BAB TIGA PULUH SEMBILAN PIPER

BAB TIGA PULUH SEMBILAN PIPER

PIPER BERMIMPI DIA SEDANG DI atap Sekolah Alam Liar. Malam di gurun terasa dingin, tapi dia membawa selimut, dan dengan Jason di sampingnya, Piper tidak membutuhkan lebih banyak kehangatan lagi. Udara beraroma sage dan mesquite yang terbakar. Di cakrawala, Pegunungan Spring menjulang bagaikan gigi hitam bergerigi, Las Vegas berpendar redup di belakangnya. Bintang-bintang begitu terang sampai-sampai Piper takut mereka takkan bisa melihat hujan meteor. Piper tidak mau Jason mengira dia menyeret pemuda itu ke atas sini dengan alasan palsu. (Walaupun alasan Piper memang seratus persen palsu.) Tapi meteor-meteor tersebut tidak mengecewakan. Satu meteor berkelebat melintasi langit hampir tiap menit —sejalur api putih, kuning, atau biru. Piper yakin Kakek Tom pasti punya mitos Cherokee untuk menjelaskan keberadaan meteor, tapi pada saat itu dia sedang sibuk menciptakan kisahnya sendiri. Jason menggandeng tangan Piper —akhirnya—dan menunjuk dua meteor yang berpapasan di atmosfer lalu bersilangan. [ 450 PIPE1k. "Wow," kata Jason. Viku tak percaya Leo tidak mau melihat ini." "Sebenarnya, aku tidak mengundang dia," ujar Piper sambil lalu. Jason tersenyum. "Oh ya?" "He-eh. Kau pernah merasa kalau tiga itu kebanyakan?" "Iya," Jason mengakui. "Misalnya seperti saat ini. Kautahu kita bakal kena masalah kalau terpergok di atas sini?" "Oh, akan kukarang sebuah dalih," kata Piper. "Aku bisa sangat persuasif. Jadi, kau mau berdansa atau apa?" Jason tertawa. Matanya begitu indah, dan senyumnya bahkan lebih indah lagi di tengah cahaya bintang. "Tanpa musik. Pada malam hari. Di atas atap. Kedengarannya berbahaya."

“Aku ini cewek yang berbahaya." "Kalau itu, aku bisa percaya." Jason berdiri dan mengulurkan tangan. Mereka menari lambat-lambat beberapa langkah, tapi dansa tersebut segera raja berubah menjadi ciuman. Piper hampir tidak bisa mencium Jason lagi, sebab dia terlalu sibuk tersenyum.

*** Kemudian mimpinya berubah —atau mungkin dia sudah mad di Dunia Bawah—sebab Piper mendapati dirinya kembali ke toko serbaada Medea. "Moga-moga ini cuma mimpi," gumam Piper, "dan bukan hukuman abadi untukku." "Bukan, Sayang," kata suara seorang wanita yang semanis madu. "Tidak ada hukuman." Piper berbalik, takut kalau-kalau dia bakal melihat Medea, namun yang berdiri di sampingnya adalah wanita lain, dia sedang menelaah rak diskon lima puluh persen.

Wanita itu memesona —rambut sepanjang bahu, leh er jenj ang, paras sempurna, dan perawakan menakjubkan yang dibalut celana jins dan atasan seputih salju. Piper sudah sering melihat aktris — mayoritas teman kencan ayahnya cantik setengah mati —tapi perempuan ini berbeda. Dia elegan tanpa usaha, modis tanpa upaya, menawan tanpa rias wajah. Setelah melihat Aeolus dengan muka operasi plastik dan kosmetiknya yang konyol, wanita ini tampak semakin memukau di mata Piper. Tak ada yang palsu dalam dirinya. Lalu, selagi Piper memperhatikan, penampilan wanita itu berubah. Piper tidak bisa memutuskan apa warna matanya, atau warna rambutnya. Wanita itu kian lama kian cantik, seolah citranya menyesuaikan diri dengan pemikiran Piper —semakin mendekati kecantikan ideal versi Piper. "Aphrodite," kata Piper. "Ibu?" Sang dewi tersenyum. "Kau hanya bermimpi, Manis. Jika ada yang bertanya-tanya, aku tak di sini. Oke?" "Aku —" Piper ingin mengajukan ribuan pertanyaan, tapi semuanya menyesaki benaknya. Aphrodite mengangkat sebuah rok terusan biru pirus. Menurut Piper

