Teori Kemitraan dan Kontrak
14
principal bahwa agents bertindak sesuai kepentingan principal, dan permasalahan
pembagian resiko karena kedua pihak mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang berbeda terhadap resiko usaha. Karena unit analisisnya adalah kontrak maka teori
kemitraan berfokus pada efisiensi dan keberlanjutannya dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya manusia, organisasi, dan informasi Eisenhardt, 1989.
Faktor manusia sebagai pelaku kemitraan adalah penting karena agency relationship
sangat bergantung dari sifat dasar manusia terhadap adanya resiko Nugroho, 2003, dan ciri-ciri yang melekat pada masyarakat yang diharapkan terlibat
menjadi pelaku kemitraan participants who had possibility to be the prospective actors
. Ostrom 2005 mengungkapkan berbagai sifat pesertapelaku kemitraan yang diperkirakan berpengaruh pada keberlangsungan kemitraan, yaitu: i norma perilaku
yang secara umum diterima masyarakat, ii tingkat pemahaman umum peserta untuk memperoleh, memproses dan memanfaatkan dalam proses memilih dan menentukan
jenis aksi, iii adanya homogenitas preferensi dari semua yang ada di masyarakat iv kepemilikan dan distribusi sumberdaya pada semua pelaku.
Karenanya, kesepakatan dan keberlangsungan suatu kontrak tergantung dari situasi aksi dan lingkungan kelembagaannya. Jika pengguna sumberdaya berasal dari
berbagai komunitas berbeda dan tidak ada saling kepercayaan diantara mereka, maka tugas untuk menjaga keberlanjutan kemitraan dan penegakan aturan menjadi
meningkat. Nugroho 2003 menyatakan adanya satu kesepakatan kontrak yang disebut
sebagai bahu-membahu interlocking. Pada sistem bahu membahu maka principal menyediakan seluruh atau sebagian dana, termasuk juga manajemen pengelolaan dan
teknologi, sedangkan lahan dan tenaga kerja umumnya disediakan agents. Kondisi ini menyebabkan secara tidak langsung agents merasa mempunyai keterkaitan dengan
principal tying of labour, sedangkan principal mendapat jaminan atas produksi
komoditas yang dihasilkan agents interlocked transaction. Kedua model tersebut tying of labour dan interlocked transaction biasanya dilakukan sebagai solusi
terhadap kompleksitas hubungan dengan masyarakat yang masih berpola subsistence. Pengaturan kontrak tertentu yang masuk akal dilakukan organisasi terhadap
suatu faktor produksi untuk mencapai tujuan yang sudah digariskan dan dikoordinasikan oleh para pemiliknya. Organisasi menciptakan kondisi dimana setiap
15
pihak dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan pihak lain pada biaya transaksi dan pencarian informasi yang ekonomis dan efisien Kasper dan Streit,
1998. Pertukaran ekonomi berkaitan kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan pandangan ekonomi kelembagaan selalu mempunyai 2 dua atribut, yaitu adanya
asymmetric information ketidaksepadanan informasi dan kemungkinan perilaku
oportunis opportunistic behavior dari para pelaku Barney dan Ouchi, 1986. Asymmetric information
terjadi jika satu atau lebih pihak mempunyai informasi yang lebih baik mengenai kualitas suatu produk atau jasa yang dipertukarkan
dibandingkan pihak lain, sehingga tidak terjadi proses komunikasi dan pertukaran informasi yang seimbang antara para pelaku kemitraan. Asymmetric information
bukan berarti tidak dimilikinya informasi, tetapi terkadang informasi tersebut tidak dapat diperoleh dan berbiaya tinggi sampai dengan pertukaran terjadi, atau terkadang
diperoleh namun sudah sangat terlambat
10
. Munculnya asymmetric information dan adanya kepentingan pribadi yang tidak selalu sama antara para pelaku kemitraan,
mempengaruhi tindakan yang dilakukan para pelaku Gambar 1.
P A
A sy
m metr
ic In
fo rmatio
n
Kontrak
Performa
Kepentingan pribadi
Kepentingan pribadi
Gambar 1. Ide dasar Agency Theory sumber: Wikipedia
Hal ini mengakibatkan pertukaran tersebut rawan terhadap resiko salah pilih mitra adverse selection pada ex ante sebelum kejadian dan bahaya ingkar janji
moral hazard pada ex post setelah kejadian, dan bahkan dalam suatu kemitraan terdapat kemungkinan terjadinya double moral hazard Maskin, 2001. Salah satu
10
Fenomena ini tergambarkan dengan jelas dalam Lemons Tragedy dari Akerloff 1986 dimana pembeli tidak mempunyai informasi sempurna tentang kualitas produk yang dibelinya disebabkan tidak
semua barang di pasar berkualitas baik karena bercampur dengan barang berkualitas buruk lemons.
Gambar 1 Ide dasar agency theory sumber: en.wikipedia.orgwikiprincipal-agent_problem
16
bentuk moral hazard adalah munculnya perilaku oportunis dari salah satu pihak yang melakukan pertukaran. Perilaku oportunis umumnya terjadi pada situasi ex post atau
disebut sebagai oportunis pasca kontrak post-contractual opportunistic behavior. Perilaku oportunis adalah kegiatan yang dilakukan oleh salah satu pihak, dengan
memanfaatkan informasi atau kelebihan lain yang dimiliki, untuk mengeksploitasi ekonomi pihak lain demi keuntungannya. Kartodihardjo 2006b dan Yustika 2006
menyatakan bahwa perilaku oportunis adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui praktek yang tidak jujur dan tipu muslihat dalam kerjasama, yang seringkali
diikuti oleh sifat menipu, mencuri, dan melalaikan kewajiban. Dalam suatu hubungan kemitraan, kedua pihak principal dan agents akan
berupaya memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun karena salah satu pihak khususnya agents menguasai informasi yang lebih baik,
sehingga terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk tidak selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan
munculnya insentif godaan bagi satu atau lebih pelaku khususnya agents untuk berperilaku menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan dan
utilitasnya sendiri Eisenhardt, 1989; Gibbons, 2005. Permasalahannya adalah bahwa pada kenyataannya principal tidak pernah tahu
dengan agents mana seharusnya hubungan kemitraan atau kontrak kerjasama dilakukan. Principal juga tidak dapat mencermati secara sempurna aksi dan perilaku
yang dilakukan oleh agents, serta bagaimana isi kontrak seharusnya dibuat Maskin, 2001. Solusinya adalah memformulasikan suatu mekanisme insentif berdasarkan
ketersediaan dan keseimbangan informasi, manfaat dan nilai-nilai yang dimiliki principal
dan agents. Insentif merupakan instrumen atau perangsang dalam pertukaran ekonomi yang
berbentuk langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi keputusan dan mengubah perilaku para pelaku ekonomi dengan menggunakan pertimbangan
finansial atau non-finansial
11
. Upaya menjamin agents melakukan tindakan optimal guna kepentingan principal adalah tidak mungkin tanpa biaya, sedangkan konflik
11
Pemahaman ini disarikan dari Webster’s Third New International Dictionary 1961, Kamus Umum Bahasa Indonesia karya WJS Poerwadarminta 1976, Kamus Besar bahasa Indonesia edisi ketiga,
McNeely 1992, dan Webster’s New World College Dictionary 3
rd
Edition 1996.
17
kepentingan antara principal dan agents selalu terjadi
12
. Jika tidak tercapai trade off antara para pelaku KIBARHUT dan ini menjadi perhatian agency theory maka
konflik terus berlanjut. Konflik berkelanjutan, bersamaan dengan mekanisme pemberian jasa dan
pengawasan yang dilakukan untuk mengurangi konflik memerlukan biaya kemitraan atau agency costs Jensen dan Meckling, 1986. Agency costs diartikan sebagai biaya
yang dikeluarkan para pelaku kemitraan untuk mengawasi atau meyakinkan pelaku lainnya dan mencakup biaya atas konflik kepentingan yang tidak terselesaikan antara
para pelaku. Agency costs selalu muncul dalam setiap kegiatan yang melibatkan upaya kerjasama oleh dua atau lebih orang walaupun hubungan tersebut tidak dinyatakan
sebagai suatu hubungan principal-agents. Hubungan kemitraan principal agents relationships juga tidak terlepas dari
hak kepemilikan individu yang harus ditegakkan sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Spesifikasi hak kepemilikan individu individual property rights
menentukan bagaimana costs and rewards dialokasikan diantara para pelaku kerjasama. Kontrak juga harus mampu merinci dan mendefinisikan dengan baik hak
ekonomi dari para pelaku, sehingga keuntungan yang diharapkan dapat tercapai; dan dapat menghindari sengketa yang memerlukan biaya untuk menyelesaikannya Fama
dan Jensen, 1986. Spesifikasi hak tersebut umumnya tergantung kontraktual implisit atau eksplisit sehingga perilaku individu atau pelaku kemitraan dalam suatu
kerjasama sangat tergantung sifat alami dari suatu kontrak. Gibbons 2005 mengajukan model insentif suatu hubungan kemitraan yang
dapat menggambarkan transaksi penawaran suatu komoditas transaksi supply antara
dua organisasi yang tidak terintegrasi. Analisa kontrak insentif tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi petani danatau pemilik lahan sebagai pihak hulu
upstream parties, INPAK sebagai pihak hilir downstream parties dan kepemilikan asset lahan, tenaga kerja, modal, dan sebagainya. Pihak hulu dapat menggunakan
asset miliknya untuk membuat produk yaitu kayu bundar yang dapat digunakan sebagai input dalam proses produksi oleh pihak hilir.Lebih lanjut, Gibbons 1998;
2005 mengungkapkan bahwa model insentif yang dapat diaplikasikan dalam suatu transaksi pasokan bahan baku supply adalah juga berdasarkan suatu kontrak formal
12
Hal ini terjadi karena selalu terdapat perbedaan antara keputusan agents dengan keputusan yang diharapkan dapat memaksimumkan kesejahteraan principal.
