Bahwa Balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai

Pasal 4. Bahwa Balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai

yang setia pada Jepang. 65

Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.1 tersebut. Maka secara formal dimulailah Pemerintahan Militer Jepang diPulau Jawa, sementara itu penyerahan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda belum dilakukan.

Kembali pada situasi kota Bandung, pada petang hari tanggal 7 Maret 1942, tak lama sesudah posisi tentara KNIL di Lembang berhasil diduduki, pasukan Belanda di sekitar Bandung mengajukan penyerahan lokal. Akan tetapi, Letnan Jenderal Immamura Hitoshi menuntut penyerahan total semua pasukan Serikat di seluruh Jawa (dan bagian Indonesia lainnya). Jika tidak mengindahkan ultimatum Jepang, maka kota Bandung akan di bom dari udara, Letnan Jenderal Immamura Hitoshi pun menuntut agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda ikut dalam

65 Dai Nippon Gunseibu, Oendang-oendang Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon No. 1-20 , Betawi, Juni 1942, Hal.1.

perundingan di Kalijati, yang diadakan selambat-lambatnya pada

hari berikutnya. 66

Akhirnya, “lambang” penguasa yang telah menguasai bumi Indonesia selama 350 tahun tanpa rasa puas, datang untuk menyaksikan kapitulasi tanpa syarat Angkatan Perang Hindia Belanda yang diwakili oleh Letnan Jenderal Imamura Hitoshi. Dengan demikian kekuasaan kemaharajaan Jepang di Indonesia resmi ditegakkan.

Setelah dikeluarkan Undang-undang No.1 tanggal 7 Maret 1942, walaupun belum ada kapitulasi dari pihak Hindia Belanda, Jepang tampaknya sudah yakin dapat menguasai sepenuhnya keadaan, maka pada tanggal 8 Maret 1942, di Batavia, dikeluarkan lagi Undang-undang No.2 tentang keamanan

masyarakat. 67 Sementara itu sambutan masyarakat terhadap kedatangan tentara Jepang, yang penuh harapan tentang

pembebasan, tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi di seluruh pelosok kepulauan Indonesia, bahkan di Sumatera Barat, Sumatera Timur, Sulawesi Utara dan Maluku, dibentuk panitia penyambutan lokal yang disponsori oleh orang-orang pro-

66 Nugroho Notosusanto dan Mawarti Djoenoed Poesponegoro (ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.Cit , hlm 5.

67 Dai Nippon Gunseibu, Op.Cit, hlm 3.

Jepang. Dapat dipastikan bahwa sambutan yang sedemikian hangatnya itu disebabkan sikap tentara Jepang pada waktu itu

yang simpatik dan ramah. 68

Beberapa hari kemudian, pemerintah militer Jepang segera membentuk Chian Lji Kai atau Badan Pemelihara Perdamaian, yang langsung berada di bawah supervisi Jepang, yang ditangani Angkatan Darat yang telah berpengalaman dalam pendudukan Cina. Tugasnya adalah untuk memulihkan tatanan sipil dalam mewujudkan orang-orang nasionalis, dengan motivasi politik untuk membuat harapan bahwa badan ini akan menarik

dukungan yang lebih besar dari masyarakat. 69 Namun badan ini tidak berumur lama sebab segera dihapuskan, tetapi kemudian

dibentuk Komite Rakyat yang lebih terencana dan terorganisasi oleh orang-orang nasionalis sebagai badan semi-politik yang independen. Tugas utama komite ini adalah membantu pasukan Jepang dalam mengambil alih kantor Belanda dan untuk

memperoleh dekungan bagi pemerintah militer yang baru. 70

68 George Sanford Kanahele, The Japanese Occupation Of Indonesia: Prelude to Independence , Ph.D. Thesis, Cornell University, 1967, hlm 26.

69 Ibid.

70 Ibid, hlm 28.

Komite Rakyat akhirnya dibubarkan dengan alasan bahwa karena tugas komite yang terbatas sebagai semacam polisi bantuan, sering disalah gunakan untuk mencoba memaksa para Sultan untuk turun tahta, di samping Jepang memberikan tuntutan bagi kemampuan komite untuk menjalankan

pemerintahan lokal. 71 Dengan dibubarkannya komite ini, maka dalam beberapa bulan saja pihak Jepang telah dua kali

melakukan kebijaksanaan membuat Chian Lji Kai dan Komite Rakyat dimana orang-orang nasionalis ikut berperan di dalamnya, akan tetapi di kemudian hari dibubarkan dan hal ini juga telah dua kali menghancurkan harapan-harapan kaum nasionalis.

