Masa Akhir Pemerintahan Hindia Belanda

B. Masa Akhir Pemerintahan Hindia Belanda

Sejak 12 September 1931 Jhr. B. C. de Jonge, pengganti Jhr. Mr. A. C. D.

de Graeff, telah menduduki jabatannya sebagai Gubernur Jenderal yang baru di Hindia Belanda. Ia dihadapkan pada situasi ekonomi dunia yang buruk. Untuk itu ia berusaha untuk tidak akan mempermudah segala tindakan para agitator politik

Indonesia 43 dimana dalam keadaan seperti itu yang lebih dipentingkannya adalah memelihara ketenangan dan ketertiban. 44

Pada bulan September 1932, de Jonge menerapkan peraturan dalam bidang pendidikan yang dikenal dengan nama Organisasi Sekolah Liar (Wild Schoolen Ordonantie). Ordonansi ini pada pokoknya berisi tentang peraturan yng menetapkan bahwa semua guru sekolah swasta harus mempunyai izin khusus dari pemerintah setempat sebelum mereka diperbolehkan mengajar.

Peraturan ini secara sekilas nampaknya memang sederhana. Tetapi yang memberatkan para guru sekolah swasta adalah untuk mendapatkan surat izin itu mereka terlebih dahulu harus mempunyai sertifikat dari sekolah negeri atau dari sekolah yang bersubsidi. Kecuali itu surat izin akan diberikan apabila dalam pandangan pemerintah setempat guru yang bersangkutan tidak membayangkan ketenangan dan ketertiban. Keadaan ini merupakan pukulan berat bagi sekolah-

42 Peter Post,1994, “characteristics Of Japanese Enterpreneurship in the Pre-war Indonesia Economy” dalam Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890’s-1990, J. Th.

Lindblad (ed.), Amsterdam, hlm 299.

43 John Ingleson, 1983, Jalan Ke Pengasingan, Jakarta: LPES, hlm 176.

44 Ibid, hlm 197.

sekolah pribumi yang kebanyakan guru-gurunya lulusan sekolah tak bersubsidi, yang berarti tidak berhak mendapatkan sertifikat. Lebih menyulitkan lagi ijazah sekolah-sekolah swasta itu tidak diakui oleh pemerintah, sehingga para lulusan kemungkinan kehilangan untuk bekerja pada pemerintah.

Ki Hajar Dewantara, seorang pendiri sekolah swasta Taman Siswa, menentang dengan keras atas diberlakukannya ordonasi itu. Melalui sepucuk suratnya yang ditujukan kepada de Jonge, ia menyatakan kekecewaannya atas keputusan pemerintah itu dan ia akan menentang dengan cara mengorganisir “perlawanan Pasif” terhadap ordonasi itu. Sikapnya ini memperoleh dukungan luas baik dari partai-partai politik maupun yang bukan, termasuk Indonesia Muda.

Di dalam Volksraad, pemerintah mendapatkan protes keras dari Fraksi Nasional. M. H. Thamrin, yang menjadi ketuanya, menuntut agar pemerintah mencabut peraturan tersebut. Ia bersama dengan anggotanya yang lain mengancam akan mengundurkan diri dari dewan apabila tuntutannya tidak

dikabulkan. 45 Luasnya dukungan yang diberikan kepada Ki Hajar Dewantara, menimbulkan kekawatiran di kalangan pemerintah, sehingga pada bulan Februari

1933 ordonansi itu secara resmi dicabut. 46 Pencabutan ordonansi ini merupakan kemenangan bagi kaum nasional

yang harus dibayar cukup mahal. Bagi Indonesia Muda, dukungannya terhadap penentangan Ordonansi berakibat serius. Pada bulan Agustus 1933, pemerintah melarang para pelajar yang bersekolah disekolah negeri untuk menjadi anggota Indonesia Muda . Berbagai tekanan dilakukan pemerintah terhadap orang tua

45 Nugroho Notosusanto, dkk., 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, Jakarta:Balai Pustaka, hlm 222-225.

46 John Ingleson, op.cit, hlm 226-230.

murid agar mengeluarkan anak-anaknya dari anggota Indonesia Muda, karena organisasi ini dianggap telah menyimpang dari tujuan semula. 47 Tindakan

pemerintah tidak hanya itu. Pada bulan Mei 1936, majalah Indonesia Muda dilarang terbit. Begitu pula dengan Kongres Indonesia Muda yang akan

berlangsung pada bulan Juli tahun itu dilarang. 48 Tindakan pemerintah yang menekan ini memaksa IM dalam konghresnya yang ke-6 pada akhir tahun itu di

Surabaya, memutuskan untuk memperlunak sikapnya dimasa mendatang. Tindakan pemerintah terhadap partai yang berhaluan non-kooperatif lebih keras lagi. Pada tanggal 1 Agustus 1933, sehari sebelum diadakannya rencana rapat-rapat Partindo (Partai Indonesia) 49 di Jakarta dan Bandung, Soekarno

sebagai pemimpin partai ini ditangkap. H. Colijn, yang menjabat Perdana Menteri Belanda merangkap Menteri Urusan Jajahan, menjelaskan kepada Parlemen Belanda bahwa penangkapan itu disebabkan Soekarno telah menyebarkan gagasan-gagasan revolusioner sehingga membuat sebagian besar orang terdidik memusatkan perhatiannya pada kegiatan politik. Oleh sebab itu tindakan ini perlu

diambil untuk melindungi ketertiban umum. 50 Nasib yang serupa juga dialami oleh Mohammad Hatta dan St. Syahrir

pemimpin PNI-Baru. Keyakinannya bahwa dengan kegiatannya yang lebih tertuju pada pembentukan kader daripada agitasi politik dapat menghindarkan

47 45 Tahun sumpah Pemuda ,1974, Jakarta, Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta, hlm 96.

48 A. K. Pringgodigdo, 1984, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,Jakarta: Dian Rakyat.

49 Partindo berdiri tanggal 1 Mei 1931. Partai ini dan juga PNI-Baru (Pendidikan Nasional Baru) merupakan pecahan dari PNI (Partai Nasional Indonesia) yang dibentuk tahun 1927 dan

dibubarkan bulan April 1931. Ibid, hlm 111-116.

50 John Ingleson, op.cit,hlm 240.

campurtangan pemerintah ternyata keliru. Pada tanggal 26 Februari 1934 mereka ditangkap. De Jonge menganggap kegiatan PNI-Baru lebih berbahaya dari pada Partindo. Alasan inilah yang menyebabkan mereka mendapat hukuman yang lebih berat dari Soekarno. Hatta dan Syahrir dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya,

sedangkan Soekarno dibuang ke Flores. 51 Tindakan menekan yang diambil pemerintah, serta penangkapannya

terhadap para pemimpin nasionalis melumpuhkan gerakan non-kooperatif di Indonesia. Pada tanggal 18 November 1936, Partindo terpaksa membubarkan diri. Tidak lama lagi kemudian, pada bulan Mei 1937 sebagian besar anggota ini mendirikan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) tetapi telah meninggalkan azas non-kooperatif. Sedangkan PNI-Baru meskipun tidak pernah dibubarkan, secara praktis tidak ada lagi setelah kedua pemimpinnya ditangkap. 52

Pada tahun 1935, PBI (Persatuan Bangsa Indonesia) 53 bersama Budi Utomo membentuk Parindra (Partai Indonesia Raya) di bawah pimpinan Sutomo. Parindra merupakan gabungan dari beberapa partai seperti : Budi Utomo, PBI, dan Sarekat Sumatera. Sama dengan partai-partai lain, Parindra menganut azas kooperatif.

