Kebijakan Jepang dalam Puisi Indonesia

c. Kebijakan Jepang dalam Puisi Indonesia

Sebagaimana dapat diketahui dari semboyan-semboyan dalam Almanak Asia-Raya 2603 yang sudah dibahas dalam subbab sebelumnya, ada beberapa Sebagaimana dapat diketahui dari semboyan-semboyan dalam Almanak Asia-Raya 2603 yang sudah dibahas dalam subbab sebelumnya, ada beberapa

telepon. 113 Sebagai puisi yang bertemakan hal tersebut ada “Awas Mata-mata Moesoeh!” karya St.P. Boestami yang dimuat dalam majalah Djawa Baroe (no.8.

15.4.2603). tema ini terdapat juga dalam cerpen “Koerban Gadis” karya Winarno yang dimuat dalam majalah yang sama. Sebagaimana sudah dijelaskan, tema pencegahan mata-mata ini adalah salah satu dari yang ditetapkan sebagai tema utama propaganda tahun 1945. Di bawah ini sajak Boestami seutuhnya.

AWAS MATA-MATA MUSOEH! Awaskan wahai, mata-mata moesoeh, Mereka bertadji, lagi bersoesoeh,

Tadji dan soesoeh mengandoeng ipoeh,Maksudnja selalu hendak menempoeh.

Mata-mata moesoeh terlaloe tadjam, Sifat dan tabi’at terlaloe kedjam, Senantiasa ia hendak menikam, Kita telengah laloe diterkam.

Mata-mata moesoeh haroes didjaga, Padanja haroes selaloe tjoeriga, Djika dimasoekkan keroemah tangga, Roesaklah kelak kaoem keloearga. 114

Sajak ini mengingatkan kepada rakyat Indonesia bahwa tidak boleh mendengarkan perkataan mata-mata musuh, yaitu mata-mata Sekutu. Sajak yang bertemakan pencegahan mata-mata musuh ini agaknya dipesan dan dibuat untuk memperkuat kebijakan pencegahan mata-mata yang

dijadikan kewajiban sehari-hari sejak 2 April 1943. 115

113 Jawa Nenkan, hlm. 105.

114 Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603), hlm. 29.

Mengenai pencegahan mata-mata, lihat antara lain “Kedjadian-Kedjadian jang Terpenting Sampai hari ini” dalam Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603), hlm. 28-29.

Adapun, Boestami adalah penyair yang paling sering menulis dalam Djawa Baroe 116 . ia adalah salah satu seorang dari sekian banyak sastrawan yang

terjerat oleh kekaguman terhadap kehebatan militer Jepang yang mengusir kekuatan orang berkulit putih dari kawasan Asia Tenggara. Nama penyair tua ini muncul dalam buku kritikus Akira Asano (anggota Sendenhan), yaitu Jawa Kantei Yowa (Anekdot tentang Pasifikasi Jawa) (1944). Menurut tulisan itu, Boestami adalah guru bahasa Indonesia Tatsuo Ivhiki (Mengenai Ichiki, lihat subbab “A. 1 Ke Selatan”). Ia pernah bekerja di Balai Poestaka kemudian menjadi editor bahasa

di Asia Raya. 117 Sama halnya dengan sajak “Awas Mata-mata Moesoeh!”, sajak “Sembojan” karya Boestami yang dimuat dalam Djawa Baroe juga merupakan

pikiran rakyat Indonesia.

Sembojan

Koerang pertjaja pada Pemerintah, Alamat oesaha akan segera patah. Tindakan jang tidak dipikir dahoeloe, Pasti ‘akibatnya akan membawa piloe. Kalau “so’al” dibawa moesjawarat, Pasti lenjap segala daroerat. Sikap angkoeh,meninggikan diri, Soekarlah kawan akan ditjari. Kalau tegoeh kita bersatoe, Dapat meloeloehkan goenoeng batoe. Kalau bersifat tama’ dan loba, Sekeliling pinggang tjelaan tiba. Djika sifat boros dan aboer, Dalam sengsara masoek kekoeboer. Kalau ta’ada oeang dipegang, Sanak saudara mendjadi renggang. Ta’ tahoe membatja dan menoelis, Soekarlah masoek kedalam madjelis. Tahoe menoelis, dengan membatja, Segala kitab djadi neratja. 118

Sajak yang berbentuk gurindam ini mengingatkan karya Raja Ahli Hadji. Terutama bait kedelapannya sangat mirip dengan salah satu bait dari

116 Sepanjang masa penerbitan, Djawa Baroe memuatkan sebanyak dua belas buah sajak. Empat diantaranya merupakan karya Boestami.

117 Akira Asano, 1944, Jawa Kantei Yowa (Anekdot Tentang Pasifikaso Jawa), Tokyo: Hakusuisha,(Seterusnya dirujuk sebagai Asano, Jawa), hlm. 11, 19.