Namun yang benar-benar dirasakan sebagai pukulan berat yang menusuk perasaan kaum nasionalis terjadi hanya beberapa hari setelah tentara Jepang berhasil mendarat di jawa, ketika dikeluarkannya Undang-undang No. 3 dan No. 4, pada tanggal 20

Maret 1942. 72 Dengan undang-undang tersebut, penguasa militer Jepang di Jawa memutuskan untuk membubarkan partai-partai

politik dan melarang semua kegiatan politik, melarang

71 Ibid, hlm 29.

72 Dai Nippon Gunseibu,Op.Cit, hlm 7-8.

penggunaan bendera Nasional (Merah Putih). Tampaknya kegiatan-kegiatan yang pertama dilakukan pihak Jepang hanyalah untuk membesarkan harapan dan dukungan kaum nasionalis jika pasukan Belanda akan meneruskan pertempuran. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka mulailah terlihat apa maksud kedatangan tentara pendudukan Jepang di Indonesia yang sebetulnya tak lebih dari penguasa sebelumnya, karena Indonesia dikenal sebagai '‘gudang kekayaan yang luas"”

Setelah merasa dapat menguasai keadaan sepenuhnya, maka pada tanggal 27 Maret 1942 dikeluarkan lagi Undang-

undang No. 6. 73 yang pada pasal satunya mengatur penyesuaian penggunaan waktu Tokyo yang berselisih sekitar 90 Menit dengan

waktu Indonesia bagian Barat. Pasal kedua mengenai diberlakukannya jam malam, dan pasal ketiga mengenai dibatasinya penggunaan bahan bakar bensin. Dengan peraturan- peraturan ini, semakin tampak bahwa penguasa yang baru ini menancapkan “kuku-kukunya” dan bukan sebagai “saudara tua” yang akan membebaskan “saudara mudanya”.

Memasuki bulan April, roda pemerintahan militer Jepang sudah berjalan dengan normal, maka dengan situasi seperti ini

73 Ibid, hlm 7-9.

pemerintah militer Jepang mulai memantapkan konsolidasi ke dalam dengan jalan mengadakan pendaftaran bagi orang-orang asing, kecuali bangsa Indonesia dan penduduk Jepang, yang

diatur dalam Undang-undang No. 7, tanggal 11 April 1942. 74

Kemudian pada tanggal 19 Aparil 1942, dikeluarkan lagi Undang- undang No. 8. 75 yang menetapkan bahwa pada tanggal 29 April

1942 dijadikan sebagai hari besar “Tenchosetsu” atau hari lahirnya Kaisar Jepang, yang patut dirayakan oleh seluruh penduduk yang tinggal di Indonesia dengan mengibarkan bendera “Kokki” atau bendera Matahari Terbit, selama tiga hari, pada tanggal 28,29,30 April. Dengan keluarnya Undang-undang No. 8 ini, maka pada hakekatnya pemerintah militer Jepang sudah secara terang-terangan ingin menjelaskan bahwa pusat kekuasaan dan orang yang paling berkuasa adalah Kaisar Jepang, sehingga patut dihormati dan harus tunduk pada perintahnya.

Selain itu, bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar, tanggal 29 April 1942, sekolah-sekolah milik pemerintah dan partikelir (swasta) yang memakai bahasa Melayu, Sunda, dan

74 Ibid, hlm 9-10.

75 Ibid, hlm 13-14.

Jawa, serta Madura dibuka kembali setelah sebelumnya ditutup mengingat situasi perang, sesuai dengan Undang-undang No. 12 tentang Pembukaan Sekolah yang dikeluarkan pada tanggal 22

April 1942 (lihat lampiran). 76

Bersamaan dengan tanggal tersebut dikeluarkan pula Undang-undang No. 13. 77 yang pada pokoknya menginstruksikan

agar kantor-kantor pemerintah, seperti: kantor Kas Negara, kantor Pajak Tanah, Rumah Gadai, kantor Perusahaan Monopoli Pemerintah, agar segera dibuka kembali. Seminggu setelah itu dikeluarkan Undang-undang No. 15 tentang penggunaan tarikh “koki” (perhitungan tahun bangsa Jepang) dan sejak itu angka tahun 1942 diganti menjadi tahun 2602. Pada pasal 2 Undang- undang tersebut juga diterangkan mengenai sebutan bagi negara matahari terbit, yang harus disebut Dai Nippon atau Nippon, dilarang digunakan nama-nama yang berasal dari bahasa musuh,

seperti Depjepoeng dan Japan. 78

Pemerintah militer Jepang kelihatannya semakin hari menjadi semakin kuat setelah mengadakan beberapa konsolidasi

