Keimin Bunka Shidosho

1. Keimin Bunka Shidosho

Tibalah waktoenja mengembangkan kesenian dan keboedayaan bangsa Toean dengan seloeas-loeasnja sebagai keboedajaan bangsa Timoer.

Dari “selintas Kesan Waktoe Pemboekaan kantor “POESAT KEBOEDAJAAN” (1943) Rintaro Takeda

Sudah tiba musim gugur (1943) dimana selain semua yang berbakti pada pemerintah militer, satu pohon atau satu rumput di Jawa pun harus menyerbu dengan menjadi bola api. 319

dari Jawa Nenken : kigen 2604-nen

321 Jakob Sumardjo dan Pamusuk Eneste menulis bahwa Keimin mengadakan sensor. Tamabahan pula, Sumardjo menuliskan Keimin mengelola

majalah Djawa Baroe. Jelanya, kritikus sastra ini merancukan Keimin, Kenetsuhan (Barisan Sensor), dan Jawa Shinbunsha. Pertama, Keimin tidak mengadakan sensor melainkan hanya seleksi. Seperti sudah diuraikan di subbab “Lahirnya Sendanhan”, sensor diadakan oleh Kenetsuhan. Kedua, yang mengelola majalah Djawa Baroe Jawa Shinbunsha , bukan Keimin juga.

Sekarang bagaimana kritikus sastra yang lain? Ajip Rosidi menulis sebagai berikut : Para pengarang beserta dengan para seniman lainnya di kumpulkan oleh Jepang di kantor pusat kebudayaan yang dinamakan Keimin Bunka shidosho. Pemusatan para seniman itu tentu saja tidak bisa lepas dari

A.B. Lapian, 1988, Di bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, hlm.72.

319 Jawa Nenkan, hlm.25.

320 Jakob Sumardjo, 1992, Lintasan Sastra Indonesia Modern I, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.97.

321 Pamusuk Eneste, 1990, Leksokon Kesusastraan Modern, Jakarta: Djabatan, hlm.93.

situasi perangdan maksud Jepang sendiri hendak menguasai seluruh Asia dengan semboyan tiga – A. 322

Geraka Tiga A hanya dijalankan di Indonesia dan gerakan itu juga sudah terbubar pada bulan September 1942, berarti tujuh bulan sebelum berdirinya Keimin. 323 Jadi, Gerakan tiga A itu tidak ada sangkut pautnya dengan Keimin.

Keimin mengumpulkan para seniman dan mereka dipesan untuk membuat karya seni yang seuai dengan cita-cita Jepang.

Ada artikel menarik dalam Asia Raya. Surat kabar ini memuat artikel berseri yang berjudul “Ichtisar tentang Goensei” sejak tanggal 19 Oktober 1943 selama lima hari. Artikel itu memaparkan haluan-haluan Gunseikanbu di berbagai bidang. Dalam artikel kali ketiga terdapat penjelasaan tentang propaganda. Kutipan artikelnya sebagai berikut dibawah ini:

Propaganda dan oesah-oesaha penerangan jang sesoeai dengan politik Goensi berada dibawah penjelidikan sendenboe. Di kota jang besar-besar diadakan tjabang-tjabangnya jang mengoeroes hal2 juga. Tentang soerat kabar, dilima boeah kota jang besar-besar diterbitkan soerat kabar jang menjiarkan kabar harian Indonesia. Di Djakarta diterbitkan seboeah soerat kabar Nippon.

Tentang Penjelenggaraan kabar sedaerah-daerah diperkenankan Domei mengawasinja. Disamping itoe ada lagi beberapa soerat kabar Tionghoa jang memenoehi keinginan keinginan pembatja-pembatja bangsa Tionghoa. Adapoen penjiaran radio, dioeroes oleh Hoso kanrikjokoe dibawah penilikan Sedenboe. Pada azanja gelombang pendek dilarang berhoeboeng dengan oesaha memberantas mata-mata moesoeh (Botjo). Sementara itoe di djalan-djalan oemoem banjak dipasang radio oemoem yang memperdengarkan moesik penghiboer jang sehat, pidato dan kabar-kabar jang penting. Sekaliannja itoe amat penting oentoek propaganda radio didaerah Selatan.

Tentang gambar hidoep, maka semoea oeroesan jang bersangkoetan dengan itoe ada dalam satoe tangan. Film moesoeh dilarang dipertoendjoekkan- dipertoendjoekkan di gedoeng-gedoeng bioskoep.

322 Ajip Rosidi, 1986, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: Binacipta, hlm.72.

323 Sunu Waaasono juga menulis Gerakan Tiga A adalah sebuah organisasi yang dibentuk pemerintah Jepang pada April 1942 dan dibubarkan pada maret 1943, Sunu Wasono,

1999, “Teknik Propaganda Dalam Sejumlah Cerpen Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang” (skripsi), Depok: Universitas Indonesia, hlm.18-19.

Sementara itoe film perkabaran dan gambar hidoep jang baik boeatan Nippon dimasukkan kemari dan dihidangkan kepada Oemoem. Tidak lama lagi gambar hidoep jang di boeat di Djawa di bawah penilikan kita akan dipertoendjoekkan.

