Film Bercerita Merupakan Raja Alat Propaganda

g. Film Bercerita Merupakan Raja Alat Propaganda

Film merupakan salah satu media propaganda penting pada masa perang. Sebelum Perang Dunia Kedua, media ini tidak pernah digunakan sebagai alat indoktrinasi pilitik di Indonesia. Jepang merupakan satu-satunya negara yang memanfaatkan media film sebagai alat propaganda di dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan pemutaran film di Jawa masa pendudukan merupakan

163 Almanak Asia-Raya, hlm. 35.

Machida, Tatakau, hlm. 217-218., Program radio standar dari Stasiun Pemancar Jakarta pada April 1944 dapat dilihat dalam Jawa Nenkan,hlm. 175., Osamu Shudan Gunseikanbu (Kelompok Osamu, Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa), “Hoso Kanrikyoku Kitei (Persatuan Biro Pengawas Penyiaran)”, September 1942, (The Nishijima Collection, (JV 1-7)). Perincian kegiatan penyiaran Jepang dapat dilihat dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen pada halaman 171-174.

Nokolai Lenin pernah mengumumkan bahwa film adalah senjata politik utama, 165 sedangkan Kepala Kantor Besar Keimin Sochi Oya dalam tulisannya

pada tahun 1944, pernah berpendapat, “Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kesusastraan merupakan raja alat propaganda, dalam arti paling berinfiltrasi. Khususnya, kesusastraan paling kuat dari segi idologis.” 166 Film memiliki

mobilisasi yang jauh lebih tinggi dari pada sandiwara. Mobilisai sastra melibihi mobilisasi film tersebut. Sastra lebih portable dan dapat diperbanyak dengan biaya yang jauh lebih murah daripada film atau sandiwara. Berarti, pada saat yang sama, sastra dapat memproleh pembaca yang lebih banyak secara serentak daripada jumlah penonton yang didapatkan jika film atau sandiwara dimainkan. Mungkin tingginya mobilisai sastra ini juga membuat Oya berpendapat seperti dia atas.

Namun, Oya menghadapi kesulitan dalam usaha menjadikan sastra Indonesia sebagai alat propaganda. Menurutnya, dua kesulitan utama ialah: (1) Sedikitnya jumlah orang yang memahami bahasa Indonesia; dan (2) Kemiskinan

daya ekspresi bahasa Indonesia yang disebabkan kosakata yang sedikit. 167

165 Ws Rendra,”Dunia Film Indonesia di Mata Seorang Dramawan” dalam Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.

166 Oya, “Nanpo”, hlm. 12.

167 Ibid., hlm. 12-15., Nomor 1 ditunjukan juga oleh Kurasawa, kurasawan Noson, hlm. 274.

Alasan pertama dapat diterima. Masalah ini sangat erat hubungannya dengan tingginya angka buta huruf rakyat Indonesia pada masa itu. Dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen terdapat penjelasan sebagai berikut.

Khalayak umum buta huruf dan polos sehingga sedikit pengetahuan akan gagasan Perang Asia Timur Raya. Maka tanpa memperdulikan siapa penguasa, mereka hanya menginginkan kehidupan yang damai dan selamat (…). 168

Menjelang kedatangan Jepang, kaum pribumi masih banyak yang buta huruf dan minim pengetahuan. Menurut data sensus nasional 1930, 169 hanya lima persen

kurang sedikit dari seluruh rakyat Jawa dan Madura yang dapat membaca abjad. Seorang relawan propagandis Jepang yang bertugas di wilayah pedesaan Kabupaten Cirebon melaporkan bahwa bahan propaganda tertulis hampir tidak

berguna terhadap rakyat di bawah tingkat kepala desa. 170 Menurut Haris Jauhari, pada tahun 1934 film King Kong diputar di Deli. Dari sekian banyak penonton,

hanya sejumlah orang yang percaya bahwa semua adegan di layar itu hanyalah khayalan belaka. Bahwa kebanyakan orang mendukung isu bahwa monyet raksasa itu memang ada dan berkeliaran pada malam hari. Masyarakat resah dan jimat-

jimat untuk menolak bala itu laku keras. 171 Cerita seperti itu malah seolah-olah fiksi bagi kita, orang kota yang hidup di zaman modern.

Dalam subbab-subbab sebelumnya, telah di kemukakan pentingnya unsur penglihatan (visual) dan pendengaran (audio) dalam media propaganda.

168 Jawa Nenkan, hlm. 131.

169 Indisch Verslag 1940, hlm. 126, Dikutip kembali dari Kurasawa, Noson, hlm. 579.

170 Jawa Shinbun (5 November 1944) ), Dalam artikel “Fujin no Keimo ni Chikara wo (Dukunglah Penyuluhan Wanita)”.

171 Jauhari, op.cit., hlm. 23.

Kenyataannya, pada masa pendudukan Jepang, karya sastra Indonesia hampir tidak berhasil sebagai alat propaganda. Bahkan dapat dikatakan bahwa puisi adalah salah satu alat propaganda yang paling gagal. Misalnya, pada nomor- nomor tahun 1945 majalah Djawa Baroe, puisi dihentikan untuk dimuat, padahal cerpen tetap dimuat.

Ciri utama propaganda Jepang adalah penggunaan media audiovisual secara positif. Hal ini tidak lain karena mengingat tingginya tingkat buta huruf di Indonesia dan sedikitnya pemukim kota yang terdidik yang mungkin dapat diperdaya dengan media tulis. Dengan demikina, cara yang paling sering digunakan adalah mengirim kelompok-kelompok propagandis yang terdiri dari proyeksi film, aktor, operator kamishibai, dan musisi yang berpindah dari satu

desa ke desa lain sambil mengadakan pertunjukan. 172 Dapat diperkirakan bahwa pertunjukan-pertunjukan seperti itu sangat didaktis dan politis tetapi disambut

baik oleh penduduk desa karena sebagaimana penduduk desa sekarang, mereka selalu haus akan hiburan apalagi tidak dipungut biaya. Namun, ada satu memahami isi pertunjukan-pertunjukan yang digelar? Konon, untuk membantu pemahaman mereka yang tidak berpendidikan, sering sekali disediakan seorang penerjemah yang berdiri di samping layar dan menjelaskan isi film ke bahasa

setempat. 173

172 Noson, hlm. 274.

“Monthly Propaganda Report” No.22., Dikutip kembali dari Kurasawa,Mobilisasi, hlm. 245.