BAB TIGA PULUH DUA JASON

BAB TIGA PULUH DUA JASON

BUTUH UPAYA MEREKA BERTIGA UNTUK menahan sang satir. "Whoa, Pak Pelatih!" kata Jason. "Tenang sedikit." Seorang pria yang lebih muda menerjang masuk ke ruangan. Jason menduga dialah Lit, putra lelaki tua itu. Dia mengenakan celana piama dengan kaus kutung bertuliskan PENGUPAS JAGUNG, dan dia memegang pedang yang kelihatannya bisa mengupas banyak benda lain selain jagung. Lengannya yang berotot dipenuhi bekas luka, sedangkan wajahnya, dibingkai rambut gelap keriting, pasti tampan jika tidak tersayat-sayat. Lit langsung memicingkan mata kepada Jason seolah dia adalah ancaman terbesar, dan melenggang ke arah mereka sambil nengayun-ayunkan pedangnya di atas kepala. "Tunggu sebentar!" Piper melangkah maju, berusaha menge-luarkan suara menenangkannya yang terbaik. "Ini kesalahpahaman! Semuanya baik-baik saja." Lit berhenti melangkah, tapi dia masih terlihat waswas. Fingkah Hedge yang terus saja berteriak-teriak, "Biar kuhajar mereka! Jangan khawatir!" tidaklah membantu.

"Pak Pelatih," pinta Jason, "mereka mungkin bukan musuh. Lagi pula, kita yang menyusup masuk ke rumah mereka." "Terima kasih!" kata pria tua berjubah mandi. "Nah, siapakah kalian ini, dan mengapa kalian ada di sini?" "Mari turunkan senjata kita," kata Piper. "Pak Pelatih, Anda duluan." Hedge mengertakkan rahangnya. "Sekali getok saja?" "Tidak," kata Piper. "Bagaimana kalau kita kompromi? Akan kubunuh mereka lebih dulu, dan jika mereka ternyata bukan musuh, aku akan minta maaf." "Tidak!" Piper berkeras. "Mbeeek." Pak Pelatih Hedge menurunkan pentungannya. Piper memberi Lit senyum maaflean-soal-itu yang ramah. Meskipun rambutnya berantakan dan sudah dua hari dia tidak ganti baju, Piper masih tampak luar biasa manis, dan Jason merasa agak cemburu karena dia memberi Lit senyuman itu. Lit mendengus dan menyarungkan pedangnya. "Kau pintar bicara, Non —untung bagi

teman-temanmu, atau aku pasti sudah menebas mereka." "Makasih," kata Leo. "Aku mencoba supaya tidak ditebas sebelum waktu makan siang." Lit mengerutkan kening. "Paduka —" "Tak apa-apa, Lit," kata sang pria tua. "Negeri baru, adat istiadat baru. Mereka boleh duduk di hadapanku. Bagaimanapun, mereka telah melihatku berpakaian tidur. Tak ada gunanya memaksakan formalitas." Dia berusaha sebaik mungkin untuk tersenyum, meskipun kelihatannya agak dipaksakan. "Selamat datang di rumahku yang sederhana. Aku Raja Midas." *** [ 370 ] JASON "Midas? Mustahil," ujar Pak Pelatih Hedge. "Dia sudah mati." Mereka sekarang duduk di sofa, sementara sang raja bersandar di singgasananya. Susah melakukan itu dalam balutan jubah mandi, dan Jason terus saja khawatir kalau-kalau sang lelaki tua lupa dan mengangkang. Mudah-mudahan dia mengenakan celana pendek emas di bawah sana. Lit duduk di belakang singgasana, kedua tangannya memegang pedang, dia melirik Piper dan meregangkan lengannya yang berotot hanya untuk terlihat menyebalkan. Jason bertanya-tanya apakah dia terlihat sekekar itu saat memegang pedang. Sayangnya, Jason meragukannya. Piper mencondongkan tubuhnya ke depan. "Yang dimaksud teman satir kami, Paduka, adalah bahwa Paduka merupakan manusia fana kedua yang kami temui yang semestinya sudah — maaf —meninggal. Raja Midas hidup beribu-ribu tahun lalu." "Menarik." Sang raja menatap ke luar jendela, melihat langit biru cerah dan sinar mentari musim dingin. Di kejauhan, pusat kota Omaha terlihat bagaikan kumpulan balok mainan anak-anak —terlalu bersih dan terlalu kecil untuk kota biasa. "Kautahu," kata sang raja, "kurasa aku memang sudah cukup lama meninggal. Aneh. Rasanya seperti mimpi, bukan begitu, Lit?" "Mimpi yang sangat panjang, Paduka." "Walau begitu, di sinilah kami sekarang. Aku sangat menikmati kehidupanku. Aku lebih suka hidup." "Tapi bagaimana?" tanya Piper. "Apa Paduka kebetulan memiliki pelindung?" Midas ragu-ragu, tapi ada kerlip licik di matanya. "Apakah itu penting, Sayang?" "Kita bisa membunuh mereka lagi," Hedge menyarankan. "Pak Pelatih, Anda tidak membantu," kata Jason. "Bagaimana kalau Bapak keluar saja dan berjaga?"

