Seni Sebagai Wahana Penyampaian Aspirasi Bangsa Indonesia

2. Seni Sebagai Wahana Penyampaian Aspirasi Bangsa Indonesia

Walaupun seni dijadikan sebagai media propaganda oelh pemerintah militer Jepang, merupakan suatu yang tidak dapat dielakan apabila seni juga dijadikan sebagai media penyampaian aspirasi bangsa Indonesia. Namun demikian, jelas ada perbedaan corak diantara keduanya dalam hal penyampaian pesan. Sebagaimana telah terbukti, propaganda pemerintah militer Jepang bersifat eksplisit, sedangkan penyampaian aspirasi bangsa Indonesia pada umumnya dilakukan tidak secara eksplisit, karena adanya pengawasan dari pemerintah militer Jepang dan pemerintah militer Jepang belum memberikan peluang untuk tumbuh kembangnya kesadaran nasional dan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi, seiring dengan adanya perubahan situasi politik dan militer pemerintah militer Jepang, corak penyampaian aspirasi bangsa Indonesia juga mengalami perubahan. Bahkan, meskipun sangat jarang terjadi, kritik terhadap pemerintah militer Jepang ada juga yang disampaikan secara tajam dan relative terus terang, dan hal ini dilakukan justru pada awal berkuasanya pemerintah militer jepang, seperti ditunjukan oleh puisi yang berjudul Bunglon yang ditulis oleh Ashar dibawah ini

Bunglon Untuk “Pahlawan”ku Melayang gagah, meluncur ramis Menentang tenang, alam samadi Tiada sedar marabahaya Alam semesta member senjata Selayang terbang ke rumpun bamboo Pindah meluncur di padi masak

329 Soichi Oya, dalam Hihon Hyoron Januari 1944, “Daerah Selatan dan Propaganda”.

Bermain mesra di balik dahan Tiada satu dapat mengganggu Ach, sungguh puas berwarna aneka Gampang menyamar mudah menjelma Asalkan diri menurut suasana O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara Biar lahirku diancam derita

Tidak daku sudi serupa 330 Dua baris terakhir sajak diatas, memperlihatkan penilaian dan sikap

penyair terhadap sebagai orang Indonesia yang bersedia bekerja sama dengan jepang, sehingga diibaratkan seperti bunglon. Bagi pemerintah militer Jepang, ungkapan ini dapat ditafsirkan sebagai menebar kebencian kepada pemerintah, karena telah menciptakan situasi yang memaksa setiap orang menuruti kemauan pemerintah. Jika mengingat tidak tersedianya ruang dan tempat yang cukup untuk mengemukakan kritik maupun pandangan-pandangan yang dianggap menebarkan kebencian kepada pemerintah militer Jepang, maka pemuatan puisi di atas dalam Asia Raya menjadi aneh dan sulit dipahami. Hal itu bertentangan dengan keadaan umum yang segala sesuatu berlangsung menurut aturan atau ketentuan pemerintah militer Jepang.

Sistem pemerintahan militer Jepang yang sangat represif dapat dikatakan menjadi sebab utama ketidakterusterangan para seniman dalam menyampaikan gagasan mengenai penentuan nasib hidup bangsa sendiri. Ketidakterusterangan itu biasanya dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang bermakna ganda dan hal ini dilakukan dengan tujuan berlindung. Misalnya puisi berjudul Lukisan yang ditulis oleh Rosihan Anwar di bawah ini.

……………… Walaupun engkau tidaklah tahu

Asia Raya , 28 November 1942.

Tapi di hati kutanam janji Bersaudara kita semenjak janji Sambut tanganku Satu tujuan: Mari bersama menyusun Kemenangan! Lamalah sudah bangsa menanti 331

Lirik “mari bersama menyusun kemenangan” dapat diartikan kemenangan Asia Timur Raya. Akan tetapi dapat pula kemenangan untuk Indonesia sebagai “bangsa yang telah menanti”. Melihat pengarangnya, yang dikenal sebagai seorang nasionalis, dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah kemenangan untuk Indonesia.

