Aturan yang dipergunakan Karakteristik Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa

72 peserta yang terlibat atau mendapat bantuan bibit tidak tercatat dan tidak diadministrasikan dengan baik. Prosedur hampir mirip dilakukan PT. BKL, dengan mencari kemungkinan KIBARHUT di lahan milik atau lahan negara yang dapat ditanami Sengon. Petugas BKL meminta bantuan ellite desa mencarikan lahan dan merekrutnya sebagai koordinator pelaksana Tipe 2 di Sukaraja. Pola yang dikembangkan adalah melakukan penyuluhan 48 sebagai upaya mencari kesepakatan awal. Jika petani sudah paham dan setujusepakat maka kemudian berangkat untuk mengikuti pertemuan sosialisasi dengan BKL. Pada kemitraan Tipe 3 di Sukaraja, PT. BKL menawarkan kerjasama penanaman jenis FGS ke ADMKepala KPH Tasikmalaya 49 . Tawaran tersebut dianggap strategis karena penanaman FGS dan adanya jaminan pasar merupakan antisipasi tepat, pada saat kondisi tanaman Perum Perhutani Unit III, khususnya di KPH Tsm, didominasi kelompok umur KU muda. Dikarenakan nilai kerjasama yang lebih dari Rp 1 milyar, maka diperlukan legalitas Kantor Unit sehingga nota kesepahaman dilakukan Unit dan PT. BKL. Selanjutnya, kegiatan dilaksanakan dalam kerangka program PHBM. Kesepakatan tersebut ditindaklanjuti sosialisasi kegiatan bertempat di Kantor Kecamatan, kantor BKL di Rajapolah, atau di Balai Desa. Sosialisasi dihadiri Perangkat Desa, Badan Perwakilan Desa, tokoh agama dan masyarakat. Isi sosialisasi secara garis besar adalah tentang i bagi hasil kayu yang diterima masing-masing pelaku; ii bagi hasil dihitung dari hasil pendapatan bersih penjualan kayu; iii harga sesuai harga di pasar saat panen; iv kayu ditebang jika lilitan 80 cm dan dijual ke BKL; v jika secara teknis kayu sudah siap tebang, tapi petani belum mau menebang maka penebangan ditunda; vi penebangan dilakukan oleh petani atau melalui paguyuban penggergajian di sekitar lokasi tanaman yang menjadi mitra BKL. Kesepakatan selanjutnya dikukuhkan dengan perjanjian kerjasama yang ditandatangani i PT. BKL dan koordinator wilayah korwilketua kelompok Tipe 2 serta diketahui Kepala Desa; ii KPH Tasikmalaya, BKL dan Ketua KTH Tipe 3. Korwil atau Ketua KTH menandatangani kesepakatan dan bertindak selaku wakil petani berdasarkan surat kuasa yang ditandatangani petani anggota kelompoknya. 48 Lebih condong ke upaya mendiskusikan tawaran kemitraan yang datang dari PT. BKL dan mencari kesepakatan dengan peserta potensial KIBARHUT. 49 Informasi ini disampaikan oleh Nana Rukana, ADMKKPH Tasikmalaya pada saat itu. 73 PT. KTI melakukan KIBARHUT karena keinginan ikut menjaga kelestarian hutan dan menjaga kesinambungan pasokan bahan baku yang sesuai spesifikasi kualitas dan ukuran kayu untuk proses produksinya. Pendekatan PT. KTI dilakukan terhadap semua lini termasuk Perum Perhutani, PTPN XIII dan perkebunan swasta, perorangan, sekolah, perguruan tinggi, LSM, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah. Kemitraan Tipe 2 di Krucil dilakukan melalui pendekatan ke tokoh agama yang mempunyai kharisma, menjadi panutan dan dipercaya rakyatnya yaitu Bapak Abdul Qodir Al-Hamid Habib Qodir. Kerjasama diawali penanaman di lahan milik Habib Qodir. Melihat adanya keberhasilan, prospek menguntungkan kedua pihak, dan adanya saling kepercayaan, maka pada tahun-tahun berikutnya kegiatan