Pembentukan Departemen Propaganda (Sendenbu)

3. Pembentukan Departemen Propaganda (Sendenbu)

Salah satu usaha pemerintah pendudukan Jepang untuk dapat memenangkan perang adalah berupaya mencari dukungan massa sebanyak-

banyaknya. Pemerintah militer mendirikan Departemen Propaganda (Sendenbu) * pada bulan Agustus 1942. Tujuannya agar masyarakat mau bekerja sama dengan

1943, Nanpo Binran (Dai-1-Shu) (Survei Mengenai Daerah Selatan Vol.1.), hlm. 31. (The Nishijima Collection, (AG12)).

Hisayoshi Adachi, dkk., “Report on the Activities of Sendenbu”, hlm. 6., (The Nishijima Collection, (AD 2) ).

179 Jawa Nenkan, hlm. 166.

Hisayoshi Adachi, “Report to Mr. A.P.M. Audretsch: Replies of Guestionaire Concerning Sendenbu”, 14 April 1947,hlm. 3, (The Nishijima Collection, (AD 3) ).

Kurasawa,Aiko,1992, Nihon senroy-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang) , hlm. 271-272.

182 Jawa Nenkan, hlm. 166. * arti Propaganda adalah informasi terpilih, benar atau salah, yang dikembangkan dengan

tujuan meyakinkan orang agar menganut sesuatu keyakinan, sikap atau arah tindakan tertentu. Ensiklopedi Indonesia

5, Jakarta, Ichtiar Baru Van aaaaaaahoeve, 1984, hlm.. 2778.

pemerintah pendudukan Jepang atau untuk memobilisasi seluruh rakyat dalam berperang melawan Sekutu dan untuk dapat mengubah mentalitas. 73 Hal ini

disertai keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibentuk berdasarkan pola perilaku dan pemikiran Jepang. Mereka mengarahkan propaganda pada indoktrinasi terhadap rakyat Indonesia sehingg mereka dapat menjadi kawan- kawan yang setia dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya.

Departemen Propaganda bertugas menyelenggarakan propaganda dan penerangan yang berkaitan dengan administrasi sipil, dan merupakan organ terpisah dari Seksi Penerangan Angkatan darat ke-16 yang bertugas menyelenggarakan propaganda dan penerangan yang berkenaan dengan operasi- operasi militer. Aktifitas Sendenbu diarahkan kepada penduduk sipil Jawa, termasuk orang Indonesia, Eurasia, minoritas Asia dan Jepang. 74 Meskipun

demikian, pihak pemerintah pendudukan Jepang tidak pernah mempercayakan kontrol dari departemen penting ini kepada orang-orang sipil. Lembaga itu selalu dikepalai oleh seorang perwira Angkatan Darat. Pejabat pertama adalah Kolonel Machida Keiji (Agustus 1942-Oktober 1943). Kedua Mayor Adachi Hisayoshi (Oktober 1943-Maret 1945). Dan ketiga Kolonel Takanashi koryo (April-Agustus

1945). 75 Lembaga ini mempunyai tiga seksi yaitu: 1. Seksi administrasi; (2).Seksi

Berita dan Pers; dan (3).Seksi Propaganda. Seksi yang pertama dan yang kedua masing-masing dikepalai oleh para perwira militer, lain halnya dengan seksi

73 Grant K. Goodman, Janaese Cultural Policies in South East Asia During World War 2, St Martin’s Press, New York, 1991, hlm. 36-65.

74 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indoneisa, 1993, hal. 230.

75 Ibid., hlm. 230.

ketiga yang dipimpin oleh pejabat sipil. Sendenbu tidak hanya bertindak sebagai sebuah kantor administrasi, tetapi juga secara langsung melaksanakan operasi- operasi propaganda. Di dalam menjalankan roda propaganda, semua rencana mengenai propaganda secara garis besar ditangani langsung oleh kepala pemerintah militer (Gunseikan), dan Sendenbu bertugas menjabarkan pelaksanaannya. Kepala Sendenbu memutuskan rencana operasi dari propaganda, melalui rapat-rapat yang dihadiri oleh setiap kepala seksi yang ada dalam

departemen ini. 76 Di samping itu, sebuah organisasi bernama Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) dibentuk pada bulan April 1943 sebagai organisasi bantuan dari Sendenbu.