Tentang sandiwara, kesoesastraan, moesik dan kesenian lain-lain. Keimin Boenka Sidosjo (Poesat Keboedayaan) jang baroe didirikan memegangpimpinan jang terpenting. Toejoean Poesat Keboedayaanitoe memadjoekan keboedayaan asli dari pendjoeroe oentoek menjokong Keboedayaan Asia Raja jang bebas dari semangat perhambaan kebendaaan Barat. 324

Dari kutipan diatas diketahui bahwa Keimin memegang peran penting di bidang kesenian. Namun, keterangan mengenai tujuan pendiriannya terlalu singkat. Maka, untuk lebih jelasnya, simak uraian dalam Jawa Nenken : Kigen 2604-nen. Menurut alamanak ini, tujuan pendirian keimin berbunyi sebagai berikut.

Adalah hal pokok dalam pembangunan Asia Timur Raya bahwa memberi bimbingan dan pengarahan spiritual yang tepat dan menciptakan dan meresapkan suasana yang cultural dan spiritual dari negara kekaisaran kepada 50 juta jiwa penduduk Jawa yang di tindas oleh kebijakan colonial Belanda selama tiga ratus tahun. Mengingat hal itu, maka untuk memperlancar penyuluhan dan penyadaran terhadap rakyat terutama dari segi seni budaya [Keimin Bunka Shidosho] didirikan oleh Gunseikanbu

sebagai organisasi bimbingan pusat pada April 1943. 325 Rosihan Anwar menulis, bahwa Keimin dapat dipandang sebagai “pra-

TIM [Taman Ismail Marzuki]” dengan “skala yang berbeda dan suasana iklim yang lain.” 326 Tentu saja, Keimin lain sekali dengan TIM. Pada masa itu Keimin

disebut Poesat Keboedayaan. Oleh karena itu, hingga kini nama badan tersebut lazim diterjemahkan sebagai Pusat Kebudayaan. Jika mendengar sebutan itu, maka kita teringat pada Pusat-pusat kebudayaan milik berbagai Negara seperti yang ada di Jakarta, yang didirikan untuk memperkenalkan kebudayaan Negara

324 Asia Raya 21 Oktober 2603, hlm.2.

325 Jawa Nenkan, hlm.167.

326 Rosihan Anwar, Sekelumit Kenang-kenangan Kegiatan Sastrawan di Zaman Jepang (1943-1945)” dalam Budaja Dajaja (no.65. th.VI. Oktober 1973), Jakarta: Dewan Kesenian

Jakarta.

masing-masing dengan menyediakan pustaka atau menyelenggarakan acara budaya. Pusat-pusat kebudayaan itu bertujuan untuk memperlancar saling pengertian antar negara. Namun, Keimin bukan pusat Kebudayaan semacam itu. Jika kita menilik sebutan dalam bahasa Jepang itu kata demi kata, maka terbuka kedoknya. “Keimin” berarti ‘penyuluhan rakyat’; “bunka” berarti ‘kebudayaan’ dan; “shidosho” berate ‘kantor bimbingan.’ Jadinya “Kantor Bimbingan Kebudayaan untuk Penyuluhan Rakyat.” Nama (yang sebenarnya) ini dengan jelas menunjukkan bahwa badan tersebut didirikan atas kesadaran merendahkan dan kepemimpinan orang Jepang terhadap orang Indonesia.

Pada masa itu diberitakan bahwa Keimin didirikan atas kemauan orang Indonesia. 327 Ketika ditanya tentang Keimin, Mantan kepala Seksi propaganda

Sendenbu H.Shiminzu menjawab sebagai berikut. Bukan Jepang [yang mendirikan Keimin] sama sekali. Hal ini

permintaan dari pihak Indonesia dan Indonesia yang mendirikannya. Tapi, jika oranng Jepang tidak ikut maka pemerintah mmiliter Jepang tidak mengijinkan. Oleh karena itu, akhirnya semua orang [Jepang di Sendenbu]

juga ikut mendirikannya. 328

Akan tetapi, mantan Kepala kantor Besar Keimin S. Oya menjelaskan bahwa supaya suatu obyek propaganda tidak ketahuan sebagai propaganda, maka propaganda terhadap orang Indonesia lebih efektif jika dilakukan oleh orang Indonesia sendiri dari pada orang Jepang. Oleh karenanya, “tidak usah dijelaskan lagi bahwa tujuan utama [pendirian Keimin] adalah untuk melakukan penyelidikan, pendaftaran, penyusunan, dan pembinaan propagandis

327 Artikel “Keimin Bunka Shidosho” dalam Jawa Shinbun (no.86. 4 Maret 1943), hlm.1.

328 Hitoshi Shimizu, 1991, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian: Indonesia di Bawah Pendudukan Jepang), Tokyo: Ryukei Shosha, hlm.318.

Indonesia.” 329 Jadi pernyataan Oya-lah yang benar sedangkan rupanya H Shimizu berusaha mutupi kenyataan.