Perselisihan Sendenhan Dengan Gunseikanbu

G. Perselisihan Sendenhan Dengan Gunseikanbu

Dalam usaha mendekati rakyat Indonesia, para anggota Sendenhan kewalahan karena ulah prajurit Jepang yang malah menjauhkan mereka dari rakyat setempat. Misalnya ulah prajurit Jepang terhadap seorang penari Indonesia. Kekuasaan dan penaklukan sering kali mengandung kekerasan. Contohnya adalah kejadian seperti ini. Untuk mencegah ulah prajurit yang tidak manusiawi seperti itu, mereka sering memberi peringatan dalam berbagai bentuk. Di Taiwan, Sendenhan sudah membuat selebaran (Leaflet) yang isinya antara lain hal-hal

348 Kathy Foley, 1979, SundaneseWayang Golek, Honolulu: University of Hawaii, 348 Kathy Foley, 1979, SundaneseWayang Golek, Honolulu: University of Hawaii,

membangun Jawa yang sehat” (8/9/1942). 349 Dalam otobiografi, Rosihan Anwar yang pernah bekerja sebagai wartawan

Asia Raya mengenang pengalamannya pada masa pendudukan Jepang sebagai berikut:

Agaknya di zaman pendudukan Jepang saya mulai sadar akan identitas saya sebagai orang Indonesia. (…) Orang-orang Jepang kerjanya suka main tempeleng terhadap orang Indonesia (…). Saya kebagian pula kemplangan orang Jepang, di kantor Kenpeitai (…). Saya insaf ada perbedaan antara “pihak sana” (Jepang) dengan “pihak sini”

(Indonesia). 350

Ada sebuah sajak Rosihan Anwar yang rupanya ditulis atas kesadaran seperti itu. Pada tahun 1944, tema sastra mulai beralih. Umpamanya muncul sajak-sajak yang tidak sepenuhnya propaganda, yang sebelumnya cenderung hanya meningkatkan semangat pertempuran, semangat kerja, dan kecintaan kepada tanah air sebagai anggota Asia Timur Raya. Misalnya, sajak “Djarak Beloem Bertitian” (Djawa Baroe 15 januari 1944). Sajak ini mengungkapkan rasa kecewa terhadap pihak Jepang karena ada perselisihan antara si aku lirik yang

349 Unabara Shinbunsha, 1942, Batavia.

350 Rosihan Anwar, 1983, Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi, Jakarta: Sinar Harapan, hlm.99.

melambangkan pihak Indonesia dan si kau yang melambangkan pihak Jepang, yaitu perselisihan antara rakyat Indonesia yang ingin merdeka dan pemerintah Jepang yang tidak mau memerdekakan Indonesia.

DJARAK BELOEM BERTITIAN Pabila koekenang kepoetoesan kata: “Djangan akoe didamping djoega Lekaslah djaoeh berangkat pergi Tiada kita dapat serasi Dialamkoe engkau “asing” Koerasa…” Akoe tersenjoem …piloe mengerti… Tidaklah kautahoe diroendoeng rindu, Seorang penjair diroendoeng rindu, Pabila dihati damba memakoe Kasih tersimpan, sajang terjantoem? Setiap koekenang, semakin koejakin Biarpoen akoe dipinta pergi, Akan tibalah masanja pasti, Kau koeadjar melihat dialam Seni

351 Soepaja kita saling mengerti! Secara tersirat, isi sajak ini menyatakan bahwa orang jepang yang seolah-olah

membebaskan rakyat Indonesia ternyata adalah pemeras yang bersikap dingin dan angkih terhadap orang Indonesia dan (memang) bukan “saudara tua” melainkan orang “asing”.