Pada saat struktur administrasi militer menjadi semakin rumit, pemerintah membentuk beberapa biro khusus dengan tugas menyelenggarakan berbagai bidang propaganda sebagai badan-badan luar departemen di bawah Sendenbu, dan pelaksanaan operasi propaganda dipercayakan kepada mereka (lihat lampiran II ). Setelah pembentukan organisasi spesialisasi dan biro-biro, Sendenbu sendiri tidak lagi melaksanakan aktifitas secara langsung. Ia hanya menghasilkan rencana- rencana dan bahan-bahan propaganda dan mendistribusikannya kepada unit-unit kerja terkait.

Pemerintah pendudukan Jepang sangat berhati-hati dalam mengerahkan staf propaganda baik pusat maupun lokal. Mereka yang terlibat propaganda dalam pemerintahan militer mempunyai latar belakang yang sangat berbeda beda. Mereka dapat dibagi atas dua kategori. Pertama, para ahli propaganda dan kebanyakan terlibat dalam perencanaan program. Kedua adalah para spesialis

76 Nishijima Collection, hlm.14.

dalam bidang khusus, yakni reporter dan editor surat kabar yang sebagian besar dari Asahi Shinbun, penulis, novelis, penyair, penulis esai, pemusik, pelukis, penyiar radio, produser film serta perancang yang biasanya disebut Bunkajin

(manusia budaya) dalam masyarakat Jepang. 77 Mereka dikenakan wajib militer untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Wajib militer bagi kaum intelektual sipil

banyak dilakukan untuk memaksa mereka bekerja sama dengan militer, dan dalam hal ini golongan liberal dan para bekas golongan kiri lebih banyak dikenakan wajib militer dibanding dengan orang orang yang menunjukkan simpati mereka

secara terbuka. 78 Di samping memanfaatkan intelektual mereka untuk tujuan militer,

praktek ini agaknya juga dimaksudkan untuk menguji kesetiaan, serta semacam indoktrinasi bagi orang-orang yang bersifat ragu-ragu (skeptis) terhadap pemerintah Jepang. Walaupun sebagian dari mereka bekerja untuk mempengaruhi masyarakat Jepang di Indonesia, namun sebagian besar dari mereka melakukan hubungan langsung dengan rakyat Indonesia. Sebagian dari mereka menguasai sedikit pengetahuan mengenai bahasa Indonesia, tetapi banyak yang mempelajari

bahasa ini setibanya mereka di Indonesia. 79 Mereka kebanyakan terlibat dalam pengaturan bahan-bahan propaganda yang sesungguhnya, bersama rekan-rekan

mereka dari Indonesia. Banyak dari Bunkajin ini bergabung dengan kelompok propaganda atas permintaan pribadi kolonel Machida Keiji. Meskipun seorang militer profesional,

77 Aiko Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java under the Japanese, 1942-1945”, dalam Grant K. Goodman, editor, hlm. 36.

78 Akira Nagazumi, editor, Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1988, hlm. 8-9.

79 Ibid . , hal. 9.

Machida memiliki keterikatan yang mendalam terhadap kesusastraan dan tampaknya memiliki hubungan yang sangat luas dengan Bunkajin. Berbagai lainnya, meskipun tidak mengenal Machida secara pribadi, telah didorong oleh rekan rekannya yang telah memenuhi permintaan Machida untuk turut bergabung. Mereka berpikir bahwa mereka dapat bekerja lebih bebas di luar negri (Indonesia) dari pada di Jepang dimana pengawasan yang ketat diperlakukan kepada aktifis-

aktifis kreatif. 80 Banyaknya anggota kelompok tersebut menunjukkan besarnya harapan

militer terhadap mereka.Sendenhan (Kesatuan propaganda) yang menyertai pendaratan Tentara ke-16 pada bulan Maret 1942, terdiri atas 11 orang perwira, 100 orang prajurit, dan 87 kaum intelektual wajib militer. Sebagian dari mereka kembali ke Jepang, dibebas tugaskan setelah bertugaskan setahun. Tetapi banyak di antara mereka yang secara suka rela tinggal lebih lama, dan pendatang- pendatang baru bermunculan. Kegiatan mereka dalam banyak hal termasuk unik dalam melakukan perang urat syaraf sehingga meninggalkan kesan yang dalam pada masyarakat Indonesia. Kaum intelektual yang lebih banyak terpengaruh oleh hubungan dengan rakyat Indonesia. Walaupun sebagian di antara mereka berasal dari pemerintahan militer Jepang, namun mereka tidak seluruhnya terikat di dalamnya, karena aspirasi dan cita-cita mereka sendiri. Mereka sering menjalankan peranan yang berbeda dari garis resmi pemerintahan militer. Banyak orang Jepang yang berasal dari kelompok ini kemudian ikut berjuang dalam

mempertahankan republik Indonesia terhadap serangan Belanda. 81

80 Aiko Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java under the Japanese, Loc. cit . , hlm.40.

81 Akira Nagazumi, editor. Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Op. Cit., hal.10. Kasus yang sangat menarik adalah tulisan Kenichi Goto. Yakni seorang pemuda

Untuk mengerahkan staf Sendenbu yang berkebangsaan Indonesia, pemerintah penduduk mengadakan pembagian kedalam dua kategori. Pertama, orang-orang Indonesia direkrut atas dasar atribut seperti karir mereka sebelum perang, orientasi politik, kedudukan masyarakat tradisional, pribadi-pribadi yang kharismatis dan aktif, mempunyai kemampuan berpidato dan guru-guru sekolah lebih diutamakan. Kedua, mereka yang memiliki beberapa pengalaman dalam gerakan anti-Belanda. Moh. Yamin, penasihat bagi Sendenbu merupakan salah satu contoh.Ia telah aktif dalam gerakan nasionalis anti-Belanda sebagai anggota Indonesia Muda dan Partindo dan pernah bekerja sebagai guru sekolah. Staf lainnya adalah Siti Nurjanah yang pernah mengajar pada sebuah sekolah Islam

dan pernah aktif dalam gerakan Islam. 82 Sejak masa awal pendudukan, staf propaganda Jepang dikirim ke ibukota-

ibukota provinsi di Jawa (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya) untuk melaksanakan aktifitas propaganda. Kemudian dibentuk sebuah badan lokal yang lebih luas dan terorganisasi rapih yang disebut Unit Operasi Distrik (Chihokosakutai) di kota-kota tersebut di atas dan di kota Malang. Unit-unit Operasi Distrik ini, berada di bawah kendali langsung Sendenbu. Setiap kantor

karesidenan memiliki seksi propaganda dan penerangannya sendiri. 83 Sekurang- kurangnya satu anggota staf dalam seksi ini adalah orang Jepang yang dikirim dari

Jepang yang bernama Ichiki Tatsuo, karena merasa tidak puas atas harapan yang digantungkan kepada pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia, ia akhirnya ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan gugur sebagai “pahlawan”. Ichiki Tatsuo menanggalkan kewarganegaraan Jepang dan menjadi warga negara Indonesia sebagai “Abdul Rachman” Selanjutnya lihat Kenichi Goto, “Kehidupan dan Kematian” Abdul Rachman (1906-1949): Satu Aspek dari hubungan Jepang-Indonesia dalam Akira Agazumi, editor, Op. Cit . , hlm. 114-131.

82 Djawa Gunseikanboe, Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, Yogyakarta, UGM Pers, 1984, hlm. 476.

83 Asia Raja, 16 Mei 1944.

Jakarta secara khusus. Pada tingkat-tingkat administratif bawah, seperti kabupaten dan kecamatan, terdapat pejabat-pejabat Indonesia yang bertugas untuk propaganda. Pejabat-pejabat ini tidak bekerja secara khusus untuk propaganda saja, tetapi secara bersamaan melakukan fungsi lain sebagai pegawai pemerintah lokal. Salah satu contoh propaganda pada tingkat lokal, adalah Yogyakarta.

Komposisi personal dari unit operasi distrik kurang lebih sama dengan kantor pusat di Jakarta. Ia dikepalai oleh orang Jepang dan dibawahnya terdapat banyak propagandis, baik Jepag maupun Indonesia. Staf Jepang biasanya bertanggung jawab untuk perencanaan dan pengawasan, sementara orang-orang Indonesia sebagian besar bekerja penuh pada unit Yogyakarta, yaitu dua operator Kamishibai (Pertunjukan gambar kertas) empat pelakon Manzai (dialog panggung komik) dan tiga orang yang bertugas untuk penyonsoran. Penerbitan-penerbitan atau pidato-pidato umum harus disensor oleh sendenbu dan ada staf yang

bekerja penuh untuk itu. 84

Sejumlah besar tenaga honorer dan paruh waktu juga diperkirakan pada unit propaganda lokal yang akan membantu sewaktu-waktu dengan permintaan khusus. Secara umum pemimpin-pemimpin politik lokal, pemuka-pemuka, agama, penyanyi, musisi, aktor, dalang, penari, pelawak dan sebagainya sering dimobilisasi untuk operasi-operasi propaganda. Kemashuran dan bakat para penghibur itu dimanfaatkan untuk menarik perhatian rakyat. Di Keresidenan Cirebon misalnya, terdapat 33 sukarelawan propagandis yang dipilih oleh residen (Shucokan). Masing-masing ditugaskan pada satu subdistrik (son), dan mereka ditugaskan untuk memberi penerangan dan tuntunan kepada penduduk lokal secara harian.

Latar belakang budaya dan bahasa dari masyarakat adalah sangat penting dalam menentukan sarana-sarana propaganda. Di Jawa karena tingkat melek hurufnya masih sangat rendah, maka tekanan diberikan kepada media audio-visual

84 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Op. Cit , . hlm. 234.

(pendengaran dan penglihatan) seperti film, seni pertunjukan, kamishibai, musik, radio dan poster. Bahasa Indonesia merupakan bahasa standar untuk semua bahan propaganda yang diciptakan di Jawa. Hal ini dikarenakan pihak pendudukan Jepang telah menghapus bahasa Belanda dan “bahasa musuh” lainnya di Indonesia, di samping keinginan untuk menjadikan bahasa Jepangsebagai bahasa komunikasi masih sangat jauh dari harapan. Karena penguasaan bahasa Indonesia sebagian masyarakat pedesaan Indonesia sangat terbatas, maka alternatif berikutnya adalah menggunakan bahasa yakni bahasa Jawa dan Sunda. Orang- orang Jepang harus menerjemahkan kembali dari bahasa Indonesia ke bahasa- bahasa lokal agar kegiatan propaganda menjadi efektif. Barangkali di sinilah peran penting dari para seniman dan sastrawan daerah yang direkrut dalam sendenbu . Sedangkan isi dari tema-tema propaganda yang dikeluarkan bagi

masing-masing anggaran berbeda-beda dari tahun ketahun. 85

Hasil-hasil dari kegiatan propaganda sukar sekali diukur. Keberhasilan mencapai suatu tujuan agaknya bisa diukur dari banyaknya orang yang dapat dipengaruhi di bawah suatu slogan tersebut, tetapi tidak ada cara untuk mengukur intensitas dukungan rakyat. Tugas ini membutuhkan lebih banyak emosi dari pada rasio, dan lebih banyak imajinasi dari pada perencanaan. Para pegawainya pun harus meyakinkan diri mereka sendiri lebih dahulu bahwa suatu tema propaganda

tertentu adalah benar dan perlu sebelum mereka dapat membujuk orang lain. 86 Namun demikian dalam mempertimbangkan dampak propaganda Jepang

harus dibedakan antara reaksi kaum intelektual perkotaan dan dari masyarakat

85 Nishijima collection, hlm. 11.

86 Akira Nagazumi, editot, Op. Cit . , hlm. 9.

yang tidak berpendidikan. Orang-orang yang terdidik umumnya memperoleh informasi dengan baik tentang masalah dunia dan menambah pengetahuan yang akan memberi dasar kepada mereka untuk penilaian yang lebih rasional dari pesan-pesan propaganda. Sedangkan dari masyarakat yang tidak terdidik dan kurang memperoleh informasi, cenderung menerima propaganda sebagai nilai utama. Jadi sasaran propaganda yang ditujukan kepada generasi muda nampaknya lebih efektif dan mengena kepada masyarakat yang tidak berpendidikan, terutama yang hidup di daerah pedesaan dan terisolasi dari sumber-sumber informasi lainnya.

Dana yang terkumpul dari hasil beberapa pertunjukan tersebut diberikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, antara lain untuk pemberantasan buta huruf, membantu desa-desa miskin yang dilanda kelaparan, membantu usaha pemberantasan penyakit dan lain-lain. Sumbangan ini dilakukan oleh barisan Pemuda Asia Raya cabang Jakarta yang mengadakan pertunjukan amal “Dewi Moerni”. 87