BAB TIGA PULUH LIMA LEO

BAB TIGA PULUH LIMA LEO

LEO MENDUGA DIALAH YANG PALING apes dalam kelompok tersebut, padahal yang lain juga tidak mujur-mujur amat. Kenapa bukan dia yang memiliki kakak perempuan yang sudah lama terpisahkan atau ayah bintang film yang perlu diselamatkan? Yang didapat Leo cuma sabuk perkakas dan naga yang rusak di tengah-tengah misi. Mungkin itu gara-gara kutukan tolol yang menimpa pondok Hephaestus, tapi menurut Leo bukan itu sebabnya. Kehidupannya memang sudah sial jauh sebelum dia datang ke perkemahan. Seribu tahun mendatang, ketika misi ini dikisahkan di sekeliling api unggun, Leo duga orang-orang bakalan membicarakan Jason yang pemberani, Piper yang cantik, dan anak buah mereka si Valdez Membara, yang menemani mereka dengan sekantong obeng ajaib dan kadang-kadang membuatkan burger tahu. Seandainya itu masih kurang parah, Leo jatuh cinta pada setiap gadis yang dia lihat —asalkan mereka sama sekali tak sebanding dengannya. Ketika dia kali pertama melihat Thalia, Leo langsung berpikir bahwa gadis itu terlalu cantik untuk menjadi kakak Jason. Lalu Leo berpikir sebaiknya dia tidak mengatakan itu atau dia bisa-bisa kena masalah. Leo menyukai rambut gelap Thalia, mata birunya, dan sikapnya yang percaya diri. Thalia kelihatannya merupakan tipe cewek yang bisa mengalahkan siapa pun di lapangan bola atau medan tempur, dan tidak bakalan menengok ke arah Leo satu kali pun —benar-benar tipe cewek yang disukai Leo! Selama semenit, Jason dan Thalia berhadapan, terperanjat. Kemudian Thalia bergegas maju dan memeluk Jason. "Demi para dewa! Dia bilang kau sudah mati." Thalia meme-gangi wajah Jason dan sepertinya sedang memeriksa mukanya secara menyeluruh. "Syukur kepada Artemis, ini memang kau. Bekas luka kecil di bibirmu —kau mencoba makan stapler waktu umurmu dua tahun!" Leo tertawa. "Serius tuh?" Hedge mengangguk-angguk seakan dia setuju dengan selera Jason. "Stapler —sumber zat

besi yang bagus." "T-tunggu," Jason terbata. "Siapa yang memberitahumu aku sudah mati? Apa yang terjadi?" Di pintu masuk gua, salah satu serigala putih menyalak. Thalia menoleh kepada serigala itu dan mengangguk, tapi dia terus menempelkan tangan ke wajah Jason, seakan dia takut Jason bakal lenyap. "Serigalaku bilang kalau aku tak punya banyak waktu, dan dia benar. Tapi kita harus bicara. Ayo duduk." Piper melakukan lebih dari itu. Dia ambruk. Kepalanya pasti terbentur lantai gua jika Hedge tak menangkapnya. Thalia bergegas menghampiri. "Kenapa dia? Ah —oke. Aku tahu. Hipotermia. Pergelangan kaki." Dia memandang sang satir sambil mengerutkan dahi. "Tidakkah kautahu teknik penyembuhan alam?" Hedge mendengus. "Menurutmu kenapa dia tampak sesehat ini? Tak bisakah kau mencium aroma minuman berenergi?" Thalia memandang Leo untuk pertama kalinya, dan tentu saja tatapannya itu penuh tuduhan, seakan hendak mengatakan Kenapa kaubiarkan si kambing itu menjadi dokter? Seakan itu adalah salah Leo. "Kau dan si satir," perintah Thalia, "bawa gadis ini ke temanku di pintu gua. Phoebe penyembuh yang hebat." "Di luar sana dingin!" kata Hedge. "Bisa-bisa tandukku beku." Tapi Leo tahu mereka tak diinginkan. "Ayo, Pak Hedge. Mereka berdua butuh waktu untuk bicara." "Hah. Ya sudah," gerutu sang satir. "Menggetok kepala saja tak sempat." Hedge menggendong Piper ke pintu masuk gua. Leo hendak mengikuti ketika Jason memanggil, "Sebenarnya, Bung, bisakah kau, anu, nongkrong di sini saja?" Leo melihat sesuatu yang tak diduga-duganya di mata Jason: Jason sedang meminta dukungan. Dia ingin agar ada orang lain di sana. Dia takut. Leo menyeringai. "Nongkrong adalah keahlianku." Thalia kelihatannya tidak terlalu senang soal itu, tapi mereka berdua duduk di dekat api. Selama beberapa detik, tak seorang pun bicara. Jason mengamati kakaknya seolah dia adalah alat yang menakutkan — yang bisa meledak jika tidak ditangani secara tepat. Thalia tampaknya lebih santai, seolah dia sudah terbiasa menjumpai hal-hal yang lebih aneh daripada kerabat yang sudah lama hilang. Tapi gadis itu tetap saja memandang Jason dengan bingung bercampur takjub, mungkin mengingat-ingat anak umur dua tahun yang mencoba memakan stapler. Leo mengambil potongan kabel tembaga dari saku dan memuntirnya.

Akhirnya, dia tak tahan lagi dengan keheningan itu. "Jadi Pemburu Artemis. Soal `tidak boleh pacaran' — apa harus selalu seperti itu, atau sesekali saja, atau bagaimana?" Thalia menatap Leo seolah-olah dia baru saja berevolusi dari lendir telaga. Benar, tak diragukan lagi, Leo betul-betul menyukai cewek ini. Jason menendang tulang keringnya. "Jangan pedulikan Leo. Dia cuma berusaha untuk memecahkan ketegangan. Tapi, Thalia apa yang terjadi pada keluarga kita? Siapa yang memberitahumu aku sudah mati?" Thalia menarik-narik gelang perak di pergelangan tangannya. Di tengah-tengah cahaya api unggun, dalam balutan baju kamuflase musim dinginnya, Thalia hampir menyerupai Khione sang putri salju —sama dinginnya dan sama cantiknya. "Adakah yang kauingat?" tanya Thalia. Jason menggelengkan kepala. "Aku terbangun tiga hari lalu di bus bersama Leo dan Piper." "Itu bukan salah kami," imbuh Leo cepat-cepat. "Hera men-curi ingatannya." Thalia menegang. "Hera? Bagaimana kautahu?" Jason menjelaskan tentang misi mereka —ramalan di perkemahan, Hera yang ditawan, raksasa yang menculik aya,h Piper, dan tenggat waktu titik balik matahari musim dingin. Leo menimpali untuk menambahkan hal-hal penting: bagaimana dia memperbaiki naga perunggu, bisa melempar bola api, dan membuat taco yang lezat. Thalia adalah pendengar yang baik. Sepertinya tak ada yang bisa membuatnya kaget —monster, ramalan, orang-orang mati yang bangkit kembali. Tapi ketika Jason Akhirnya, dia tak tahan lagi dengan keheningan itu. "Jadi Pemburu Artemis. Soal `tidak boleh pacaran' — apa harus selalu seperti itu, atau sesekali saja, atau bagaimana?" Thalia menatap Leo seolah-olah dia baru saja berevolusi dari lendir telaga. Benar, tak diragukan lagi, Leo betul-betul menyukai cewek ini. Jason menendang tulang keringnya. "Jangan pedulikan Leo. Dia cuma berusaha untuk memecahkan ketegangan. Tapi, Thalia apa yang terjadi pada keluarga kita? Siapa yang memberitahumu aku sudah mati?" Thalia menarik-narik gelang perak di pergelangan tangannya. Di tengah-tengah cahaya api unggun, dalam balutan baju kamuflase musim dinginnya, Thalia hampir menyerupai Khione sang putri salju —sama dinginnya dan sama cantiknya. "Adakah yang kauingat?" tanya Thalia. Jason menggelengkan kepala. "Aku terbangun tiga hari lalu di bus bersama Leo dan Piper." "Itu bukan salah kami," imbuh Leo cepat-cepat. "Hera men-curi ingatannya." Thalia menegang. "Hera? Bagaimana kautahu?" Jason menjelaskan tentang misi mereka —ramalan di perkemahan, Hera yang ditawan, raksasa yang menculik aya,h Piper, dan tenggat waktu titik balik matahari musim dingin. Leo menimpali untuk menambahkan hal-hal penting: bagaimana dia memperbaiki naga perunggu, bisa melempar bola api, dan membuat taco yang lezat. Thalia adalah pendengar yang baik. Sepertinya tak ada yang bisa membuatnya kaget —monster, ramalan, orang-orang mati yang bangkit kembali. Tapi ketika Jason

tidak menyikapi ketenaran dengan baik. Dia mabuk-mabukan, melakukan aksi konyol. Dia sering sekali masuk tabloid. Dia selalu haus akan perhatian. Bahkan sebelum kau lahir, dia dan aku bertengkar sepanjang waktu. Dia ... dia tahu Ayah adalah Zeus, dan menurutku itu membuatnya kewalahan. Menarik perhatian penguasa langit adalah pencapaian paripurna baginya, dan dia tidak rela waktu ayah kita pergi. Padahal, memang begitulah dewa mereka tak akan menetap lama-lama." Leo teringat ibunya sendiri, caranya meyakinkan Leo berulang-ulang bahwa ayah Leo akan kembali kelak. Tapi ibunya tidak pernah marah-marah soal itu. Dia tidak bersikap seolah menginginkan Hephaestus untuk dirinya sendiri —dia hanya ingin agar Leo mengenal ayahnya. Ibu Leo rela bekerja dengan gaji pas-pasan, tinggal di apartemen kecil, tak pernah memiliki cukup uang —dan dia sepertinya tenang-tenang saja menghadapi itu. Dia selalu berkata: asalkan dia punya Leo, kehidupannya pasti akan baik-baik saja. Leo memperhatikan wajah Jason —kian lama kian menderita saat Thalia memaparkan tentang ibu mereka— dan kali ini, Leo tidak merasa cemburu pada sahabatnya itu. Leo mungkin telah kehilangan ibunya. Dia mungkin telah menjalani masa-masa berat. Tapi setidaknya Leo mengingat ibunya. Leo mendapati dirinya mengetukkan kode Morse ke lutut: Sayang kau. Dia bersimpati pada Jason, yang tidak memiliki memori seperti itu —tidak memiliki apa-apa untuk dikenang. "Jadi ..." Jason tampaknya tidak sanggup menyelesaikan pertanyaan itu. "Jason, kau punya teman," Leo memberitahunya. "Sekarang kau punya kakak. Kau tidak sendirian." Thalia mengulurkan tangan, dan Jason menggamitnya. "Waktu umurku sekitar tujuh tahun," kata Thalia, "Zeus mulai mengunjungi Ibu lagi. Kurasa dia merasa bersalah karena sudah menghancurkan kehidupan Ibu. Tapi, entah bagaimana, Zeus tampak —lain. Agak lebih tua dan lebih galak, bersikap lebih kebapakan padaku. Untuk sementara, Ibu membaik. Dia senang dengan keberadaan Zeus yang membawakannya hadiah, menyebabkan langit menggemuruh. Dia selalu menginginkan lebih banyak perhatian. Tahun itulah kau dilahirkan. Ibu yah, aku tak pernah akur dengannya, tapi kau memberiku alasan untuk bertahan. Kau menggemaskan sekali. Dan aku tidak tidak menyikapi ketenaran dengan baik. Dia mabuk-mabukan, melakukan aksi konyol. Dia sering sekali masuk tabloid. Dia selalu haus akan perhatian. Bahkan sebelum kau lahir, dia dan aku bertengkar sepanjang waktu. Dia ... dia tahu Ayah adalah Zeus, dan menurutku itu membuatnya kewalahan. Menarik perhatian penguasa langit adalah pencapaian paripurna baginya, dan dia tidak rela waktu ayah kita pergi. Padahal, memang begitulah dewa mereka tak akan menetap lama-lama." Leo teringat ibunya sendiri, caranya meyakinkan Leo berulang-ulang bahwa ayah Leo akan kembali kelak. Tapi ibunya tidak pernah marah-marah soal itu. Dia tidak bersikap seolah menginginkan Hephaestus untuk dirinya sendiri —dia hanya ingin agar Leo mengenal ayahnya. Ibu Leo rela bekerja dengan gaji pas-pasan, tinggal di apartemen kecil, tak pernah memiliki cukup uang —dan dia sepertinya tenang-tenang saja menghadapi itu. Dia selalu berkata: asalkan dia punya Leo, kehidupannya pasti akan baik-baik saja. Leo memperhatikan wajah Jason —kian lama kian menderita saat Thalia memaparkan tentang ibu