rok terusan itu indah sekali, tapi sang dewi justru memberengut. "Warna ini tak cocok untukku, ya? Sayang, padahal baju ini manis. Medea memang memiliki sejumlah barang yang bagus di sini." "Tempat ini —bangunan ini sudah meledak," Piper terbata. "Aku menyaksikannya.35 "Ya," Aphrodite setuju. "Kurasa itulah sebabnya semua diobral. Kini, semua tinggal kenangan. Dan aku minta maaf sudah menarikmu keluar dari mimpimu yang satu lagi. Jauh lebih menyenangkan, aku tahu." [ 452 ] Wajah Piper serasa terbakar. Piper tidak tahu apakah dia marah atau malu, tapi dia terutama merasa hampa karena kecewa. "Peristiwa itu tidak nyata. Peristiwa itu bahkan tak pernah terjadi. Jadi, kenapa aku mengingatnya sedemikian gamblang?" Aphrodite tersenyum. "Karena kau putriku, Piper. Kau melihat kemungkinan-kemungkinan lebih jelas daripada kebanyakan orang. Kau melihat apa yang bisa saja terjadi. Dan peristiwa semacam itu masih mungkin terjadi —jadi jangan menyerah. Sayangnya—" Sang dewi memberi isyarat ke sekeliling toko serbaada. "Pertama-tama, kau harus menghadapi cobaan lain. Medea akan kembali, begitu pula banyak musuh lainnya. Pintu Ajal telah terbuka." "Apa maksud Ibu?" Aphrodite berkedip kepadanya. "Kau anak pintar, Piper. Kau pasti tahu." Sensasi dingin merayapi diri Piper. "Wanita tidur itu, yang disebut Medea dan Midas sebagai pelindung mereka. Dia berhasil membuka pintu baru di Dunia Bawah. Dia melepaskan orang-orang mati, mengembalikan mereka ke dunia." "He-eh. Dan bukan orang mati sembarangan. Yang terburuk, yang paling kuat, dan mungkin yang paling membenci para dewa." "Monster-monster kembali dari Tartarus lewat jalan yang sama," terka Piper. "Itulah sebabnya mereka mewujud kembali dalam sekejap." "Ya. Pelindung mereka, sebagaimana kau menyebutnya, memiliki hubungan istimewa dengan Tartarus, roh palung tersebung." Aphrodite mengangkat atasan emas bermanik-manik. "Tidak ini bakal membuatku tampak konyol." Piper tertawa gelisah. "Ibu? Mustahil Ibu bisa tampak tak sempurna." "Kau manis sekali," kata Aphrodite. "Tapi kecantikan artinya menemukan kecocokan yang paling pas, kecocokan yang paling

natural. Untuk menjadi sempurna, kita harus merasa bahwa diri kita sempurna —janganlah menjadi orang lain. Untuk seorang dewi, hal itu teramat sulit. Kami dapat berubah sedemikian mudah." "Menurut Ayah, Ibu sempurna." Suara Piper gemetar. "Dia tak pernah melupakan Ibu." Pandangan Aphrodite menerawang. "Ya ... Tristan. Oh, dia sungguh luar biasa. Begitu lembut dan ramah, lucu dan tampan. Tetapi, selama aku mengenalnya dulu, dia menyimpan begitu banyak kesedihan dalam dirinya." "Tolong, bisakah kita tidak memakai kata `dulu' untuk membicarakan Ayah?" "Maafkan aku, Sayang. Aku tidak ingin meninggalkan ayahmu, tentu saja. Melakukannya selalu saja berat, tapi itulah yang terbaik. Jika dia menyadari siapa aku sebenarnya —" "Tunggu—Ayah tidak tahu bahwa Ibu adalah dewi?" "Tentu saja tidak." Aphrodite kedengaran tersinggung. "Aku tak mungkin memberitahunya. Bagi sebagian besar manusia fana, keberadaan dewa-dewi merupakan hal yang terlalu berat untuk diterima akal sehat. Kenyataan tersebut dapat menghancurkan kehidupan mereka! Tanyakan saja kepada temanmu Jason — bocah yang rupawan, omong-omong. Ibunya yang malang hilang akal ketika tahu dia telah jatuh cinta pada Zeus. Tidak, jauh lebih baik apabila Tristan meyakini aku ini wanita fana yang meninggalkannya tanpa penjelasan. Lebih baik memiliki kenangan yang pahit-manis, daripada mengharapkan seorang dewi kekal yang tak dapat diraih. Yang mengantarkanku kepada satu perkara penting ..." Aphrodite membuka tangannya dan Piper melihat vial kaca berkilau yang berisi cairan merah muda. "Ini salah satu ramuan Medea yang manfaatnya positif. Ramuan ini menghapus ingatan [ 454 ]

PIPEk, terbaru. Ketika kau menyelamatkan ayahmu, jika kau bisa menyelamatkannya, kau harus memberinya ini." Piper tidak bisa memercayai apa yang didengarnya. "Ibu ingin aku mengguna-gunai Ayah? Ibu ingin aku membuatnya melupakan peristiwa yang telah dia lalui?" Aphrodite mengangkat vial tersebut. Cairan di dalamnya memancarkan pendar merah muda ke wajahnya. "Ayahmu berlagak percaya diri, Piper, tapi dia terkatung-katung di perbatasan dua dunia. Seumur hidupnya dia berusaha mati-matian untuk menyangkal kisah-kisah lama mengenai dewa-dewi dan roh-roh, namun sebenarnya dia takut kalau- kalau kisah-kisah itu nyata. Dia takut telah mengenyahkan bagian penting dari dirinya sendiri, dan takut kalau-kalau kelak hal itu akan menghancurkannya. Kini dia ditawan oleh raksasa. Dia menjalani mimpi buruk. Meskipun dia selamat jika dia harus menghabiskan sisa hidupnya dengan ingatan itu, mengetahui bahwa dewa-dewi dan roh-roh benar-benar ada di muka bumi ini, kenyataan tersebut akan membuatnya remuk redam. Itulah yang diharapkan musuh kita. Wanita itu akan meluluhlantakkan ayahmu, dan dengan cara itu, mematahkan semangatmu." Piper ingin berteriak bahwa Aphrodite keliru. Ayahnya adalah orang paling tegar yang dia tahu. Piper takkan pernah merampas ingatan ayahnya seperti yang dilakukan Hera terhadap Jason. Tapi entah bagaimana Piper tidak bisa terus-terusan marah pada Aphrodite. Piper teringat perkataan ayahnya berbulan-bulan lalu, di pantai Big Sur: Jika aku benar- benar percaya pada Negeri Hantu, atau roh binatang, atau dewa-dewi Yunani menurutku aku takkan bisa tidur di malam hari. Aku akan selalu mencari-cari seseorang untuk disalahkan. Kini Piper ingin menyalahkan seseorang juga.

"Siapa wanita itu?" tuntut Piper. "Yang mengendalikan para raksasa?" Aphrodite merapatkan bibirnya. Dia bergerak ke rak berikut-nya, yang memuat baju zirah penyok dan toga robek-robek, namun Aphrodite memandangi pakaian-pakaian tersebut layaknya busana rancangan desainer. "Kau memiliki tekad kuat," Aphrodite membatin. "Aku jarang dihargai di antara para dewa. Anak-anakku ditertawakan. Mereka dianggap angkuh dan dangkal." "Sebagian memang begitu." Aphrodite tertawa. "Ada benarnya juga. Barangkali aku memang angkuh dan dangkal, kadang-kadang. Seorang gadis harus diizinkan memanjakan diri. Oh, ini bagus." Sang dewi mengambil tameng dada yang sudah terbakar dan bernoda serta menjulurkannya untuk dilihat Piper. "Tidak?" "Tidak," kata Piper. "Apa Ibu bakal menjawab pertanyaanku?" "Sabar, Manis," ujar sang dewi. "Maksudku, cinta adalah motivator terhebat di dunia. Cinta mendorong seseorang untuk mencapai keagungan. Tindakan mereka yang paling mulia dan berani dilakukan demi cinta." Piper mencabut belatinya dan mengamati bilahnya yang bagai cermin. "Seperti Helen yang memicu Perang Troya?" "Ah, Katoptris." Aphrodite tersenyum. "Aku senang kau menemukannya. Aku dicerca habis-habisan gara-gara perang itu, tapi sejujurnya, Paris dan Helen memang pasangan yang serasi. Dan para pahlawan dalam perang itu sudah menjadi kekal sekarang — setidaknya dalam ingatan manusia. Cinta amatlah kuat, Piper. Cinta bahkan dapat membuat dewa-dewi berlutut. Kuberitahukan ini kepada putraku Aeneas ketika dia melarikan diri dari Troya. Dia kira dia telah gagal. Dia kira dirinya pecundang! Tapi dia pergi ke Italia —" [ 456 1 PIPED "Dan menjadi leluhur bangsa Romawi." "Tepat. Pahamilah, Piper, bahwa anak-anakku tidak kalah kuat. Kau juga tidak kalah kuat, sebab asal-usulku unik. Aku lebih mendekati awal penciptaan dibandingkan dengan dewa Olympia lainnya." Piper berupaya mengingat-ingat kelahiran Aphrodite. "Bukankah Ibu "Siapa wanita itu?" tuntut Piper. "Yang mengendalikan para raksasa?" Aphrodite merapatkan bibirnya. Dia bergerak ke rak berikut-nya, yang memuat baju zirah penyok dan toga robek-robek, namun Aphrodite memandangi pakaian-pakaian tersebut layaknya busana rancangan desainer. "Kau memiliki tekad kuat," Aphrodite membatin. "Aku jarang dihargai di antara para dewa. Anak-anakku ditertawakan. Mereka dianggap angkuh dan dangkal." "Sebagian memang begitu." Aphrodite tertawa. "Ada benarnya juga. Barangkali aku memang angkuh dan dangkal, kadang-kadang. Seorang gadis harus diizinkan memanjakan diri. Oh, ini bagus." Sang dewi mengambil tameng dada yang sudah terbakar dan bernoda serta menjulurkannya untuk dilihat Piper. "Tidak?" "Tidak," kata Piper. "Apa Ibu bakal menjawab pertanyaanku?" "Sabar, Manis," ujar sang dewi. "Maksudku, cinta adalah motivator terhebat di dunia. Cinta mendorong seseorang untuk mencapai keagungan. Tindakan mereka yang paling mulia dan berani dilakukan demi cinta." Piper mencabut belatinya dan mengamati bilahnya yang bagai cermin. "Seperti Helen yang memicu Perang Troya?" "Ah, Katoptris." Aphrodite tersenyum. "Aku senang kau menemukannya. Aku dicerca habis-habisan gara-gara perang itu, tapi sejujurnya, Paris dan Helen memang pasangan yang serasi. Dan para pahlawan dalam perang itu sudah menjadi kekal sekarang — setidaknya dalam ingatan manusia. Cinta amatlah kuat, Piper. Cinta bahkan dapat membuat dewa-dewi berlutut. Kuberitahukan ini kepada putraku Aeneas ketika dia melarikan diri dari Troya. Dia kira dia telah gagal. Dia kira dirinya pecundang! Tapi dia pergi ke Italia —" [ 456 1 PIPED "Dan menjadi leluhur bangsa Romawi." "Tepat. Pahamilah, Piper, bahwa anak-anakku tidak kalah kuat. Kau juga tidak kalah kuat, sebab asal-usulku unik. Aku lebih mendekati awal penciptaan dibandingkan dengan dewa Olympia lainnya." Piper berupaya mengingat-ingat kelahiran Aphrodite. "Bukankah Ibu