diperluas ke lahan milik warga. Proses selanjutnya adalah membangun kesepakatan dengan peserta potensial Tipe 2 Krucil. Peserta yang bersedia dan sepakat terlibat dengan situasi aksi yang telah disosialisasikan, selanjutnya melakukan perjanjian tertulis dengan KP selaku mitra antara. KP kemudian melakukan perjanjian kerjasama dengan KTI dan sekaligus mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT. Pada kemitraan Tipe 3 di Krucil, tawaran kerjasama dilontarkan PT. KTI untuk mengelola lahan kebun kopi Blok Ayer Dingin yang terlantar. Tawaran diajukan ke PUSKOPAD Brawijaya Malang sebagai pemilik izin HGU dan Aviland selaku penyewa sebagian lahan HGU. Kesepakatan ditindaklanjuti perjanjian kerjasama KIBARHUT dengan Aviland; sedangkan pada lahan HGU yang tidak dikelola Aviland, maka PT. KTI menyewa lahan tersebut dari PUSKOPAD melalui PT. KTI Bermi Krucil KTI bk. Selanjutnya, Aviland dan KTI bk bersama-sama PT. KTI melakukan sosialisasi ke calon penggarap, dan membuat kesepakatan serta perjanjian tertulis dengan petani. Petani mendapatkan hak menggarap lahan dan izin membudidayakan tanaman tumpangsari, asalkan bersedia menanam dan memelihara pohon KIBARHUT. Berdasarkan uraian tersebut, kesepakatan kerjasama KIBARHUT tercapai melalui prosedur perolehan kerjasama contracting process, yang dituangkan dalam suatu kontrak. Proses diawali tawaran kerjasama oleh INPAK ke calon peserta potensial perangkat desa, tokoh masyarakat, instansi pemerintah, perusahaan swastaBUMS, atau perusahaan negaraBUMN. Tawaran kerjasama merupakan 74 tahapan awal yang terdiri atas pengenalan diri INPAK dan peserta, sosialisasi kemitraan, keuntungan yang diperoleh para pelaku yang terlibat, dan kemungkinan tindak lanjut pelaksanaannya sehingga tercapai kesepahaman awal untuk melangkah ke tahapan berikutnya. Peserta calon pelaku menindaklanjuti dengan evaluasi atau penilaian internal. Khusus di Perum Perhutani, ADMKepala KPH melaporkan dan meminta persetujuan ke Unit atau Direksi 50 . Tahapan berikutnya adalah proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan kerjasama, penentuan input share 51 dan bagi hasil. Proses ini merupakan keputusan antara INPAK dan mitra antara Perusahaan MitraKoordinatorKeltan. Selanjutnya, informasi adanya kemitraan membangun hutan dengan INPAK disampaikan ke petani melalui sosialisasi yang melibatkan INPAK, mitra antara, dan petani. Sosialisasi merupakan media untuk mendapatkan kesediaan, penerimaan dan kesepakatan terhadap butir-butir pokok kemitraan. Keberhasilan sosialisasi menggapai kesepakatan karena ada kesamaan preferensi yang menjadi pemahaman umum, pemberian harga pasar yang berlaku dan kepastian pasar kayu KIBARHUT, sehingga menambah daya tarik petani untuk sepakat bermitra. Kesepakatan pra-kontraktual dan persetujuan seluruh pelaku yang terlibat selanjutnya dikukuhkan dalam surat perjanjian sebagai aturanketentuan pelaksanaan rules-in-use dalam kontrak KIBARHUT. Hasil kajian kontrak KIBARHUT disajikan pada Lampiran 6. Berdasarkan hasil telaah sebagaimana pada Lampiran 6, bentuk perjanjian pada hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 adalah dibuat tertulis namun sederhana dan sangat ringkas. Bentuk kontrak tersebut oleh Salim 2002 dikategorikan sebagai kontrak informal yaitu suatu perjanjian yang tidak memiliki kepastian hukum