Menjelang pertengahan tahun 1943, situasi perang bagi Jepang mulai memburuk. 352 Memasuki tahun 1944, situasi perang semakin tegang dan tidak

menguntungkan pihak Jepang lagi. Bersamaan dengan peralihan situasi tersebut, pemerasan atas segala sumber daya yang ada di Indonesia pun semakin intensif

dilakukan untuk menunjang peperangan. 353 Lewat penindasan pihak Jepang yang

351 Djawa Baroe (no.2. 15.1.2604), hlm.31.

352 Kenichi Goto, 1989, Kindai Nihon To Indonesia (Jepang Modern dan Indonesia), Tokyo: Hokuju Shuppan, hlm.82-84.

353 Pemimpin Sendenhan Machida membagi masa pendudukan Jepang (di Jawa) ke dalam tiga kurun waktu isertai kebijakan pokok Jepang saat itu: (1) sesaat setelah pendudukan: Jepang

menitik beratkan kebijakan tentang sumber daya untuk keperluan perang; (2) setelah situasi perang menitik beratkan kebijakan tentang sumber daya untuk keperluan perang; (2) setelah situasi perang

Pada bulan Agustus 1944, pihak Jepang semakin terdesak dalam perang. Hal ini ditandai dengan beberapa wilayah yang didudukinya satu demi satu direbut oleh Sekutu ditambah gencarnya serangan Sekutu terhadap negeri Jepang sendiri. Akibatnya situasi perang yang tidak menguntungkan seperti itu, maka pada tanggal 7 September 1944 di parlemen, PM Jepang Koiso berpidato akan memberikan kedaulatan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan ini merupakan pernyataan jepang yang pertama kali menyinggung kemerdekaan Indonesia secara resmi. 354

Dapat disimpulkan bahwa sajak “Djarak Beloem Bertitian” yang bertemakan kekecewaan atas pihak Jepang tersebut menggambarkan hati penyair yang tertekan untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia dan rasa benci terhadap Jepang secara terang-terangan. Tertekan karena menyatakan hal-hal seperti itu bisa mengancam nyawanya. Maka, mungkin karena alasan itulah sajak tersebut dipasang pengaman, yaitu kalimat penutup “soepaja kita saling mengerti!”.

memburuk: Jawa menjadi “surga” Jepang memeras habis Jawa (pemerasan itu dilakukan untuk dioper ke seluruh daerah medan perang, tetapi jalurnya sudah ditutup Sekutu, maka mereka yang di Jawa menyelamatkan semua itu untuk diri sendiri); (3) situasi perang sangat memburuk (hamper kalah): Jepang member umpan yang bernama kemerdekaan untuk menjaga kestabilan politik dan melakukan pemerasan terakhir (Machida,op.cit, hlm.200). Dapat diketahui bahwa sepanjang masa pendudukan, Jepang hanya berusaha memperoleh sumber daya.

354 Kenichi Goto, op.cit, hlm.78.

Dengan demikian, sajak ini seolah-olah menjadi sajak cinta seseorang yang merindukan kekasih yang menyuruhnya pergi.

Menarik perhatian di sini adalah bahwa masa munculnya sajak itu bersamaan dengan atau sedikit mendahuui masa semakin meburuknya keamanan dan terjadinya gerakan anti-perang. Pada bulan Februari 1944, akan terjadi

pemberontakan Singaparna. 355 Kemudian, sejak bulan April 1944 akan terjadi sederetan pemberontakan petani di kabupaten Indramayu. 356 Tidak seperti petani, penyair Rosihan Anwar tidak gegabah langsung mengamuk, tetapi dalam karya yang merupakan penyalur perasaannya, ia berbisik, “Kita lihat saja nanti.” Jadi, penulisan sajak “Djarak beloem Bertitian” ini dapat dianggap juga sebagai “pemberontakan pujangga” atau “pemberontakan ‘dialam Seni’ “ atas penindasan oleh Jepang.

Dalam disertasinya, kritikus Umar Junus menyatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang tidak diterbitkan karya berisikan reaksi negatif kepada

Jepang. 357 Namun, pernyataan ini tidak benar. Selain sajak tadi, sajak “Meminta dan Memberi” 358 karya Usmar Ismail juga berisikan reaksi negatif, yaitu

keresahan hati atas pemeresan oleh pihak Jepang. Di bawah ini kutipan sajak seutuhnya.

Meminta dan Memberi

Ah, djika kautahoe resahnya…

355 Aiko Kurasawa, Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang, op.cit, hlm.471-486.

356 Ibid, hlm.486-504.

357 Umar Junus, 1986, Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, hlm.58.

358 Djawa Baroe (no.4. 15.2.2604).

Petjahan aloen dikarang kalboe Ta’ kan kau berkata Ta’ kau bertanja, Tapi kau dalam berdiam ‘kan member segala ada, Karena kau tahoe soedah Akoe ta’ kan meminta

359 Melainkan akan member hanja.

Dalam sajak diatas Usmar Ismail mengungkapkan rasa resah kepada Jepang yang selama itu berkelit untuk menyinggung soal kemerdekaan Indonesia padahal rakyat Indonesia telah memberikan segala-galanya tanpa menolak dan tanpa menuntut apa-apa.

Rupanya, ambiguitas inilah yang memungkinkan adanya sajak-sajak yang lolos dari tangan sensor. Sebagai satu kecenderungan, karya sastra itu makin kurang bernilai sastra, makin langsung menceritakan sikon sewaktu ia ditulis. Pada umumnya, sastra Indonesia-Tionghoa, “roman picisan,” dan sastra masa Jepang lebih langsung menceritakan sikon sezaman daripada karya Putu Wijaya, misalnya. Berkenaan dengan masalah ini, yang mencolok pada puisi masa Jepang adalah kedenotatifan bahasa, meski masih ambigu jika dibandingkan dengan prosa. Hal ini bukan akibat kurangnya kemampuan abstraksi penyair, melainkan karena pengharaman makna ganda oleh pihak Jepang guna menyampaikan atau mengajarkan pesan pemerintah tanpa salah pengertian kepada sebagian besar rakyat yang kurang mengenal kode sastra. 360 Sebaliknya, misalnya, dalam Djawa

Baroe dimuat sebanyak Sembilan belas buah cerpen, tetapi tidak ada yang mengandung reaksi negative kepada Jepang. Karena sifat prosa yang cenderung

359 Djawa baroe (no.4. 15.2.2604), hlm.31.

360 Menurut A. Teeuw, untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai tiga kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dank ode sastra, A. Teeuw, 1991, Membaca dan

Menilai Sastra, Jakarta: Gramedia, hlm.12-15.

“menguraikan kadang sampai merenik” 361 itulah maka relatif mudah diketahui oleh penyensor Jepang apabila ada pemikiran berbahaya. 362

Menyangkut hal itu, perlu diperhatikan adanya teks terjemahan bahasa Jepang pada hampir setiap cerpen dalam Djawa Baroe, dan tidak adanya teks terjemahan pada puisi. Hal ini mingkin dikarenakan kemampuan bahasa Indonesia penerjemah Jepang yang belum sampai dapat memahami “bahasa puisi” yang bersifat ambigu itu. Oleh karena itu, mungkin adakalanya penyensor Jepang juga tidak mampu memahami makna sajak yang berisikan reaksi negatif secara tersirat, sehingga sajak itu lolos sensor, seperti sajak “Djarak Beloem Bertitian” atau “Meminta dan Memberi”.

Sebenarnya, selain kemampuan bahasa penerjemah Jepang, ada factor lain, yaitu sikap atau keseriusan mereka. Dalam pembahasan masalah ini, kita akan membicarakan kasus pada cerpen “Koerban Gadis” 363 karya Winarno yang patut diperhatikan adalah pengantar dalam bahasa Jepang yang menyertai cerpen tersebut. Pengantar itu salah menerjemahkan judul cerpen tersebut sebagai “Musume ni-taisuru Gisei” yang artinya “Pengorbanan Terhadap Gadis”. Selanjutnya, pengantar itu menjelaskan bahwa cerpen tersebut adalah “cerpen menarik yang menghadirkan dua gadis dan dua pemuda yang berlainan sifatnya.”

361 Rachmad Djoko Pradopo, 1993, Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotika, Yogyakarta: Gadjah Mada UP, hlm.12.

Yang menarik adalah cerpen-cerpen yang dimuat pada “masa pemerontakan rakyat Indonesia”. Djawa baroe tiga bulan pertama tahun 1944, diisi dengan empat cerpen terjemahan Jepang, yaitu “Kitjizo Kemedan Perang” Ashihei Hino (1 Januari), “Ditempat Asoeha” Hoemio Niwa (15 Januari), “Batoe” Tetsoekitji Kawai (1 Februari), “Nogikoe” Kan Kikoetji (15 Februari). Sebelum dan sesudahnya tidak muncul karya terjemahan Jepang. Hal ini mungkin karena (1) walupun dipesan karya propaganda, tidak ada pengarang yang mau menulis, atau (2) yang ditulis adalah semuanya mengandung reaksi negative, maka untuk mengisi lubang, dimuat karya terjemahan. Mungkin saja hal ini terjadi secara kebetulan, tetapi memang hal ini menggoda kita unuk mengetahui alasan pemuatan karya terjemahan yang tiba-tiba.

362

363 Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603).

Padahal cerpen itu mengisahkan satu gadis dan tiga pemuda yang tentu saja berlainan sifatnya. Hal ini bukan salah baca lagi, melainkan mungkin redaktur majalah tersebut tidak membaca cerpen tersebut dengan serius. Masalah sensor tidak diketahui banyak karena terlalu sedikit datanya. Namun, bagaimanapun kesembarangan dan kesembronoan penerjemah tersebut membuat saya meragukan keseriusan dalam penyensoran serta kemampuan berbahasa Indonesia dari petugas-petugas Jepang. Kita tidak dapat memastikan bahwa hal itu tidak pernah terjadi di Kenetsuhan militer. Sehingga diragukan kebenaran lontaran “diadakan sensor yang ketat” dari berbagai pengamat sastra karena lontaran semacam itu tidak pernah disertai penelitian yang mendalam. Jadi, dapat dikatakan bahwa sensor pada masa itu tidak sekeras/seteliti yang seperti diduga selama ini tetapi (sikap) penyensorannya memang keras. Rosihan Anwar menceritakan pengalaman yang mengerikan dan menggelikan semasa ia menjadi wartawan di Asia Raya.

Pada suatu ahri ketika saya tinggal sendirian di ruang redaksi, bordering telepon dari Gun Kenetsu Han, sensur militer Jepang. Saya angkat telepon, dan suara kasar menghardik, “Kowe siapa?” Saya marah dipanggil dengan sebutan “kowe”, dan dengan nada sama saya membalas bertanya: “kowe siapa?” “(Sic) Suara dari Gun Kenetsu Han membentak, “Bakeroo,” (Bodoh)

Kantan saya menyahut; “Bakeroo” Untung saya cepat insaf sikap saya demikian dapat membawa maut. Dengan buru-buru saya letakkan kembali gagang telepon, saya keluar meninggalkan kantor (…). Keesokan harinya saya dengar ada seorang Jepang datang ke redaksi Asia Raya tidak

lama setelah saya pulang (…) 364

Bagaimanapun sering terjadinya kekerasan prajurit Jepang terhadap rakyat Indonesia membuktikan bahwa Sendenhan gagal berpropaganda terhadap prajurit Jepang sendiri. Sebaliknya, dapat juga dikatakan bahwa Sendenhan menjadi korban tipuan pucuk pimpinan Jepang yang sebenarnya tidak ada niat sama sekali

