Lahirnya Sendenhan
2. Lahirnya Sendenhan
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab dari kekalahan Jerman pada PD I adalah kekalahan di bidang perang ideologi. Maka, dengan kesadaran seperti itu, pada masa PD II, Jerman mengorganisasikan sebuah kompi propaganda, yaitu Propaganda Kompanien der Wehrmacht (P.K). anggotanya adalah sastrawan, kritikus, jurnalis, pelukis, dan sebagainya. Mereka diberi juga latihan kemiliteran sebagai seorang prajurit.
Melihat aktivitas P.K itu, maka Jepang juga membentuk Senden Butai (Pasukan Propaganda) militer (tidak ada konsistensi sebutan; kadangkala disebut juga Hodohan dan juga Sendenhan) 148 pada tanggal 21 November 1941 dan
adanya pasukan ini dicanangkan oleh pihak berwenang pada bulan Februari 1942. 149
Machida menulis secara panjang lebar mengenai barisan propaganda yang pernah dipimpinnya. “Kalau saya mati, mungkin tidak ada seorang pun di dunia ini yang mencatat tentang kegiatan kami,” 150 katanya. Dua puluh tahun setelah
perang, Machida mengakui waktu itu ia terburu-buru hanya untuk menekankan keAsiaan dan memaksakan keJepangan secara fanatik kepada rakyat jajahan. Ia juga mengatakan adalah kesalahan besar bahwa mereka mendewa-dewakan Asia
Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 11., misalnya, T. Abe menyebut dirinya sebagai anggota Hodohan (hlm. 134) maupun Sendenhan (hlm. 19) dalam satu buku, yaitu Tomoji Abe, 1944, Hi no Shima: Jawa bari no Ki (Pulau Api: Catatan tentang Jawa Bali), Tokyo: Sogensha.
Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 8-11, 56.
150 Machida, Tatakau, hlm. 191.
secara membabi-buta tanpa menilai perbedaan antara Timur dan Barat dengan tepat. 151 (Gerakan V maupun AAA merupakan semboyan yang tidak ada sangkut-
pautnya sama sekali dengan pembangunan Jawa. Bagaimana Jawa sendiri hanya diperas belaka.” 152 “Rakyat Jawa adalah obyek propaganda yang sangat cocok
disebabkan keter belakangan mereka yang menyedihkan.” 153 Demikian pendapat Machida. Demi kepentingan “pembangunan Asia kembali”, ia memanfaatkan
segala-galanya. Ia bertutur, “Misalnya surat kabar diterbitkan hanya untuk memobilisasikan rakyat ke satu arah, dan radio serta sandiwara juga demikian.” 154
Machida menyatakan, “Sendenhan ini diberi tugas untuk ‘berperang kultural’—jikalau bisa disebut seperti ini—yang lebih menyeluruh” daripada bagian-bagian propaganda yang ada sebelumnya. Pemembentukan Sendenhan itu didorong situasi yang sudah mendesak Jepang untuk membentangkan aktivitas propaganda terhadap luar negeri. 155 Berbeda dengan anggota Pen Butai yang diminta ikut perang, anggota Senden Butai ini dipaksa bekerja untuk militer. 156
Dalam memoarnya, Michida menulis bahwa Sendenhan di Pasukan ke-16 terdiri dari 150 orang bunkajin (budayawan) dan 250 orang militer. 157 Rupanya, Machida
tidak ingat atau tidak memegang jumlah anggota pasti di Sendenhan yang dikepalainya. Soalnya, di tempat lain dalam buku yang sama, ia juga
151 Ibid, hlm. 188.
152 Ibid, hlm. 189.
153 Ibid.
154 Ibid, hlm. 190.
155 Ibid, hlm. 19, 21.
Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 43.