76 Ibid, hlm 14-15.

77 Ibid, hlm 15-17.

78 Ibid, hlm 20.

ke dalam berbagai sektor. Dan setelah itu keadaan mulai aman, mereka menganggap sudah saatnya untuk mencabut segala macam larangan yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk meyakinkan penduduk pribumi bahwa Jepang datang ke Indonesia benar-benar hanya untuk membebaskan penduduk pribumi dari belenggu penjajahan. Sebagai realisasinya adalah keluarnya Undang-undang No. 18 pada tanggal 5 Juni 1942

tentang pencabutan jam malam, 79 serta pada tanggal 15 Juli 1942, dikeluarkan Undang-undang No. 23 tentang pencabutan semua

larangan berkumpul dan bersidang. 80 Selain itu, pada tanggal 16 Juni 1942, dikeluarkan Undang-undang No. 21 tentang

pembatasan gelombang. 81 , agar orang-orang tidak mendapat informasi mengenai situasi peperangan yang sebenarnya;

informasi tersebut hanya boleh didapat atau didengar dari sumber-sumber pemerintah pendudukan Jepang.

Kemudian pemerintah militer Jepang mempermudah koordinasi pemerintahan menetapkan pulau Jawa dibagi menjadi tiga Guneibu (pemerintahan militer) dan dua Kochi (daerah

79 Ibid, hlm 23.

80 Panji Poestaka , No. 16, 25 Juli 1942, hlm 564.

81 Panji Poestaka , No. 12, 27 Juni 1942, hal 429.

Kesultanan), yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Ketiga pemerintahan militer tersebut adalah: Jawa Barat dengan pusatnya Semarang dan Jawa Timur dengan pusatnya Surabaya. Kemudian Panglima Tentara ke Enambelas Letnan Jenderal Imamura Hitoshi, mengangkat kepala staf, Mayor Jenderal Okazaki Seizaburo, untuk membentuk pemerintahan militer di Jawa dan diangkat sebagai Guenseikan (kepala Pemerintahan Militer di pulau Jawa yang berkuasa penuh atas tiga wilayah

pemerintahan tersebut. 82

Gunseikan, pada awalnya dibantu oleh staf pemerintahan militer pusat dinamakan Gunseikanbu, yang terdiri dari 4 bu (semacam departemen) yaitu: shomubu (Departemen urusan Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu (Departemen Perekonomian), dan Kotubu (Departemen Lalu- lintas), yang kemudian ditambah bu yang kelima, yaitu Shihobu

(Departemen Kehakiman). 83 Staf pemerintahan militer ini kemudian dikembangkan lagi, sehingga pada tanggal 1 Desember

1942, susunannya menjadi, Shomubu, Zaimubu, Sangyobu,

82 Panji Poestaka , No. 26, 3 Oktober 1942, hal 933.

83 Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoenoed Poesponegoro (ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.Cit, hlm7.

Kotubu, Shihobu, Naimubu (Departemen Kepolisian), dan

Sendenbu (Departemen Propaganda). 84

Selain departemen-depertemen tersebut diatas, dibentuk pula beberapa jawatan seperti: Takishan Kanribu (Jawatan Harta Benda Musuh), Rikuyu Shokyohu (Jawatan Urusan Pengangkutan Darat), Stushin Shokyoku (Jawatan Urusan Pos), Honsho Kanrekyoku (Jawatan Pengawas Urusan Radio), Kaikei Kantokubu (jawatan pengawas urusan keuangan), Shaiko Hoin (Mahkamah Agung), Shaiko Kenshastukyoku (jawatan kejaksaan umum), Shaibai Kigyo Kanrikodan (Kantor pengawas perusaan kebun), Hundoshan Kanrikodan (Kantor urusan perumahan),