Usaha membangkitkan kesadaran di kalangan masyarakat melalui puisi juga dilakukan melalui tema kepahlawanan. Ada suatu kecendrungan bahwa kepahlawanan merupakan tema yang sering diangkat oleh para penulis puisi, sehingga puisi yang bertemakan kepahlawanan cukup mendominasi puisi-puisi yang dimuat dalam surat kabar dan majalah. Salah satu contohnya adalah puisi yang ditulis Mahatmanto berjudul Arwah Pahlawan Perang sebagai berikut:

Arwah Pahlawan Perang

Menggerbak marak kembang kemoening Goegoer berhamboer di atas boemi Alam keliling tentang dan hening Menarik hati oentoek samadi

Sekar bertebar di sekitar pagar Pagar poesara Kemegahan Poerba Poesara koejoe kembali segar Oleh taboeran beriboe kesoema

Wahai Arwah Pahlawan Perang Mati berkoerban dalam berdjoeang --Toean taboeri loekisan sedjarah --Toean bawakan kenangan megah Oentoek mengembalikan semangat mojang Nan menggetarkan hati moesoeh penjerang

331 Budi Susanto, 1994, Politik Penguasa dan Siasat Pemoeda: Nasionalisme dan Pendudukan Jepang di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, hlm.137.

Dadakoe penoeh, hatikoe megah Mendapat semangat poesaka mojang Semangat ksatria: Berani, Tabah Ta takoet mati dalam berdjoeang

Boekan kami meloepakan tambo Kami kenangkan Djohan Pahlawan Imam Bondjol, Pangeran Diponegoro Padahal soedah oentoek teladan…

Dirgahajoe oesahamoe toean… Tanaman semangatmoe soeboer merindang Kami poepoek bersama sesaudara Agar kemakmoeran lekaslah dating! 332

Ada kesadaran di kalangan penyair bahwa keadaan pada masa Jepang mebuat orang sulit menentukan sikap berkaitan dengan masa depan bangsa. Dalam hal ini, Mahatmanto tampaknya ingin mengatakan bahwa sikap yang telah dipilih oleh para pahlawan dapat dijadikan inspirasi untuk mengambil sikap yang serupa.

Memanfaatkan puisi sebagai media untuk menyampaikan aspirasi penyair atau membangkitkan kesadaran nasional tidak hanya dilakukan dalam bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa Jawa. Puisi Kekasihku… karangan Subagijo I.N menyampaikan kerinduan pengarangnya, yang diharapkan juga kerinduan semua orang Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia. Pengarang puisi ini menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia menjadi bangsa yang mandiri. Selengkapnya adalah sebagai berikut:

Kekasihku…. Layoe lesoe atmaku pindha taru, Ngantu-antu nunggu tekamu, Aclum alum tumiyung malengkung, Kucem surem tanpa sunar menguwung,

Pandji Poestaka , No. 7 Th XXII.

Prandene…. Dinane wus manjalma minggu, Minggune wus dumadi candra… Aku isi ajeg kanthi ninggu saliramu, Nanging pangarep-arepke nora bakal sirna Pangarep-arepkoe isih tetep lana

Manehe… Wus dakgambar ing gagasan, Wus daktulis ing pangenthan-enthan… Saliramu teka sarwa nggawa sasmita, Kawibawaning Nusa lan Bangsa.

Lan… Sajrone aku cenglungen nganti-nganti, Nora lali daksisihi santi pepuji, Nedel mandhuwur marak Hyang manon Nyuwun supaya kita bisaa sapatemon.

Nadyan ta… Wektuna wus tansah lunga teka, Dinane wus ginanti candra… Lan candra musna, kongsi mangsane warsa jana, Saliramu meksa during ana! Nanging pangarep-arepku nora bakal sina

Jer… Ing telenging pengangen-angen, Banget anggonku kapang kangen, Kepingin weruh wujudmu kang sanyata, Dhuh kekasihku…

Kamardikaning bumui Nusantara!!! 333

Meskipun pesan dalam puisi di atas disampaikan secara tersamar, tetapi pada lirik terakhir diungkapkan secara tegas, yaitu kemerdekaan Nusantara. Seperti puisi Bunglon, puisi ini juga lolos sensor sehingga dapat dipublikasikan melalui media massa. Ada kemungkinan hal itu disebabkan karena redaksi Panji

Poestaka 334 “kebobolan”. Sejauh didasarkan pada sumber-sumber yang berhasil ditemukan, puisi ini merupakan satu-satunya karya sastra yang dipublikasikan

Panji Poestaka , No. 22 Th XXII, 15 September 1944.