364 Rosihan Anwar, op.cit, hlm.123-124.

untuk memerdekakan Indonesia. Menurut Atsuhiko Bekkti, mantan kepala Kantor Riset Budaya Daerah Selatan (Nanpo Bunka Kenkyushitsu) di Jawa, ketika tahu niat pemerintah yang sesungguhnya itu, Machida “marah besar dengan perkataan

kena tipu”. 365 Selanjutnya, Machida juga menceritakan proses peralihan Sendenhan

menjadi Sendenbu. Namun, datanya tidak akurat. Katanya, 7 atau 8 bulan setelah pendudukan dimulai (bulan Oktober atau November 1942), didirikan Gunseikanbu dan Sendenhan dimasukkan ke badan tersebut. Namanya diubah

menjadi Sendenjohobu. 366 Dalam bukunya yang sama, ia juga menulis bahwa pada bulan Juli 1942 Sendenhan mnjadi Johobu di Gunseikanbu, kemudian pada

bulan Desember 1942 nama Johobu diubah menjadi Sendenbu. 367 Dalam hal sebutan dan tanggal tidak ada konsistensi sama sekali.

Pada awal bulan Maret 1942 begitu berhasil menduduki Jawa, militer Jepang mendirikan Gunseibu sebagai organisasi pemerintahan pusat dari

Gunshireikan 368 (Komandan Militer). Kemudian, pada bulan Agustus 1942 baru mereka mendirikan Gunseikanbu (markas besar pemerintahan militer) dan

kepalanya yang dirangkap oleh kepala staf Pasukan Ke-16 disebut Gunsekan. Katerlambatan ini terutama disebabkan oleh kejadian bahwa kapal Taiyomaru yang bermuatan seribu orang pegawai yang berangkat dari Jepang diserang kapal selam Amerika pada 5 Mei 1942 dan kira-kira setengahnya menjadi korban. Pada

Atsuhiko Bekki, 1991, “Nanpo Bunka no Kenkyu Tazasawatte (Berkecimbung di Bidang Penelitian Budaya daerah Selatan) , Tokyo: Ryukei Shosha, hlm.370-371.

366 Ibid, hlm.215.

367 Ibid, hlm.227.

368 Jawa Nenkan, hlm.53,59.

awalnya, di Gunseikanbu ada lima bagian, yaitu Tata Usaha, Keuangan, Industri, Perhubungan, dan Hukum. Kemudian, pada bulan Oktober 1942 ditambah Sendenbu dan bagian kepolisian (Keimubu) dan akhirnya pada bulan Desember 1942 menjadi delapan bagian dengan didirikannya Bagian Dalam Negeri

(Naimubu). 369 Jumlah pegawai di Gunseikanbu berjumlah 2.158 orang pada saat bulan Oktober 1942 lalu bertambah menjadi 3.692 orang pada saat bulan

November 1944. 370 Namun, jumlah ini hanya kira-kira seperempat dari jumlah pegawai pemerintah colonial Belanda. Hal ini menujukkan ketergantungan

pemerintah militer Jepang kepada pegawai Indonesia. Gunseibu menjadi Gunseikanbu. Sendenhan sudah menjadi bagian dari Gunseikanbu tersebut. Wal hasil perselisihan antara Sendenhan dan pucuk pimpinan militer menghilang? Ternyata tidak. Keluarga besar Mchida tetap “nakal”. Machida sendiri mengaku memang sengaja menyimpang dari garis resmi pemerintahan militer.

Perlahan-perlahan saya mengubah arah Sendenhan dari apa yang diniatkan oleh pihak militer kea rah “kemerdekaan Indonesia” (…). Sebenarnya itu bukan suatu haluan propaganda yang baik buat Jepang pada hari kemudian, tetapi setahu saya sewaktu pembentukan Sendenhan, militer masih berhaluan untuk kemerdekaan Jawa (sic). 371

Dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen, disebutkan bahwa untuk mencapai ketiga tujuan besar pemerintahann militer, diperlukan dua prinsip utama. Pertama, prinsip dalam pelaksanaan kebijakan militer. Diingatkan bahwa yang bersangkutan harus menyesuaikan diri dengan kebijakan militer. Pemerintahan