dan Shiryoti Kanrikosha (jawatan urusan tanah partikelir). 85

Untuk mengatur pemerintah di daerah, maka pada tanggal

5 Agustus 1942 dikeluarkan Undang-undang No.27 tentang perubahan tata pemerintahan daerah 86 dan pada tanggal 7

Agustus 1942, dikeluarkan Undang-undang No. 28 tentang aturan

pemerintahan Shu dan aturan pemerintahan Tokebetsu-Shi 87

menunjukan berakhirnya pemerintahan sementara. Menurut

84 Panji Poestaka , No. 11, 8 Maret 1943, hal. 337.

85 Kan-po, No. 14, 10 Maret 1943.

86 Panji Poestaka , No. 23,12 September 1942 hlm.828.

87 Panji Poestaka , No. 19, 15 Agustus 1942, hlm.672.

Undang-undang No. 27 seluruh pulau Jawa dan Madura, kecuali kedua kochi, Jogyakarta dan Surakarta, (residen) yang pada prinsipnya sama dengan kekuasaan seperti Shi (walikota) sama dengan Stadsgemente, Ken (kabupaten) sama dengan Regentschap, Gun (kecamatan) sama dengan Onder District, serta Ku (desa) sama dengan desa, pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Sesuai dengan Undang-undang No. 28, pemerintahan karesidenan (shu), untuk seluruh Jawa dan Madura, kecuali kedua kochi, mempunyai 17 shu yang terdiri dari 17 shu yang terdiri dari Banten Shu; Jakarta Shu; Kediri Shu; Kedu Shu; Madura; Shu Malang Shu; Madiun Shu; Pati Shu; Pekalongan Shu; Priangan Shu; Semarang Shu; dan Surabaya Shu;. Ke tujuh belas Shu ini ditambah dengan Jogyakarta Kochi dan Surakarta Kochi, serta Jakarta Tokubetsu-Shi.

Dengan demikian lengkaplah susunan pemerintahan Pendudukan Militer Jepang di Jawa, yang datang mengaku sebagai saudara tua yang akan membebaskan saudara muda nya, namun pada kenyataannya adalah sama dengan penguasa Belanda sebelumnya yang telah menguasai bumi Indonesia selama 350 tahun. Dengan susunan pemerintahan tersebut Dengan demikian lengkaplah susunan pemerintahan Pendudukan Militer Jepang di Jawa, yang datang mengaku sebagai saudara tua yang akan membebaskan saudara muda nya, namun pada kenyataannya adalah sama dengan penguasa Belanda sebelumnya yang telah menguasai bumi Indonesia selama 350 tahun. Dengan susunan pemerintahan tersebut

E. Motif Pendudukan Jepang dan Mengambil Simpati

Pada masa awal pendudukan Jepang, tidak begitu sukar untuk mendapat simpati rakyat Indonesia, karena propaganda Jepang sudah dimulai sebelum tahun 1942, yaitu dengan kedatangan propagandisnya seperti Ishika Shingo pada tahun 1938. Jepang datang ke Indonesia dengan usaha untuk menarik simpati orang Indonesia. Seperti diundangnya para tokoh pergerakan, baik pergerakan nasional maupun pergerakan Islam ke Jepang, untuk melihat-lihat keberhasilan yang telah dicapai oleh Jepang.

Runtuhnya kekuasaan penjajahan Belanda dalam waktu singkat menimbulkan kekaguman bangsa Indonesia terhadap keperkasaan Jepang. Kejadian ini juga menimbulkan harapan mereka bahwa tidak lama lagi “Indonesia Merdeka” akan menjadi suatu kenyataan. Pemerintah Jepang melalui siaran-siaran radio dari Tokyo, menyatakan bahwa tujuan dari Perang Asia Timur Raya dan pembentukan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya ialah membina suatu keluarga besar yang terdiri dari Negara-negara merdeka, yaitu Jepang dan Negara-negara seluruh Asia termasuk jajahan Barat, dan Indonesia jelas telah Runtuhnya kekuasaan penjajahan Belanda dalam waktu singkat menimbulkan kekaguman bangsa Indonesia terhadap keperkasaan Jepang. Kejadian ini juga menimbulkan harapan mereka bahwa tidak lama lagi “Indonesia Merdeka” akan menjadi suatu kenyataan. Pemerintah Jepang melalui siaran-siaran radio dari Tokyo, menyatakan bahwa tujuan dari Perang Asia Timur Raya dan pembentukan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya ialah membina suatu keluarga besar yang terdiri dari Negara-negara merdeka, yaitu Jepang dan Negara-negara seluruh Asia termasuk jajahan Barat, dan Indonesia jelas telah

Namun kenyataannya, maksud kedatangan Jepang ke Indonesia dikarenakan Indonesia merupakan kawasan yang potensial untuk mensuplai

kebutuhan minyak Jepang, untuk keperluan perang. 89 Tujuan Jepang menduduki Jawa adalah memperoleh sumber-sumber ekonomi dan manusia. 90 Untuk

mencapai tujuannya, Jepang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung. Kebijakan politik tersebut berdampak pada kebijakan secara ekonomi, karena sasaran utama eksploitasi di Jawa adalah hasil pertanian serta tenaga kerja. Dimana kebijakan tersebut adalah kebijakan yang memeras rakyat. 91 Sehingga

rakyat Indonesia mengalami kesulitan hidup, seperti timbulnya kelangkaan beras yang hamper merata di seluruh Jawa.

Dalam menjalankan kebijakan pemerintah, penguasa militer memegang pada tiga prinsif utama, yaitu (1) mengusahakan agar mendapatkan dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban umum, (2) memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan telah ada, dan (3) meletakan dasar agar wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya

sendiri untuk menjadikannya pusat persediaan makanan. 92 Kebijakan poltik

88 Dr. L. Jong (ed),1991, Pendudukan Jepang di Indonesia”Suatu Ungkapan Berdasarkan Dokumentasi Pemerintahan Belanda, Jakarta: Kesaint Blanc, hlm vii.

89 Ken’ichi Goto, 1998, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm 106.

90 Aiko Kurosawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, hlm xvi-xvii.

91 Ibid.

92 Akira Nagazumi, 1988, Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm 2.

Jepang ditujukan untuk memperoleh dukungan yang besar untuk membantu kemenangan Jepang pada perang Pasifik. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut Jepang memerlukan sarana untuk melancarkan propaganda-propagandanya agar tujuan Jepang tercapai di Indonesia .

Propaganda Jepang dilakukan seiring dengan penaklukan terhadap negeri- negeri yang didudukinya. Keinginan yang besar dalam penaklukan ini bukannlah suatu hal yang baru didalam sejarah Jepang. Anggapan sebagai “bangsa terpilih” menguatkan kepercayaan bangsa ini akan tugas suci Jepang untuk menaklukan dan menguasai negeri lain. Dengan bantuan para propagandisnya yang bersama- sama datang dengan tentara Jepang, mereka terus giat dengan berbagai semboyan yang muluk-muluk. Propaganda mereka di Indonesia antara lain berbunyi “Nippon-Indonesia sama-sama” dan Asia untuk orang Asia”.

Dalam persiapan pelaksanaan Perang Asia Timur Raya, Jepang sebagai negara totaliter menyadari sekali kegunaan propaganda, sehingga sewaktu akan mendarat di bumi Indonesia, mereka telah dilengkapi oleh satu barisan khusus, Barisan Propaganda. Tugas Barisan Propaganda ini adalah mengajak rakyat setempat untuk bersama-sama dengan pasukan Jepang

mengadakan perlawanan terhadap pasukan Sekutu. 93

Bahkan sebelum mereka datang menduduki Indonesia, Jepang telah mulai mengadakan propaganda, antara lain dengan

93 R. De Bruin, Het Japanse Militaire Besyuur in Indie, Wajang Nippon, dalam Bericht Van de Tweede Wereld Oorlog, Amsterdam , Uitgeverij Amsterdam Boek B. V., 1970, hlm 1324.

mengundang orang-orang Indonesia untuk datang ke Tokyo, baik tokoh pergerakan, islam, wartawan maupun mengundang minat

kaum muda untuk menuntut ilmu di Jepang. 94

Pada awal kedatangan Jepang ke Indonesia, propaganda terus dilakukan, dan untuk melaksanakan skema propaganda ini ke dalam operasi, digunakan berbagai media seperti surat kabar, pamphlet, buku, poster, siaran radio, pameran, pidato, drama, seni pertunjukan tradisional, pertunjukan gambar kertas

(kamishibai), musik, dan film. 95

Sebelum kedatangannya ke Indonesia, Radio Angkatan Laut Jepang, selalu memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dimainkan oleh Tokyo Philharmonic Orchestra dalam setiap pembuka acara pada siaran bahasa

Indonesia yang mereka lakukan. 96

Hal-hal tersebut di atas menimbulkan citra lain terhadap bangsa Jepang, disamping sikap-sikap ramah dan bersahabat orang Jepang yang mencari nafkah di Hindia Belanda pada masa sebelum perang, sehingga sewaktu mereka akhirnya mendarat rakyat menyambutnya dengan sangat meriah. Hal itu semua adalah hasil karya propaganda yang pernah dilakukan.

94 Kanahele, Op.cit. hlm 5-7.

95 Akira Nagazumi, Op.cit, hlm 237.

96 Mr. Sudjono, Pulang Ke Tanah Air Tanpa Paspor, dalam Intisari, No. 82, Mei 1970, hlm 60.

Propaganda yang dalam arti seluas-luasnya adalah tehnik untuk

mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia itu. 97

Sementara itu titik perhatian dari pelaksanaan propaganda itu selalu berubah setiap tahunnya, tergantung pada situasi yang dibutuhkan. Jika pada tahun 1943 yang menjadi titik perhatian adalah pertahanan nasional, maka pada tahun 1944 yang menjadi titik perhatian pelaksanaan propaganda adalah menanamkan kepercayaan penduduk Jawa dan Madura terhadap apa yang hendak dicapai dalam memenangkan perang dan terutama kemudian mengenai janji Perdana menteri Koiso, serta mengadakan promosi untuk meningkatkan produksi barang-

barang dan mengadakan penghematan di segala bidang. 98

Tahun 1944 adalah masa krisis yang di alami penguasaha Jepang di Jawa, karena selain tuntutan dari kalangan nasionalis terhadap kemerdekaan semakin gencar, di medan pertempuran posisi tentara Jepang semakin tersendat, sehingga kerja propaganda pada tahun ini pun perlu dipergiat. Memasuki tahun 1945, karena situasi peperangan sudah semakin ‘menjepit’ Jepang dan kekalahan sudah dapat diduga, maka yang menjadi

97 Encyclopedia Of The Social Science, Vol XII, hlm 340.

98 Nishijima Collection, AD-2, Report on The Activities of Sendenbu.

titik perhatian adalah menanamkan semangat Jepang (Bushido) untuk mempertahankan tanah Jawa dan Madura, sebagai pelaksanaan propaganda, juga mengenai pencegahan terhadap mata-mata musuh dengan semboyan: “awas mata-mata musuh” sangat diperhatikan, pun mengenai usaha pencegahan terhadap

bahaya serangan udara. 99

E. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang terhadap

Indonesia

Setelah Jepang menduduki Indonesia, langkah-langkah selanjutnya membuat beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memperkukuh keberadaannya di Indonesia untuk menjaga stabilitas di samping memobilitas rakyat dalam rangka perang Asia Timur Raya.

Sesuai dengan rencananya semula, pada bulan Maret 1942, setelah Jepang berhasil merebut Hindia Belanda, kebijaksanaan pertama yang ditempuhnya adalah menata kembali perekonomian Indonesia yang telah hancur akibat aksi bumi hangus yang dilancarkan oleh pihak Belanda. Kebijaksanaan yang dibuat adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat transport, telekomunikasi dan lain-lain. Harta bekas milik musuh yang disita dan menjadi hak milik pemerintah Jepang antara lain bank-bank, pabrik-pabrik, pertambangan

listrik, dan lain-lain. 100 Kehidupan ekonomi kemudian berubah menjadi ekonomi perang untuk membiayai tentara Jepang. Khususnya mengenai perkebunan

99 Ibid.

100 Nugroho Notosusanto (ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.cit, hlm 41.

dikeluarkan Undang-Undang No. 22/1942 yang menyatakan bahwa Gunseikan (kepala Pemerintah Militer) langsung mengawasi perkebunan-perkebunan kopi, kina, karet, gula, dan teh.

Pada akhir bulan Maret 1942 dibentuk sebuah perhimpunan dengan Gerakan Tiga A, sebuah nama dari penjabaran semboyan propaganda Jepang pada

waktu itu, (Jepang Cahaya, Pelindung, dan Pemimpin Asia) dibentuk. 101 Perhimpunan ini merupakan kerja sama antara nasionalis Indonesia dengan pihak

Jepang dengan ketuanya Mr. Samsuddin. Gerakan ini dianggap gagal oleh pemerintah pendudukan dalam usaha mengerahkan orang Indonesia,

Pada tanggal 9 Maret 1943, dibentuk organisasi baru yang disebut Poetra (Poesat Tenaga Rakjat) yang di ketuai oleh empat serangkai yakni Soekarno, M. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansjur. Tujuannya adalah untuk mencapai kemenangan dalam perang asia, kenaikan produksi, pertahanan Asia dan penyebaran bahasa Jepang. Sedangkan Usaha Poetra sesuai dengan pasal 3 menyebutkan: (a). Mengambil bagian dalam usaha mempertahankan Asia Timur Raya; (b). Melatih tahan menderita dalam segala kesukaran baik jasmani maupun rohani, untuk menyempurnakan peperangan ; (c). Menganjurkan bahasa Nippon dan meluaskan pemakaian bahasa Indonesia; dan (d). Menghapus pengaruh