157 Machida, Tatakau, hlm. 22, 25.
membenarkan penjelasan Masaaki Tanaka yang menulis, “Keluarga besar Sendenhan di Jawa terdiri dari perwira tinggi sebelas orang, perwira rendah dan prajurit sekitar seratus orang, budayawan yang diwamilkan 87 orang, dan tenaga
bayaran 48 orang.” 158 Beberapa orangkah budayawan di Sendenhan. Apakah 150 orang? Ataukah 87 orang? Atau juga dua-duanya salah? Tidak ada data resmi
pemerintah mengenai hal ini. Agaknya, arti kata “bunkajin” lebih luas daripada kata “budayawan” dalam bahasa Indonesia. Machida sendiri berkata, “Saya tidak tahu orang bagaimana gerakan yang disebut bunkajin – alangkah sembarangnya
kata itu.” 159 Biar bagaimanapun, tidak dapat disangkal bahwa mereka yang disebut bunkajin adalah orang-orang yang menarik. Sendenhan di Jawa
diramaikan oleh kritikus, sastrawan, sarjana/ilmuwan, pelukis, komikus/kartunis, musisi, ahli perfilman. Kamerawan, juru foto, ahli penyiaran, ahli radio, jurnalis, dramawan, komedian, artis, tokoh seni tari, penerjemah, stenografer, ahli cetak, dokter, pendeta Shinto, biksu, pakar agama Katolik dan Protestan, tukang balon
untuk reklame, dan banyak lagi. 160 Para budayawan itu dibagi ke dalam berbagai seksi: tata usaha;
perencanaan; propaganda; pendidikan; surat kabar; komunikasi/korespondensi; penyiaran; film; seni rupa; foto; sandiwara; dan lain-lain. Machida mengkoordinasikan semua seksi dengan menyesuaikan diri dengan sikon (situasi dan kondisi) yang silih berganti. Dalam hal ini, ia menghindari untuk menetapkan batas-batas setiap seksi secara mutlak sehingga dapat menutupi kekurangan tenaga
158 Ibid, hlm. 360.
159 Ibid, hlm. 369.
Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 12., Machida, Tatakau, hlm. 360-370.
Dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen (Almanak Jawa 2604) terdapat bab “Propaganda dan Pemberitaan”. Di dalamnya, Sendenhan di Pasukan ke-16 disebut sebagai “pasukan perang ideologi-budaya skala besar yang tidak pernah ada sepanjang sejarah peperangan dunia.” Selanjutnya, sebagai alat utama pasukan tersebut dicontohkan gelombang udara (radio dan kawat), film (foto, proyektor, dan bioskop), kertas (poster dan selebaran), suara (pengeras suara dan
piringan hitam), dan balon untuk reklame. 162 Kesemuanya dianggap peluru atau senjata oleh Jepang pada masa itu. Dalam bab itu, poster disebut “peluru kertas.”
Adapun, pada masa penghabisan pendudukan Jepang, diterbitkan Shin Jawa, yaitu majalah berbahasa Jepang yang tinggal di Jawa pada masa itu. Dalam kata ucapan selamat untuk penerbitan perdana, Gunseikan Mayjen Shinshichiro Kokubu menganggap majalah itu sebagai “peluru kertas untuk menghancurkan Amerika
dan Inggris.” 163 Dalam nomor 1 volume 2 majalah yang sama, Seiji Shimaura yang bertugas di Hoso Kanrikyoku (Biro Pengawas Penyiaran di Jawa)
menyerukan, “Gelombang udara adalah senjata, siaran radio adalah peluru.” 164 Selain itu, dalam Dai Toa Chiiki Shinbun Zasshi Soran (Daftar Surat dan Majalah
di Daerah Asia Timur Raya) disebut surat kabar dan majalah adalah : “senjata
161 Ibid, hlm. 362.
162 Jawa Nenkan, hlm. 165., Machida, Tatakau, hlm. 190.
163 Shin Jawa (no.1. Vol.1. 1 Oktober 1944), hlm. 1.
164 “Senso to Hoso wo Kataru (Membicarakan Perang dan Penyiaran)” dalam Shin Jawa (no.1 Vol.2. 1Januari 945),hlm. 74.
ampuh dalam perang ideologi.” 165 Sementara itu, komikus Saseo Ono (anggota Sendenhan ) juga pernah berpendapat bahwa lukisan harus diterapkan sebagai
“peluru” dalam kondisi peperangan. 166 Tentu semua orang (baik orang militer maupun tidak) dianggap “serdadu” untuk memenangkan “Perang Asia Timur
Raya”, 168 seperti pernah diutarakan oleh PM Hideki Tojo. Dalam bab “Propaganda dan Pemberitaan” dalam Jawa Nenkan: Kigen
2604-nen tadi, diuraikan juga proses perubahan Sendenhan (Barisan Propaganda) ke Sendenbu (Bagian Propaganda). Sejak awal, Sendenhan bertugas untuk membangun dasar dari urusan-urasan seperti penyiaran, pemberitaan, perfilman, penyuluhan rakyat, sandiwara, dan penyensoran di Jakarta, pada bulan Oktober 1942 Sendenhan dimasukan ke Gunseikanbu dan menjadi Sendenbu. Setelah menjadi Sendenbu, urusan-urusan di atas mulai ditransfer ke badan-badan yang lain: tugas penyiaran kepada Hoso Kanrikyoku yang didirikan pada Oktober 1942; tugas pemberitaan (agen berita Yaesu) kepada kantor berita Domei yang didirikan di Jawa pada Oktober 1942; surat kabar Unabara kepada Jawa Shinbunsha (menjadi Jawa Shinbun); Jawa Eiga Kosha kepada Eihai dan Nichiei yang didirikan di Jawa pada April 1943; urusan pendidikan kepada Bunkyo Kyoku yang
165 Koa sohonbu Chosabu (Bagian Investigasi,Markas Umum Asia Raya) (ed.), 1945,Dai Toa Chiiki Shinbun Zasshi Soran (Daftar Surat Kabar dan Majalah di Daerah Asia Timur Raya),
Koa Sohonbu Chosabu, (The Nishijima Collection,.
