Siaran yang Berperang

f. Siaran yang Berperang

Selain lagu/nyanyian, dapat dikemukakan radio sebagai “media suara”. Sejak kedatangan di Jawa, kekurangan peralatan menyusahkan Sendenhan. Sebenarnya ada sebuah mobil khusus serbaguna yang dinamai Sego Sha yang dilengkapi peralatan percetakan, proyeksi, penyiaran, dan radio. Mobil ini terpaksa ditinggalkan di pelabuhan Takao di Taiwan saat keberangkatan karena tidak termuat dalam kapal Sakuramaru. Yang paling dirugikan oleh tidak adanya mobil ini adalah Bagian Komunikasi Sendenhan. Maka, setelah memasuki Batavia, Kepala Bagian Komunikasi Sendenhan Masato Suemitsu berniat mengambil alih kantor berita Belanda, Aneta. Pertama-tama, Suemitsu berserta seorang interpreter mencari para anggota Aneta (orang Belanda) yang melarikan diri ke suatu tempat dengan membawa perlatannya setelah Jepang memasuki Bandung.

R.A. Santoso Sastropotro, 1991, Propaganda: Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa, Bandung: Penerbit Alumni, hlm. 48-49.

Akhirnya, Sendenhan berhasil mengambil alih kantor berita tersebut dan mulai menerima berita dari kantor berita Domei dari Jepang. Kemudian, mereka juga menjadikan kantor berita Antara sebagai bagian bahasa Indonesia kantor berita Domei. Kantor cabang Domei dibuka di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Malang. Setiap cabang menerbitkan berita berbahas Jepang

maupun Indonesia dan menyuplai berita-berita dari setiap propinsi lewat radio. 153

Jaringan transmisi serta penyiaran di Jawa cukup dibenahi terutama oleh NIROM (Nederlans Indische Radio Omoep Maatschapij: Persatuan Penyiaran Hindia Belanda). Meskipun demikian, persentasi penyebaran alat penerimanya cukup rendah. Jumlah radio di Hindia Belanda berjumlah sekitar 90.000 buah. Itu pun sebagian besar pemiliknya adalah orang Belanda dan keturunan Tionghoa; 90 persen dari pribumi tidak mempunyai radio. 154

Begitu Jepang menduduki Indonesia, Sendenhan mulai menyita radio milik orang Belanda kemudian mendaftarkan dan menyegel radio milik pribumi

guna mencegah mereka mendengarkan siaran dari negeri musuh. 155 Sitaannya disimpan di Hoso Kanrikyoku (Biro Pengawasan Penyiaran) dan dipinjamkan

secara Cuma-Cuma kepada militer dan orang Jepang setempat. Di samping itu, dengan memanfaatkan sitaan tersebut dibangun rajio-to (menara radio) di setiap lapangan perkampungan, pasar, stasiun kereta, dan sebagainya. Menara ini disebut

153 Domei Tsushinsha, op.cit., hlm. 32., Machida, Tatakau, hlm. 208-213.

154 Ibid., hlm. 215.

“Oendang-oendang No.21” (16 Juni 2602) dalam Kanpo (N0.1), hlm. 3., “Osamu Seirei No.18” (11 Juni 2603) Kanpo (No.21), hlm. 3.

“pohon yang bersuara” atau “pohon yang bernyanyi” oleh penduduk setempat. 156 Keberadaan menara ini penting agar dapat memproleh pendengar sebanyak

mungkin, karena seperti sudah dijelaskan, di Jawa hanya segelintir yang memiliki radio. 157 Menara radio itu sudah berjumlah 1.500 buah pada saat 1 Februari

1944. 158 Bentuk rajio-to dapat dilihat dalam artikel “Radio dan Masjarakat” yang dimuat dalam Djawa Baroe (no.14 15.7.2605) (Lihat lampiran 7).

Adapun artikel “Radio dan Masjarakat” tersebut ditulis oleh orang yang bernama Soetomo dari Hoso Kanrikytoku dimana sastrawan Bahrum Rangkuti bekerja. 159 Di bawah ini saya akan mengutip pendapat Soetomo yang nadanya

sama dengan artikel-artikel lain semasa itu, yaitu setelah mengejek Barat (Belanda), menekankan jasa Jepang dalam upaya “menyelamatkan” Indonesia.