mereka— dan kali ini, Leo tidak merasa cemburu pada sahabatnya itu. Leo mungkin telah kehilangan ibunya. Dia mungkin telah menjalani masa-masa berat. Tapi setidaknya Leo mengingat ibunya. Leo mendapati dirinya mengetukkan kode Morse ke lutut: Sayang kau. Dia bersimpati pada Jason, yang tidak memiliki memori seperti itu —tidak memiliki apa-apa untuk dikenang. "Jadi ..." Jason tampaknya tidak sanggup menyelesaikan pertanyaan itu. "Jason, kau punya teman," Leo memberitahunya. "Sekarang kau punya kakak. Kau tidak sendirian." Thalia mengulurkan tangan, dan Jason menggamitnya. "Waktu umurku sekitar tujuh tahun," kata Thalia, "Zeus mulai mengunjungi Ibu lagi. Kurasa dia merasa bersalah karena sudah menghancurkan kehidupan Ibu. Tapi, entah bagaimana, Zeus tampak —lain. Agak lebih tua dan lebih galak, bersikap lebih kebapakan padaku. Untuk sementara, Ibu membaik. Dia senang dengan keberadaan Zeus yang membawakannya hadiah, menyebabkan langit menggemuruh. Dia selalu menginginkan lebih banyak perhatian. Tahun itulah kau dilahirkan. Ibu yah, aku tak pernah akur dengannya, tapi kau memberiku alasan untuk bertahan. Kau menggemaskan sekali. Dan aku tidak

Thalia meremas tangan adiknya. aku tahu kau masih hidup ... demi para dewa, keadaannya pasti akan jadi berbeda. Ketika umurmu dua tahun, Ibu mengajak kita naik mobil untuk liburan keluarga. Kita bermobil ke utara, menuju daerah penghasil anggur, ke sebuah hutan raya yang ingin ditunjukkannya kepada kita. Aku ingat aku sempat berpikir bahwa itu aneh karena Ibu tidak pernah mengajak kita ke mana-mana, dan sikapnya sangat gugup. Aku menggandeng tanganmu, menuntunmu ke bangunan besar di tengah-tengah hutan raya, kemudian ..." Napasnya gemetar. "Ibu menyuruhku kembali ke mobil dan mengambil keranjang piknik. Aku tak mau meninggalkanmu sendirian bersama Ibu, tapi toh cuma beberapa menit. Ketika aku kembali Ibu sedang berlutut di undakan batu, memeluk dirinya sendiri dan menangis. Dia bilang —dia bilang kau sudah tiada. Dia bilang Hera mengambilmu dan itu sama saja artinya kau sudah mati. Aku tak tahu apa yang telah dia perbuat. Aku takut Ibu benar-benar sudah hilang akal. Aku lari ke sekeliling tempat itu untuk mencarimu, tapi kau menghilang begitu saja. Ibu harus menyeretku pergi, sebab aku menendang-nendang dan menjerit-jerit. Selama beberapa hari kemudian, aku histeris. Aku tak ingat semuanya, tapi aku menelepon polisi untuk melaporkan Ibu dan lama sekali mereka menanyainya. Sesudah itu, kami bertengkar. Ibu menuduhku mengkhianatinya, bahwa aku seharusnya mendukungnya, seakan hanya dia yang penting. Akhirnya aku tak tahan lagi. Hilangnya dirimu adalah pemicunya. Aku kabur dari rumah, dan aku tak pernah kembali, bahkan tidak ketika Ibu meninggal beberapa tahun lalu. Kukira kau sudah tiada selamanya. Aku tak pernah bercerita tentangmu kepada siapa pun —tidak juga kepada Annabeth atau Luke, dua sahabatku. Rasanya terlalu menyakitkan." "Chiron tahu." Suara Jason terdengar jauh. "Waktu aku tiba di perkemahan, dia cukup sekali memandangku lalu berkata, 'Kau seharusnya sudah mati.'" "Itu tidak masuk akal," Thalia