Foto di Surat kabar

d. Foto di Surat kabar

Dalam majalah Shashin Shuho (Berita Mingguan Foto) yang diterbitkan oleh Johokyoku di Jepang pada tahun 1938 dinyatakan seperti berikut.

Jika film dapat disebut sebagai senapan mesinnya perang propaganda, maka foto adalah sangkar yang langsung menusuk hati orang dan juga merupakan lembaran beracun yang kelak disebarluaskan dalam cetakan berjuta-juta. 125

“Orang” yang dimaksud di sini adalah hanya orang Jepang. Namun, pemikiran seperti ini akan dipraktekan pula kepada penduduk jajahan Jepang, termasuk

Rupanya, pengawasan dan penyensoran di Jepang jauh lebih keras dari pada Indonesia. Yoshinori Watanabe menulis, “Menujukkan sikap protes secara terbuka hanyalah berarti kematian atau kehancuran social. Di bawah situasi yang keras seperti itu, hanya ada perlawanan dalam bentuk tidak membantu perang secara aktif atau mengabaikan perang.” Lohat Yukio Miyoshi, dkk. (ed.), 1979, Nihon Bungaku Zenshi 6: Gendai (Sejarah sastra Jepang 6: Kontemporer) , Tokyo: Gaku To-sha, hlm. 266.

125 Sakuramoto, Bunkajin,hlm. 62.

orang Indonesia dengan misalnya majalah bergambar satu-satunya di Indonesia pada masa itu, yaitu Djawa Baroe. Djawa Baroe adalah media massa Indonesia yang paling mewah pada masa itu. Surat kabar Jawa Shinbun 126 mengiklankan penerbitan majalah dwimingguan dan dwibahasa tersebut.

Jawa Shinbun Sha mulai menerbitkan majalah Djawa Baroe sejak 1 Januari 1943. Majalah tersebut memberitakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Lingkungan Kemakmuran Bersama Selatan (sic) serta Dunia, khususnya yang terjadi di Jawa lewat foto. Majalah ini bertujuan untuk menyusun pribumi dan memperdalam pengertian mereka kepada Jepang sehingga dapat membuat mereka mau membantu menyelesaikan Perang Asia Timur Raya.

Iklan ini ditutup dengan permintaan redaksi kepada pembaca Jepang: “mulai sekarang, kami berharap agar para pembaca merekomendasikan majalah ini kepada pribumi sebanyak mungkin.” 127

Pembuat foto atau gambar dalam media massa dianggap penting pada masa itu. Contohnya, sejak pertengahan bulan Februari 1943, Sendenbu mulai

menyebarluaskan “surat kabar dinding (kabe shinbun) (no.67), 128 lembaran yang berjudul Seroean Kita ini lebih dari setengahnya diisi dengan foto atau gambar

karena mengingat tingginya tingkat buta huruf di Jawa (Lihat lampiran 5).

Adapun, di Sendenhan ada juga yang namanya seksi foto. Kepala seksi itu adalah pengurus tetap Lembaga Foto yang bernama Noboru Matsumoto. “Bidang

126 Jawa Shinbun (no.13. 20 Desember 1942) hlm. 1.

127 Sementara itu, sebuah iklan dalam Jawa Shinbun (no.130. 18 April 1943, hlm. 2) menulis Djawa Baroe adalah “satu-satunya majalah bergambar yang menghubungkan Jepang dan

Indonesia dengan foto”.

“Genjumin e Chishiki no Kate (Memberi pengetahuan kepada Penduduk Setempat)” dalam Jawa Shinbun (no.67. 13 Februari 1943), hlm. 2.

seperti postrer, foto itu dapat digunakan juga untuk brbagai hal, contohnya di dalam buku, majalah, di bungkus rokok, sebagai gambar perangko, ataupun dijadikan slide. Mengenai ciri foto sebagai alat propaganda, Machida mengatakan seperti yang di bawah ini.

Saya selalu memusatkan segala media propaganda untuk satu sasaran setelah menentukan tujuan, objek, dan waktu. (…) Propaganda adalah “penyutradaraan.” (…) Tidak begitu efektif kalau setiap media berdiri sendiri atau kucar-kacir. (…) Sebagai senjata budaya untuk perang, foto itu baru dapat menujukkan kekuatan kalau digabungkan dengan media lain. Saudara Oya pernah berkata, “Apa yang diucapkan di Jakarta pada pagi hari sudah sampai ke Bandung sebelum siang hari itu. Penyesuaian secara lisan adalah cara propaganda yang paling baik di Jawa.” Nmun, sebagai media visual, foto memiliki daya tarik tersendiri: kongret,

impresif, dan intuitif, dan jelas lebih efektif dari pada “strategi bisikan.” 130 “Sangkar” foto dan “senapan mesin” film. Karena sifat visual itulah, kedua benda

budaya ini dapat memperlihatkan kekuatan dahsyat sebagai alat propaganda. Soichi Oya berpendapat, “Sebagai alat propaganda, foto, kamishibai, 131 slide, dan

sebagainya lebih efektif ketimbang lukisan.” 132 Alasannya karena lebih nyata, realistis, dan mengesankan daripada lukisan yang cenderung abstrak. Sementara

itu, dalam sebuah simposium yang diadakan pada bulan Januari 1943, 133 T. Mitsuhashi (pengurus peredaran Jawa Eiga Kosha) berpendapat bahwa lebih baik

129 Machida, Tatakau, hlm. 244.

130 Ibid., hlm. 246-247., H. Shimizu juga menyetujui Oya (Shimizu, “Minshu”, hlm. 347- 348). Tetapi rupanya dalam hal dampak, foto lebih unggul dari pada “bisikan”.

131 Pergelaran cerita bergambar yang teksnya dibacakan oleh seorang tukang

132 Oya, “Nanpo”.

133 “Nanpo Kensetsu no Ichinen (Setahun Daerah Selatan)” dalam Serebes Shinbun (9-10 Januari 1943).

menuntut penglihatan penduduk Indonesia dengan film daripada dengan tulisan karena sebagian besar dari mereka adalah buta huruf. Namun, T. Ishimoto (pengurus produksi Jawa Eigha Kosha) mengaku selalu dipusingkan keanekaragaman bahasa yang digunakan di Jawa dan sedikitnya orang yang dapat berbahasa Indonesia. Ia menuturkan, “Yang sering menjadi masalah dalam pekerjaan kami adalah masalah bahasa.” Di samping itu, Noboru Matsumoto berpendapat, “Rasanya, propaganda lewat foto paling efektif karena banyaknya orang yang buta huruf.”

Pada tahun 1945, diadakan sebuah simposium lain yang dihadiri oleh penggubah lagu N. Iida (Keimin), komikus S. Ono (Sendenbu), penerjemah Yoshi Nakatani dan Senzo Yamamoto (Jawa Shinbunsha). Dalam kesempatan itu, Ishimoto yang sudah menjadi kepala cabang Jawa Nichiei memberi pendapat yang berarti.

Sembilan puluh persen dari penduduk Jawa adalah petani. (…) Mereka tidak memahami siaran radio apalagi koran. Akhirnya, tinggal film yang tersisa. Mereka tertarik pada sesuatu yang membimbing mereka

lewat penglihatan. 134 Ia menyadari bahwa di Jawa Propaganda lewat bahasa baik lisan maupun tulisan

tidak begitu efektif. Benda budaya visual yang dijadikan alat propaganda yang tidak kalah

penting dengan foto dan film adalah sandiwara. Pada 2 April 1943 diadakan pertemuan pertama Keimin yang dihadiri oleh novelis Rinto Takeda (pembimbing Bagian Kesusastraan), pelukis Takashi Kono (pembimbing Bagian Seni Rupa), S.

134 “Kantai Toji to Genzai no Genjumin wo Kataru Zadankai”, Loc.cit.

Oya (pembimbing Bagian Film), N. Iida (pembimbing Bagian Seni Suara), Sanoesi Pane, Armijn Pane, Maria Amin, dan sebagainya. 135 Di sana Kiyoo

Yasuda (pembimbing Bagian Seni Sandiwara dan Seni Tari) menyatakan:

(…) sandiwara dan tari-menari itoe dalam zaman peperangan modern ini adalah satoe sendjata jang tadjam dalam melakoekan “peperangan-pikiran”. Boekankah ra’jat terbanjak, jang tidak tahoe membatja dan meloekis itoe, moedah mendapat penerangan dan pendidikan, apabila semoea ini dilakoekan dengan perantaraan

sandiwara. 136 Selain sandiwara modern, seni panggung tradisional seperti wayang juga

dimanfaatkan oleh Jepang. Dipilih kisah-kisah mengenai peperangan atau pahlawan yang kemudian disesuaikan dengan semasa Jepang melawan Sekutu. Bahkan diciptakan naskah cerita baru yang sesuai dengan kebijakan

pemerintah. 137

Rupanya, sandiwara tradisional lebih menarik perhatian daripada sandiwara modern. Dapat dikatakan bahwa pernyataan K. Yasuda dalam kutipan di atas masih bersifat cita-cita. Ketika Jepang datang, teater Indonesia modern baru mempunyai sejarah selama lima belas tahun. 138 “Sejak jaman pendudukan

“Ichiriyu Geinoka wo Mora (Meliputi Seniman-seniman Kelas Atas)” dalam Jawa Shinbun (no.115. 2 April 1943),hlm. 2.

“Poesat Keboedajaan Melangkah” dalam Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603), hlm. 9., yang paling diutamakan di bidang sandiwara adalah “sandiwara berkeliling”. Selain Keimin, Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (berdiri 1 September 1944) dan Sendenbu juga melakukannya. Keboedajaan Timoer III (2604), hlm. 197. sementara itu, mengenai tarian propaganda,lihat antara lain “Tari Meroentoehkan Amerika/Inggeris” dalam Djawa Baroe (no.23. 1.12.2603), hlm. 31 dan juga fotonya di kulit muka.

137 Noson, hlm. 288-289.

138 Jakob Sumardjo, 1992, Perkembangan Teatre Modern dan Sastra Darama Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 101. Mengenai sandiwara pada masa pendudukan Jepang, Boen

Sri Oemarjati, 1971, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, Djakarta: Gunung Agung.Mengenai pergulatan para perintis teatre modern yang mendirikan rombongan Maya pada masa Jepang, H. Rosihan Anwar, “Sekelumit Kenang-kanangan Kegiatan sastrawan di Zaman Jepang (1943-1945)”

Jepang perhatian orang Indonesia terhadap drama modern makin bertambah,” tulis Rendra. 139 Namun, tidak dapat disangkal bahwa sebagaimana kecendrungan

universal, di Indonesia juga drama cenderung dianggap lebih rendah nilainya daripada prosa dan puisi. Pandangan seperti itu menyebabkan kekurangan aktor dan fasilitas yang memadai. R. Takeda menyesalkan sedikitnya jumlah naskah

sandiwara dan penulis naskah yang baik. 140 Dalam Djawa Baroe terbitan tahun 1944 terdapat sebuah artikel yang berjudul “Sandiwara”. 141 Si penulis menyesalkan pandangan yang merendahkan sandiwara dan sebaliknya

menyambut baik pendirian Sekolah Tonil oleh Sendenbu. 142 Sekolah ini bertujuan mendidik penulis naskah, aktor, dan staf lainya. Salah seorang pengajar dalah

Takeda.

Sebenarnya Jepang juga insaf bahwa jika mutu sandiwaranya terlalu rendah maka tidak mungkin dapat mengumpulkan penonton dalam jumlah yang banyak. Sebuah artikel dalam Djawa Baroe terbitan tahun 1945 mengatakan bahwa penonton itu mempunyai permintaannya sendiri. Menurut artikel yang

dalam Budaja Djaja (no.65. th.VI. Oktober 1973), (Seterusnya dirujuk Rosihan, “Sekelumit”), hlm. 589-591.

Rendra, 1983, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: Gramedia, (seterusnya dirujuk sebagai Rendra, Mempertimbangkan), hlm. 31.

“Nanpo Kenstsu no Ichinen” dalam Serebes Shinbun (9 Januari 1943). Rendra menyatakan harus disadari bahwa teatre modern di Indonesia miskin akan penonton,kritikus, penulis naskah, fasilitas, modal, dramawan yang baik, dan sebagainya (Rendra, Mempertimbangkan, hlm.36.

141 Djawa Baroe (no.3. 1.2.2064), hlm. 32.

Mengenai Sekloah Tonil, “Boeah Sekolah Tonil” dalam Pandji Poestaka (no.16. 25.7.1942), hlm. 551.

bahwa sandiwara juga harus ikut membantu pelaksanaan perang. Namun, yang harus diingat adalah bahwa biasanya orang menonton sandiwara terutama karena ingin menikmati seni dengan tidak mengindahkan ada tidaknya propaganda di dalam sandiwara yang dinikmati itu. Maka mutu seni juga harus ditingkatkan.

144 “Penduduk di Jawa sangat menyukai sandiwara dan musik,” tulis R. Takeda. Selain benda budaya visual, ada juga benda budaya audio seperti

lagu/nyanyian (Lihat lampiran 6). Lagu/nyanyian juga tidak kalah banyak penggunaannya jika dibandingkan dengan foto. Pada masa pendudukan Jepang, selain dimanfaatkan sebagai lagu/nyanyian semata-mata, media tersebut sering digunakan dalam film, sandiwara, tarian, pawai, siaran radio, dan sebagainya. Contohnya, lagu “Kanak-Kanak Baik dari Asia Timoer”. Lagu ini dinyanyikan diseluruh sekolah rakyat di Jawa dan diciptakan juga tariannya yang menggunakan bendera hinomaru (bendera kebangsaan Jepang). Secara terperinci

menjelaskan cara menari disertai foto. 145

e. Lagu Jaesjio

143 “Kemadjoean dalam Doenia Seni Sandiwara” dalam Djawa Baroe (no.14. 15.7.2605), hlm.24.

144 “Jaba no Fukuchan” dakam Tokyo Asahi Shinbun (26 Juni 1942).

145 Djawa Baroe (no.6. 15.3.2604) hlm. 18-19, 32.

146 “Orang Indonesia adalah bangsa yang mencintai musik,” kata Keiji Machida. A. Oki juga sependapat dengannya. “Oleh karena rakyat setempat

sangat menyukai musik maka yang paling diinginkan adalah operasi budaya lewat musik,” tuturnya. 147 Pada bulan Juli 1943 sebuah korps musik militer AD yang

terdiri dari 27 orang dikirim ke Sendenbu. Pagelaran musik mereka yang sengaja mengunakan gamelan disambut baik oleh rakyat Indonesia. Kemudian, Sendenbu memutuskan untuk membuat sebuah lagu yang dapat dipadu suara oleh orang Indonesia dan orang Jepang. Lirik lagunya dicari dari kalangan perwira dan

prajurit. 149 Hasil pencarian umum itu diberitakan dalam Unbara. Menurut surat kabar tersebut, anggota panitia penilaian adalah antara lain, K. Machida, A. Oki,

A. Asano, T. Kitahara, N. Iida, dan novelsi Uio Tomisawa. Dengan suara bulat, mereka memilih “Jaesjio” karya Prajurit Satu Takashi Sasaki. Dengan nada dingin, Oki menilai lagu itu sebagai “karya bermutu yang dapat diterima.” Sementara itu, artikel dalam Unibara tersebut memberi pujian setinggi langit. Katanya, si pencipta menguasai keindahan bahasa Jepang dengan sempurna dan karyanya dapat menyanyikan tujuan “perang suci” dan pembangunan Asia Timur Raya dengan tepat, sehingga karya ini menujukkan tingginya tingkat budaya militer Jepang. Selanjutnya, ditulis bahwa rakyat Indonesia akan disuruh menyanyi dalam bahasa Jepang dan hanya diberi arti ringkas dalam “bahasa Melayu”. Kemudian, lagu itu musiknya digubah oleh pemimpin korps musik

146 Machida, Tatakau, hlm. 231.

Atsuo Oki, “Yoi Nihongo de Utae (Nanyilah dengan Bahasa Jepang yang Baik)” dalam Tokyo Asahi Shinbun (6 Oktober 1942).

148 Machida, Tatakau, hlm. 232.

149 Unabara (no.125. 4 Agustus 1942), hlm. 1-2.

militer AD, yaitu Yushiro Isota, dan diresmikan sebagai Jaesjio: Nyanyian Paduan Suara Selatan.

Dalam Almanak Asia-Raya 2603 dimuat lirik lagu vesri bahasa Jepang beserta not dan arti ringkasanya dalam bahasa Indonesia.

“Jaesjio” ARTI RINGKASNJA

1. Nyjanjian seroean dari pihak bangsa Nippon: Menjebrangi laoetan jang loeas, Dari negara rahmat jang Mahasoetji, Mendjoendjoeng tjita-tjita amat moerni, Datang kami kemari, hati ichlas, Adar bersoea dengan saudara kami.

2. Njanyi seroean dari dipihak (sic) bangsa Indonesia: Nippon negara tjahaja Asia, Mari, marilah kita ra’jat semoea, Di tanah waringin pohon kelapa, bersoempah saktilah kita setia, menjamboet koernia jang soedah terlimpah.

3. Berjanji bersama-sama: Semoedera loeas mengikat kita, Bangoen, bangoenlah, hai, ra’jat Oenabara 150 , Satoekan tenaga djadi gelora, Berjoeanglah haibat koeatkan tjita, dirikanlah kembali Asia Raya. 151

Tujuan kedatangan Jepang itu murni untuk menolong Indonesia (nomor 1). Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus membantu Jepang (nomor 2). Dan, mereka harus bersatu melawan Sekutu untuk membantu Asia Raya (nomor 3). Lirik lagu yang dibuat pada permulaan masa pendudukan Jepang yang akan banyak dihasilkan pada masa itu.

150 “Oenabara” berarti ‘Samudra’.

151 Almanak Ais-Raya, hlm. 10., Terjemahan lagu ini ada beberapa versi, “Memperkoeat barisan Belakang: Sajembara Karangan dan Menjalin Lagoe JAESJIO” dalam Asia Raya (no.9.

Lagu/nyanyian merupakan salah satu bentuk propaganda yang diutamakan oleh Jepang. Sebenarnya, lagu kebangsaan Indonesia. Nyanyian seperti ini disebut magnetic propaganda songs, yaitu sejenis nyanyian yang diciptakan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu dorongan dan desakan yang menyebabkan

komunikan tertarik dan mengikuti jejak dari komunikator. 152 Mungkin, bagi orang Indonesia pada masa itu lagu Jaesjio memiliki daya tarik magnetis karena mereka

masih mempercayai Jepang yang katanya datang untuk membebaskan Indonesia dari Barat.