Sang naga menggeram lagi. “Itu jebakan, Otak Perunggu,” kata Leo. “Mereka mencoba menangkapmu.”

Sang naga menggeram lagi. “Itu jebakan, Otak Perunggu,” kata Leo. “Mereka mencoba menangkapmu.”

Sang naga membuka mulut dan menyemburkan api. Pilar api putih membara menerpa tubuh Leo, lebih panas dari yang pernah Leo rasakan sebelumnya. Dia merasa seperti disemprot api yang sangat panas dari selang bertekanan tinggi. Rasanya agak perih, tapi Leo bertahan. Ketika api padam, Leo baik-baik saja. Bahkan pakaiannya juga tidak kenapa-napa; Leo tidak mengerti apa sebabnya, tapi dia bersyukur dia suka jaket tentaranya, dan mengenakan celana yang gosong pastilah cukup memalukan.

Naga itu menatap Leo. Wajahnya sebetulnya tidak berubah, mengingat bahwa ia terbuat dari logam dan sebagainya, tapi Leo mengira dia bisa membaca ekspresi sang naga: Kok tidak gosong? Listrik memercik dari leher sang naga, seperti ada yang korslet.

“Kau tidak bisa membakarku,” kata Leo, berusaha kedengaran tegas dan tenang. Dia tidak pernah punya anjing sebelumnya, tapi dia bicara kepada sang naga seperti sedang bicara kepada

anjing. “Tenang, Nak. Jangan mendekat. Aku tidak mau kau terperangkap. Begini, mereka kira kau rusak dan harus dibongkar. Tapi aku tak percaya. Aku bisa memperbaikimu kalau kau mengizin —“

Sang naga berderit, meraung, dan menerjang. Jebakan pun aktif. Dasar kawah melontarkan jaring jebakan, disetrai bunyi gaduh seperti ribuan tutup tempat sampah yang saling pukul. Tanah dan daun beterbangan, jaring logam berkilat-kilat. Leo terjungkal dan tersiram saus Tobasco serta oli. Dia mendapati dirinya terjepit di tengah-tengah tong dan sang naga selagi naga itu meronta-ronta, berusaha membebaskan diri dari jaring yang telah menjerat mereka berdua.

Sang naga menyemburkan api ke segala arah, menerangi langit dan membakar pepohonan. Minyak dan saus tersulut di sekujur tubuh mereka. Hal tersebut tak menyakiti Leo, tapi menyisakan rasa menjijikan di mulutnya.

“Hentikan!” teriak Leo. Sang naga terus menggeliang-geliung. Leo menyadari dirinya bakalan tergencet jika dia tidak

bergerak. Memang tidak gampang, tapi Leo berhasil menggeliut keluar dari antara naga dan tong. Leo meliuk-liuk keluar dari jaring. Untungnya lubang-lubang pada jaring cukup besar untuk dilewati seorang anak yang ceking.

Leo lari dari kepala sang naga. Ia berusaha mengigit Leo, namun giginya terjerat di jaring. Ia menyemburkan api lagi, tapi sepertinya ia sudah kehabisan energi. Kali ini apinya hanya berwarna jingga. Api tersebut bahkan sudah padam sebelum mencapai wajah Leo.

“Dengar, Bung,” kata Leo, “kau hanya akan menunujukkan kepada mereka di mana kau berada. Kemudian mereka bakal datang dan mengeluarkan asam serta pemotong logam. Itukah yang

kaumau?” Rahang sang naga mengeluarkan bunyi berderit, seolah sedang berusaha bicara.

“Oke, kalau begitu,” kata Leo. “Kau harus mempercayaiku.” Dan Leo pun mulai bekerja.

Leo membutuhkan waktu hampir sejam untuk menemukan panel kendali. Letaknya tepat di belakang sang naga, seperti yang sudah sewajarnya. Leo memilih untuk membiarkan sang naga di dalam jaring, sebab lebih mudah bekerja sementara makhluk itu terperangkap, namun naga tersebut tidak menyukainya.

“Jangan bergerak!” omel Leo. Sang naga lagi-lagi mengeluarkan suara berderit yang mungkin saja merupakan rengekan.

