Layar Putih itu Bernama Layar Tancap

2. Layar Putih itu Bernama Layar Tancap

Untuk keperluan propagandanya, bukan hanya HTM bioskop umum diturunkan, tapi Jepang juga menyelenggarakan pemutaran film yang kemudian

dikenal dengan sebutan “Layar Tancep” (bioskop keliling). 284 Untuk keperluan ini sengaja didatangkan ahlinya dari Jepang sebanyak enam orang. Pada Desember

1943 terdapat lima markas operasi “Layar Tancep” di berbagai kota: Jakarta,

281 Asia Raya 23.6.2604.

282 Unabara (no.159. 12 September 1942), hlm.2.

283 Asia Raya 19.7.2603.

284 SM. Ardan, op.cit, hlm.38.

Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang. Ada yang dipimpin orang Jepang, tapi ada pula yang dikepalai orang Indonesia. Dengan berkendaraan truk, unit-unit bioskop keliling itu beroperasi dari desa ke desa. 285

Sebelum PD-II pemutaran film “layar tancep” sebenarnya sudah dilakukan oleh Belanda di Lapangan Gambir, gerbang timur eks Pekan Raya Jakarta di Merdeka Selatan. Karena yang pertama diputar film penerangan tentang penyakit pes, maka pertunjukan itu lebih dikenal sebagai “film pes”, walaupun kemudian ditayangkan pula penerangan tentang penyakit-penyakit lain. 286 Baik film fes Belanda maupun bioskop kililing Jepang itu, gratis dan terbuka untuk umum. Karena pemutaran film pes hanya di tempat-tempat tertentu saja, maka bisa dikatakan bahwa Jepang yang memelopori pertunjukan “layar tancep”, karena

daerah operasinya amat luas. 287 Meskipun demikian, upaya selama masa pendudukan jepang untuk

memanfaatkan bioskop keliling bagi indoktrinasi politik dengan sekala besar sepenuhnya merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sebenarnya Jepang sendiri sudah sangat berpengalaman luas dengan penyelenggaraan bioskop keliling dinegeri asalnya. Dari pengalaman tersebut Jepang kembali menerapkan konsep tersebut di Jawa.

Kantor pusat Eihai mengirimkan 48 operator film dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk Asia Tenggara, enam diantaranya dikirim ke Jawa dalam rangka peningkatan penyelenggaraan bioskop keliling. Para operator dan staf

285 Taufik Abdullah, op.cit, hlm.180.

286 Abdul Aziz,1992, Layar Perak:90 Tahun Bioskop Di Indonesia, Jakart: Gramedia, hlm.42.

287 Taufik Abdullah, op.cit, hlm.183.

perlengkapan pendukungnya berkeliling dari desa ke desa lain, dengan membawa proyektor film, generator, dan film (35 mm), di atas sebuah truck. Masing-masing tim terdiri dari seorang anggota staf Jawa Eihai (seorang operator), seorang

pegawai Sendenbu setempat, seorang penerjemah, dan seorang sopir truck. 288 Biasanya perlu waktu beberapa hari untuk menyelesaikan sebuah

perjalanan keliling, dan dalam kasus sebuah kampanye besar dengan tujuan tertentu, sebuah tim harus melakukan perjalanan selama beberapa minggu. Misalnya, sebuah perjalanan keliling untuk kampanye peningkatan produksi yang dilakukan oleh Unit Operasi Yogyakarta bersama dengan Jawa Eiha berlangsung selama dua minggu, dari tanggal 14 sampai 30 Desember 1943, dan meliputi

empat kresidenan. 289 Di Kotamadya Khusus Jakarta sendiri pada bulan Desember 1943

pertunjukan film bebas di udara terbuka diselenggarakan di delapan tempat untuk 53.000 penoton, di delapan tempat di Karesidenan Jakarta, dengan keseluruhan penonton sebanyak 104.000, dan delapan tempat di Karesidenan Bogor dengan jumlah penonton sebanyak 96.000 orang. Karena tidak mungkin mengunjungi seluruh desa dengan jumlah dan sarana yang terbatas, satu atau dua desa dipilih dari sebuah Son (kecamatan) sebagai lokasi pemutaran, dan rakyat dari desa-desa tetangga diundang untuk menonton. Film diputar si sebuah lapangan terbuka di dekat balai desa, dan siapa pun boleh menonton secara gratis. Pengumuman

288 Ibid, hlm.190.

289 SM. Ardan, op.cit, hlm.52.

disampaikan pada penduduk seluruh desa tetangga melalui pejabat desa dan ketua Tonarigumi 290 .

Munculnya bioskop keliling merupakan suatu hiburan yang langkah bagi penduduk desa, karena pada saat itu kehidupan sulit dan penuh penderitaan. Kalau muncul berita kedatangan sebuah bioskop keliling, rakyat biasanya tak sabar menanti, karena biasanya ini merupakan pengalaman pertama mereka menonton film. Pada hari yang dijadwalkan mereka tak segan-segan berjalan beberapa kilometer ke tempat yang telah ditetapkan, sekalipun dalam keadaan lelah dan lapar. Menjelang gelap, banyak penonton telah menanti pertunjukan. Dengan demikian, tidak seperti halnya dengan rapat umum, dimana penguasa mengalami kesulitan mengumpulan massa, pertunjukan film di daerah pedesaan jarang

mengalami kesulitan menarik pengunjung. 291