Leo batuk-batuk. "Apakah itu aman? Mereka punya sistem pengamanan yang tangguh." "Oh, ya," kata sang Raja. "Maaf soal itu. Tapi perangkat tersebut hebat, bukan? Mengagumkan melihat apa yang masih bisa dibeli dengan emas. Mainan-mainan di negeri ini sungguh menakjubkan!" Dia mengambil pengendali jarak jauh dari saku jubah mandinya dan menekan beberapa tombol —nomor kombinasi, menu:rut tebakan Jason. "Sudah," kata Midas. "Arran untuk keluar sekarang." Pak Pelatih Hedge menggeram. "Baiklah. Tapi jika kalian membutuhkanku ..." Dia berkedip penuh arti kepada Jason. Lalu dia menunjuk dirinya sendiri, mengacungkan dua jari ke tuan rumah mereka, dan menelusurkan jari ke lehernya. Bahasa isyarat yang sangat kentara. "Iya, makasih," kata Jason. Sesudah sang satir pergi, Piper mencoba melontarkan senyum diplomatic lagi. "Jadi Paduka tidak tahu bagaimana ceritanya sampai Paduka berada di sini?" "Oh bagaimana ya?! Aku tahu. Kurang-lebih," kata sang raja. Dia mengerutkan kening kepada Lit. "Kenapa kita memilih Omaha? Aku tahu bukan karena cuacanya." "Oracle," kata Lit. "Ya! Aku diberi tahu bahwa ada seorang oracle di Omaha." Sang raja mengangkat bahu. "Rupanya aku keliru. Tapi ini rumah yang lumayan bagus, bukan? Lit —itu kependekan dari Lityerses, omong-omong— nama yang jelek, tapi ibunya bersikeras —Lit mendapatkan banyak ruang terbuka untuk berlatih pedang. Dia memiliki reputasi dalam hal itu. Orang-orang menjulukinya Penuai Manusia pada zaman dahulu."

[ 372 ] JASON "Oh." Piper berusaha supaya terdengar antusias. "Hebat sekali." Senyum Lit lebih menyerupai seringai kejam. Jason sekarang seratus persen yakin dia tidak menyukai pemuda ini, dan dia mulai menyesal sudah mengutus Hedge ke luar. "Jadi," ujar Jason. "Semua emas ini —" Mata sang raja berbinar-binar. "Apakah kau datang untuk emas ini, Nak? Silakan, ambil brosur!" Jason memandangi brosur di meja kopi. J udulnya berbunyi ENIAS• Investasi untuk Selamanya. "Mmm, Paduka menjual emas?" "Bukan, bukan," kata sang raja. "Aku membuatnya. Di masa-masa yang tak pasti seperti sekarang ini, emas adalah investasi yang paling bijak, bukan begitu? Pemerintahan runtuh. Yang mati bangkit kembali. Raksasa menyerang Olympus. Tapi nilai emas tetap stabil!" Leo mengerutkan kening. "Mu pernah melihat iklan itu." "Oh, jangan tertipu oleh peniru murahan!" kata sang raja. "Kupastikan kepada kalian, untuk investor serius, aku bisa mengalahkan harga mereka semua. Mu bisa membuat berbagai benda dari emas dalam waktu sekejap." "Tapi ..." Piper menggeleng-gelengkan kepala kebingungan. "Paduka, Anda mengembalikan sentuhan emas Paduka, kan?" Sang raja tampak terperanjat. "Mengembalikan?" "Ya," kata Piper. "Paduka memperolehnya dari dewa —" "Dionysus," sang raja mengiyakan. "Aku menyelamatkan salah satu satirnya, dan sebagai imbalannya, sang dewa menganugerahiku satu permintaan. Mu memilih sentuhan emas." "Tapi Paduka tidak sengaja mengubah anak perempuan Paduka jadi emas," Piper teringat. "Dan Paduka menyadari betapa serakahnya Paduka. Jadi, Paduka bertobat."