berkeras. "Aku tak pernah memberitahunya." "Hei," ujar Leo. "Yang penting adalah sekarang kalian saling memiliki, ya kan? Kalian berdua beruntung." Thalia mengangguk. "Leo benar. Lihatlah dirimu. Kau sudah seumurku. Kau sudah besar." "Tapi ke mana saja aku selama ini?" ujar Jason. "Bagaimana mungkin aku menghilang selama ini? Dan segala tetek-bengek Romawi itu ..." Thalia mengerutkan kening. "Tetek-bengek Romawi?" "Adikmu bisa berbahasa Latin," kata Leo. "Dia menyebut dewa-dewa dengan nama Romawi mereka, dan dia punya tato." Leo menunjuk rajah di lengan Jason. Lalu dia bercerita kepada Thalia mengenai semua hal aneh yang telah terjadi: Boreas yang berubah menjadi Aquilon, Lycaon yang Thalia meremas tangan adiknya. aku tahu kau masih hidup ... demi para dewa, keadaannya pasti akan jadi berbeda. Ketika umurmu dua tahun, Ibu mengajak kita naik mobil untuk liburan keluarga. Kita bermobil ke utara, menuju daerah penghasil anggur, ke sebuah hutan raya yang ingin ditunjukkannya kepada kita. Aku ingat aku sempat berpikir bahwa itu aneh karena Ibu tidak pernah mengajak kita ke mana-mana, dan sikapnya sangat gugup. Aku menggandeng tanganmu, menuntunmu ke bangunan besar di tengah-tengah hutan raya, kemudian ..." Napasnya gemetar. "Ibu menyuruhku kembali ke mobil dan mengambil keranjang piknik. Aku tak mau meninggalkanmu sendirian bersama Ibu, tapi toh cuma beberapa menit. Ketika aku kembali Ibu sedang berlutut di undakan batu, memeluk dirinya sendiri dan menangis. Dia bilang —dia bilang kau sudah tiada. Dia bilang Hera mengambilmu dan itu sama saja artinya kau sudah mati. Aku tak tahu apa yang telah dia perbuat. Aku takut Ibu benar-benar sudah hilang akal. Aku lari ke sekeliling tempat itu untuk mencarimu, tapi kau menghilang begitu saja. Ibu harus menyeretku pergi, sebab aku menendang-nendang dan menjerit-jerit. Selama beberapa hari kemudian, aku histeris. Aku tak ingat semuanya, tapi aku menelepon polisi untuk melaporkan Ibu dan lama sekali mereka menanyainya. Sesudah itu, kami bertengkar. Ibu menuduhku mengkhianatinya, bahwa aku seharusnya mendukungnya, seakan hanya dia yang penting. Akhirnya aku tak tahan lagi. Hilangnya dirimu adalah pemicunya. Aku kabur dari rumah, dan aku tak pernah kembali, bahkan tidak ketika Ibu meninggal beberapa tahun lalu. Kukira kau sudah tiada selamanya. Aku tak pernah bercerita tentangmu kepada siapa pun —tidak juga kepada Annabeth atau Luke, dua sahabatku. Rasanya terlalu menyakitkan." "Chiron tahu." Suara Jason terdengar jauh. "Waktu aku tiba di perkemahan, dia cukup sekali memandangku lalu berkata, 'Kau seharusnya sudah mati.'" "Itu tidak masuk akal," Thalia berkeras. "Aku tak pernah memberitahunya." "Hei," ujar Leo. "Yang penting adalah sekarang kalian saling memiliki, ya kan? Kalian berdua beruntung." Thalia mengangguk. "Leo benar. Lihatlah dirimu. Kau sudah seumurku. Kau sudah besar." "Tapi ke mana saja aku selama ini?" ujar Jason. "Bagaimana mungkin aku menghilang selama ini? Dan segala tetek-bengek Romawi itu ..." Thalia mengerutkan kening. "Tetek-bengek Romawi?" "Adikmu bisa berbahasa Latin," kata Leo. "Dia menyebut dewa-dewa dengan nama Romawi mereka, dan dia punya tato." Leo menunjuk rajah di lengan Jason. Lalu dia bercerita kepada Thalia mengenai semua hal aneh yang telah terjadi: Boreas yang berubah menjadi Aquilon, Lycaon yang