369 Aiko Kurasawa, Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang, op.cit, hlm 82., dalam buku yang sama (hlm.267) ia berkata lain: Sendenbu ditambah pada bulan Agustus

370 Ibid, hlm.83.

371 Keiji Machida, 1978, Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena, Tokyo: Fuyoshobo, hlm.180.

militer berbeda dengan pemerintahan sipil, maka ia harus mengutamakan pelaksanaan kebijakan militer daripada perbaikan tingkat kehidupan rakyat, dan demi operasi militer ia juga harus dapat memungkinkan hal-hal yang tidak mungkin pada pemerintahan waktu normal. Kedua, prinsip dalam “bimbingan” terhadap penduduk Jawa. Mengingat penduduk Jawa adalah “sebangsa dan seturunan,” maka yang bersangkutan harus menghadapi mereka dengan kepercayaan dan kasih sayang sehingga dapat mengambil hati mereka dalam arti sesungguhnya. 372 Jadi, sikap Machida yang seperti diutarakan dalam kutipan diatas itu jelas berselisihan dengan prinsip pelaksanaan pemerintahan militer.

Mengenai peranannya di Sendenhan, Machida sering menyebut dirinya sebagai sutradara drama. Maksudnya, ia yang menyutradarai sebuah sandiwara yang berjudul “Propaganda di Jawa”, sedangkan anggota Sendenhan dapat diibaratkan sebagai para staf di belakang panggung. Dan panggungnya adalah tentu medan perang. Klihatannya, Machida cukup bangga dengan anggotanya yang merupakan orang-orang pintar yang mewakili Jepang pada masa itu. Namun, seperti biasanya orang pintar, mereka sering bertindak sendiri. H. Shimizu menyebut mereka sebagai lone wolf. 373 Tomoji Abe menggunakan kata let loose

‘bertindak semaunya’ untuk menyebutkan sikap para “sastrawan semaunya” di Jawa. 374 Sementara itu, dengan nada sedikit bergurau, Machida mengecam mereka

sebagai “orang-orang menyebalkan yang tidak pernah lalai.” Kepada mereka, Machida sedapat mungkin member kebebasan.

372 Jawa Nenkan, hlm.19-20.

Hitoshi Shimizu, 1991, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian: Indonesia di bawah Pendudukan Jepang , Tokyo: Ryukei Shosha, hlm.341.

374 Isao Mizukami, 1995, Abe Tomoji Kenkyu (Penelitian Tentang Tomoji Abe), Tokyo: Sobunsha, hlm.37.

Adapun, salah seorang anggota Sendenhan yang dipilih Machida secara langsung adalah Norio Shimizu. Dalam esai yang berjudul “Senso (Perang)”, ia berpendapat sebagai berikut:

Menurut humanis Eropa, perang itu senantiasa merupakan “kejahatan”. (…) mereka hanya mengakui perang secara pasif sebagai “kejahatan yang perlu”. Mereka melakukan perang untuk kepentingan sendiri, dan tidak tahu adanya perang untuk menyelamatkan umat manusia. Mereka tidak tahu adanya perang untuk pembaharuan atas pengorbanan diri. Mereka tidak tahu adanya perang kekaisaran di dunia ini. (…) Inilah namanya perang yang paling humanistis yang jauh

melebihi humanisme mereka. 375

Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa N. Shimizu membenarkan “Perang Asia Timur Raya” dengan sepenuhnya. Ia adalah seorang anggota Sumera Juku, yaitu perkumpulan para Asiais di Tokyo. Ia membawa juga sebelas orang pemuda

dari perkumpulan tersebut sebagai Seinen Kodotai (Pasukan Aktivitas Pemuda) 376 tetapi mereka akhirnya dipulangkan dalam tahun 1943 karena pemikiran dan

tindakan mereka terlalu radikal. 377 Hal ini tidak lain karena pucuk pimpinan Pasukan Ke-16 mencemaskan keberadaan mereka yang secara aktif memicu

terjadinya kemerdekaan Indonesia. Mantan Kepala Staf Pasukan Ke-16 Okazaki berkata, “Di Sendenhan

terlalu banyak orang sipil.” 378 Sebenarnya, AD sama sekali tidak mengandalkan mereka. Okazaki juga mengatakan, “mereka juga diwamilkan agar mereka tahu

Keiji Machida, Tatakau Bunka Butai (Pasukan Budaya yang Berperang), op.cit, hlm.361.