"Bertobat!" Raja Midas memandang Lit tak percaya. "Kaulihat, Putraku? Kita pergi beberapa ribu tahun, dan ceritanya jadi menyimpang. Gadis Manis, apa cerita itu pernah menyebutkan bahwa aku kehilangan sentuhan emasku?" "Yah, saya rasa tidak. Katanya Paduka belajar membalikkan efeknya dengan air mengalir, dan Paduka menghidupkan anak perempuan Paduka." "Itu semua benar. Terkadang aku masih harus membalikkan efek sentuhanku. Tidak ada air mengalir di rumah ini karena aku tak mau ada kecelakaan" —dia memberi isyarat ke patung-patungnya—"tapi kami memilih untuk tinggal di sebelah sungai, untuk berjaga-jaga. Sesekali, aku lupa dan tidak sengaja menepuk punggung Lit —" Lit mundur beberapa langkah. "Aku benci itu." "Sudah kukatakan aku menyesal, Putraku. Bagaimanapun, emas sungguh luar biasa. Untuk apa aku membuang kemampuanku?" "Yah ..." Sekarang Piper betul-betul terlihat bingung. "Bukankah itu inti ceritanya? Bahwa Paduka telah belajar dari kesalahan?" Midas tertawa. "Sayang, boleh kulihat tas punggungmu sebentar? Lemparkan ke sini." Piper ragu-ragu, tapi dia tidak ingin menyinggung perasaan sang raja. Dia mengeluarkan semua isi tas dan melemparkan ransel tersebut kepada Midas. Begitu sang raja menangkapnya, tas tersebut berubah menjadi emas, seperti bunga es yang menyebar di kain. Ransel tersebut masih tampak fleksibel dan lembut, tapi jelas-jelas terbuat dari emas. Sang raja melemparkannya kembali. "Seperti yang kalian lihat, aku masih bisa mengubah apa saja menjadi emas," kata Midas. "Tas itu sekarang jadi tas ajaib juga. Silakan —masukkan musuh kalian, roh-roh badai itu, ke sana." JASON "Serius nih?" Leo mendadak tertarik. Dia mengambil tas Mari Piper dan membawa ransel tersebut ke kandang. Begitu Leo membuka ritsleting ransel, angin berpusing dan melolong protes. Jeruji kandang bergetar. Pintu kurungan menjeblak terbuka dan angin-angin langsung terisap ke dalam tas. Leo menutup ritsletingnya dan menyeringai. "Harus kuakui. Keren banget." "Kalian lihat?" ujar Midas.

