berputar-putar karena disesaki terlalu banyak pertanyaan lain, tidak sempat memikirkan hal itu Dekorasi tiang kapal itu menimbulkan perasaan tidak enak dalam dirinya, tapi benak Leo yang berputar-putar karena disesaki terlalu banyak pertanyaan lain, tidak sempat memikirkan hal itu

Festus mendengus seolah sedang berusaha menarik perhatian Leo, mengingatkannya bahwa mereka tidak punya waktu semalaman. Memang benar. Leo memperkirakan, beberapa jam lagi pasti sudah pagi, dan perhatiannya telah teralih sepenuhnya. Dia sudah menyelamatkan sang naga, tapi itu takkan membantunya dalam misi. Dia membutuhkan sesuatu yang bisa terbang.

Festus mendorong sesuatu ke arah Leo —sabuk perkakas dari kulit yang telah ditinggalkan di dekat panggung perakitannya. Lalu naga itu menyalakan mata merahnya dan mengarahkan sorot matanya ke langit-langit. Leo mendongak ke arah yang diterangi lampu sorot, dan memekik ketika dia mengenali bentuk benda yang tergantung di atas mereka dalam kegelapan.

“Festus,” kata Leo dengan suara tertahan. “Kita punya pekerjaan yang harus dilakukan.”