Perkemahan Blasteran. Anak Zeus, atau Jupiter, atau terserah kau memanggilnya apa —kau pasti diburu monster. Jika kau hidup sendirian, kau pasti sudah mati bertahun-tahun lalu. Aku tahu aku takkan mampu bertahan hidup tanpa teman. Kau pasti membutuhkan latihan, tempat berlindung yang aman —" "Dia tidak sendirian," sembur Leo. "Kami sudah mendengar tentang anak-anak lain seperti dia." Thalia memandang Leo kebingungan. "Apa maksudmu?" Leo memberitahunya tentang baju tercabik-cabik di toko serbaada Medea, dan cerita yang dikisahkan Cyclops mengenai anak Merkurius yang berbicara dalam bahasa Latin. "Tidak adakah tempat lain untuk demigod?" tanya Leo. "Maksudku selain Perkemahan Blasteran? Mungkin ada guru bahasa Latin sinting yang menculik anak-anak dewa atau semacamnya, menjadikan mereka berpikir layaknya orang Romawi." Begitu dia mengucapkannya, Leo menyadari betapa ide tersebut terdengar konyol. Mata biru kemilau Thalia mengamatinya dengan saksama, membuatnya merasa bagaikan tersangka yang sedang dibariskan. "Aku sudah menjelajahi seluruh pelosok negeri," Thalia membatin. "Aku tak pernah melihat bukti-bukti keberadaan seorang guru bahasa Latin sinting, atau demigod berkaus ungu. Walau begitu ..." Suaranya menghilang, seolah sebuah pemikiran mengelisahkan baru raja terbetik di benaknya. "Apa?" tanya Jason. Thalia menggelengkan kepala. "Aku harus bicara kepada sang dewi. Mungkin Artemis bersedia memandu kita." "Dia masih bicara pada kalian?" tanya Jason. "Sebagian besar dewa telah membisu." "Artemis mengikuti aturannya sendiri," kata Thalia. "Dia harus berhati-hati supaya Zeus tidak tahu, tapi menurutnya Zeus telah bersikap konyol karena menutup Olympus. Sang Dewi-lah yang telah mengutus kami untuk mengikuti jejak Lycaon. Dia bilang kami akan menemukan petunjuk mengenai seorang teman kami yang hilang." "Percy Jackson," terka Leo. "Cowok yang dicari Annabeth." Thalia mengangguk, wajahnya penuh kekhawatiran. Leo bertanya-tanya adakah yang pernah bertampang sekhawatir itu selama ini, saat dia menghilang. Dia meragukannya. "jadi, apa hubungan Lycaon dengan semua ini?" tanya Leo. "Dan apa kaitannya dengan kami?" "Kita harus sesegera mungkin mencari tahu," Thalia mengakui. "Jika tenggat waktu kalian besok, kita sedang membuang-buang waktu sekarang. Aeolus bisa memheri tahu kalian —" Sang serigala putih muncul lagi di pintu gua dan mendengking memaksa. "Aku harus bergerak." Thalia berdiri. "Kalau aku lama-lama di sini, aku akan kehilangan jejak para Pemburu yang lain. Tapi pertama- tama, akan kuantar kalian ke istana Aeolus." "Kalau kau tak bisa, tak apa-apa," ujar Jason, meskipun dia kedengarannya agak tertekan. "Oh, sudahlah." Thalia tersenyum dan membantu Jason berdiri. "Aku sudah bertahun-tahun tak punya adik. Kurasa aku bisa bertahan beberapa menit bersamamu sebelum kau jadi menyebalkan. Nah, ayo kita pergi!"[]