376 Machida menyebutnya sebagai Tokubetsu Seinentai (pasukan Pemuda Khusus), Ibid, hlm.366.

377 Aiko Kurasawa, Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang, op.cit, hlm.269-270.

George S Kanahele, 1977, The Japanese Occupation of Indonesia: Prelude to Independence, Ph.D. Thesis, Cornell University, hlm.92.

Penyebab “kematian” gerakan tersebut adalah keretakan hubungan di kalangan orang Jepang. Lama kelamaan para pucuk pimpinan mulai terganggu oleh keberadaan para pucuk cendikiawan di Sendenhan, yang sikapnya bandel dan angkuh. Agaknya, yang paling bandel adalah kepala Seksi Propaganda Sendenhan sendiri, yaitu Hitoshi Shimizu. Ia sering tidak member laporan dan berkali-kali mendapat perintah pengusiran dari pucuk pimpinan militer. 380 Sebuah Lembaga Penelitian Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Waseda berpendapat bahwa tidaklah berlebihan bila dikatakan H. Shimizu adalah inti dalam kegiatan Sendenbu maka Sendenbu mengadakan kegiatan yang mencerminkan sifat Shimizu; tidak jarang menyeleweng dari kebijakan yang ditetapkan oleh . Gunseikanbu 381 Ada beberapa pendapat orang mengenai Shimizu yang tertulis yang menceritakan sedikit kepribadiannya.

Dalam buku Nederlandsch-Indie onder Japanese Bezetting, dimuat sebuah kesaksian seorang opsir menengah Jepang tentang H. Shimizu seperti berikut. Als ambtenaar was hij zeer onbeschaafd, hij gehoorzaamde de

orders niet, had een zeer hoge dunk wan zichzelf en men kon hem geen geheimen toevertrouwen. 382

‘Sebagai pejabat, ia sangat kurang ajar, ia tidak taat pemerintah, sangat sombong, dan orang tidak dapat mempercayakan rahasia-rahasia kepadanya.

379 Ibid.

380 Ibid, hlm.75.

Waseda, 1959, Indonesia ni okeru nihon Gunsei no Kenkyu (Studi mengenai Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia), Tokyo: Kinokuniya Shoten, hlm.247-248.

Brugmans, dkk, 1960, Nederlandsch-Indie onder Japanse Bezetting: Gegevens en Documenten over de Jaren 1942-1945 (Hindia Belanda di bawah pendudukan Jepang: Data-data dan Dokumen-dokumen selama 1942-1945 , hlm.195.

H Shimizu sendiri mengaku, “Mungkin saja Gerakan Tiga A bertahan lebih lama kalau saya bekerja sama dengan AD dengan lebih intim.” 383 Sementara itu,

Mantan Pemimpin Sendenbu Hisayoshi Adachi dan kawan-kawan berkata, “Sikapnya (Shimizu) kadang-kadang eksentrik.” 384 Di samping itu, pakar geologi

Atsuhiko Bekki yang pernah bekerja untuk militer Jepang di Jawa dengan sarkstis mengatakan mereka tidak cocok dengan H. Simizu, yang dikritik “orang kasar”

oleh orang Indonesia. 385 Seperti kata Bekki ini, selain di kalangan orang Jepang, Shimizu juga dibenci di kalangan orang Indonesia. Kesaksian dari pihak Indonesia

diberikan oleh pelukis S. Sudjojono sewaktu ia bekerja di Keimin. Shimizu bilang, “Sudjojono-san, sebaiknya Sudjojono-san,

menggambar Ramayana”. “Boleh, Shimizu-san”, kata saya. “Tapi, Sudjojono-san, orang-orang Indonesia yang jadi monyet-monyetnya, orang Jepang jadi Ramayana”, Kata saya dalam hati, “Bukan main!