hak dan kewajiban bagi para pelakunya sehingga hanya memiliki fungsi ekonomis. Pada hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 dan 3, bentuk perjanjian dibuat tertulis dengan cara tertentu sehingga dapat menjadi bahan bukti autentik di pengadilan dan karenanya berfungsi ekonomis–yuridis. Namun, hanya Tipe 3 di Sukaraja yang merupakan kontrak tertulis dengan akta notaris atau dibuat dihadapan notaris, sedangkan tipe lainnya merupakan perjanjian standar dan dibuat dengan tidak melibatkan notaris. 50 Persetujuan hanya sebatas kesepahaman melakukan kerjasama, dan kerjasama detail didelegasikan ke ADMKKPH SK No. 400KptsDir2007 tentang Pedoman umum Pengembangan Usaha Perhutani 51 Proporsi input faktor produksi yang menjadi kewajiban mitra dalam pelaksanaan KIBARHUT. 75 Kontrak surat perjanjian kerjasama didefinisikan sebagai suatu kesepakatan untuk melakukan tindakan yang bernilai ekonomi oleh pelaku, dengan adanya tindakan balasan atau pembayaran dari pelaku yang lain. Kontrak KIBARHUT yang ditelaah sejumlah 32 buah terdiri atas i 10 kontrak formal dan 5 kontrak informal antara Hilir dan mitra antara, ii 3 kontrak formal dan 1 kontrak informal antara Hilir dan Hulu; iii 4 kontrak formal dan 4 kontrak informal antara mitra antara dan Hulu; iv 5 surat kuasa 52 antara mitra antara dan Hulu 53 . Telaah terhadap 32 surat perjanjian kerjasama ditemukan adanya 56 aturan yang ditetapkan dalam hubungan kontraktual KIBARHUT. Kelimapuluhenam aturan tersebut, dalam kerangka hubungan principal-agents, dipetakan menjadi 12 kelompok indikasi aturan sebagaimana pada Tabel 12. Kelimapuluhenam hal yang diatur tersebut, tidak seluruhnya terdapat dalam satu surat perjanjian. Hubungan antara pemasok dengan Hilir pada KIBARHUT Tipe 1 hanya menetapkan 9–15 aturan, sedangkan pada Tipe 2 dan Tipe 3 memuat 29–41 aturan. Kompleksnya hubungan kerjasama ditandai dengan fungsi dan kewenangan Hilir terhadap hasil panen ternyata berhubungan dengan jumlah aturan berkaitan dengan sanksi, upaya mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunis. Kewenangan Hilir terhadap hasil panen memuat kewajiban Hulu menjual atau memprioritaskan penjualan kayu KIBARHUT ke Hilir, termasuk menentukan waktu pelaksanaan pemanenan yang disesuaikan kebutuhan industri. Adanya hak Hilir terhadap kayu KIBARHUT merupakan ketentuan formal yang dinyatakan bervariasi, antara 2 aturan yang diatur di Bawang dan 3–4 aturan yang diatur di Sukaraja dan di Krucil. Ketentuan tentang kewenangan tersebut terindikasi dalam klausul aturan, bahwa Hilir wajib menampung danatau memasarkan hasil produksi kayu. Kewenangan ini didukung adanya 8 aturan yang mengatur kontribusi share Hilir, terhadap faktor produksi yang dipergunakan Hulu untuk melaksanakan KIBARHUT. 52 Surat kuasa dibawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan dan dibuatkan secara tertulis oleh para pihak, bukan akta autentik karena tidak menggunakan akta notaris Salim, 2002 53 Pada Tipe 1, tidak ada perjanjian tertulis antara mitra antara Keltan desa dengan petani. Tabel 12 Indikasi aturan tertuang dalam surat perjanjian kerjasama No Indikasi Aturan Jumlah Analisis Butir 1 Hilir mempunyai share terhadap faktor produksi 8 14,29 Proses produksi menggunakan assets milik Hulu dan Hilir. Indikasi adanya kepemilikan asset yang dipergunakan, menyebabkan Hulu dan Hilir merasa memiliki hak terhadap sebagian komoditas yang dihasilkan. Karenanya imbalan bagi hasil dihitung berdasarkan proporsi partisipasi para pelaku. Namun, tindakan balasanimbalan tersebut belum menghitung kemungkinan eksternalitas positif kepastian pasokan kayu yang muncul dari pelaksanaan KIBARHUT 2 Hulu mempunyai share terhadap faktor produksi 6 10,71 3 Upaya mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunis 6 10,71 Upaya mencermati perilaku Hulu, dan menjamin keberhasilan pembangunan hutan dan hasil panennya akan dipasok ke perusahaan kinerja Hulu mampu memberikan manfaat sebagaimana yang diharapkan Hilir. Pengakuan dan pencermatan terhadap hulu merupakan upaya yang menimbulkan biaya agency cost. Mobilisasi petugas termasuk biaya transportasi untuk pengamanan, monev, dan pengawasan diperlukan untuk menjamin tidak adanya perilaku oportunis. Selain mengoptimalkan kinerja petugas lapangan, Hilir juga mengupayakan melalui aturan formal harga pasar, sanksi pengurangan proporsi bagi hasil, memanfaatkan saluran pemasaran sampai ke lokasi, dan menjalin kerjasamamediasi dengan elite tokoh panutan warga. 4 FungsiKewenangan Hilir atas kayu hasil panen 6 10,71 Kewenangan hilir terhadap hasil panen didukung adanya kontribusi terhadap faktor produksi, dan juga karena hilir menguasaimemiliki pasar untuk komoditas yang diproduksi dari pelaksanaan KIBARHUT. Pemanenan disepakati jika pohon mencapai diameter 30cm atau keliling 80cm dengan umur pohon minimal 4 tahun. Pada kondisi pasar kayu di Pulau Jawa saat ini, aturan perlu dilengkapi klausul kemungkinan penebangan pohon dibawah diameter minimal atau belum mencapai umur minimal, tapi telah mempunyai nilaiukuran komersial. Penetapan saat panen menjadi krusial karena Hilir menghadapi kemungkinan hulu memasok kayu ke pihak lain dan mempertimbangkan opportunity cost penggunaan asset dengan daur semakin panjang. 5 FungsiKewenangan Hulu atas kayu hasil panen 1 1,79 Hanya ada 1 hal yang diatur tapi, secara subyektif, Hulu memiliki kekuatan tawar untuk mengancam keberlangsungan pasokan kayu ke Hilir. Karenanya Hilir, secara obyektif, menjamin harga beli kayu sesuai harga pasar dan, secara subyektif, mengoptimalkan petugas lapangan, memanfaatkan saluran pemasaran yang bekerja efektif, dan menjalin kerjasamamediasi dengan elite atau tokoh panutan rakyat. 6 Kewenangan menentukan bentuk pengelolaan 1 1,79 Kewenangan menentukan teknissistem silvikultur dimiliki Hilir Tipe 2 Sukaraja, Tipe 3 Sukaraja, dan Tipe 3 Krucil. Aturan ini upaya subyektif Hilir menjamin kinerja Hulu dalam melaksanakan proses produksi guna mewujudkan komoditas yang diperjanjikan. Di lapangan, aturan dikomunikasikan petugas teknis principal dan koordinator mitra antara ke petani mitra agents, khususnya di Tipe 2 dan Tipe 3. 7 Penggunaan faktor produksi untuk komoditas lain 1 1,79 Upaya menjaga harmoni dan tanggungjawab sosial terhadap petani. Merupakan imbalantindakan balasan atas kesediaan petani penggarap melakukan pengolahan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman pokok, ditambah imbalan proporsi bagi hasil panen. Aturan ini sekaligus pengalihan tanggungjawab untuk melaksanakan ketiga kegiatan tersebut yaitu dari mitra antara ke petani. 76 77 Tabel 12 Lanjutan No Indikasi Aturan Jumlah Analisis Butir 8 Transfer of Right 3 5,36 Kontrak secara formal mengatur hak kepemilikanpemanfaatan komoditas output yang besarannya ditentukan sesuai input produksi yang dikeluarkan para pelaku. Kontrak formal juga mempunyai pengaturan ahli waris. Pada bukan lahan milik terdapat pengalihan hak dari pemegang kuasa ke petani penggarap authorised users berupa hak garap yang bersifat sementara. Selanjutnya pengalihan hak yang diperjanjikan adalah adanya kesepakatan untuk memanfaatkan komoditas hasil panen KIBARHUT untuk kebutuhan bahan baku INPAK. 9 Partisipasi mitra dalam pelaksanaan kegiatan 6 10,71 Positif, karena menumbuhkan jalinan relasional dalam suatu kontrak formal. Partisipasi mitra mencakup upaya pengorganisasian petani, pengamanan tegakan dan pelaksanaan pemanenan. Aturan yang mengatur partisipasi dapat diarahkan menjadi upaya menanamkan esensi, atau budaya “siapa menanam akan memanen” sehingga tidak ada yang menjadi “free-rider”. Pemanenan tanpa diikuti penanaman memberikan eksternalitas negatif, dan kelestarian usaha para pelaku petani, INPAK dan mitra antara menjadi terganggu. 10 Sanksi atas terjadinya wanprestasi dan kepatuhan terhadap regulasi 9 16,07 Ada yang dinyatakan secara spesifik dan ada yang tidak spesifik. Termasuk kepatuhan tersebut adalah aturan yang mengatur tentang pembayaran pungutan PSDH, SAKB sesuai peraturan perundangan yang berlaku Tipe 2 dan Tipe 3 dan sanksi sesuai ketentuan hukum jika terlibat pidana hutan Tipe 3. Wanprestasi adalah suatu cidera janji atau segala bentuk kelalaian, yaitu tidak melaksanakan sebagian atau seluruh kewajiban, terlambat melaksanakan kewajiban, serta pelaksanaan kewajiban tidak sesuai dengan yang diperjanjikan Salim, 2002. Aturan ini mengatur kemungkinan pihak yang dirugikan menyelesaikan melalui jalur hukum. Namun, tidak adanya ukuran yang spesifik menyebabkan kemungkinan interpretasi yang rancu atau multitafsir. Aturan yang spesifik memberikan jaminan perlindunganpengamanan tegakan hanya terdapat pada Tipe 3 Sukaraja. Aturan tersebut merupakan suatu permintaanpernyataan jaminan kinerja. Perlu suatu aturan yang sangat spesifik dan tidak menimbulkan multitafsir serta kerancuan interpretasi jika terjadi sengketa. 11 Antisipasi terhadap kemungkinan perselisihan perdata 3 5,36 Kontrak KIBARHUT dibuat tidak terlampau kompleks. Terdapat perjanjian formal bersifat court enforceable contract , tetapi norma sosial juga mempunyai peran penting dalam pelaksanaannya. Perlu dibuka peluang melibatkan lembaga mediasi guna i menghindari kemungkinan perilaku oportunis dan ii memfasilitasi keberlangsungan pasokan KB dari Hulu ke Hilir. Fasilitasi diperlukan sebagai konsekuensi kepercayaan dan kesukarelaan antara Hulu dengan Hilir sehingga keberlangsungan pelaksanaan KIBARHUT dapat terwujud. 12 Get what you pay for siapa menanam akan memanen 6 10,71 Aturan mencakup pengaturan bagi hasil sebagai imbalan atas “investasi” yang dikeluarkan selama proses produksi untuk menghasilkan komoditas KB. Aturan ini dapat diperluas untuk keperluan menjamin bahwa hulu bertindak untuk memuaskan Hilir memasok KB dikaitkan dengan aturan yang berkaitan dengan sanksi. Jumlah 56 100 77 78 Tabel 12 menunjukkan bahwa upaya Hilir memastikan dan menjamin bahwa Hulu memasok hasil panen, didukung 6 aturan yang mengindikasikan upaya Hilir mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunissub optimal dari Hulu. Ditemukan adanya aturan yang mengatur sanksi di Tipe 2 Sukaraja 5 aturan, Tipe 2 Krucil 3 aturan, Tipe 3 Sukaraja 6 aturan, dan Tipe 3 Krucil 5 aturan, sedangkan di Tipe 1 Bawang tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi. Tidak adanya sanksi dapat menjadikan kelembagaan tidak bermakna karena tidak adanya resiko hukuman untuk berperilaku oportunis atau ingkar janji. Terjadinya perilaku oportunis menjadikan pasokan kayu KIBARHUT ke INPAK Hilir adalah tidak terjamin. Pada sisi lain, terdapat juga ketentuan atau norma tidak tertulis yang dijalankan, dan menjadi ketentuan yang melekat bagi keterlibatan peserta dalam pelaksanaan KIBARHUT di lahan milik. Legalitas pemilikan lahan merupakan syarat mutlak 58 yang harus dipenuhi karena pengelolaan hutan memerlukan proses produksi yang cukup lama hingga siap panen 59 . Legalitas lahan milik cukup beragam, yaitu berupa: i sertifikat hak milik; ii Letter CPetok D; iii Girik; iv Surat Pembayaran Pajak Tanah SPPT. Upaya pembuktiannya sudah menjadi kebiasaan yang ada di lokasi dan diakui peserta, sehingga pengaturan rinci tidak dituliskan secara formal dalam kontrak. Peserta diminta membuktikan kepemilikan lahan secara hukum legal aspect dan sosial. Intinya adalah bahwa lahan kegiatan kemitraan i bukan merupakan lahan jarahan; ii bukan tanahlahan yang bermasalah, iii ada pernyataan atau persetujuan saudara-saudaranyaahli waris bahwa lahan tersebut akan ditanami pohon berkayu secara bermitra dengan INPAK Hilir. Poin ketiga harus dipenuhi jika lahan yang diajukan ternyata bukti kepemilikan lahannya atas nama orang lain. Pembuktian tersebut harus diketahui oleh aparat desa, sehingga memudahkan petani selaku mitra pada waktu panen nantinya. Legalitas kepemilikan lahan milik tersebut menjadikan pelaksanaan di lahan milik mempunyai jaminan kepastian hak pemanfaatan dan 58 Legalitas lahan merupakan kondisi prasyarat enabling conditions berlangsungnya pengelolaan hutan secara lestari. Indikator ini terdapat dalam skema sertifikasi sukarela misal Standar LEI 5000-2, Standard LEI 5000-3 atau skema mandatory verification Dephut SK Menhut No. 4795Kpts-II2002 untuk hutan alam dan SK Menhut No. 177Kpts-II2003 untuk hutan tanaman. 59 Masripatin dan Priyono 2006 memperkirakan sekitar 6–10 tahun, tetapi petani mulai melakukan tebangan ketika pohon berumur sekitar 4 tahun atau telah mencapai diameter minimal 10 cm. 79 penggunaan lahan bagi petani dibandingkan pelaksanaan di bukan lahan milik lahanhutan negara. Pada sisi lain, penjarangan atau tebangan pada pohon muda berdiamater kecil juga menjadi kondisi umum dan kebiasaan petani. Situasi umum tersebut mendorong INPAK Hilir menyesuaikan dengan ikut menampung kayu kecil melalui sawmill lokalafiliasi di Sukaraja dan Krucil, berupaya membiasakan petani untuk memanen pohon pada umur daurnya melalui fasilitas kredit tunda tebang di Bawang dan Krucil, dan pemberlakuan harga pasar berdasarkan kelas diameter, termasuk harga premium pada pemasaran kayu KIBARHUT di Sukaraja dan di Krucil. Pelaksanaan KIBARHUT juga dengan adanya keterlibatan ellitetokoh warga yang dipercaya dan dihormati warganya. Keterlibatan dan peran tokoh warga tersebut sebagai penghubung informasi dan komunikasi para pelaku, sekaligus membina dan memotivasi petani peserta.

3. Pelaku actors kelembagaan KIBARHUT

Pelaku yang terlibat dalam kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa adalah i INPAK; ii Petani; iii Perusahaan MitraKoordinatorKeltan. Jika model transaksi pasokan bahan baku 60 dari Gibbons 2005 dijadikan acuan mendefinisikan principal– agents maka INPAK disebut Hilir downstream parties atau principal murni dan petani sebagai Hulu upstream parties atau agents murni. Perusahaan MitraKoordinatorKeltan adalah mitra antara yang bertindak sebagai agents pada hubungan tingkat pertama, tetapi menjadi principal pada hubungan tingkat kedua. a. INPAK INPAK selaku principal kelembagaan KIBARHUT di lokasi contoh, adalah: i PT. BKL group di Kab. Tasikmalaya; ii PT. SGS group di Kab. Batang; dan iii PT. KTI di Kab. Probolinggo. KIBARHUT dimulai sejak tahun 1999 di PT. KTI sebagai langkah uji coba, dan mulai aktif diimplementasikan pada tahun 200102. Dua tahun kemudian atau pada tahun 200304, PT. SGS dan PT. BKL juga melakukan kegiatan KIBARHUT. Deskripsi ketiga INPAK tersebut adalah sebagaimana hasil kajian berikut ini. 60 Menggambarkan hubungan kemitraan atas transaksi penawaran suatu komoditas transaksi supply dengan mempertimbangkan adanya Hilir, Hulu dan kepemilikan assets Gibbons 2005. 80 1 PT. Bineatama Kayone Lestari PT. Bineatama Kayone Lestari BKL 61 memproduksi moulding dan komponen bahan bangunan, khususnya daun pintu dan bare core 62 . Produk bare core dipasarkan ke Taiwan, Korea, Cina, Singapura dan Malaysia dan dijual lokal ke beberapa pabrik block board di Jawa Barat. PT. BKL juga adalah IUIPHHK yang memproduksi veneer yang dipakai sendiri guna memproduksi block board. Bahan baku menggunakan kayu kelompok jenis Meranti dan Rimba Campuran, serta Sengon. Pasokan kayu Meranti dan Rimba Campuran berasal dari Kalimantan, sedangkan kayu Sengon dari hutan rakyat di sekitar pabrik terutama dari Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Sumedang, dan Kuningan. Mengantisipasi pasokan kayu Sengon yang semakin terbatas, PT. BKL melaksanakan KIBARHUT sejak tahun 2003. Visi yang disosialisasikan adalah “Hutan Lestari, Masyarakat Mandiri, Investasi Kembali”. KIBARHUT dilakukan di: i hutan negara dikelola Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, yaitu di KPH Tasikmalaya, KPH Garut dan KPH Sumedang; ii tanah kas desa TKD atau pengangonan bekerjasama dengan pemerintah desa setempat; iii lahan HGU kebun, kerjasama dimulai tahun 200304 tetapi penanaman direalisasikan bertahap pada tahun 200304–200506 dan dilanjutkan pada tahun 200809 dan seterusnya; iv lahan milik TNI di Ciamis, dan v lahan milikperorangan. Realisasi KIBARHUT terfokus di 4 kabupaten di Jawa Barat, yaitu Tasikmalaya, Garut, Sumedang, dan Ciamis. Selama kurun waktu 4 musim tanam, PT. BKL mengklaim telah melakukan kemitraan membangun hutan seluas 3.381,46 ha dengan rincian sebagaimana pada Tabel 13. Pada tahun tanam 200708, hampir seluruh bibit yang dipasok pihak penyedia tidak memenuhi standard bibit berkualitas layak tanam 63 sehingga tanaman banyak yang tidak tumbuh dan mati. Kegiatan dianggap gagal dan dilakukan penanaman 61 Beroperasi berdasarkan izin usaha dari Kepala Kanwil Depperindag Prov. Jawa Barat No. 003 Kanwil.10.08.18IHPKbIz.00.03IV99 tanggal 27 April 1999. 62 Bare core adalah bentuk produk setengah jadi yang dipergunakan sebagan bahan baku produk kayu bersifat jadi seperti pintu atau meja. Bare core merupakan bahan lembaran tengah untuk block-board dimana face-backnya menggunakan veneer. 63 Bibit berkualitas memenuhi syarat layak tanam di lapangan jika: i berumur 2,5–3 bulan, ii tinggi bibit mencapai 25–30 cm, iii diameter batang minimal 3 mm pada leher akar, iv daun utuh dan batang tidak rusak, v tanah dan perakaran yang bagus dalam kantong plastik yang tidak boleh pecah SNI 1-5006.1-1999 : Mutu Bibit; SNI 01-5006.6-2001 : Mutu benih Jeungjing; SNI 01-5006.7-2002 : Istilah dan definisi yang berkaitan dengan perbenihan dan pembibitan tanaman kehutanan.