Amerika, Inggris dan Belanda). 102 Di samping orang-orang Indonesia, dalam Poetra terdapat penasihat-penasihat Jepang, yakni S. Miyoshi, seorang bekas

konsul jepang di Jakarta. G. Toniguci pemimpin surat kabar Toindo Nippon; Iciro

101 Panji Poestaka, 1942, hlm. 117-118.

102 Noerhadi Soedarno, Poetra (Poesat Tenaga Rakyat), Jakarta, Tinta Mas, 1982, hlm. 18.

Yamasaki, seorang pemimpin badan perdagangan, dan S. Hiranuma, H. Shimizu dan M. Akiyama dari Bank Yokohama. 103

Selanjutnya pada tanggal 29 April 1943, berdiri dua organisasi pemuda Seinendan dan Keibodan. Keduanya langsung di bawah pimpinan Gunseikan. Kepada anggota-anggota Seinendan diberikan latihan-latihan militer baik untuk

mempertahankan diri maupun untuk penyerangan. Tugasnya adalah untuk mempersiapkan pemuda secara mental maupun teknis untuk memberikan sumbangan kepada usaha perang Jepang, baik dengan meningkatkan produksi maupun dengan pengamanan garis belakang. Sedangkan Keibodan adalah pembantu polisi dengan tugas-tugas kepolisian seperti penjagaan lalulintas, pengamanan desa dan lain-lain.

Untuk mengisi kekurangan tenaga militernya dalam peperangan, pihak Jepang pada bulan April 1943 membuat sebuah badan pembantu prajurit Jepang atau Heiho yang personelnya direkrut dari para pemuda Indonesia yang telah dilatih dalam teknik kemiliteran. Para prajurit pembantu ini ditempatkan baik dalam Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang. Syarat-syarat penerimaannya adalah harus berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur 18-25 tahun dan pendidikan terendah sekolah dasar. Karena fungsinya sebagai prajurit pembantu tentara Jepang, maka mereka dapat memegang senjata anti-pesawat, tank, artileri medan, mengemudi dan lain-lain.

Pemerintah pendudukan Jepang pun membentuk bagian Pengajaran dan agama dibawah pimpinan Kolonel Harie. Pada bulan Mei 1942, ia mengadakan pertemuan khusus dengan sejumlah pemeluk agama Islam di seluruh Jawa timur

103 Nugroho Notosusanto ( ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.Cit, hlm. 20.

di Surabaya. Di antara hasil pertemuan itu adalah pemerintah pendudukan mengijinkan tetap berdirinya satu organisasi Islam dari zaman Hindia Belanda yakni Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan akan mengikutsertakan golongan Islam di dalam pemerintahan. Cara yang ditempuh adalah dengan jalan menyelenggarakan latihan Kyai. Mereka mendengarkan beberapa ceramah tentang masalah –masalah agama namun yang utama mendapatkan indoktrinasi

propaganda Jepang. 104 Latihan berlangsung selama satu bulan dibalai urusan agama di Jakarta.

Pada bulan Agustus 1942 Pemerintah Militer jepang membentuk sebuah departemen Propaganda (Sendenbu) dengan tujuan untuk mencari dukungan rakyat Indonesia agar mereka ikut bekerja sama berperang melawan Sekutu. Departemen ini terdiri dari Seksi Administrasi, Seksi Berita, Pers, dan seksi Propaganda.

Kebijaksanaan berikutnya adalah membentuk sebuah organisasi resmi pemerintah pada tanggal 8 Januari 1944 yang bernama Djawa Hokokai (kebaktian Rakyat Djawa) yang bertujuan (1). Mempelopori pengerahan kekuatan perang, baik yang berupa benda maupun yang berupa tenaga manusia; (2). Memimpin rakyat untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat persaudaraan; dan (3). Memelihara semangat berdiri sendiri dan membela tanah

air. 105 Berbeda dengan Poetra kepemimpinan dalam Djawa Hokokai di pegang oleh orang-orang Jepang. Sedangkan Soekarno dan K.H. Hasjim Ashari dijadikan

104 M.C. Rickleff, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, UGM Press, 1991, hlm. 309.

105 Djawa Baroe, No. 3, 1 Februari 1945, hlm. 8-9.

penasehat utamanya dan pengelolahannya diserahkan kepada M. Hatta dan K.H. Mas Mansjur.

Dalam bidang media massa, pemerintah menerbitkan surat kabar Djawa Shinbu yang berbahasa Jepang di bawah pimpinan Bunshiro Suzuki. Beberapa surat kabar yang pernah terbit sebelumnya dilarang beredar. Langkah ini

dilakukan dengan alasan untuk menjaga stabilitas dan menghapus pengaruh Barat yang terdapat pada surat kabar sebelumnya.