baju zirah usang. "Dia telah terlelap selama beribu-ribu tahun, namun dia lambat laun akan terbangun. Selagi tertidur pun, dia teramat perkasa, tapi begitu dia terbangun celakalah kita semua. Kau harus mengalahkan para raksasa sebelum itu terjadi, dan melenakan Gaea agar kembali terlelap. Jika tidak, pemberontakan akan dimulai. Yang mati akan terus bangkit. Monster-monster akan beregenerasi dengan semakin cepat. Para raksasa akan memorak-porandakan tempat kelahiran para dewa. Dan jika mereka melakukan itu, semua perabadan akan hancur." "Tapi Gaea? Ibu Pertiwi? Apa tidak salah?" "Jangan remehkan dia," Aphrodite memperingatkan. "Dia batari yang kejam. Dialah dalang di balik kematian Ouranos. Gaea memberi Kronos sabit dan mendesaknya agar membunuh ayahnya sendiri. Selagi para Titan menguasai dunia, Gaea terlelap dalam damai. Tapi ketika para dewa mengalahkan mereka, Gaea terbangun lagi dalam keadaan marah dan melahirkan ras baru —raksasa—untuk menghancurkan Olympus sekali dan selamanya." "Dan peristiwa itu terjadi lagi," kata Piper. "Kebangkitan para raksasa." Aphrodite mengangguk. "Sekarang kau sudah tahu. Apa yang akan kaulakukan?" "Aku?" Piper mengepalkan tinju. "Apa yang harus kulakukan? Mengenakan baju bagus dan merayu Gaea supaya kembali tidur?" "Kalau saja cara itu manjur," kata Aphrodite. "Tapi tidak, kau harus mencari kekuatanmu sendiri, dan berjuang untuk mereka yang kaucintai. Seperti manusia kesayanganku, Helen dan Paris. Seperti putraku Aeneas." "Helen dan Paris meninggal," ujar Piper. "Dan Aeneas menjadi pahlawan," balas sang dewi. "Pahlawan hebat Romawi yang pertama. Hasilnya tergantung padamu, Piper, tapi akan kuberitahukan ini kepadamu: Tujuh demigod terhebat [ 458 ]

■ harus dikumpulkan untuk mengalahkan para raksasa, dan upaya itu takkan berhasil tanpamu. Ketika

kedua pihak bertemu kau akan menjadi sang mediator. Kaulah yang menentukan akankah terjalin persahabatan atau terjadi pertumpahan darah." "Kedua pihak apa?" Penglihatan Piper mulai meredup. "Kau harus segera bangun, Anakku," kata sang dewi. "Aku tidak selalu sepakat dengan Hera, tapi dia telah mengambil risiko yang nekat, dan aku setuju hal tersebut harus dilakukan. Zeus telah terlalu lama memisahkan kedua pihak. Hanya bersama-samalah kalian memiliki kekuatan untuk menyelamatkan

Olympus. Nah, bangunlah sekarang. Kuharap kau menyukai pakaian yang kupilihkan." "Pakaian apa?" tuntut Piper, namun mimpi itu mengabur hingga menjadi gelap gulita. []