"Sentuhan emasku adalah kutukan? Yang benar saja. Aku tak belajar apa-apa, dan kehidupan bukanlah sebuah cerita, Non. Sejujurnya, putriku Zoe jauh lebih menyenangkan sebagai patung emas." "Dia banyak bicara," timpal Lit. "Perlis! Jadi kuubah lagi dia menjadi emas." Midas menunjuk. Di pojok terdapat patung seorang gadis dengan ekspresi tercengang, seolah dia sedang berpikir: Ayah! "Mengerikan sekali!" kata Piper. "Omong kosong. Dia tak keberatan kok. Lagi pula, andaikata aku belajar dari kesalahan, akankah aku memperoleh ini?" Midas mencopot topi tidurnya yang kebesaran, dan Jason tidak tahu harus tertawa atau mual. Midas memiliki kuping kelabu panjang berbulu yang mencuat dari antara rambut putihnya —seperti kuping Bugs Bunny, tapi bukan kuping kelinci. Itu adalah kuping keledai. "Oh, wow," kata Leo. "Aku kan tak perlu melihat itu." "Jelek, ya?" Midas mendesah. "Beberapa tahun sesudah insiden sentuhan emas, aku menjadi juri kontes musik antara Apollo dan Pan, dan kunyatakan Pan sebagai pemenangnya. Apollo, yang tidak terima menghadapi kekalahan, mengatakan aku pastilah memiliki telinga keledai, dan abrakadabra! Inilah hadiahku karena sudah bersikap jujur. Aku berusaha merahasiakannya. Hanya tukang cukurku yang tahu, namun dia tidak bisa tak mengoceh." Midas menunjuk satu lagi patung emas —seorang pria botak bertoga yang

memegang gunting. "Itu dia. Dia takkan menceritakan rahasia siapa-siapa lagi." Sang raja tersenyum. Tiba-tiba dia tak lagi tampak sebagai pria tua berjubah mandi yang tak berbahaya di mata Jason. Matanya berbinar-binar riang —seperti orang gila yang tahu dia gila, menerima kegilaannya, dan menikmatinya. "Ya, emas memiliki banyak kegunaan. Menurutku pasti itulah alasannya sehingga aku dihidupkan kembali, bukan begitu, Lit? Untuk menjadi penyandang dana bagi pelindung kami." Lit mengangguk. "Itu dan karena keahlianku berpedang." Jason melirik teman-temannya. Mendadak udara di ruangan tersebut terasa jauh lebih dingin. "Jadi, Anda memang memiliki pelindung," kata Jason. "Anda bekerja untuk para raksasa." Raja Midas melambaikan tangan dengan cuek. "Yah, aku sendiri tak peduli pada para raksasa, tentu saja. Tapi pasukan supranatural sekalipun perlu dibayar. Aku berutang budi besar kepada pelindungku. Kucoba menjelaskan itu kepada kelompok terakhir yang datang ke sini, tapi mereka tidak bersahabat. Tidak mau bersikap kooperatif sama sekali." Jason menyelipkan tangan ke dalam saku dan menggenggam koin emasnya. "Kelompok terakhir?" "Pemburu," geram Lit. "Gadis-gadis Artemis yang terkutuk." Jason merasa tulang belakangnya dirambati percikan listrik —percikan betulan. Dia mencium kebakaran karena korslet, seakan dirinya baru saja melelehkan per di sofa. Kakaknya pernah ke sini. "Kapan?" tuntut Jason. "Apa yang terjadi?" Lit mengangkat bahu. "Beberapa hari lalu? Aku tak mendapat kesempatan untuk membunuh mereka, sayangnya. Mereka mencari-cari serigala jahat atau semacamnya. Katanya mereka [ 376 ] JASON sedang mengikuti jejak, menuju barat. Demigod yang hilang —aku tak ingot." Percy Jackson, pikir Jason. Annabeth telah menyinggung-nyinggung bahwa para Pemburu sedang mencari pemuda itu. Dan dalam mimpi Jason di rumah terbakar di hutan redwood, dia mendengar serigala musuh melolong. Hera menyebut mereka penjaga penjaranya. Semua itu entah bagaimana berkaitan. Midas menggaruk kuping keledainya. "Wanita-wanita muda yang sangat tidak ramah, para Pemburu ins," dia mengingat-ingat. "Mereka menolak dijadikan emas. Sebagian besar sistem pengamanan di luar kupasang untuk mencegah hal semacam itu terjadi lagi, kalian tahu. Aku tak punya waktu bagi mereka yang bukan investor serius." Jason berdiri dengan waswas dan melirik kawan-kawannya. Mereka memahami pesannya. "Yah," kata