Kemudian kebijaksanaan pemerintah pendudukan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap masyrakat untuk memasuki masa perang kemerdekaan dan revolusi adalah dibentuknya organisasi Pembela Tanah Air (Peta). Organisasi ini dibentuk berdasarkan atas sebuah peraturan Osamu Seirei No. 44, 3 Oktober 1943. Permohonan pembentukan Peta dilakukan oleh Gatot mangkoepradja. Permohonan itu ditujukan kepada Gunseikan yakni supaya dibentuk sebuah tentara yang segenap anggotanya terdiri atas orang Indonesia. Ketentuan yang tertulis dalam Osamu Seirei No. 44 adalah: (1). Tentara Peta beranggotakan orang Indonesia (penduduk asli) dari atas sampai bawah; (2). Di dalam Tentara Peta akan ditempatkan militer Jepang untuk tujuan latihan; (3). Tentara Peta ditempatkan langsung di bawah panglima tentara, lepas dari badan apapun; (4). Tentara Peta merupakan tentara teritorial dengan kewajiban mempertahankan masing-masing daerahnya; dan (5). Tentara Peta di masing-masing daerahnya

harus siap untuk melawan sampai mati setiap musuh yang menyerang. 106 Di dalam Peta para pemuda Indonesia telah mendapat pendidikan dan teknik-teknik

milter dalam rangka turut serta mempertahankan tanah airnya dari serangan

106 Kan-Po, No. 28, 1943, hlm. 20-21.

musuh. Para calon perwira tentara Peta mendapat latihan untuk pertama kalinya di Bogor dalam lembaga yang bernama Djawa Bui Giyugun Kanboe Ranseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air Djawa). 107 Beberapa kebijakannya yang telah dibuat di Jawa seperti diatas tidak diikuti oleh didaerah-daerah lain di luar Jawa. Di Sumatera misalnya tidak terdapat suatu organisasi sebagai suatu wadah bagi aspirasi rakyat. Penguasa di Sumatera tidak mengizinkan adanya organisasi seperti di Jawa dengan alasan bahwa di Sumatera tidak menggambarkan suatu homogenitas yang terdiri atas beberapa suku, bahasa dan adat istiadat. Baru pada bulan Maret 1945 diijinkan dibentuknya Cuo Sangi In (Dewan Penasehat Pusat). Sedangkan di daerah-daerah yang terjadi di Jawa tidak banyak diketahui karena para penguasanya sengaja menutup-nutupi berita yang dianggap berlawanan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan.

Pada bulan Agustus 1944, pihak Jepang semakin terdesak dalam peperangan, yang terbukti dari beberapa wilayah yang didudukinya satu demi satu disebut oleh Sekutu ditambah gencarnya serangan Sekutu terhadap negeri Jepang. Di Indonesia khususnya di Jawa ditandai dengan mundurnya moril masyarakat, produksi perang semakin merosot, yang mengakibatkan kurangnya persediaan senjata dan amunisi, ditambah dengan timbulnya soal-soal logistik karena hilangnya sejumlah besar kapal angkut dan kapal perang. Akibatnya situasi yang tidak menguntungkan itu maka pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso sebagai pengganti Perdana Menteri Tojo, mengumumkan tentang pendirian pemerintahan kemaharajaan Jepang dengan memberi janji kemerdekaan kepada Indonesia. Langkah selanjutnya pada tanggal 1 Maret 1945 pihak Jepang

Nugroho Notosusanto, Desertasi, PETA Army During the Japanese Occuption of Indonesia (Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang), Jakarta, Universitas Indonesia, 1977, hlm. 65-67.

Ketiga pemimpin Indonesia tersebut kembali ke Indonesia dari Vietnam pada tanggal 14 Agustus 1945, bersamaan Jepang mengalami pemboman oleh Sekutu atas Hirosima dan Nagasaki ditambah dengan Uni Sovyet yang menyatakan perang terhadap Manchuria. Hal ini berarti Jepang mendekati kekalahan. Akibat situasi tersebut, pihak Jepang berada dalam situasi lemah. kontrol atas wilayah pendudukannya di Indonesia semakin tidak terkendali. 109

Sebaliknya dari pihak Sekutu yang telah memenangkan perang belum dapat mengembalikan Indonesia kepada Belanda, sebagai anggota Sekutu. Akibatnya Indonesia berada dalam situasi yang kosong . Dalam keadaan yang demikian maka tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

108 Kan-Po, No. 7, 1945, hlm. 19.

A. Dasuki, Indonesia Dalam Perang Pasifik, Jakarta: Mutiara, 1982, hlm. 45-46.