Tidak ada pilihan lagi bagi kaum nasionalis dalam mengemukakan keinginannya selain dengan cara mengadakan kerja-sama dengan pemerintah. Sarana yang paling tepat untuk maksud ini adalah Volksraad (Dewan Rakyat) yang telah dibentuk tahun 1918. Mereka bersama-sama dengan kaum nasionalis

51 Bernhard Dahm, 1987, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: LP3S, hlm 211-212.

52 John Ingleson, op.cit, hlm 252.

53 PBI merupakan kelanjutan dari Kelompok Studi Indonesia yang berganti nama bulan November 1930, bid, hlm 139-140.

lainnya dari berbagai wilayah di Indonesia memasuki Dewan ini, sehingga secara tidak langsung Volksraad menjadi tempat pertemuan dan sekaligus menyatukan mereka. Meskipun Dewan ini hanya berfungsi sebagai penasehat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, terutama mengenai anggaran belanja, tetapi ia mempunyai hak petisi yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal atau Ratu Belanda. Hak ini telah mereka gunakan dengan sebaik-baiknya untuk menyampaikan kritik-kritik yang tajam terhadap kebijaksanaan pemerintah tanpa

takut mendapat hukuman. 54

Pada tahun 1936 Sutardjo, wakil pegawai pemerintah di Volksraad, mengajukan sebuah petisi yang berisi mengenai perlunya dibentuk suatu dewan kerajaan yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil bangsa Indonesia dan Belanda. Di dewan ini nantinya mereka akan membicarakan hubungan antara kedua Negara berdasarkan konstitusi yang berlaku, serta akan mempertimbangkan kemungkinan peningkatan kedudukan Indonesia menjadi rekan yang sejajar dengan Belanda. Meskipun petisi ini tidak melanggar undang-undang dan telah setujui oleh

mayoritas anggota dewan, pada bulan November 1938 pemerintah menolaknya 55 dengan alasan bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab

dalam memerintah diri sendiri. 56 Penolakan terhadap petisi itu menunjukan kepada kaum nasionalis bahwa

pemerintah kurang memperhatikan kepentingan pihak Indonesia. Sebagai reaksi terhadap sikap ini maka pada bulan Mei 1939, atas usaha Mohammad Husni

54 Bernhard Dahm, Op.cit, hlm 105-108.

55 Deliar Noer, 1982, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3S.

56 Nugroho Notosusanto,Op.cit, hlm 234-235.

Thamrin membentuk Gapi (Gabungan Politik Indonesia). Dari penolakan petisi tersebut Gapi mempunyai keinginan dari pemerintah yaitu:

1. Hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri.

2. persatuan nasional yang berdasarkan atas demokrasi politik, social dan ekonomi.

3. Sebuah parlemen Indonesia yang dipilih secara demokrasi yang bertanggung jawab kepada penduduk Indonesia.

4. persatuan diantara partai-partai politik Indonesia dengan negeri Belanda untuk membentuk barisan anti fasisme yang kuat. 57

Sementara itu kaum nasionalis di dalam dewan terus mendesak pemerintah agar pemerintah mau melakukan perubahan-perubahan dalam bidang ketatanegaraan. Akibat desakan ini maka, pada tanggal 14 November 1940, pemerintah membentuk sebuah komisi yang akan bertugas menyelidiki dn mempelajari perubahan-perubahan itu. Komisi ini diketuai oleh Dr. F. H. Visman. 58 Oleh Abikusno Tjokrosujoso, rancangan Gapi tadi dibahas bersama

didalam komisi ini pada tanggal 14 februari 1941. Namun, usaha ini tidak membawa hasil karena tuntutan Gapi oleh pemerintah dianggap hanya sebagai keinginan sebagian kecil orang Indonesia dan tidak didukung oleh mayoritas

pemimpin intelektual dan rakyat. 59 Sikap pemerintah Belanda yang tidak memperdulikan keinginan bangsa

Indonesia membuat kaum nasionalis kecewa. Gerakan tentara Jepang yang semakin mendekati kepulauan Indonesia disambut dengan harapan dapat membawa perubahan-perubahan baru. Meskipun fasisme oleh sebagian kecil golongan intelektual dianggap lebih berbahaya daripada Belanda, namun sikap ini

57 George Mc. Turnan, 1980, Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Indonesia, hlm 221.

58 Nugroho Notosusanto,Op.cit, hlm 239.

59 Deliar Noer, Op.cit, hlm 234.

tidak dapat mempengaruhi sebagian terbesar penduduk Indonesia. Mereka percaya bahwa keadaan akan menjadi lebih baik dibawah pemerintahan Jepang atau

setidak-tidaknya keadaan akan lebih buruk. 60