Kebijakan Jepang Mengenai Perfilman
1. Kebijakan Jepang Mengenai Perfilman
Tidak ada tempat-tempat lain seperti poelau Djawa ini jang moeda sekali mengoempoelkan penonton-penonton,karena dalam tempat
seketjil itoe berdiam 50 djoeta ra’jat jang gemar soenggoeh menonton. 207 dari “Tentang Bagian Film” (1943) Soichi Oya
Presiden Republik Indonesia Soekarno pernah menyatakan bahwa film sudah banyak membantunya untuk mengadakan perubahan di tanah airnya. Pada masa kemerdekaan (10 September 1946) pemerintah RI dan Pusat Peredaran Pilm Indonesia (PPPI) di Yogyakarta membentuk Komisi Pemeriksaan Film dan menegaskan bahwa film merupakan satu alat politik maka film harus bersifat mendidik. 208 Paham seperti ini dipegang pemerintah RI hingga kini. “Film bukan semata-mata barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan penerangan.” 209
Kalimat ini terdapat di Lampiran A Angka I Sub 16 TAP No.II/MPRS/1960 yang berlaku selama ini.
Sebenarnya sejak pertama kali diperkenalkan di Indonesia, film dianggap dapat mengubah pandangan dan perilaku orang. Film yang lahir di perancis pada tahun 1895 masuk ke negeri Sakura pada tahun 1897. Tiga tahun kemudian, barang ajaib yang bernama “gambar idoep” itu masuk ke Indonesia. Lama kelamaan film yang didatangkan dari Barat dianggap mempertontonkan hal-hal
207 Djawa Baroe no.9 1.5.2603, hlm. 8.
208 Rita Sri Hastuti, “Berjuang di Garis Belakang” dalam Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 46-47.
Ibu R. Sawarno, “Sekarat di Pasar Bebas” dalam Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 180.
menggunting (film) dengan seenaknya saja” 210 agar tidak merusak citra bangsa kulit putih. Rupanya, Jepang juga menyadari kekuatan film yang dapat
mempengaruhi pandangan orang dengan cepat. Jelasnya, film dianggap oleh pemerintah Jepang jauh lebih penting dan berpengaruh sebagai alat propaganda daripada karya sastra. Pada tahun 1934 pemerintah Jepang membentuk Panitia
Pengontrol Film (Eiga Tosei Iinkai). 211 Pada bulan Juli 1938 Kementerian Dalam Negeri Pemerintahan Jepang
dalam rapat dengan wakil-wakil penulis scenario mengeluarkan perintah mengenai indoktrinasi termuat dalam isi film yang dikehendaki. Laporannya
sebagai berikut. 212
1. Gagasan individualistis pengaruh Barat harus dihapuskan.
2. Semangat Jepang, terutama kebajikan system keluarga, harus ditonjolkan, dan semangat pengorbanan diri demi keuntungan Negara dan masyarakat harus didorong.
3. Film harus mengambil peran positif dalam mendidik massa kearah pengesampingan westernisasi di kalangan kaum muda, khususnya para gadis.
4. Tingkah laku dan ucapan yang sembarangan dan sembrono harus disingkirkan dari layar, dan harus dilakukan upaya untuk memperkuat penghargaan kepada kaum tua.
Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 21.
211 Junichiro Tanaka, 1976, Nihin Eiga Hattatsushi (Sejarah Perkembangan Film Jepang) (jilid 3), Tokyo: Chuo Koron, hlm. 151, dikutip kembali dari Kurasawa, Noson, hlm. 579.
212 Jawa Nenkan, hlm 174.
Kemudian, pada 1 Oktober 1939 pemerintah itu mengeluarkan “Undang- Undang Film (Eiga Ho)” guna menghambakan film kepada Negara. 213 Pada tahun
1940, diberikan petunjuk tambahan oleh Kementerian Dalam Negeri sebagai berikut. 214
1. Apa yang diinginkan ialah film hiburan yang logis (sehat), dengan tema positif.
2. Pem unculan pelawak dan badut dalam film belum begitu dibatasi pada tahap ini, tetapi mungkin akan dibatasi jika timbul ekses.
3. Yan
g berikut ini harus dilarang: cerita-cerita dengan sifat borjuis kecil; semata-mata penggambaran kebahagiaan pribadi; adegan wanita merokok; adegan “café” (tempat hiburan yang menyediakan minuman keras); tingkah laku sembarangan dan sembrono.
4. Disa rankan supaya film yang diproduksi menyajikan sector-sektor produktif di masyarakat, seperti kehidupan desa.
5. Pen yensoran naskah praproduksi dilakukan dengan ketat dan jika ditemukan hal-hal yang tidak diinginkan, maka diperintahkan untuk melakukan penulisan ulang scenario cerita.
Sejak awal pendudukan memang kontrol sepenuhnya atas dunia perfilman merupakan salah satu tugas yang mendesak bagi pemerintah militer. Segera setelah Angkatan Darat ke-16 menduduki Jawa, staf Barisan Propaganda, yang menyertai operasi militer, menyita seluruh perusahaan film. Pada awal bulan Oktober 1942, sebuah organisasi sementara untuk menjalankan ini disebut Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa) yang dikepalai oleh Oya Soichi, seorang kritikus Jepang terkemuka yang berkerja sebagai staf Sendenbu.
Berdasarkan Kementerian Dalam Negeri Pemerintahan Jepang dan undang-undang “Undang-Undang Film (Eiga Ho)” ini, semua film disponsori dan diarahkan supaya tidak merugikan pemerintah. Film didistribusikan oleh Shadan-
213 Junichiro Tanaka, op.cit., hlm 580
Ibid.
hojin Eiga Haikyu Sha (Perusahaan Distribusi Film (badan hukum)), dan majalah- majalah film juga diawasi setelah digabungkan atau dibredel oleh Nihon Eiga Zasshi Kyokai (Lembaga Majalah Film Jepang). 215