Emigran Jepang ke Hindia Belanda

A. Emigran Jepang ke Hindia Belanda

Kedatangan orang-orang Jepang ke Hindia Belanda sebenarnya sudah berlangsung sebelum depresi ekonomi tahun 1929. Pada abad ke-17 di Batavia

sudah terdapat 30 orang Jepang yang terlibat dalam perniagaan bahari. 27 Kelompok ini semakin menjadi khusus dengan adanya kebijakan politik pintu

tertutup 28 Jepang dari hubungan luar negerinya yang dilakukan oleh Shogun Tokugawa pada tahun 1632 yang berakibat bahwa komunitas Jepang tersebut

tidak lagi mempunyai kaitan dengan tanah airnya. Selain itu, tidak banyak yang diketahui tentang komunitas Jepang di Batavia dan Jawa pada abad ke-18 sampai paruh kedua abad ke-19.

29 Emigran Jepang ke Hindia Belanda sendiri mulai kembali marak pada awal Restorasi Meiji sampai akhir tahun 1930-an. Perubahan yang dialami Jepang

setelah Restorasi Meiji yang didasarkan oleh kebijakan nasional yang kuat dengan

27 Mona Lohanda, “Penetrasi Jepang di Perairan Hindia Belanda” prasarana yang disampaikan dalam seminar sehari Membangun Kembali Peradaban Bahari di Jurusan Sejarah

FSUI, Depok, 24 April 1997.

28 Politik Pintu Tertutup (Sakoku) Jepang ini sudah berlangsung pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa mulai tahun 1603 sampai tahun 1862. Politik Pintu Tertutup ini pada awalnya

dilaksanakan hanyalah berisi peraturan yang melarang orang asing dating ke Jepang, akan tetapi, pada tahun 1632, aturannya menjadi lebih ketat, melarang juga orang-orang Jepang berada di luar negeri untuk kembali ke Jepang.

29 Emigran adalah orang yang meninggalkan tanah tumpah darahnya dan pergi ke negeri lain untuk tinggal menetap disana. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud (Jakarta,

Balai Pustaka, 1990), hlm 227.

bertumpu pada slogan Fukoku Kyohei (Negara Kaya,militer kuat) 30 yang untuk mewujudkan cita-cita itu diperlukan adanya tatanan politik, sosial, ekonomi, dan

industri yang mendukung kebijakan tersebut. Jepang menginginkan agar mereka sejajar dan dapat diterima sebagai Negara modern, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa Barat yang sudah maju.

Salah satu dampak dari Restorasi Meiji ini adalah terjadinya kemiskinan keluarga petani Jepang. Hal ini disebabkan industrialisasi merupakan kebijakan utama Jepang pada masa itu. Untuk mempertahankan hidup mereka, banyak di antara anak laki-laki Jepang dari keluarga petani tersebut mencari daerah baru guna memperbaiki kehidupan perekonomian keluarganya. Dalam tradisi budaya Jepang, anak laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya. Tanggung jawab ini sudah dipikul anak laki-laki Jepang sejak usia sangat muda

yang bukan merupakan pewaris keluarga. 31 Maka tidaklah mengherankan bila pada masa awal pemerintahan Meiji banyak emigran Jepang berasal dari keluarga miskin di daerah Selatan Jepang. Hal ini diungkapkan oleh pemilik toko Jepang di Jawa:

Saya lahir sebagai anak kelima dari keluarga petani miskin di desa pegunungan Kyushu yang terpencil, dan tidak hentinya mendengar orang tua saya mengatakan “Alangkah sulitnya mencari nafkah”, mengalami kemiskinan dan ketidakberda-yaan hidup di pedesaan yang tidak pernah maju dari priode Meiji hingga Taisho. Akibatnya, saya memutuskan untuk

berangkat ke negeri seberang dan mulai suatu hidup baru…… 32

30 Ken Ichi Goto, Sejarah Hubungan Antara Jepang dan Indonesia pada zaman Pra- perang , Japan Review, Maret 1987, hlm 20.

31 Ruth Benedict,1967, Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan Jepang, Jakarta: Sinar Harapan, hlm 59.

32 Ken Ichi Goto, “Kehidupan dan Kematian Abdul Rachman”: (1906-1949) Satu Aspek dari Hubungan Jepang-Indonesia” dalam Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan

Jepang, Penyunting Akira Nagazumi, ( Jakarta: Obor Indonesia, 1988), hlm118.

Selain sulitnya perekonomian Jepang, motivasi emigran Jepang ke Hindia Belanda juga didasari oleh berita keberhasilan orang-orang Jepang yang berniaga di Jawa yang dimuat dalam majalah Shin Sheinen (Pemuda Baru) dan lagu-lagu seperti “Bandit Berkuda” dan “Perantau” yang sangat menarik perhatian dan simpati terutama pemuda Jepang yang belum dapat menikmati hasil modernisasi

di Jepang. 33 Emigran Jepang di Hindia Belanda pada awalnya adalah Kimin, yaitu

orang-orang yang ditelantarkan oleh Negara yang diselundupkan ke luart Jepang tanpa paspor untuk mencari pekerjaan di luar negerinya dan sering ditipu atau

diculik, yang akhirnya membawa mereka ke Asia Tenggara. 34 Emigran Jepang ke Hindia Belanda meningkat pada awal abad ke-20.

gelombang kedatangan orang-orang Jepang terbagi dalam dua fase yaitu:

1. Awalnya tahun pemerintahan Meiji (tahun 1880-an) sampai akhir tahun 1910-an porstitusi merupakan mayoritas kegiatan orang Jepang terutama

di Jawa. 35

2. Awal tahun 1910-an sampai akhir tahun 1930-an. Pemilik toko bebas dan pegawai merupakan mayoritas kegiatan orang Jepang pertama di Jawa. 36

Jumlah emigran yang meningkat terutama sesudah tahun 1920 lalu menimbulkan perdebatan di kalangan pejabat Hindia Belanda jika melihat pada

33 Goto, “Sejarah Hubungan Jepang dengan Indonesia”, op.cit., hlm 21.

34 Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi, Orang Jepang di Kota Koloni Asia Tenggara, (Jakarta: Obor Indonesia, 1998), hlm 4.

35 Hal ini dapat dilihat dari catatan pekerjaan para emigrant Jepang tersebut pada tahun 1910-an yang berjumlah 463 orang, 48% diantaranya atau 219 adalah karayukisan (wanita yang

pergi ke Cina tetapi kemudian berkonotasi dengan pekerjaan sebagai prostitusi). Lihat Mona Lohanda, op.cit., hlm 2.

36 Saya Shiraishi, op.cit., hlm 12.

catatan kependudukan bulan November 1920, jumlah emigran Jepang di Hindia Belanda seluruhnya berjumlah 4.148 orang, termasuk di Jawa 1.734 orang belum

dianggap sebagai unsur yang berbahaya. 37 Akhir Juni 1922 jumlah ini meningkat menjadi 4.496 orang tetapi pada bulan yang sama tahun 1923 jumlahnya menurun menjadi 4.233. Pada bulan Juni 1926 pemukiman Jepang di seluruh Hindia

Belanda baru berjumlah 4.351. 38 Jumlah emigran Jepang ke Hindia Belanda setelah Perang Dunia I juga

menarik perhatian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Dapat diperoleh gambaran menarik mengenai kepentingan Jepang di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 1924 dari laporan konsul Amerika di Surabaya, Rollin R. Winslow, yang dikirim ke Washington D. C. Menurut laporan ini, populasi Jepang sebanyak 627 orang di Surabaya, 135 orang di Keresidenan Pasuruan, dan 23 orang di Malang. Ini merupakan perkembangan terakhir karena sudah terdapat arus masuk orang Jepang ke Hindia selama tahun perang. Mereka membuka toko-toko kecil dan tinggal di sana, dan pada tahun 1920-an tampak peningkatan perhatian pada

karet dan perkebunan tebu. 39 Menurut perkiraan sampai tahun 1939 jumlah emigran Jepang di Hindia

Belanda berjumlah kira-kira 6.600 orang, sementara 4.000 orang Jepang bermukim di Jawa. 40 Dari yang bermukim di Jawa ini, konsentrasi terbesar ada di

37 Mona Lohanda,op.cit., hlm 3.

38 Ibid.

39 Saya Shiraishi,op.cit., hlm 12.

40 ‘Verslag van den Adjunct-Refrendaris ter beschikking vanm den Adviseur, Hoofd van den Dienst der Oost-Aziatische Zaken, H. Hagenaar, Omtrent een diienstreis naar de Provinciale

Oost-Java, van 29 Oktober-11 november 1939”, dalam Binnenlands Bestuur no. 141 Arsip Nasional.

Surabaya yaitu berjumlah 1.371 orang. Namun jika melihat pada ketimpangan dibidang perdagangan ekspor impor kekuatan ekonomi Jepang di Hindia Belanda mulai memiliki dominasi di dalam perekonomian Hindia Belanda.

Dibukanya konsulat Jepang di Batavia dan di Surabaya tahun 1919 41 merupakan institusi perwakilan resmi pemerintah Jepang di Hindia Belanda

terutama di Jawa. Tugas pertamanya adalah pendataan terhadap orang-orang Jepang yang berada di daerah konsulatnya.

Perhimpunan orang Jepang (Nihonjinkai) didirikan di Batavia tahun 1913 dan Surabaya tahun 1921. Tujuan perhimpunan ini adalah untuk menggalang “saling persahabatan dan informasi” diantara penduduk Jepang. Pimpinannya biasanya adalah orang-orang terkemuka Jepang diwilayahnya dan biasanya pendatang perintis.

Dengan didirikannya perhimpunan orang Jepang paling tidak orang-orang Jepang yang dating ke Hindia Belanda terutama di Jawa mulai ada ikatan dengan Negara induk mereka. Hal ini dapat dipahami bahwa kehadiran mereka di sini seperti dijelaskan sebelumnya adalah orang-orang yang tidak terkordinasi oleh Negara dan pada umumnya mencari nafkah untuk memperbaiki perekonomian mereka. Perhatian yang diberikan oleh pemerintah Jepang terhadap masyarakatnya di luar negeri dirasakan sangat membantu kegiatan orang Jepang di Jawa. Sebagai contoh ketika konsulat dan Nihonjinkai belum terbentuk banyak di antara pedagang Jepang melindungi kegiatan dagang mereka sendiri padahal

41 Saya Shiraishi, op.cit., hlm 23.

ketika itu (pada awal abad ke-20 trutama sebelum tahun 1912) status social Jepang sudah disamakan dengan orang Jepang. 42