Pemutaran Dibioskop

1. Pemutaran Dibioskop

Film-film barat yang beredar di masa itu, Wizzard of Oz, sebuah film dongeng yang dibintangi oleh Judi Garland, Ice Faillies dibintangi John Crawford, dan Tarzan Finda & Son dibintangi oleh aktor terkenal ketika itu, Johnny Weismuller.(4 Mei 1942) Beredar juga film-film Cina yang dulu disebut film Tionghoa, seperti Hua Chan Lui, yang dibintangi bintang-bintang Tionghoa, dan film-film Indonesia (film Melajoe), seperti Boedjoekan Iblis yang dibintangi

Rodiah dan RD. Mochtar. 272 Sampai disitu, tampaknya, per-bioskop-an masih mengalami masa

menyenangkan. Sebab, pada mulanya, masa pendudukan Jepang di Indonesia masih menjalankan fungsi film dan bioskop sebagai alat hiburan, dengan membolehkan masyarakat memilih film di luar film Jepang. Meski fungsi sebagai propaganda juga semakin menderas karena pada setiap pemutaran film apa pun, lebih dulu masyarakat harus menonton film-film dokumenter dan slide-slide tentang bala tentara serta kehidupan di Negeri Matahari Terbit. 273

Karena film-film asing dari negeri “musuh”, terutama Amerika, tidak bisa diimpor, maka bioskop akhirnya dibanjiri film-film Jepang, disamping sisa film- film Jerman (sahabat Jepang), yang diimpor sebelum PD-II, dan film-film dalam negeri buatan tahun 1942 dan sebelumnya. Di antara film-film dalam negeri yang sangat diminanti masa itu adalah film-film yang dibintangi aktris popular

272 Asia Raya 8 Juni 1942.

273 Djawa Baroe 3, 1.1.2064, hlm 32-33.

Roekiah, seperti gagak Item (1939), Roekihati (1940) dan Koeda Sembrani (1941). 274

Dalam surat kabar Tjahaya (Bandung) terbitan 23 Juli 1944, misalnya dimuat iklan bioskop Taiyo yang memutar film Indonesia. Moestika dari Djemar (1941) dengan bintang-bintang utamanya Rd. Mochtar dan Dhalia. Sedangkan bioskop Fuji memutar film Jerman, Es Leuchten die Sterne. Di bioskop Futaba maupun Nippon (Cimahi) diputar film Cina (sisa sebelum perang), masing-masing Tien Lund an Pai Sheek Kung Tjoe. 275

Beberapa film Jepang juga sempat beredar di Indonesia masa itu. Film rikugun Koku Senki misalnya, diputar di bioskop Toyo, sedangkan Wagayo no Kaze di bioskop Ginza. Untuk bioskop disebut terakhir ini diberi keterangan

“Istimewa Bangsa Nippon” (khusus buat orang jepang). 276 Suplai film tersendat, bioskop terpaksa sering memutar ulang. Ini

menyebabkan bioskop berangsur tutup satu demi satu. Catatan pada bulan April 1943 menujukan terdapat 117 buah bioskop di Jawa. Penduduk ketika itu 50 juta orang, berarti satu bioskop untuk 400 ribu orang. Terlalu sedikit. Apalagi dibanding dengan Jepang, yang dengan penduduk sebanyak 76 juta, memiliki

2.350 bioskop, berarti satu bioskop buat 32 ribu orang. 277

274 SM. Ardan, tanpa tahun, Sejarah Film Indonesia 1942-1950, Jakarta: Sinematek, hlm 21.

275 Tjahaya, 23 Juli 1944.

276 Ibid.

277 Taufik Abdullah, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Jakarta: Dewan Film Nasional, hlm.160-161.

Jumlah 117 bioskop di bulan April 1943 itu merupakan suatu penurunan dibanding sebelum PD-II, 1937 (lihat table berikut). 278

Tabel I

9 7 Bandung/Priangan

8 7 Yogyakarta

Menyusutnya bioskop itu tentulah disebabkan oleh keputusan pengusaha memiliki lebih baik menutup usahanya dari pada menanggung rugi terus menerus. Lebih-lebih karena mereka diwajibkan menyediakan 50% tempat duduk untuk kelas “ekonomi lemah”. Harga tanda masuk (HTM) paling tinggi Cuma 80 Sen. Sedangkan sebelum PD-II f2,- (dua Gulden/rupiah).

Di masa Jepang itu bioskop terbagi dalam 4 tingkat. (lihat table berikut). 279

Tabel II

Tingkat

Kelas 3 Kelas 4 Satu

278 Ibid, hlm.170.

279 Ibid,

10 Sen Empat

Sebelum PD-II “kelas rakyat” hanya sekitar 5 sampai 10% dari kapasitas tempat duduk. Kelas paling depan biasa disebut “Kelas Kambing”. Dalam iklan disebutan dengan jelas, khusus diperuntukan bagi “orang Slam” (= Islam, pribumi), yang konon suka bersuit dan berteriak. “ramai seperti kambing mengembik”. HTM-nya 10 sen. Untuk “orang Cina 25 sen”, sedangkan kelas terhormatnya “50 sen dan satu gulden”. Tapi ada pula bioskop yang tertutup bagi pribumi. HTM-nya lebih tinggi, f0,50,- dan f2,-. Bioskop-bioskop khusus untuk orang-orang Belanda (dan orang kulit putih lainnya) di Jakarta waktu itu adalah

Capitol di Pintu Air (kini pertokoan) dan Deca Park (Monas sekarang). 280 Jadi, dimata penjajah Belanda, pribumi adalah warga kelas tiga, di bawah

Belanda dan Cina. Dan 905 bioskop masa itu memang dimiliki orang Cina. Sebagai contoh: Fred Young (1900-1977) adalah pemilik 5 bioskop di Malang. Tan Bersaudara (Khoen Hian & Khoen Yauw) memiliki dua bioskop di Senen dan Tanah Abang dengan nama yang sama, Rialto.

Jepang sepintas lalu berhasrat mengangkat pribumi menjadi warga utama, sejajar dengan “saudara tua” Jepang, dan boleh nonton di bioskop manapun, termasuk di Capitol dan Deca Park. Slogan propaganda Jepang: “Nippon-Indonsia sama-sama”. Tapi dalam praktek kenyataannya lain sama sekali. Sehingga Yang terjadi adalah: “Nippon pertama, Indonesia kedua”. Ini antara lain terbukti dari adanya bioskop “Istimewa Oentoek Bangsa Nippon” di Bandung, Ginza. Disitu

280 Ibid, hlm.173 280 Ibid, hlm.173

Nyoei (Malang) dan Nippon di Surabaya. 281 Untuk keperluan hiburan dan sekaligus alat propaganda, bagi penduduk

Indonesia, Jepang mengelola langsung 35 bioskop, disamping 117 bioskop yang umumnya milik orang Cina itu, 35 bioskop ini dimiliki langsung oleh Jawa Eihai

(pengedar film). 282 Bioskop jenis ini terdapat di Jawa Barat (23 buah), Jawa Timur Sembilan dan tiga buah di Jawa Tengah. Satu diantaranya, Hodo Gekijo

(gekijo=bioskop) di Semarang, dipergunakan khusus untuk menayangkan film berita dan film pendek, tanpa dipungut bayaran. Sebuah lainnya, Ya’eshio Gekijo di Jakarta, khusus memutar film pendidikan untuk pelajar, secara gratis pula. 283