“Kantei Toji to Genzai no genjumin wo Kataru Zandakai (Simposium mengenai Penduduk Setempat yang Sewaktu Pasifikasi dan Kini)” dalam Shin Jawa (no.3. Vol.2. 1 Maret 1945), hlm. 43.
167 Waktu itu Jepang menyebut Perang Pasifik sebagai Perang Asia Timur Raya. Sebutan ini akan dilarang untuk digunakan oleh GHQ (General Headquarters) setelah perang.
168 Pada 8 Desember 1942 (Koa Sai (Ulang Tahun Pecahnya Perang Asia Timur Raya ) pertama) PM Tojo berpidato seperti itu. Lihat Almanak Asia-Raya 2603:Tahoen 1, Djakarta: Asia-
Raya Bagian Penerbitan, 1943, (Seterusnya dirujuk sebagai Almanak Asia-Raya-), hlm. 87. Selain itu,pemompin Sendenbu juga berpidato demikian. Lihat Keboedajaan Tomur I (2603),hlm.3.
didirikan pada Desember 1942; dan urusan sensor kepada Kenetsuhan (Barisan Sensor) di Gunshireibu (Komandan Militer). 169
Mengenai masalah sensor, hingga kini tidak banyak diketahui. Misalnya, tema film cerita ditentukan Sendenbu. 170 Menurut mantan Staf Nichiei, Masao
Hirai, 171 sekali suatu tema film ditentukan,staf Nichiei membuat ringkasan cerita kemudian diserahkan kepada Sendenbu untuk disensor. Setelah lulus sensor, baru
disusun skenario lengkap dalam bahasa Indonesia. Sebelum bulan Oktober 1942, semua urusan sensor ditangani Sendenhan. 172 Misalnya, sejak 21 Mei 1942, semua
orang diharuskan untuk menyerahkan film foto kepada Kantor Besar Foto (Shashin Honbu) di Sendenhan untuk dicuci cetak kemudian disensor disana. 173
Masalah sensor disinggung dalam maklumat nomor 16 yang dikeluarkan pada 25 Mei 1942. Pasal keempat dari maklumat tersebut menyatakan bahwa semua penerbitan harus disensor oleh militer Jepang sebelum terbit. Badan penyensoran
169 Jawa Nenkan, hlm. 166., Ada data yang berkata lain, yaitu Sendenhan diubah menjadi Johobu (Bagian Penerangan) Gunseikanbu pada 1Oktober 942. Di dalamnya terdapat Sendenkan
(Seksi Propaganda) dan tiga seksi lain. Baca Osamu Shudan Shireibu dan Osamu Shudan Gunseikanbu (Komando Pasukan Ke-16 dan Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa), “Osamu Shudan Gunseikanbu Honbu Kinmu Kitei oyobi onajiku Bunka Kitei no Ken (Revisi Peraturan Dinas Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa serta seksi-seksinya)”, 24 September 1942, (The Nishijima Collection, (JV 1-4) ).
170 Jawa Nenkan, hlm. 170.
Kurasawa,Aiko,1992, Nihon senroy-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang) , hlm. 279.