Kurang ajar Jepang”. 386 Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen dengan bangga menulis bahwa pucuk

pimpinan betul-betul memegang dan menguasai pemerintahan militer. Katanya, hal ini disebabkan oleh rapinya penyusunan organisasi, persiapan, dan

prapenelitian yang matang. 387 Penjelasan ini tidak benar terutama mengenai Sendenhan . Machida mengaku, “Tidak ada yang lebih konyol daripada kenyataan

bahwa kami menyusun haluan propaganda terhadap orang Indonesia tanpa tahu

383 Kanahele,op.cit, hlm.96., Mengenai episode tentang Gerakan Tiga A, baca antara lain Hitoshi Shimizu, “San-a Undo kara Dokuritsu Yonin made (Dari Gerakan Tiga A sampai

Pengizinan Kemerdekaan Indonesia)” dalam Shin Jawa (no.2. Vol.1. 1 November 1944), hlm.26- 28.

384 Hisayoshi Adachi, dkk, “Report on the Activities of Sendenbu”, (AD 2), hlm.5.

385 Atsuhiko Bekki, op.cit, hlm.375.

386 A.B.Alpian, op.cit, hlm.82.

387 Jawa Nenkan, hlm.21.

perasaan hati mereka.” 388 Pada awalnya Jepang berhaluan dasar untuk mengerahkan rakyat Indonesia secara total sambil meningkatkan (mengasut?)

kesadaran nasional dan memperkokoh persatuan rakyat Indonesia. Akan tetapi, kesadaran nasional rakyat Indonesia jauh lebih kuat daripada dugaan mereka sewaktu di Jepang. Di bawah pendudukan Belanda, kesadaran nasional bangsa Indonesia sudah timbul meski perlahan-lahan. Ketika Jepang mendarat, keinginan untuk merdeka sudah memuncak. Dapat dikatakan bahwa memuncaknya kesadaran ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh Jepang. Soekarno pernah mengatakan bahwa peristiwa penting yang paling mempengaruhi Asia pada awal Abad ke-20 adalah perang Jepang-Rusia. Nasionalisme yang masih samar-samar tergerakkan atas dasar rasialime oleh kenyataan bahwa orang berkulit putih

dikalahkan oleh orang Asia. 389 Singkat kata, peristiwa itu menjadi asal mula bahwa orang berkulit putih mulai/sudah kehilangan tuah di Asia yang sudah lama

ditindas. Peristiwa ini pun berhasil menghidupkan asa bangsa Asia. Sejak semula Jepang tidak mau memerdekakan Indonesia, paling tidak sampai dapat mengalahkan Sekutu. Akan tetapi, tingginya kesadaran nasional di Indonesia itu membuat mereka terkejut sehingga mereka terpaksa mengubah haluan dasar. Kesalahan tersebut terutama disebabkan oleh persiapan Jepang yang serba tidak matang di segala bidang untuk menghadapi “Perang Asia Timur Raya”. Sudah lama Jepang tidak mengenal adat-istiadat atau sejarah tentang Asia Tenggara sehingga mereka hampir tidak mempunyai bahan propaganda untuk Negara-negara itu. “Peta akurat saja tidak dimiliki oleh Pasukan ke-16 dan Ke-

388 Machida, “Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena, op.cit, hlm.189.

389 Wawasan Kepulauan (no.15. 25 Oktober 1996), hlm.5.

25,” kata Machida. 390 Situasi yang berubah-rubag dengan cepat tidak memberi waktu cukup kepada Jepang untuk mempersiapkan diri.