18
atau kontrak relasional. Kontrak formal atau court-enforceable contract maupun kontrak relasional yang diterapkan dalam aplikasi transaksi supply, mempunyai 2
dua variasi yaitu kontrak kemitraan yang terintegrasi dan kontrak tidak terintegrasi. Pengingkaran terhadap suatu kontrak kemitraan sangat tergantung dari kepemilikan
asset dari para pihak yang terlibat Kepemilikan assets membedakan apakah transaksi ekonomi yang dilakukan
adalah di antara kontrak yang tidak terintegrasi atau di dalam perusahaan kontrak yang terintegrasi, karena dalam kepemilikan asset melekat pula kepemilikan terhadap
barang Gibbons, 2005. Artinya, jika pihak hulu adalah pemasok lepas sekaligus pemilik asset maka dapat menjual barangnya ke pihak hilir yang berbeda, sedangkan
jika pihak hulu adalah pekerja maka pihak hilir adalah pemilik barang. Jika pihak hilir adalah pemilik barang maka pihak hilir dapat memiliki barang tersebut tanpa perlu
membayar hargabonus yang dijanjikan. Tetapi jika pihak hulu adalah pemilik barang maka i pihak hulu dapat mengancam menjual barangnya ke pembeli alternatif
sehingga membatasi kemampuan pihak hilir untuk mengingkari pembayaran hargabonus yang sudah dijanjikan, dan ii dengan pihak hulu menjadi pemilik barang
maka menciptakan insentif bagi pihak hulu untuk menghasilkan barang berkualitas tinggi bagi pembeli alternatif, dan ini dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar
bargaining position pihak hulu terhadap pihak hilir yang menjadi mitranya. Pada berbagai situasi, godaan mengingkari adalah minimal di antara para pihak
yang terintegrasi, namun terdapat situasi dimana godaan mengingkari adalah minimal diantara para pihak yang tidak terintegrasi. Gibbons 1998 menyatakan bahwa
integrasi pekerja di hulu dapat dianggap sebagai solusi terhadap kemungkinan eksternalitas kemitraan, namun integrasi berdampak biaya terhadap dua hal yaitu
pengadaan sumberdaya sebagai bahan baku produksi dan dimensi pilihan kualitas produksi.
Dengan demikian, insentif berkekuatan lebih besar terdapat pada keadaan non- integrasi Gibbons, 2005, karena hargabonus subyektif yang optimal dari
memproduksi barang berkualitas baik adalah lebih tinggi bagi pemasok lepas dibandingkan pekerja. Jika pihak hulu memiliki barang, maka pihak hilir tidak dapat
mengingkari hargabonus yang dijanjikan kecuali telah memiliki barang tersebut pemasok lepas di hulu dapat secara bebas mengembangkan komoditas yang
19
dibutuhkan pihak hilir mitranya, sekaligus juga berguna bagi pihak hilir alternatif yang bukan mitranya.
Hubungan petani dengan industri perkayuan juga menghadapi kendala yang sama. Pada situasi dimana petani kesulitan memperoleh pembeli kayu alternatif, maka
secara tidak langsung kayu menjadi khusus sehingga harus dijual ke industri tertentu. Pembeli dapat mengingkari janji dengan memaksa petani menjual kayu pada nilai
yang ditentukan di ex post oleh industri. