Para Propagandis Dibalik Layar

B. Para Propagandis Dibalik Layar

1. Rancangan Propaganda Media Film

Setelah munculnya lembaga-lembaga film buatan Jepang, kini perhatian harus dialihkan pada skema propaganda melalui media film. Rancangan propaganda dasar untuk setiap tahun anggaran dibuat oleh Gunseikan, kepala pemerintahan militer, mengikuti rencana umum yang ditetapkan oleh Markas Besar Tentara Umum Wilayah Selatan (Nanpo Sogun). Rencana ini kemudian disebar diberitahukan kepada seluruh Lembaga yang berkaitan dan kepada Unit Operasi Distrik. Rancangan kerangka pokok pada setiap tahap pendudukan berubah-ubah sesuai dengan pergeseran dalam kebijakan dasar pemerintah militer. Ketetapan rancangan ini merupakan keputusan Direktur Sendenbu, setelah melakukan konsultasi dengan Lembaga-lembaga film yang bersangkutan.

Untuk melaksanakan skema propaganda ini kedalam operasi, digunakan media film . Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan media seperti itu secara positif, terutama yang akan mempengaruhi alat indra manusia “pendengaran dan penglihatan” (audiovisual). Jepang menganggap media ini sangat efektif bagi penduduk desa yang kebanyakan tak berpendidikan dan buta akan huruf, yang merupakan bagian terbesar di masyarakat Jawa. Jepang sendiri juga mengetahui bahwa media tulis seperti buku, majalah, pamflet, dan surat kabar berdampak pada pemukiman kota yang terdidik, Untuk melaksanakan skema propaganda ini kedalam operasi, digunakan media film . Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan media seperti itu secara positif, terutama yang akan mempengaruhi alat indra manusia “pendengaran dan penglihatan” (audiovisual). Jepang menganggap media ini sangat efektif bagi penduduk desa yang kebanyakan tak berpendidikan dan buta akan huruf, yang merupakan bagian terbesar di masyarakat Jawa. Jepang sendiri juga mengetahui bahwa media tulis seperti buku, majalah, pamflet, dan surat kabar berdampak pada pemukiman kota yang terdidik,

dengan proyektor film, aktor, dan musisi yang berpindah-pindah dari satudesa ke desa yang lainnya di masyarakat jawa, sambil melakukan pertunjukan terlebih dahulu. Sebelum pemutaran di mulai biasanya ada pidato oleh pejabat daerah setempat yang mempunyai karisma atau sebagai tokoh panutan yang terkemuka.

Isi pidato tersebut mempunyai pesan-pesan dari pemerintah biasanya diselipkan secara halus. Sekalipun warna politiknya sangat jelas, namun pertunjukannya dapat diterima dengan baik. Kemudian diputarlah film yang sangat dinanti-nantikan oleh penonton penuh semangat, karena penduduk desa selalu haus akan hiburan.

2. Propagandis Dibalik Layar

Pemerintah militer jepang sangat berhati-hati dalam memilih calon-calon propagandis handal dan berbakat tentunya baik perekrutan dipusat maupun dilokal. Kedudukan tertinggi di kantor pusat terutama dipegang oleh perwira militer. Kedudukan tertinggi yang dijabat oleh seorang sipil ialah Kepala Seksi Propaganda (Sendenka-cho), yang sesungguhnya merupakan orang yang bertanggung jawab atas pengendalian kegiatan propaganda sehari-hari. Jabatan ini dipercayakan kepada seorang pejabat Jepang yang berpengalaman dan berbakat, bernama Shimizu Hitoshi, ia diakui sebagai seorang propagandis professional (senden-kan) yang memulai karirnya sebagai propagandis di Cina pada tahun

227 Jawa Shinbun, hlm 194.

1930-an dan akhirnya ditarik oleh Angkatan Darat ke-16 sebagai Atase Sipil yang bertugas militer dan bertanggung jawab atas propaganda. 228

Dibawah kepemimpinannya, banyak orang Jepang berbakat lainnya yang juga direkrutnya sebagai bawahannya. Mereka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, propagandis-propagandis yang ahli propaganda secara umum, dan terutama memegang perencanaan. Kedua, kelompok lain yang terdiri para spesialis dalam perfilman dan tentunya mempunyai kemampuan lebih dalam bidang yang lainnya disebut orang-orang budaya (bunka-jin). Bunka-jin sebagian besar sibuk dengan pembuatan bahan propaganda dan menjalankan operasi propaganda yang sesungguhnya, bersama-sama dengan mitra Indonesia mereka. Bunka-jin handal sudah disiapkan oleh Jepang yang dikirim ke Jawa, menujukan betapa sungguh-sungguhnya Jepang sangat menyadari bagaimana pentingnya propaganda film di wilayah pendudukannya.

Selain propagandis –propagandis Jepang, propagandis Indonesia pun direkrutnya. Orang Indonesia direkrutnya atas dasar karier sebelum perang, orientasi politik, kedudukan dalam masyarakat tradisional, sifat karismatik dan agitatif, serta kemampuan berpidato, misalnya guru sekolah sangat disukai, dan propagandis lainnya yang mempunyai latar belakang yang anti akan Belanda

diterima dengan senang hati. 229 Propagandis-propagandis menyebar di setiap Unit Operasi Distik yang

berkantor pusat di Jakarta. Setiap distik dikepalai oleh seorang sipil Jepang dan dibawahnya terdapat banyak propagandis, baik Jepang maupun Indonesia. Staf

228 Kumpulan rekaman wawancara dengan H. Shimizu Data Pribadi Toshio Matsumura

Februari 1980, Tokyo)

229 Jawa Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Djawa, Djakarta, 1944, hlm

jepang biasanya bertanggung jawab atas perencanaan dan pengawasan, sementara orang Indonesia kebanyakan bekerja menjalankan operasi propaganda. Dalam kasus Unit Operasi Yogyakarta, terdapat Sembilan staf Indonesia purnawaktu, yaitu dua operator pertunjukan, empat narrator, dan tiga orang yang bertanggung

jawab atas penyensoran. 230 Disamping ada para staf purnawaktu, unit local barisan propaganda

biasanya mempunyai sejumlah besar pembantu informal dan paruh waktu (freeline). Misalnya para pemimpin politik setempat, pemuka agama, penyanyi, musisi, aktor, dalang, penari, dan badut, kerap kali direkrut dimobilisasi untuk operasi-operasi propaganda. 231 Jepang sangat lihai dalam merekrut para

propagandis yang mengambil keuntungan dari nama besar mereka yang terkenal serta berbakat untuk menarik minat rakyat.

Umumnya, penguasa propaganda mencurahkan upaya mereka untuk membangun jaringan yang baik serta menunjuk orang yang tepat di tempat yang sesuai. Jaringan beberapa kegiatan yang telah ada juga dimanfaatkan para penguasa propaganda. Akhirnya, harus disebutkan kegiatan sukarelawan jepang yang mengabdikan diri bagi propaganda pada tingkat masyarakat bawah. Salah satu contoh yang baik ialah kasus 33 propagandis sukarelawan di karesidenan Cirebon. Mereka dipilih oleh residen (shucohokan) dari kalangan orang sipil jepang, dan masing-masing ditugaskan di sebuah kecamatan (son). Tinggal di daerah dan memiliki hubungan pribadi sehari-hari dengan penduduk, para

230 Djawa Baroe, no.2 7.15. 1943, hlm 15.

231 Djawa Baroe, no.1 1.3.1943, hlm 29.

sukarelawan ini menyediakan waktu mereka untuk memberi informasi dan tuntutan kepada penduduk. 232