Pada awal pendudukan,Jepang masih bingung harus melarang buku apa saja, maka dimuatlah pengumuman yang tidak berguna, yaitu “Bekendmaking omtrent met Slechte Strekking (Pengumuman mengenai buku-bku yang isinya Buruk)” dalamkoran Soerabaiasch Handelesblad (Koran Perdagangan Surabaya) (no. 90. 17 April 1942). Hanya ditulis bahwa rakyat harus menyerahkan buku-buku anti-Asia atau anti-Jepang yng “isinya bertentangan dengan Masa baru di Asia” kepada Sendenhan.Menurut artikel itu, jika kemudian ketahuan masih memiliki buku-buku “yang demikian,” maka “pemilik akan mengalami kesukaran-kesukaran besar. “dapat diduga pembaca sangat bingung harus menyerahkan buku bagaomana. Lihat I.J. Brugmans, dkk, 1960, Nederladsch-Ondie onder Japanse Bezetting: Gegevens en Documenten over de Jaren 1942-1945 (Hindia Belanda di Bawah Pendudukan Jepang: Data-data dan Dokumen-dokumen Selama 1942- 1945), Franeker: Uitgave T. Wever, hlm. 209.
173 “Shashin Honbu (Kantor Besar Fto)” dalam Unabara (no.63, 23 Mei 1942),hlm.2.
militer, menurut pasal kesepuluh, ada di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. 174
Menurut mantan kepala kantor besar Jawa Shinbunkai (Gaboengan Persoeratkabaran di Djawa), Goro Taniguchi, urusan sensor bukan diserahkan tetapi waktu Sendenhan pindah dari Gunshireibu ke Gunseikanbu, hak sensor tidak mau dilepas oleh Gunshireibu. 175 Sebagaimana biasa di sebuah organisasi, di militer Jepang juga terdapat sektarianisme. Taniguci mengatakan setelah pernyataan Koiso, urusan sensor surat kabar diserahkan sepenuhnya kepada Seksi
Surat Kabar Sendenbu. 176 Namun, rupanya ini tidak benar. “Osamu Seirei (Oendang-Oendang Osamu) No.6” yang dikeluarkan pada 1 Februari 1944 masih
mewajibkan segala penerbitan, naskah film, naskah sandiwara, isi acara kesenian lain, naskah pidato diserahkan kepada Kemetsuhan militer sebelum diumumkan. 177 Mantan Pemimpin Sendenbu Adachi dan kawan-kawan juga mengatakan bahwa sensor tidak diadakan di Gunseikanbu. 178
174 Jawa Nenkan, hlm. 403.
Goro Taniguchi, 1953, “Pena ni Yorite (Bergantung pada Pena)” dalam Hitsuroku Daitoa Senshi: (Catatan Rahasia Sejarah Perang Asia Timur Raya: Hindia Belanda), Tokyo: Fuji Shoen, hlm. 126.
176 Goro Taniguchi, 1991, “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Rescarch Materials on the Japanese
Occpation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia, Tokyo: Ryukei Shosha, (Seterusnya dirujuk sebagai Taniguchi, “Janarisuto), hlm. 277. 279-280, 292-293.
177 Osamu Kanpo (no.15), hlm. 2-5.,atau Kanpo (no.36), hlm.6-8. Mungkinkah tidak ada pemisahan yang jelas di antara Kenetsuhan dan Sendenbu dalam urusan penyensoran? Rupanya
Sendenbu juga mengadakan sensor. Misalnya, di Unit operasi Daerah Sendenbu ada beberapa petugas tetap yang bertanggung jawab atas sensoran. (Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosila di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, (Seterusnya dirujuk sebagai Kurasawa, Mobilisasi-), hlm. 234.) Selain itu, menurut Oya, naskah sandiwara disensor di Barisan sensor (Kenetsuhan) di Sendenbu. (“Nanpo to Bunka Senden (Daerah Selatan dan Propaganda)” dalam Nihon Hyoron (Japang dalam Ulasan) (Januari 1944), (Seterusnya dirujuk sebagai Oya, “Nanpo-“)). Namun, yang jelas, paling tidak sampai Oktober 1943 sensor hanya diadakan oleh Kenetsuhan.Baca Domei Tshushinsa (Kantor Berita Domei),
Proses transfer terselesaikan pada bulan April 1943. Setelah selesainya trasnsfer tersebut kegiatan propaganda di daerah lebih diperkuat. 179 Sendenbu
menarik personilnya dari cabang-cabang di daerahan pada bulan Februari 1944 mereka menyusun dan mengirim Unit Operasi Daerah (Chiho Kosakutai) ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Malang dan Surabaya yang masing-
masing terdiri dari orang Jepang dan orang Indonesia. 180 Setelah anggota tetap, Sendenbu dengan cerdik sering memobilisasikan pemimpin politik setempat,
penyanyi, dalang, badut, penari, musisi, aktor terkenal untuk menarik perhatian rakyat setempat. 181 Dengan demikian, markas besar Sendenbu mengonsentrasikan
diri untuk perencanaan dan bimbingan dalam urusan porpaganda dan pemberitaan. 182