334 Suripan Sadi Sutomo, 1997, Sosiologi Sastra Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.86-88.

pada tahun 1945 yang mengangkat tema nasionalisme untuk menggugah semangat bangsa Indonesia. 335 Puisi diatas menampilkan kerinduan seseorang terhadap

kebebasan atau kemerdekaan Indonesia. Melalui puisi Kekasihku penyair menyatakan bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia merdeka menjadi bangsa yang mandiri. Oleh sebab itu, bagi rakyat, kemerdekaan bangsa Indonesia ibarat seorng kekasih, sehingga kehadirannya sangat dinantikan.

Puisi diatas memperlihatkan adanya suatu perubahan yang terjadi secara bertahap dalam cara mengemukakan gagasan nasionaslime. Meskipun masih sangat memperhatikan diksi untuk menghindari sensor pemerintah militer Jepang, keberanian untuk menyampaikan pesan utama menggunakan kata-kata yang bermakna lugas mulai tampak. Hal ini bahkan menjadi semakin jelas dalam puisi Chairil Anwar. Salah satunya adalah puisi yang berjudul Siap Sedia yang berisi ajakan kepada kawan-kawan untuk bangkit dengan kesadaran dan mengayunkan pedang untuk menuju dunia baru.

Kawan, kawan Dan kita bangkit dengan kesadaran Mencucuk dan menyerang berulang Kawan-kawan Kita mengayun pedang ke Dunia terang

Gunseikanbu mendakwa pengarang, bahwa kata-kata “Dunia Terang” dalam puisi diatas dimaknai negeri Jepang, karena kata itu mengacu pada Negara yang menggunakan matahari (terang) sebagai symbol. Dengan demikian melalui puisi itu Chairil Anwar dituduh menganjurkan pemberontakan terhadap Jepang, dan

335 Sri Widati,dkk, 2001, Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern: Priode Prakemerdekaan, Yogyakarta: Gadjah mada University Press, hlm.271.

sebagai akibatnya ia ditangkap oleh Kempetai dan ditahan selama beberapa waktu. 336

Karya sastra yang digunakan sebagai media propaganda untuk kepentingan Indonesia tidak hanya berupa puisi, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa, tetapi Novel. Pada masa pendudukan Jepang, hanya ada dua novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan resmi pemerintah militer Jepang. Kedua novel itu adalah Tjinta Tanah Air karya Nursutan Iskandar dan Palawidja karya Karim Halim yang keduanya diterbitkan pada tahun 1944.

Tjinta Tanah Air mengisahkan percintaan antara Astia dan Amiruddin di tengah-tengah suasana perang, sehingga mendorong Amiruddin dan kawan- kawannya ingin menjadi pasukan relawan. Demikian hal dengan Astia yang kemudian mendaftarkan diri sebagai juru rawat sukarela. Mereka akhirnya menikah secara sederhana sebelum berpisah untuk menunaikan tugas. Keputusan untuk menjadi pasukan dan juru rawat sukarela telah membuat orang tua mereka bangga, karena mereka dinilai lebih mencintai tanah air disbanding cinta mereka sendiri. Sementara itu dalam Palawidja dikisahkan tentang perkawinan amalgamasi antara Sumardi dengan Sui Nio, seorang gadis Tionghoa. Kisah Cinta mereka berawal dari aktivitas di Komite Rakyat yang didirikan dengan tujuan meredam konflik pribumi-Cina yang sempat terjadi setelah kekalahan Belanda atas Jepang. Menjelang perkawinan mereka, muncul masalah karena Sumardi ditangkap oleh Jepang dengan tuduhan penghianatan. Namun akhirnya ia dibebaskan setelah tuduhan itu tidak terbukti, dan akhirnya perkawinan antara

336 Poesponegoro dan Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.64.

Sumardi dan Sui Nio dapat dilangsungkan. Setelah menikah Sumardi menjadi anggota Dewan Daerah dan kemudian menjadi anggota Peta, sedangkan Sui Nio menjadi pengawas Gerakan Putri Indonesia dan Cina.