Piper, berhasil menyunggingkan senyum. "Kunjungan ini luar biasa. Selamat datang kembali di kehidupan ini. Terima kasih atas tas emasnya." "Oh, tapi kalian tak boleh pergi!" ujar Midas. "Aku tahu kalian bukan investor serius, tapi tak apa-apa! Aku harus menambah koleksiku." Lit tersenyum kejam. Sang raja bangkit, dan Leo serta Piper bergerak menjauhi pemuda itu. "Jangan khawatir," sang raja menghibur mereka. "Kahan tidak harus diubah jadi emas. Aku memberi semua tamuku pilihan — bergabung dengan koleksiku, atau mati di tangan Lityerses. Sungguh, yang mana saja bagus." Piper berusaha menggunakan charmspeak-nya. "Paduka, Anda tak bisa —"

Bergerak lebih gesit daripada yang seharusnya dapat dilakukan pria tua mana pun, Midas menerjang dan mencengkeram pergelangan tangan Piper. "Tidak!" teriak Jason. Tapi rona emas telah menyebar di sekujur tubuh Piper, dan dalam sekejap dia sudah menjadi patung yang berkilauan. Leo berusaha mendatangkan api, namun dia lupa bahwa kekuatannya tak berfungsi. Midas menyentuhkan tangannya, dan Leo pun bertransformasi menjadi logam padat. Jason demikian ketakutan sampai-sampai dia tak mampu bergerak. Teman-temannya —berubah begitu saja. Dan dia tak bisa menghentikannya. Midas tersenyum minta maaf. "Emas mengalahkan api, aku khawatir." Dia melambai ke sekelilingnya, ke tirai dan perabot emas. "Dalam ruangan ini, kekuatanku meredam semua kekuatan lain: api bahkan charmspeak. Alhasil, tinggal kaulah satu-satunya trofi yang perlu kukoleksi." "Hedge!" teriak Jason. "Butuh bantuan di dalam sini!" Sekali ini, sang satir tidak menerjang masuk. Jason bertanya-tanya apakah laser telah melukai satir tua itu, atau dia sedang duduk-duduk di dasar lubang jebakan. Midas terkekeh. "Tak ada kambing untuk menyelamatkanmu? Menyedihkan. Tapi jangan khawatir, Nak. Rasanya sungguh tidak menyakitkan. Lit bisa memberitahumu." Jason menetapkan hati pada sebuah gagasan. "Aku memilih bertarung. Anda bilang aku boleh memilih untuk bertarung melawan Lit." Midas terlihat agak kecewa, namun dia mengangkat bahu. "Kataku kau boleh mati dalam pertarungan melawan Lit. Tapi silakan saja, jika kau menghendakinya." Sang raja mundur, sedangkan Lit mengangkat pedangnya. "Aku akan menikmati ini," kata Lit. "Akulah Penuai Manusia!" "Ayo sini, Pengupas Jagung." Jason mengeluarkan senjatanya sendiri. Kali ini koin emasnya berubah menjadi lembing, dan Jason bersyukur atas jangkauannya yang panjang. "Oh, senjata emas!" ujar Midas. "Bagus sekali." Lit menyerbu. Cowok itu lincah. Dia menyabet serta menebas, dan Jason nyaris tak bisa menghindari serangannya, tapi pikirannya yang lain —bekerja menganalisis pola, mempelajari gaya Lit, yang intinya serangan semua, tidak ada pertahanan. Jason mengadang, menyamping, dan menangkis. Lit sepertinya kaget mendapati Jason masih hidup. "Gaya apa itu?" geram Lit. "Kau tidak bertarung seperti orang Yunani." "Latihan legiun," kata Jason, meskipun dia tak yakin bagaimana dirinya bisa mengetahui itu. "Ini gaya Romawi." "Romawi?" Lit menyerang lagi, dan Jason menangkis bilah pedangnya. "Apo itu Romawi?" "Berita kilat," kata Jason. "Selagi kalian mati, Romawi mengalahkan Yunani. Menciptakan kekaisaran terhebat sepanjang masa. "Mustahil," ujar Lit. "Tak pernah dengar." Jason berputar, menghantam dada Lit dengan pangkal lembingnya, dan menjatuhkan pemuda itu ke takhta Midas. "Ya ampun," kata Midas. "Lit?" "Aku tak apa-apa," geram Lit. "Sebaiknya Anda bantu dia berdiri," ujar Jason. Lit menjerit, "Ayah, jangan!" Terlambat. Midas meletakkan tangan di bahu putranya, dan mendadak duduklah patung emas bermimik sangat marah di singgasana Midas.

"Terkutuk!" ratap Midas. "Itu tipuan licik, Demigod. Akan kubalas kau untuk itu." Dia menepuk-nepuk

bahu emas Lit. "Jangan khawatir, Putraku. Akan kuturunkan kau ke sungai setelah aku memperoleh hadiah ini." Midas melaju ke depan. Jason menghindar, namun pria tua itu gesit juga. Jason menendang meja kopi ke kaki pria tua itu, yang membuatnya terjungkal, tapi Midas langsung berdiri. Kemudian Jason melirik patung emas Piper. Amarah melandanya. Dia putra Zeus. Dia tak boleh mengecewakan teman-temannya. Jason merasakan sensasi ditarik-tarik di perutnya, dan tekanan udara turun sedemikian cepat sampai-sampai telinganya berdenging. Midas pasti merasakannya juga, sebab dia berdiri sempoyongan dan memegangi kuping keledainya. "Ow! Apa yang kulakukan?" tuntutnya. "Kekuatanku tak tertandingi di sini!" Guntur menggelegar. Di luar, langit menggelap. "Anda tahu kegunaan emas yang lain?" ujar Jason. Midas mengangkat alis, tiba-tiba merasa antusias. "Ya?" "Emas adalah penghantar listrik yang baik." Jason mengangkat tombaknya, dan langit-langit pun meledak. Petir membelah atap bagaikan cangkang kerang, tersambung dengan ujung lembing Jason, dan mengirimkan sambaran energi yang menghancurleburkan sofa. Bongkahan plester dari langit-langit ambruk ke bawah. Lampu gantung berderit lalu putus dari rantainya, dan Midas menjerit saat lampu gantung itu menjepitnya ke lantai. Kaca lampu gantung itu seketika berubah menjadi emas. Ketika gemuruh berhenti, hujan yang membekukan tumpah ruah ke dalam bangunan. Midas mengumpat dalam bahasa Yunani Kuno, seluruh tubuhnya terjepit di bawah lampu gantung. Hujan membasahi segalanya, mengembalikan lampu gantung emas jadi kaca. Piper dan Leo pelan-pelan berubah juga, beserta patung-patung lain di ruangan itu. Kemudian pintu depan menjeblak terbuka, dan Pak Pelatih Hedge menerjang masuk, pentungan siap siaga. Mulutnya berlumur tanah, salju, dan rumput. "Apa yang kulewatkan?" tanyanya. "Bapak dari mana raja?" tuntut Jason. Kepalanya terasa pusing karena memanggil petir, dan dia harus mengerahkan segala daya upaya agar tidak pingsan. "Aku berteriak- teriak minta bantuan." Hedge mengembik. "Makan camilan. Maaf. Siapa yang perlu dibunuh?" "Sekarang tidak ada!" kata Jason. "Gotong Leo raja. Akan kubawa Piper." "Jangan tinggalkan aku seperti ini!" ratap Midas. Di sekeliling Midas patung-patung korbannya berubah menjadi manusia —anak perempuannya, tukang cukurnya, dan sekawanan cowok berpedang yang bertampang marah. Jason menyambar tas emas Piper dan perbekalannya sendiri. Kemudian dia melemparkan karpet ke atas patung emas Lit di singgasana. Mudah-mudahan itu akan mencegah si Penuai Manusia berubah kembali menjadi manusia yang berdarah daging —setidaknya sampai korban-korban Midas pulih. "Ayo kita pergi dari sini," kata Jason kepada Hedge. "Menurutku orang-orang ini pasti ingin menghabiskan beberapa waktu yang berkualitas bersama Midas."