BAB EMPAT PULUH PIPER

BAB EMPAT PULUH PIPER

PIPERTERBANGUN DI BALIK SEBUAH meja di kafe pinggir jalan. Selama sedetik, Piper mengira dia masih bermimpi. Saat itu sudah pagi, matahari bersinar cerah. Udaranya sejuk tapi duduk di luar terasa nyaman. Di meja-meja lain, para pesepeda, orang-orang kantoran, dan anak-anak kuliahan, sedang duduk sambil mengobrol dan minum kopi. Piper bisa mencium bau pohon eukaliptus. Banyak pejalan kaki yang lalu lalang di depan toko-toko mungil unik. Jalanan diapit oleh pohon-pohon bottlebrush dan azalea yang bermekaran, seolah musim dingin merupakan sesuatu yang aneh. Dengan kata lain: Piper sedang berada di California. Teman-temannya menduduki kursi di sekitarnya —mereka semua bersedekap dengan kalem, tertidur pulas. Dan mereka semua mengenakan pakaian baru. Piper memandangi busananya sendiri dan terkesiap. "'bur Piper berteriak lebih kencang daripada yang diinginkannya. Jason berjengit, lututnya menabrak meja, dan terbangunlah mereka semua.

"Apa?" tuntut Hedge. "Tarung lawan siapa? Di mana?" "Jatuh!" Leo mencengkeram meja. "Tidak —tidak jatuh. Kita di mana?" Jason berkedip, berusaha menyesuaikan diri. Dia memfokuskan perhatian pada Piper dan mengeluarkan suara tersedak kecil. "Apa yang kaukenakan?" Piper tersipu. Dia mengenakan rok terusan biru pirus yang dia lihat dalam mimpinya, dilengkapi legging hitam dan sepatu bot kulit hitam. Piper memakai gelang perak kesukaannya, meskipun dia meninggalkan gelang itu di rumahnya di L.A., dan jaket snowboarding lama dari ayahnya, yang hebatnya cocok dengan busana tersebut. Piper mencabut Katoptris, dan berdasarkan pantulan di bilah belati itu, rambut Piper sepertinya baru ditata juga. "Bukan apa-apa," ujar Piper. "Ini dari —" Piper teringat peringatan Aphrodite yang melarangnya menyinggung-nyinggung bahwa mereka telah mengobrol. "Ini bukan apa-apa." Leo menyeringai. "Kerjaan Aphrodite lagi, ya? Kau bakalan jadi pendekar berbusana terbaik di kota ini, Ratu Kecantikan." "Hei, Leo." Jason menyikutnya. "Kau sudah melihat dirimu sendiri Baru-baru ini?" "Apa ... oh." Mereka semua telah didandani. Leo mengenakan celana garis-garis, sepatu kulit hitam, baju putih tak berkerah yang dilengkapi bretel, serta sabuk perkakas, kacamata hitam merk Ray-Ban, dan topi berpinggiran sempit. "Ya ampun, Leo." Piper berusaha tak tertawa. "Kalau tidak salah, ayahku memakai baju seperti itu kali terakhir dia datang ke pemutaran perdana filmnya, tapi tanpa sabuk perkakasnya." "Hei, tutup mulut!"

"Menurutku dia terlihat keren," kata Pak Pelatih Hedge. "Tapi tentu saja, aku lebih keren." Sang satir mengenakan busana berwarna serba pastel. Aphrodite memberinya setelan longgar berwarna kuning kenari —terdiri dari jas yang mencapai lutut serta celana yang pinggangnya terlalu ke atas—dilengkapi

sepatu dua warna yang pas di kakinya yang berkuku belah. Dia mengenakan topi kuning bertepi lebar yang serasi, kemeja sewarna mawar, dasi biru muda, dan bunga anyelir biru di kelepak jasnya, yang diendus-endus dan langsung dimakannya. "Yah," kata Jason, "paling tidak ibumu mengabaikanku." Piper tahu itu tidaklah benar. Saat memandang Jason, jantung Piper berdebar kencang. Jason berpakaian sederhana, hanya mengenakan jinn dan kaus ungu bersih seperti yang dia pakai di Grand Canyon. Dia mengenakan sepatu olahraga baru, sedangkan rambutnya terpangkas rapi. Matanya sewarna langit. Pesan Aphrodite sudah jelas: Yang ini tidak perlu dipermak. Piper sepakat. "Ngomong-ngomong," kata Piper gelisah, "kok kita bisa sampai di sini?" "Oh, itu berkat Mellie," kata Hedge sambil mengunyah anyelirnya dengan gembira. "Angin itu menerbangkan kita menyeberangi negeri ini, kurasa. Kita pasti sudah gepeng ditumbuk angin jika bukan berkat hadiah terakhir Mellie —angin semilir nyaman—yang meredam kita saat jatuh." "Dan dia dipecat gara-gara kita," kata Leo. "Ya ampun, kita benar-benar payah deh." "Ah, dia pasti baik-baik saja," kata Hedge. "Lagi pula, dia tak kuasa menahan diri. Aku memang memiliki pengaruh seperti itu terhadap para peri clam. Akan kukirimi dia pesan ketika kita sudah menuntaskan misi ini dan kubantu dia mencari pekerjaan yang baru. Kalau dengan aura yang satu itu, aku mau hidup mapan dan membesarkan sekawanan bayi kambing." "Aku mau muntah," kata Piper. "Ada lagi yang ingin kopi?" "Kopi!" Cengiran Hedge bernoda biru bekas bunga. “Aku suka sekali kopi!" "Mmm," kata Jason, "tapi —uangnya bagaimana? Tas kita?" Piper menengok ke bawah. Tas mereka ada di kakinya, dan semua kelihatannya masih tersimpan di sana. Piper merogoh saku jaketnya dan merasakan dua hal yang tidak diduga-duganya. Salah satunya adalah segepok uang. Satunya lagi vial kaca itu —ramuan amnesia. Piper membiarkan vial tersebut dalam sakunya dan mengeluarkan uang. Leo bersiul. "Uang saku? Piper, ibumu keren!" "Pelayan!" panggil Hedge. "Enam espreso dobel, dan terserah anak-anak ini mau apa. Masukkan ke tagihan gadis itu." *** Tidak butuh waktu lama untuk mencari tahu di mana mereka berada. Menu memampang tulisan "Cafe Verve, Walnut Creek, CA." Dan menurut sang pelayan, saat itu tanggal 21 Desember jam sembilan pagi, hari titik balik matahari musim dingin. Artinya, tenggat waktu yang diberikan Enceladus tinggal tiga jam lagi. Mereka juga tidak perlu bertanya-tanya di manakah letak Gunung Diablo. Mereka bisa melihatnya di kejauhan, tepat di ujung jalan. Dibandingkan dengan Pegunungan Rocky, Gunung Diablo kelihatannya tidak terlalu besar, juga tidak berselimut saiju. Gunung tersebut tampak damai, lekukan keemasannya ditaburi pohon hijau-kelabu. Tapi Piper tahu, ukuran gunung bisa menipu. Gunung tersebut barangkali jauh lebih besar dari dekat. Dan

penampilannya bisa menipu juga. Di sinilah mereka —kembali ke California—yang seharusnya merupakan kampung halaman Piper —dengan langit cerah, suhu sedang, orang-orang yang santai, dan sepiring chocolate chip scone beserta kopi. Beberapa mil dari sana, di suatu tempat di gunung yang damai itu, seorang raksasa yang superkuat dan superjahat hendak menyantap ayahnya untuk makan siang. Leo mengeluarkan sesuatu dari sakunya —gambar krayon lama yang diberikan Aeolus kepadanya. Aphrodite pasti berpendapat bahwa gambar itu penting jika dia merasa perlu untuk memindahkannya ke dalam pakaian baru Leo. "Apa itu?" tanya Piper. Leo kembali melipat gambar tersebut dengan hati- hati dan menyimpannya. "Bukan apa-apa. Kau pasti tak mau melihat karya seniku waktu TK." "Pasti lebih dari itu," tebak Jason. "Aeolus bilang gambar itu adalah kunci keberhasilanmu." Leo menggelengkan kepala. "Bukan untuk hari ini. Maksudnya kelak." "Bagaimana kau bisa yakin?" tanya Piper. "Percayalah penampilannya bisa menipu juga. Di sinilah mereka —kembali ke California—yang seharusnya merupakan kampung halaman Piper —dengan langit cerah, suhu sedang, orang-orang yang santai, dan sepiring chocolate chip scone beserta kopi. Beberapa mil dari sana, di suatu tempat di gunung yang damai itu, seorang raksasa yang superkuat dan superjahat hendak menyantap ayahnya untuk makan siang. Leo mengeluarkan sesuatu dari sakunya —gambar krayon lama yang diberikan Aeolus kepadanya. Aphrodite pasti berpendapat bahwa gambar itu penting jika dia merasa perlu untuk memindahkannya ke dalam pakaian baru Leo. "Apa itu?" tanya Piper. Leo kembali melipat gambar tersebut dengan hati- hati dan menyimpannya. "Bukan apa-apa. Kau pasti tak mau melihat karya seniku waktu TK." "Pasti lebih dari itu," tebak Jason. "Aeolus bilang gambar itu adalah kunci keberhasilanmu." Leo menggelengkan kepala. "Bukan untuk hari ini. Maksudnya kelak." "Bagaimana kau bisa yakin?" tanya Piper. "Percayalah

"Teman-teman," kata Piper. "Ada lagi yang perlu kalian ketahui." Bercerita memang sulit, sebab dia tidak boleh menyebut-nyebut ibunya; tapi Piper memberitahukan bahwa dia telah mengetahui sejumlah hal lewat mimpinya. Dia memberi tahu mereka siapa musuh mereka yang sebenarnya: Gaea. "Gaea?" Leo menggeleng-gelengkan kepala. "Bukankah dia itu Ibu Pertiwi? Konon dia itu kan memakai mahkota bunga di kepala, dikelilingi burung-burung yang menyanyi, dibantu rusa dan kelinci untuk mencuci pakaian." "Leo, itu Putri Salju," kata Piper. "Oke, tapi —" "Dengarkan, Bocah Lembek." Pak Pelatih Hedge menyeka espreso dari janggut kambingnya. "Piper baru Baja menyampaikan sesuatu yang serius. Gaea sama sekali tidak lembek. Aku bahkan tak yakin aku bisa mengalahkannya." Leo bersiul. "Masa?" Hedge mengangguk. "Si wanita tanah ini —dia dan suami lamanya, sang Langit, benar-benar kejam." "Ouranos," kata Piper. Dia mau tak mau mendongak untuk menatap langit biru, bertanya-tanya apakah langit punya mata. "Benar," kata Hedge. "Ouranos memang bukan ayah yang baik. Dia melemparkan anak-anak pertama mereka, para Cyclops, ke dalam Tartarus. Perbuatan itu membuat Gaea marah, tapi dia menahan diri, menunggu waktu yang tepat. Kemudian mereka punya anak lagi —dua belas Titan—dan Gaea khawatir mereka bakal dilempar ke dalam penjara juga. Jadi, dia mendekati putranya Kronos —" "Si besar jahat," kata Leo. "Yang mereka kalahkan musim panas lalu."

"Benar. Dan Gaea-lah yang memberinya sabit serta memberitahunya, `Hei, bagaimana kalau kau panggil ayahmu ke bawah sini? Dan selagi dia berbicara padaku, perhatiannya teralih, kau boleh mencincang- cincangnya. Kemudian kau bisa menguasai dunia. Bukankah itu hebat?'"' Tak ada yang mengucapkan apa-apa. Chocolate chip scone milik Piper tak lagi tampak menggugah selera. Meskipun dia pernah mendengar kisah itu sebelumnya, dia tetap saja tidak bisa memahaminya. Dia berusaha membayangkan seorang anak yang demikian tidak beres sampai-sampai rela membunuh ayahnya sendiri hanya demi kekuasaan. Kemudian dia membayangkan seorang ibu yang demikian tidak beres sampai-sampai rela meyakinkan putranya agar melakukan itu. "Jelas-jelas bukan Putri Salju," Piper memutuskan. "Memang bukan. Kronos itu jahat," kata Hedge. "Tapi, Gaea adalah ibu dari semua makhluk jahat. Dia begitu tua dan kuat, begitu besar, sehingga sulit baginya untuk tersadar sepenuhnya. Biasanya, dia tidur saja terus. Itulah yang kita inginkan —agar dia terus mengorok." "Tapi dia bicara padaku," kata Leo. "Mana mungkin dia tidur?" Gleeson membersihkan remah-remah dari kelepak jas kuning kenarinya. Dia sedang meminum espresonya yang keenam, dan pupilnya sudah sebesar uang seperempat dolar. "Bahkan ketika tidur, sebagian kesadarannya tetap aktif —bermimpi, memperhatikan, melakukan kegiatan kecil- kecilan seperti menyebabkan gunung berapi meletus dan membangkitkan monster. Bahkan sekarang ini, dia belum sepenuhnya terjaga. Percayalah padaku, kalian takkan ingin melihatnya terjaga sepenuhnya." "Tapi dia semakin kuat," ujar Piper. "Dia membangkitkan para raksasa. Dan jika raja mereka kembali —si Porphyrion itu —"

"Porphyrion akan mengerahkan pasukan untuk membinasakan para dewa," tukas Jason. "Dimulai dengan Hera. Akan ada perang lagi. Dan Gaea akan terjaga sepenuhnya." Gleeson mengangguk. "Itulah sebabnya lebih baik kita jauh-jauh dari tanah sebisa mungkin." Leo memandangi Gunung Diablo dengan waswas. "Jadi mendaki gunung. Pasti bakal berbahaya." Hati Piper mencelus. Pertama-tama, dia telah diminta mengkhianati teman-temannya. Kini mereka berusaha membantu Piper menyelamatkan ayahnya meskipun mereka tahu mereka tengah memasuki perangkap. Membayangkan harus bertarung melawan raksasa saja sudah cukup menakutkan. Tapi membayangkan bahwa Gaea-lah yang mengatur semua ini —kekuatan yang bahkan lebih kuat daripada dewa atau Titan ... "Teman-teman, aku tak bisa meminta kalian melakukan ini," kata Piper. "Ini terlalu berbahaya." "Kau bercanda?" Gleeson beserdawa dan memamerkan senyum anyelir birunya kepada mereka. "Siapa siap untuk dihajar?"[]