Leo memeriksa kabel-kabel di dalam kepala sang naga. Konsentrasinya terusik karena suara berisik yang berasal dari hutan, tapi ketika dia mendongak, ternyata cuma roh pohon —dryad, Leo rasa itulah nama mereka —yang sedang memadamkan api di cabang-cabangnya. Untungnya, naga tersebut tidak memicu kebakaran di seluruh hutan, tapi si dyrad tetap saja tak terlalu senang. Gaun gadis itu berasap. Dia memadamkan api dengan selimut sehalus sutra, dan ketika dryad itu melihat Leo memandanginya, dia memberi isyarat yang barangkali sangat kasar dalam bahasa Dryad. Lalu menghilang disertai kepulan asap hijau.

Leo kembali mengerahkan perhatiannya kepada kabel-kabel. Rancangannya betul-betul inovatif, sudah jelas, dan dapat dimengerti olehnya. Yang ini relai kendali motorik. Yang ini untuk mengolah input sensoris dari mata. Piringan yang ini ...

“Ha,” kata Leo. “Pantas saja.” Keriut? Tanya sang naga dengan rahangnya.

“Piringan pengendalimu karatan. Barangkali itu mengatur fungsi mental, ya? Otakmu karatan, Bung. Pantas kau agak ... linglung.” Leo hampir-hampir mengatakan gila, tapi dia berhasil menahan diri. “Kuharap aku punya piringan pengganti, tapi sirkuitmu sungguh-sungguh rumit. Aku harus mengeluarkan dan membersihkannya. Sebentar saja.” Leo mengeluarkan piringan tersebut, dan sang naga pun mematung sepenuhnya. Nyala di matanya padam. Leo meluncur turun dari panggung sang naga dan mulai memoles piringan itu. Dia mengoleskan sedikit oli dan saus Tabasco, lalu mengusap piringan itu dengan lengan bajunya, yang membantu menyingkirkan kotoran, tapi semakin Leo membersihkan, semakin dia khawatir. Sejumlah sirkuit sudah rusak parah, tak dapat diperbaiki lagi. Dia bisa memperbaiki piringan itu, tapi tidak sempurna. Agar sang naga kembali berfungsi dengan sempurna, Leo membutuhkan piringan baru, dan dia tidak tahu bagaimana cara membuat piringan semacam itu.

Leo berusaha bekerja dengan cepat. Dia tidak yakin berapa lama piringan pengendali naga boleh dilepas tanpa merusaknya —mungkin selamanya—tapi Leo tidak mau ambil risiko. Sesudah Leo mengerahkan upaya terbaiknya, dia kembali memanjat ke kepala naga dan mulai membersihkan kabel dan gearbox, membuat tubuhnya kotor dalam proses tersebut.

“Tangan bersih, perkakas kotor,” gumam Leo, sesuatu yang acap kali diucapkan ibunya. Ketika dia selesai, tangannya hitam terkena minyak, sedangakan pakaiannya kotor dan compang-

camping seperti baru saja kalah dalam pertandingan gulat lumpur, namun mekanisme dalam kepala naga kelihatan jauh lebih baik. Leo memasukkan piringan pengendalinya, menyambungkan kabel terakhir, dan percikan listrik pun beterbangan. Sang naga tiba-tiba saja berguncang. Matanya mulai menyala.

“Mendingan?” tanya Leo. Sang naga mengeluarkan suara seperti bor berkecepatan tinggi. Ia membuka mulut dan semua

giginya berotasi. “Kuduga artinya ya. Tunggu sebentar, biar kubebaskan kau.”

Tiga puluh menit lagi dihabiskan Leo untuk mencari sesuatu untuk melonggarkan jaring itu dan membebaskan sang naga yang terbelit di dalamnya, tapi akhirnya naga itu berdiri dan mengguncangkan jaring hingga lepas dari punggungnya. Ia meraung penuh kemenangan dan menembakkan api ke langit.

“Serius nih,” kata Leo. “Bisa tidak kau tidak pamer?” Keriut? Tanya sang naga.

“Kau butuh sebuah nama,” Leo memutuskan. “Akan kupanggil kau Festus.” Sang naga memutar gigi-giginya dan nyengir. Setidaknya Leo berharap itu memang cengiran.