Pada kedua novel diatas, pesan yang hendak disampaikan pada dasarnya adalah agar kaum muda mencintai tanah air. Akan tetapi berbeda dengan kecenderungan yang berlaku pada puisi, anjuran mencintai tanah air pada dalam kedua novel itu tidak disertai dengan penyebaran perasaan benci kepada Jepang. Bahkan kedua novel itu menyebutkan bahwa sarana yang digunakan untuk memperlihatkan cinta tanah air adalah melalui keanggotaan sukarela organisasi yang dibentuk Jepang. Tidak berlakunya kecenderungan pada kedua novel ini seperti yang terjadi pada puisi berupa penyebarluasan kebencian kepada Jepang,

dinilai sebagai kekecualian dari pola umum yang berlaku pada karya sastra. 337 Bentuk kesenian lain yang digunakan sebagai media untuk menyampaikan

aspirasi bangsa Indonesia pada masa pendudukan Jepang adalah seni pertunjukan. Salah satu jenis seni pertunjukan yang telah muncul jauh sebelum Jepang dating di Indonesia adalah ludruk. Pada masa pendudukan Jepang perkumpulan ludruk lebih banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah militer Jepang dan secara efektif difungsikan sebagai media propaganda. Akan tetapi, sebagaimana halnya yang terjadi dikalangan penyair, masih ada kelompok ludruk yang tidak selalu mengikuti kecenderungan itu, yaitu Ludruk Organisatie yang didirikan oleh Cak Durasim pada tahun 1933. Ludruk inilah yang rajin merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal pada zaman pendudukan Jepang karena

337 Budi Susanto, op.cit, hlm.134.

keberanian Cak Durasim mengeritik pemerintahan militer Jepang dengan kidungan Jula-juli-nya sebagai berikut:

Pagupon omahe dara Melok Nippon tambah sengsara (Pagupon rumah burung dara, Ikut Nippon tambah sengsara)

Akibat kidungan diatas, ketika sedang pentas di desa Mojokerto, Cak Durasim dan kawan-kawan ditangkap yang kemudian dipenjarakan. Sesudah

dibebaskan Cak Duarasim meninggal dunia pada bulan Agustus 1944. 338 Pada tahun 1944 terbentuk kelompok Sandiwara Penggemar Maya di Jakarta yang

dipelopori oleh Umar Ismail, D. Jayakusuma, Suryo Sumanto, Rosihan Anwar dan Abu Hanifah. Anggotanya adalah para intelektual muda, kaum nasionalis, dan professional (ahli fisika, farmasi, dan lain-lain). Prinsip-prinsip yang dipegang oleh kelompok ini adalah nasionalisme, humanism, dan agama. Kelompok ini didirikan sebagai reaksi terhadap ketidaksenangannya terhadap kerja Pusat Kesenian yang menurut mereka terlalu dikontrol Jepang. Mengenai hal ini, salah seorang pendiri Maya mengatakan bahwa pembentukan Maya memang terkait erat dengan suasana persiapan kemerdekaan dan Maya hendak menjadikan dirinya sebagai pelopor di bidang kesenian. Berdasarkan hal ini maka Usmar Ismail

menyatakan bahwa Maya merupakan gerakan angkatan baru. 339 Dalam perkembangannya sebagai kelompok Sandiwara Penggemar Maya menuju sebuah

teater nasional, kelompok ini telah mencapai sebuah titik penting, karena tidak hanya menampilkan hiburan, tetapi merupakan ekspresi budaya yang berdasarkan

338 Poesponegoro dan Notosusanto,op.cit,hlm.64,. dan Henricus Supriyanto, 1994,

“Sandiwara Ludruk di Jawa Timur (yang Tersingkir dan Tersungkur) dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Th. V, Jakarta: Rasindo, hlm.79-80.

339 Usmar Ismail, 1945, Maya sebagai Gerakan Angkatan Baroe, Koleksi Pusat

Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, hlm.2.

kesadaran nasional. Aspirasi-aspirasinya menuju Humanism dan Relgius. 340 Hal itu pula yang menjadikan maya sebagai kelompok sandiwara yang paling terkenal.

Sebenarnya ada kelompok sandiwara yang lain, yaitu kelompok Sandiwara Angkutan Muda Matahari yang dibentuk oleh Anjar Asmara tahun 1943 dan sebuah kelompok lain yang didirikan oleh Sanusi Pane. Sayangnya informasi

mengenai kedua kelompok sandiwara itu sangat terbatas. Menurut Kosim (1998/1999) kedua kelompok ini juga mementaskan lakon-lakon yang mengespresikan kesadaran dan spirasi yang berembang luas pada masa itudengan baik.

Upaya mengekspresikan aspirasi kecintaan terhadap bangsa memang tidak dapat diungkapkan secara leluasa melalui lakon-lakon sandiwara atau drama. Drama seperti karya Usmar Ismail yang berjudul Api dan Tjitra yang mengambil tema kecintaan dan pengabdian kepada tanah air, dan karya El Hakim (dr. Abu Hanifah) yang berjudul Taufan di atas Asia, Intelek Istimewa, dan Dewi Rini merupakan pedang bermata dua yang penuh arti bagi bangsa Indonesia. Dalam lakon-lakon drama itu terkandung pesan-pesan untuk mengorbankan semangat nasionalisme. 341

Pihak pemerintah militer Jepang menyadari bahwa kelompok-kelompok sandiwara telah disalahgunakan oleh seniman nasional. Sebagai reaksi atas tindakan para seniman nasionalis, pemerintah militer Jepang kemudian mendirikan Java Eiga Kosya yang antara lain bertujuan untuk mengadatapsi kebudayaan yang menjadi tujuan Asia Timur Raya. Salah satu divisi dalam

340 Saini Kosim, 1998/1999, Teater Indonesia, Sebuah Perjalanan Multikulturalisme, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. IX, hlm.185.

341 Op.cit, Poesponegoro dan Notosusanto, hlm.6.

organisasi berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan ini adalah badan sensor. Sesuai dengan namanya, badan ini bertugas mencegah masuknya dialog-dialog yang mengekspresikan ide-ide nasionalis dan anti-Jepang dalam lakon-laon

sandiwara atau drama. 342 Konsekuensi dari adanya badan sensor adalah bahwa naskah-naskah yang akan dipentaskan harus diperiksa oleh badan itu, sehingga

kelompok sandiwara atau drama sebagai wahana penyampai aspirasi nasionalis menjadi tidak terlalu efektif lagi.

Seiring dengan semakin terdesaknya tentara Jepang dalam peperangan dorongan untuk mewujudkan Indonesia merdeka mancapai bentuk yang semakin nyata. Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman yang melodinya diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda I 1928, liriknya kembali

menghiasi halaman majalah dan surat kabar. 343 Pemuatan ini tentunya bertujuan untuk mengobarkan semangat kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan

Indonesia. Dalam bidang seni music komponis Cornel Simanjuntak menciptakan lagu

Tanah Tumpah Darahku 344 yang menggambarkan rasa cinta kepada tanah air. Begitu juga dengan lagunya Maju Putra-Putri Indonesia yang membangunkan

semangat kesadaran bangsa Indonesia untuk membangun Jawa baru dalam rangka Asia Timur Raya. 345

342 Ibid, hlm.186.

343 Panji Poestaka, No. 18/19 Th. XXII, 15 September 1944: 569.

344 Djawa Baroe, No. 7 1 April 1945, hlm.24.

345

Djawa Baroe , No. 6, 5 Maret 1944, hlm.34.

Seni rupa turut mengambil bagian pula dalam usaha menyebarluaskan gagasan nasionalisme. Para seniman seni rupa yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho terdiri atas para pelukis seperti Basuki Abdullah, Agus Djajsoeminta, Otto Djajasoentara, Martono Joedokoesoemo, dan Emiria Soenassa. Selama bergabung dengan Keimin Bunka Shidosho, mereka pernah mengadakan pameran lukisan sebanyak tiga kali. Pameran pertama diadakan pada bulan April sampai Mei 1943. Pameran kedua dan ketiga diadakan pada bulan Juni 1944. Pameran pertama dan kedua diadakan di gedung Keimin Bunka Shidosho, sedangkan pameran yang ketiga dilaksanakan di Taman Raden Saleh Jakarta. Dalam ketiga pameran itu, yang ditampilkan adalah lukisan-lukisan yang dimaksudkan untuk membangkitkan dukungan masyarakat terhadap pemerintah militer Jepang. Namun demikian, sebagaimana yang umum dijumpai di kalangan seniman yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho, seniman perupa juga menggunakan lembaga ini sebagai tempat yang mempertemukan mereka dengan seniman lain untuk berkomunikasi dan berdiskusi mengenai masa depan Indonesia. Kecenderungan yang muncul di kalangan seniman perupa kemudian adalah keinginan untuk menjadikan lukisan sebagai sarana membangkitkan kesadaran nasional. Hal ini antara lain ditunjukan oleh kebiasaan penggunaan warna merah yang menggambarkan semangat oleh pelukis S. Sudjojono dalam melukis. Para pelukis nasionalis itu juga berusaha untuk membatasi hubungan dengan seniman Jepang dengan maksud agar mereka tidak menjadi alat propaganda Jepang. Di antara para seniman yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho adakalanya menjalin kerja sama, misalnya Chairil Anwar dan pemimpin Nasional Bung Karno untuk membuat poster heroic berjudul “Bung, Ayo

Bung”. 346 Tujuan penciptaan poster ini adalah untuk mempropagandakan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sebenarnya penyampaian aspirasi bangsa Indonesia melalui lukisan telah dimulai sejak awal bergabungnya para pelukis Indonesia dalam Keimin Bunka Shidosho . Hal ini tampak pada lukisan Afandi yang sebenarnya diciptakan untuk kepentingan pameran yang antara lain bertujuan untuk rekrutmen romusha. Akan tetapi karena dalam lukisan Afandi romusha digambarkan sebagai orang-orang yang kurus dalam suasana suram, maka lukisan ini ditolak keikutsertaannya dalam

pameran. 347 Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam suasana yang sangat refresif

di bawah pemerintahan militer Jepang, dalam batas-batas tertentu para seniman telah berusaha untuk mengabdikan keahliannya untuk kepentingan Indonesia. Memang tidak dapat disebutkan suatu patokan atau indicator yang agak pasti untuk mengukur keberhasilan seni, baik sastra, seni pertunjukan maupun seni rupa sebagai wahana untuk membangkitkan nasionalisme dalam rangka mencapai kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, dengan meminjam salah satu pendekatan yang cukup popular di kalangan ahli sastra yang disebut pendekatan mimetic (Teeuw, 1984: 50-51), dapat dikatakan bahwa antara seniman, karya seni, dan masyarakat membentuk satu jaringan yang saling mengikat. Dari sini dapat diketahui bahwa gagasan nasionalisme dan keinginan membentuk Indonesia sebagai bangsa merdeka seperti terkandung dalam karya sastra, seni pertunjukan maupun seni rupa bukan satu-satunya factor yang berperan memunculkan nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia. Runtuhnya keyakinan

Lapian, dkk, op.cit, hlm.80-81. 347 Claire Holt, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Bandung:

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, hlm.286.

masyarakat Indonesia terhadap Jepang mengenai Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya serta posisi politik Jepang yang semakin lemah akibat tekanan Sekutu dan posisi tawar tokoh nasionalis Indonesia yang semakin kuat harus dilihat pula sebagai factor yang berpengaruh, atau bahkan dominan, dalam mengkristalnya nasionalisme Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakanbahwa propaganda nasionalisme melalui karya sastra, seni pertunjukan, dan seni rupa serta perkembangan keadaan politik merupakan factor-faktor yang terjalin secara sinergis.

Berbagai ungkapan yang menyindir dan menentang kebijakan pemerintah militer Jepang melalui seni kemudian menjadi hal yang biasa terjadi. Fenomena

ini sesuai dengan pendapat 348 yang menyatakan bahwa kesenian memang mempunyai dua fungsi utama dalam kehidupan social politik, yaitu sebagai

corong pemerintah kepada masyarakat dan sebagai alat untuk menyampaikan kehendak rakyat kepada pemerintah.