118 Djawa Baroe (no.11. 1.6.2603), hlm. 9.

“Guyrindam” karya Raja Ahli Hadji, yaitu “Kalau tiada emas dipinggang, / Sanak saudara mendjadi renggang.” 119 Patut diperhatikan bahwa Boestami sengaja

mengunakan bentuk puisi Melayu klasik yang mudah diingat, yakni gurindam. Sebagaimana biasa pada gurindam, sajak “Sembojan” terdiri dari serentetan nasehat yang supaya mudah diingat dibuat rapi dengan rima a-a.

Dalam sajak tersebut, terdapat tema-tema: (a) kepercayaan pada pemerintah Jepang; (b) ketidakgegabahan; (c) permusyawaratan; (d) kerendahan hati; (e) solidaritas; (f) keramahan; (g) penabungan; (h) pembangkit semangat untuk belajar secara rajin. Hal-hal itulah yang memang diinginkan oleh Jepang pada waktu itu. Bagi pemerintah Jepang, “kerja sama” dengan rakyat Indonesia

merupakan hal utama. 120 Oleh karena itu, rakyat Indonesia diharapkan mempercayai pemerintah Jepang dan juga tidak gegabah beraksi atas keinginan

sendiri (a-f). subtema (g) juga merupakan hal yang paling diinginkan oleh Jepang pada masa itu, yaitu penabungan serta penghematan. 121 Pada masa tahun 1943,

“Paus Sastra” H.B. Jassin pernah membuat lagu yang berjudul “Mari Menaboeng” yang terdiri dari empat nomor. Nomor kedua berbunyi sebagai berikut.

Hemat hemat itoe lagoe kita. Njaring k’ras soeara kita.Gagah berani kita majoe. Pikiran aman sangat gembira 122

119 Radja Ahli Hadji, “Gurindam” dalam Sutan Takdir Alisjahbana, 1950, Puisi Lama, Djakarta: Pustaka Rakjat, hlm. 90.

120 Jawa Nenkan, hlm. 20.

121 Mengenai hal ini, Lihat misalnya, artikel ”Mari Kita Menaboeng oeang!” dalam Djawa Baroe (no.12. 15.62063), hlm. 16-17.

122 Jawa Shinbun (no.63. 9 Februari 1943), hlm. 2.

Sama halnya dengan di Indonesia, rakyat Jepang juga dianjurkan menghemat dan menabung, rakyat Jepang juga dianjurkan menghemat dan menabung. Departemen Keuangan menetapkan jumlah target tabungan setiap tahun. Menurut surat kabar Unabara (no.62. 22 Mei 1942), tabungan rakyat sebagai “daya penggerak untuk pelaksanaan perang suci” sudah melebihi 1 miliar yen pada saat

14 Mei 1942 dan ditargetkan 2,70 miliar yen tahun 1943. Pada masa itu, dramawan Jepang tidak dapat mengadakan pementasan tanpa adanya “kartu bukti kecakapan” yang diterbitkan Markas Besar Kepolisian Metropolitan. Namun, pada 13 Oktober 1943, berdasarkan pertimbangan khusus, tanpa kartu bukti kecakapan tersebut Nihon Bungaku Hokokukai diizinkan untuk mementaskan sebuah “drama sastrawan” yang mempropagandakan pentingnya menabung. Judulnya adalah “Malam 2,7 Miliar”! Masao Kume dan Hidemi Koi main dalam pementasan itu. Penyair Atsuo Oki ikut serta dengan membacakan puisi sebagai

atraksi. 123 Di samping itu, mengenai subtema (h) dalam sajak “Sembojan”, belajar secara rajin di sini dapat dianggap belajar bahasa Indonesia maupun bahasa

Jepang, karena pada waktu itu bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional dan masyarakat Indonesia juga didorong untuk mempelajari bahasa Jepang. Dari subtema-subtema yang dominan, dapat disimpulkan bahwa sajak tersebut bertemakan peningkat rasa solidaritas dan kohesi masyarakat.

Semboyan-semboyan yang terkandung dalam sajak “Sembojan” di atas mengingatkan Penulis pada semboyan-semboyan di TVRI, yaitu “Jalin persatuan dan kesatuan”, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, dan sebagainya yang sering dimunculkan di sela-sela program. Memang pesan pemerintah itu argumen

123 Sakuramoto, Nihon, hlm. 395.

yang masuk akal. Lebih baik akur, dari pada bertengkar. Untuk memecahkan masalah, lebih baik kita bersatu. Mungkin keinginan para pucuk pimpinan negara itu tidak bedanya sepanjang masa: menginginkan ketentraman di negaranya. Hanya saja, yang menjadi masalah adalah Jepang menyerukan semboyan semacam itu di negeri orang. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu para sastrawan Indonesia masih mempercayai atau belum tahu niat sebenarnya pemerintah Jepang, maka banyak sastrawan menghasilkan karya-karya yang sesuai dengan tema-tema yang dipesan oleh pihak pemerintah Jepang. Sebaliknya, yang sudah sadar pada hal tersebut memilih bungkam. Mereka kelesuan semangat mencipta atau menyimpan karya karena takut ditangkap Kenpeitai (polisi militer).

Namun, ada juga yang berani memprotes lewat cara simbolik. 124