Rangkuman Sintesa Temuan KESIMPULAN DAN SARAN
174
diantara para pelakunya. Menurut Ostrom 2005, kelembagaan yang demikian telah mampu menciptakan dan memberikan jaminan pasar yang kompetitif.
Jaminan pasar merupakan kewajiban principal sebagai bentuk pemenuhan hak agents
, yang diperlukan untuk mendukung keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT. Jaminan pasar tersebut dalam bentuk i mengoperasikan log supplier yang
bekerjasama dengan sawmill afiliasi di sekitar lokasi tegakan; ii adanya lembaga pemasaran koperasi yang mempunyai akses langsung ke INPAK principal; iii
pemberian fasilitas kredit tunda tebang; dan iv pembelian kayu dengan harga pasar dan pemberian bonusinsentif berupa tambahan harga premium price.
Pada kontrak non-formal tidak ditemukan adanya aturan yang mengatur sanksi sehingga resiko terpapar hukuman karena ingkar janji atau berperilaku oportunis
adalah rendah, tidak efektifnya pengawasan dan tidak efektifnya jalinan komunikasi. Hasil temuan juga menunjukkan perilaku oportunis agents 76,7 dan oportunis
principal skor 3 pada KIBARHUT dengan kontrak non-formal terindikasi lebih
tinggi dibandingkan pada kontrak formal oportunis agents berkisar 13,3 – 40 dan oportunis principal dengan skor 1. Tingginya indikasi perilaku oportunis berdampak
pada sulitnya penegakan kontrak dan tidak adanya umpan balik aksi balasan memadai yang diterima para pelakunya. Penegakan hak dan upaya meminimalkan
resiko ingkar janji moral hazard sekaligus membatasi pemanfaatan kayu oleh pelaku lain, yaitu dengan mengalokasikan biaya kemitraan atau agency costs diasumsikan
sebagai kenaikan 5 biaya input produksi ternyata menjadikan kelembagaan KIBARHUT adalah tidak layak bagi principal di kontrak non-formal. Temuan
menunjukkan bahwa penegakan hak dan peluang keberlanjutan pada kontrak non- formal adalah terkendala dan sulit terwujud karena tingginya perilaku oportunis yang
dilakukan para pelaku KIBARHUT principal dan agents. KIBARHUT dengan kontrak formal di lahan negara Tipe 3 mempunyai
kejelasan hukum atas kontrak, tetapi rendahnya strata hak kepemilikan agents tidak ada jaminan kepastian pemanfaatan lahan karena adanya sanksi pencabutan hak garap
di Sukaraja dan Krucil, dan tidak adanya bagi hasil kayu bagi agents di Krucil menyebabkan tetap adanya permasalahan dorongan untuk berperilaku oportunis atau
ingkar janji moral hazard. Perilaku oportunis agents dengan tujuan memperpanjang waktu akses budidaya tanaman semusimtumpangsari, sekaligus mempertahankan
175
hak garap lahan. Tidak diperolehnya bagi hasil kayu berdampak pada perilaku oportunis agents di Tipe 3 Krucil yang terindikasi lebih tinggi 33 dan kinerja
kelayakan usaha lebih rendah BC ratio = 1,25 dan IRR = 35 dibandingkan Tipe 3 Sukaraja indikasi oportunis 20, BC ratio = 1,98 dan IRR = 36.
Kelembagaan KIBARHUT juga mempunyai permasalahan adverse selection kesalahan memilih mitra atau para pelaku yang terlibat. KIBARHUT pada kontrak
non-formal tidak menjalankan proses perolehan kontrak yang disepakati sehingga agents
pada kontrak non-formal tidak hanya warga yang mendaftar, tetapi juga yang tidak terdaftar sebagai agents. Pada sisi lain, kegagalan hubungan kemitraan dengan
mediasi Keltan Desa selaku mitra antara yang dibentuk hanya sebagai pemenuhan syarat kemitraan pada kontrak non-formal, menunjukkan bahwa hubungan yang
mendadak dilakukan instant di antara para pelakunya dan pemilihan mitra antara yang sudah banyak berkiprah di berbagai sektor pembangunan sedapat mungkin harus
dihindari. Adanya kesalahan memilih mitra di kontrak non-formal terjadi karena tidak ada penegakan dalam proses perolehan kontrak contracting process yang dapat
membatasi atau menentukan keikutsertaan pelaku dalam kelembagaan KIBARHUT, sehingga manfaat yang diharapkan mempunyai kendala untuk dapat diwujudkan.
Temuan penelitian juga menunjukkan relatif sempitnya luasan lahan ± 0,2 ha per petani yang dimanfaatkan untuk membangun hutan KIBARHUT dan tingkat
pendidikan agents yang rendah, sehingga keterlibatan mitra antara tokohelite warga dan tenaga lokal adalah diperlukan untuk kelancaran dan menjembatani
hubungan agents dan principal. Keterlibatan mitra antara ditunjukkan dengan mayoritas 95,6 kelembagaan KIBARHUT adalah hubungan kontraktual 2 tingkat.
Mitra antara berperan dalam membina hubungan kemitraan, memotivasi agents,
menyampaikan informasi dan menjalin komunikasi, serta berperan sebagai pengawas guna mencermati komitmen para pelaku dalam mematuhi kontrak.
Keterlibatan mitra antara juga menghasilkan kelayakan finansial lebih baik bagi principal
di Tipe 2 Krucil, yang ditunjukkan dengan nilai IRR 1,14 dan BC ratio 18 lebih tinggi dibandingkan hubungan 1 tingkat atau tanpa keterlibatan dan peran
mitra antara IRR = 1,07 dan BC ratio = 17. Pada hubungan 2 tingkat tersebut
sebagian kegiatan biaya kelembagaan KIBARHUT dilakukan mitra antara, sehingga beban principal menjadi berkurang. Keberhasilan hubungan kemitraan pada
176
kontrak formal juga didukung adanya keterlibatan pelaku yang merupakan tokoh ellite warga sekaligus yang mempunyai pengaruh dan disegani agents, dan petugas
teknis yang secara rutin dan berkala mengunjungi agents. Principal
juga mendapatkan manfaat positif sebagai imbalan terhadap korbanan biaya yang dikeluarkan. Hasil analisis finansial menunjukkan kelayakan finansial
untuk masing-masing pelaku, termasuk bagi principal BC ratio berkisar 1,02 – 2,90 dan IRR berkisar 16 – 47. Hasil PAM menunjukkan adanya surplus konsumen
sebesar 42,3 yang dinikmati konsumen kayu tanaman hasil KIBARHUT. Adanya surplus konsumen yang dinikmati principal tersebut sebagian diantaranya
dikembalikan ke agents dalam bentuk pemberian bonus harga tambahan, atau premium price
sebesar rata-rata Rp 10.000 per m³ dan fasilitas kredit tunda tebang dengan subsidi pembiayaan dari principal.
Hasil PAM juga menunjukkan bahwa belum ada kebijakan policy transfer yang memberikan insentif bagi pembangunan hutan KIBARHUT. Hasil ini
ditunjukkan dengan nilai NPCO 1 sehingga harga output kayu tanaman di pasar domestik masih lebih rendah dibandingkan harga dunianya. Terdapat perbedaan
disparitas antara harga dunia sebesar 35,8 dibandingkan harga pasar domestik, atau terdapat disparitas sekitar 25,5 antara harga pasar domestik dibandingkan harga
paritasnya di pintu pabrik. Adanya selisih harga tersebut secara sederhana dianggap memadai untuk membiayai berbagai biaya-biaya terkait ekspor kayu bundar KB
hasil tanaman. Jika pemerintah membuka keran ekspor secara ekstrim tanpa pengenaan tarif bea keluar, maka akan terjadi lonjakan ekspor KB sehingga terdapat
kemungkinan kekurangan pasokan bahan baku INPAK di dalam negeri. Kebijakan alternatifnya adalah membuka keran ekspor kayu tanaman dengan menerapkan
pajaktarif bea keluar sebesar minimal 12,75 pada harga patokan eskpor sekitar US 109. Jika harga patokan ditetapkan lebih rendah dari US109, maka tarif bea keluar
dapat dikenakan lebih tinggi dari 12,75 dan sebaliknya. Pengenaan tarif bea keluar adalah untuk menghambat kenaikan harga yang terlampau tinggi dan menstabilkan
pasokan INPAK di dalam negeri sekaligus peningkatan pendapatan negara. Kebijakan guna mendukung terwujudnya keberlanjutan kelembagaan
KIBARHUT adalah kebijakan yang memfasilitasi dan mengapresiasi. Kebijakan yang memfasilitasi terlaksananya pembiayaan kredit tunda tebang dengan subsidi
177
pembiayaan oleh INPAK dapat menjadi alternatif kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan hutan tanaman. Simulasi analisis menggunakan tingkat pembiayaan
lebih rendah dari pembiayaan pasar yaitu sebesar 6 mulai tahun ke–4, telah secara nyata meningkatkan nilai keuntungan privat private profit pengelola hutan. Nilai
PCR dengan adanya kredit tunda tebang adalah lebih kecil 0,538 dibandingkan tanpa fasilitas kredit 0,701, sehingga meningkatkan keunggulan kompetitif atau memiliki
tingkat efisiensi lebih baik dibandingkan tanpa adanya kredit tunda tebang. Nilai PC juga meningkat dari rata-rata 0,577 menjadi 1,324 menunjukkan bahwa kebijakan
subsidi bunga pada kredit tunda tebang merupakan kebijakan yang efisien, dan membuat keuntungan diterima petani menjadi lebih besar dibandingkan tanpa adanya
kebijakan tersebut. Sintesa hasil temuan–temuan tersebut adalah bahwa tingginya strata hak
kepemilikan property rights yang melekat pada pelaku ternyata belum memberikan jaminan penegakan kontrak dan keberlanjutan hubungan kemitraan, jika tidak
diimbangi kejelasan tingginya kepastian hukum atas kontrak, termasuk adanya aturan yang mengatur sanksi guna meminimalkan dorongan pelaku melanggar
kepakatan kontrak, atau berperilaku oportunis yang dapat menganggu keberlanjutan hubungan. Dengan demikian, hubungan kemitraan seharusnya diikat dan diwujudkan
dalam suatu kontrak yang memiliki jaminan kepastian hukum dan strata hak kepemilikan yang tinggi. Selanjutnya, kepuasan terhadap bagi hasil contract share
terwujud jika ada keseimbangan secara proporsional antara manfaat hak yang diterima dengan biaya kewajiban yang dikeluarkan. Kepuasan terhadap bagi hasil
menjadi dasar kesediaan para pelaku untuk terus bersedia bekerjasama, sehingga terjadi keberlanjutan atau interaksi yang berulang repeated games dengan
didasarkan pada saling percaya yang diperoleh dari pengalaman dan pertemanan yang sudah dan akan terus berlangsung.