Ke Selatan

1. Ke Selatan

Pada tanggal 3 Juli 1941, dalam konferensi di muka kaisar di tetapkan “Prinsip Kebijakan Negara Kekaisaran Berdasarkan Peralihan Sikon Internasional (Josei no Sui I ni tomonau Teikoku Kokusaku Yoko)”. Dengan demikian,

Kurasawa,Aiko, 1987,”Propaganda Media on Java Under Japanese 1942-1945”, dalam Indonesia No. 44, October 1987, hlm. 58.

September 1941 (tiga bulan sebelum pecahnya Perang Pasifik), Seksi Kedelapan Markas Besar Staf AD mulai menyusun sendenhan di setiap pasukan yang dikirim ke Selatan sebagai persiapan strategi baru. Sendenhan ini ditempatkan masing- masing satu di keempat pasukan yang dikirim ke Selatan, yakni pasukan ke-14 (Filipina), pasukan ke-15 (Birma / Myammar), Pasukan ke-16 (Jawa Borneo [Indonesia], dan pasukan ke-25 (Malaya [Malaysia dan Singapura]). 115 Keempat pasukan tersebut dipimpin oleh komando tertinggi Pasukan Selatan, yaitu Jenderal Toshikazu Terauchi. Sementara itu, komando Pasukan ke-16 dalah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, dan kepala stafnya adalah Mayor Jendral Seizaburo

Okazaki yang kemudian menjadi Gunseikan Jawa pertama. 116 Menurut Machida, 117 pertama-tama jumlah anggota di setiap sendehan

direncanakan 150 orang budayawan. Mereka harus mampu melaksanakan tugas- tugas : propaganda terhadap rakyat negara jajahan ; pemberitahuan ke Jepang ; dan juga penyuluhan perwira dan prajurit pasukan masing-masing. Kenyataanya, pihak militer mengalami kesulitan untuk mencari enam ratus orang budayawan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas seperti itu, sehingga pemilihan anggota menjadi sembarangan agar dapat mencukupi jumlah anggota

Hayasi, Shigeru, 1993, Nihon no rekishi 25: Taiheiyo Senso (Sejarah Jepang 25: Perang Pasifik), Tokyo: Chuo Koron Sha,hlm. 222.

115 Machida,Keiji, 1967, Tatakau Bunka Butai(Pasukan Budaya yang Berperang), Tokyo: Hara-shobo, hlm.21-22.

Machida,Keiji, 1978, Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang Militer : Pedang dan Pena), Tokyo: Fuyoshobo, hlm. 66-68. Di dalamnya ia menulis bahwa Jawa adalah seperti surga dan di sana ia hidup seperti Raja (Memoar Okazaki yang berjudul Tengoku kara Jigoku e “dari surga ke neraka”).

117 Machida,Keiji, op. cit, hlm. 22-23.

yang direncanakan. Sebenarnya, pembentukan Sendehan ini tidak selancar dugaan awal. Hal ini karena di kalangan militer masih ada yang meragukan manfaaat dari strategi perang ideologi dan menyayangkan pengeluaran dana khusus untuk itu. Staf Strategi Pasukan ke-16 Kolonel Shizuo Miyamoto juga berpendapat demikian. Ketika Penulis mendengar rekaman wawancara dengan Masaomi Tanaka masalah propaganda dan sensor, Kolonel Shizuo Miyamoto berkata tidak tahu sama sekali dan memang tidak pernah menaruh perhatian kapada hal-hal semacam itu. Selanjutnya ia berkata dengan nada sarkastis :

Propaganda itu pekerjaan orang-orang yang kurang baik dan pintar. Pada dasarnya, sebagai seorang militer, saya kira yang namanya

propaganda itu sesuatu yang kotor. 118

Mungkin rasa harga diri sebagai perwira tinggi-lah yang membuat Miyamoto mengatakan seperti itu. Namun, kenyataanya, untuk mengambil hati rakyat Indonesia agar rakyat Indonesia tidak melawan Jepang bahkan mau ikut berperang melawan Sekutu, keberadaan Sendehan sangat berbobot. Ia sendiri mengatakan,