(…) Balatentara Nippon mendarat dipoelaoe-poelaoe Indonesia oentoek melenjapkan kekoeasaan Belanda, dan dengan demikian meniadakan poela segala dajaoepaja Belanda oentoek meroesak-binasakan djiwa Timoer kita. Berlainan sekali dengan pemerintah Belanda, Nippon memberi

kesempatan seloeas-loeasnja kepada kita oentoek menjempoernakan dan mengembangkan keboedajaan kita. Oentoek maksoed ini Pemerintah Balatentara Nippon diantaranja menggoenakan siaran-radio (…).

Selain dari dimedan perang depan, poen djoega dibelakang garis perang, kita memboetoehkan radio, jaitoe oentoek menggerakan rakjat dilapangan oesaha perang. Oesaha ini lazim diseboet Propaganda atau

Penerangan 160 (sic).

156 Machida,Tatkau, hlm. 218-219., Jawa Nenkan, hlm. 171-174., Noson, hlm. 297-298.

157 Djawa Baroe (no.14 15.7.2605), hlm. 9.

158 Jawa Nenkan, hlm. 174.

Anita K. Rustapa, 1997, Bahrum Rangkuti dan Pandangan Dunianya, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 13.,

160 Djawa Baroe (no.14 15.7.2605), hlm. 9.

Artikel ini terang-terang menyatakan bahwa radio difungsikan sebagai alat propaganda untuk mengerakkan rakyat. Dari hal ini dapat diketahui bahwa pada masa itu Jepang yang terdesak cenderung memilih cara hard sell yang memaksakan informasi ideologis secara terang-terangan, bukan cara soft sell ataupun “deep sell” yang berusaha mempengaruhi bawah sadar seseorang.

Selain siaran dalam negeri, Jepang juga mengadakan siaran luar negeri dalam pelbagai bahasa yang ditujukan kepada negara-negara musuh. Mengenai siaran seperti itu, Soetomo melanjutkan dlam artikel tersebut.

Seperti djoega perdjoerit (sic) menggoenakan peloeroe oentoek memoesnahkan moesoeh, demikian poela propaganda radio boleh kita oempamakan dengan peloeroe, jang diarahkan kepada hati rakjat moesoeh, oenoek mematahkan semangat perlawanannya. 161

Sebelum Jepang mendarat, Belanda merusak hampir semua fasilitas penyiaran, termasuk stasiun pemancar di Tanjung Priok. Maka, Sendenhan harus memulihkan fasilitas-fasilitas itu terlebih dahulu. Yang mengatur urusan penyiaran adalah terutama anggota Sendenhan yang diwamilkan dari NHK (Nihon Hoso Kyokai ). Ketuanya adalah Mamoru Miyashita. Mereka mengerahkan juga

orang Indonesia dan Belanda. 162

Salah satu fungsi utama radio pada masa itu adalah untuk menyampaikan pengumuman pemerintah dengan cepat untuk khalayak banyak. Pada 7 Maret 1942 disiarkan “Oendang-oendang Nomor 1 Dari Pembesar Balatentara (Gunshireikan) Dai Nippon”. Undang-undang ini terdiri dari enam pasal. Pasal pertama yang penuh dengan janji yang muluk-muluk berbunyi sebagai berikut.

161 Ibid.

162 Machida, Tatakau, hlm. 216.

Karena Balatentara Dai Nippon berkehendak memperbaiki nasib rakjat Indonesia jang sebangsa dan setoeroenan dengan bangsa Nippon, dan djoega hendak mendirikan ketentraman jang tegoeh oentoek hidoep dan makmoer bersama-sama dengan rakjat Indonesia atas dasar mempertahankan Asia Raja bersama-sama, maka dari itoe Balatentara Dai Nippon melangsoengkan Pemerintah Militer bagi sementara waktoe didaerah jang telah ditempatinja, agar soepaja mendatangkan keamanan

jang sentausa (sic) dengan segera. 163 Sesuai pemulihan fasilitas penyiaran, Sendenhan menyerahkan semua

urusan penyiaran kepada NHK yang datang ke Jakarta pada 18 Desember 1942. Bekas stasiun radio NIROM di Jakarta dijadikan sebagai stasiun pusat. Sementara itu, pada 1 Oktober 1942 dibentuk Hoso Kanrikyoku yang mengawasi urusan penyiaran di Jawa maupun terhadap luar negeri termasuk Jepang. Program radio dalam negeri yang dibuat di bawah pengawasan Hoso Kanrikyoku pada umumnya dibagi dalam dua bagian: siaran pertama untuk orang Indonesia (menggunakan

bahasa Indonesia, Jawa, Sunda); siaran kedua untuk orang Jepang. 164