“Tidak bias berbuat apa-apa kalau dimusuhi penduduk setempat.” 119 Pada 21 November 1941, diwamilkan 29 (30?) orang budayawan sebagai

gelombang pertama berdasarkan dekret Wajib Militer Nasional (Kokumin Choyo Rei 120 ) yang berlaku sejak 15 Juli 1939. Dekret ini dikeluarkan berdaarkan UU

mobilisasi Keseluruhan Nasional (Kokka Sodoin Ho). Pada masa itu masih banyak

Arsip Rekaman wawancara Shizuo Miyamoto (Mantan staf strategi Pasukan Ke-16 Angkatan Darat) di Jakarta pada tanggal 15 November 1996, Jakarta: Koleksi Perpustakaan Nasional.

119 Ibid.

Menurut Sakuramoto, 29 orang sedangkan menurut Kamiya,30 orang (ditambah Takeshi Araki). Sakuramoto, 1993, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), Tokyo: Aokishoten hlm. 44. dan Kamiya,”Joron (Pengantar)”. Tadataka Kamiya dan Kazuaki Kimura (ed.), 1996, Nanpo Choyo Sakka: Senso to Bungaku (Sastrawan Wamil Selatan: Perang dan Sastra), Kyoto: Sekaishiso-sha, (Seterusnya dirujuk sebagai Kamiya, “Joron”), hlm. 7.

Sampai sekarang kriteria pemilihan anggota Sendenhan tidak jelas, tetapi salah satu pendapat mengatakan itu untuk memberi pelajaran kepada mereka yang non- kooperatif terhadap militer. 123 Kritikus Sastra Ken Hirano yang pernah bekerja sebagai tenaga honorer di Seksi Ketiga Bagian Kelima Johokyoku mengakui adanya daftar hitam yang membagi sastrawan ke dalam tiga golongan :

kaum kiri, liberal, dan inovatif. 124 Dianggap sastrawan non-kooperatif adalah dua

121 Machida, Tatakau-,hlm. 367.

Uio Tomisawa, 1943, Jawa Bunkasen (Perang Budaya di Jawa), Tokyo: Nihon Buntai-sha, (Seterusnya dirujuk sebagai Tomisawa, Jawa-), hlm. 224.

123 Pada 1941 tersebar desas-desus bahwa Yoichi Nakagawa, peulis Ten no Yugao (1939), yang membuat daftar hitam dan mengajukannya kepada Johokyoku. Baca Hidetoshi Kuroda, 1976,

Chishikijin Genron Dan’atshu no Kiroku (Catatan mengenai Penindasan kebebasan Berbicara terhadap Cendikiawan) , Tokyo: Shiraishi-shoten.

Hirano, Ken, “Nihon Bungaku Hokokukai no Seiritsu (Bedirinya Nihon Bungaku Hokokukai )” dalam majalah Bungaku (Sastra) (Vol. 29. Mei 1961), Tokyo: Iwanami Shoten, hlm. 6-7.

Wamil terhadap budayawan dilakukan sampai gelombang ketiga pada tahun 1944 dan akhirnya jumlah penulis yang diwamilkan menjadi tujuh belas

orang lebih. 126 Mereka dibagi kedalam lima kelompok tergantung tempat kerja, yaitu daerah Malaya, daerah Birma, daerah Jawa Borneo, daerah Filipina, dan

angkatan laut. Tugas utama Hodohan di AL adalah pemberitaan ke Jepang, sedangkan Sendenhan di AD ditugaskan terutama untuk beraktifitas di daerah setempat. Masa tugas mereka bervariasi dari lima bulan sampai tiga tahun. Selain tujuh puluh orang penulis laki-laki diatas, ada juga sastrawati yang diutuskan ke Selatan sebagai sastrawati wamil sementara. Misalnya, novelis Fomiko Hayashi. 127 dan Kiyo Mikawa mengunjungi Rintaro Takeda di Jawa.

Hingga kini tidak jelas juga nama semua anggota Sendenhan di Pasukan Ke-16. Di sini Penulis hanya menyebut ke sembilan orang penulis yang dikirim ke daerah Jawa Borneo. Mereka adalah jurnalis Soichi Oya (1900-1970), Novelis Tomoji Abe (1903-1973), kritikus Akira Asano (1901-1990), novelis Rintaro Kitahara Takeda (1904-1946), novelis Takeo Kitahara (1907-1973), novelis Uio Tomisawa (1902-1970), penyair Atsuo Oki (1895-1977), novelis Kenji Oe (1905- 1987), dan novelis Jiromasa Gunji (1905-1973). Seperti telah disebut di atas, Asano Akira dan Uio Tomisawa pernah juga ikut Pen Butai yang dikirim ke Cina.

125 Machida, Tatakau-,hlm. 363.

Kamiya, Tadataka,1996, “Joron (Pengantar)” dalam Kamiya, Tadataka dan Kamirun,Kazuaki (ed), Nanpo Choyo Sakka: senso to Bungaku (Sastrawan wamil Selatan: Perang dan Sastra), Kyoto: Otori Shobo, hlm. 8-9.

Ia (1903-1951) adalah salah satu sastrawati yang paling aktif membantu perang. Sebelumnya ia juga menjadi anggota “pasikan pena”. Dan, di Jepang iamenjadi anggota Perkumpulan Sastrawati (Joryu Bungakushakai) di Hokokukai bersama Chiyo Uno, Fumiko Enchi, dan lain-lain.

Di Sendenhan sedikit sekali propagandis professional. Memang orang seperti itu susah dicari maka tanpa berfikir panjang pucuk pimpinan militer mencari budayawan-budayawan yang kira-kira bisa membantu. Sepulang dari Jawa, Kitahara menyesalkan kebijakan seperti itu. Ia menulis, “Operasi budaya itu mestinya dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya itu bukan orang awam seperti kami.” Menurutnya, operasi budaya itu ternyata merupakan pekerjaan yang bersifat politis murni bukan pekerjaan cultural. Semakin murni sebagai seniman, ia makin sulit melaksanakan tugas semacam operasi budaya. 128 Dalam Unabara Kitahara juga menulis sebagai berikut.

Ada sastra yang kebetulan berguna untuk propaganda akibat sastra itu bermutu sebagai seni, tetapi sejak zaman dahulu tidak pernah ada barang seni bermutu diantara karya yang sengaja di buat sebagai sastra

propaganda. 129

Salah seorang propaganda propesional adalah Hitishi himisu yang akan menjadi kepala Seksi propaganda di Sendenhan. Ia memulai karirnya di Cina pada tahun 1930-an dan pernah bekerja di Taisei Yokusankai dan Johokyoku. Adapun, Jabatan pemimpin, Sendenbu tidak pernah diserahkan ke tangan sipil dan selalu di kepalai perwira militer, yaitu kolonel Keiji Machida (agustus 1942-Oktober 1943), kemudian Maayor Hiyayoshi Adachi (Februari 1943- April 1945), dan

terakhir Kolonel Koryo Takahasi (Mei-Agustus 1945). 130 Sendenbu terdiri dari

Kitara, “Jawa no Bunka Kosaku (Operasi Budaya di Jawa)” dalam majalah Shincho (Maret 1943), hlm. 30-32., Kitahara “Gendai sishin no yukue (Haluan Jiwa Kini)’” dalam majalah Bungakukai (Mei 1943), Kitahara dan Kenzo Nakajima “Bunka no Honshitsu (Hakikat budaya)” dalam majalah Bungakukai (Juni 1943).

129 Unabara no. 46. 3 Mei 1942.

Kurasawa,Aiko,1992, Nihon senroy-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang) ,Tokyo: soshisha, hlm. 269.

Kedudukan para budayawan di Sendenhan adalah tenaga honorer. Pemilihan anggota Sendenhan dimulai Seksi ke delapan Markas Besar Staf AD Bagian Berita Departemen AD kemudian diserahkan kepada pemimpin barisan yang ditentukan. Pada bulan Oktober 1941, Letnan Kolonel Machida dipanggil ke Departemen AD dan diberi tahu oleh Mayor Jendral Seizaburo Okazaki bahwa ia ditunjuk sebagai pemimpin sendenhan Pasukan ke-16 yang kan diberangkatkan ke medan perang di Hindia Belanda jika terputus perundingan diplomasi yang dilakukan diantara Jepang dan Amerika. Kemudian Machida diberi penjelasan tersendiri mengenai apa yang dimaksud dengan barisan propaganda di Markas

Besar Staf AD. 132 Mengenai pemilihan anggota, terlebih dahulu Machida berunding dengan

Masao Nakayama, presiden direktur Rikugun Gaho Sha (perusahaan Majalah Bergambar Angkatan Darat). Dan mereka berdua memutuskan untuk memasukkan Soichi Oya sebagai anggota pertama, yang waktu itu sedang

berpropaganda lewat film di Manchuria. 133 Banyak anggota yang direkomendasikan oleh Oya. Orang penuh ide ini memilih penyair Oki, Penggubah Lagu Iida, stenogreafis Ariyama, pembuat balon untuk Reklame Fukuriya, dan lain-lain. Hitoshi Shimizu dipilih Nakayama sedangkan Tatsuo Ichiki dipilih Staf AD Murakami. Machida menyebut Ichiki sebagai “pengetahuan

Kurasawa, Aiko, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Peubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, hlm. 230. 132 Machida, Tatakau-,hlm. 362-364.

Sebagai penanggung jawab di Manshu eiga Kyosa Keimin eigabu (Bagian Film Penyuluhan Rakyat, Lembaga Film Manchuria).

“Indonesia-go (bahasa Indonesia)” Pada masa itu, sebagian besar orang Jepang menggunakan sebutan “Marai-go (bahasa melayu)” dan pada 29 April 1945

Jepang baru “mengganti” sebutan Marai-Go menjadi Indonesia-go). 135 Sebelum perang, Ichiki sudah menjadi wartawan surat kabar di Jawa dan

hilir mudik untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun, ia dipenjara kemudian diusir ke Jepang oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah itu, ia mendaftarkan diri untuk masuk Sendenhan sebagai penerjemah. Keberadaanya sedikit banyak akan mendorong para anggota Sendenhan untuk terlibat dalam

pergerakan kebangsaan di Indonesia. 136 Setelah Jepang kalah, ia juga tinggal untuk ikut perang kemerdekaan, kemudian gugur di Jawa. 137

Sastrawan Sutan Takdir Alisjabana adalah salah seorang yang akrab dengan Ichiki. 138 Pada Oktober 1942 didirikan komisi penyempurnaan Bahasa

134 Machida, Tatakau-,hlm. 364-366.

Tatsuo Ichiki, “Dokuritsu to Gengo: Indonesia-go no Susumubeki Michi (Kemerdekaan dan Bahasa: Arah Perkembangan Bahasa Indonesia yang semestinya)” dalam Shin Jawa (no.2. Vol.1. 1November 1944), hlm. 50-53., Kaoru Yasuda,”Indonesia-go no Hasshochi (Tempat Asal Bahasa Indonesia)” dalam Shin Jawa (no.7. Vol.2. 1 Juli 1945), hlm. 44.

Machida, Tatakau-,hlm. 366. Ada tiga orang penerjemah yang sangat membantu komunkasi antara anggota Sendenhan dan penduduk setempat,yaitu IChiki, Yoshio Nakatani, dan tatashi Tanaka. Akira Asano dan Uio Tomisawa, “Jawa sendenhan wo Chushin ni (Terutama tentang Sendenhan di Jawa)” dalam majalah Genchi Hokoku (Laporan Setempat) (November 1942), hlm. 102-103.

137 Machida, Keiji, 1967, Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena) , Tokyo: Fuyoshobo, hlm. 172.

138 Taniguchi, Goro, 1991, “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Research Materialis on the Japanese

Occupation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia, Tokyo:Ryukei Shosha, hlm.272-273, pada awal pendudukan Jepang Alisjahbana sebagai penerjemah di Seksi Perencanaan Gunseibu.

Indonesia (Indonesia-go Seibi Iinkai). 139 Disana ia menjadi anggotanya bersama Ichiki dan Pane bersaudara. 140 Dalam novel Kalah dan Menang yang berlatar belakang masa pendudukan Jepang, Alisjahbana mendatangkan seorang polisi Jepang yang bernama Ichiki. Ia mengakku sengaja memakai nama itu karena ia merasa dekat dengan Ichiki sebagai orang Jepang yang manusiawi selama masa

pendudukan Jepang yang penuh dengan kekejaman. 141 Sesuai pemilihan anggota, para anggota Sendenhan mulai mempersiapkan

diri. Dalam bukunya, Tatakau Bunka Butai [Pasukan Budaya yang Berperang], 142 Machida bercerita mengenai persiapan keberangkatan Sendenhan. Mereka sama- sama melakukan usaha percobaan untuk menyusun pekerjaan barisan propoaganda baru di AD. Pertama-tama, mereka memulai dari pembuatan poster serta naskah penyiaran dan pengumpulan alat-alat perhubungan serta piringan hitam untuk propaganda. Bahkan propaganda yang dianggapnya paling penting adalah bendera Merah Putih dan piringan hitam rekaman Lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan Tatsuo Ichiki dan kawan-kawan. Namun, kedua bahan ini akan dilarang digunakan oleh Markas Besar Kekaisaran tidak lama setelah lama berhasil mendarat.

Menurut seorang anggota Sendenhan, Kyochiro Shida, yang dikirim ke Sumatra, ketika mendarat di Sumatra, mereka diperintahkan untuk

139 Komisi ini bertugas untuk menentukan terminology. Pada akhir pendudukan Jepang, telah ditetapkan sekitar tujuh ribu istilah baru (Sutan Takdir Alisjahbana, 1988, Revolusi

Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, hlm. 76.

Keinchi Goto, 1993, Hi no Umi no Bohyo: Aru (Ajiashughisha) no Ruten to kiketsu (Batu Nisan di Lautan Api: Perjalanan dan Akhir seorang (Asiais) , Tokyo: Jijitsushin, hlm. 137.

141 Ibid, hlm. 221.

142 Machida, Tatakau, hlm. 15-18.

membangkitkan semangat rakyat setempat dengan menggunakan Bendera merah putih dan lagu Indonesa Raya. Akan tetapi, belum lampau seminggu lamanya, tiba-tiba hal itu dilarang. Kenyataannya, maklumat Markas Besar Kekaisaran sering berubah-ubah dan maklumat baru datang silih berganti sehingga sulit

terjadi hubungan saling percaya antara Markas Besar dan Pasukan-pasukan. 143 Tambahan pula, kenpeitai yang didatangkan dari Cina mengasari rakyat setempat,

sehingga hal-hal itu menyia-nyiakan usaha Sendenhan. 144

H Shimizu mengaku kenpeitai 145 sering mengganggu kegiatan Sendenhan. Menurut George

S.Kanahele, yang paling merusak hubungan antara Indonesia dan Jepang sejak awal kependudukan adalah kenpitai. Kenpeitai juga dianggap pejabat Besar bagi

banyak orang Jepang. 146 Adapun Machida menganggap pawai sebagai salah satu cara

berpropaganda yang efektif. Kepala Seksi propaganda H.Shimizu sering mengadakan pawai dalam berbagai upacara. Biasanya, pawai itu disertai musik dan bendera. Machida berpendapat seperti berikut:

Pawai yang diadakan tanpa bendera merah putih lagu Indonesia Raya hanya mematahkan selera. Parade yang memaksa melambai- lambaikan bendera Negara Jepang adalah hanyalah omong kosong bahkan

berefek negatif. 147

143 Machida, Aru Gunjin, hlm. 186.

144 Ibid.

145 Shimizu, Hitoshi, 1991, “Minshu Senbu Hitosuji ni (Memusatkan Seluruh Perhatian pada Propaganda Massa Rakyat)” dalam Forum for Research Materialis on the Japanese

Occupation of Indonesia. Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian: Indonesia di bawah Pendudukan Jepang), Tokyo: Ryukei Shosha, hlm. 157.

146 Kanahele, George s, 1977, The Japanese Occuption of Indonesia: Prelude to Independence. , hlm.97.

147 Machida, Tatakau, hlm. 252.

Sering kali Machida berkata merasa terenyuh jika ingat rasa cinta rakyat Indonesia terhadap bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya.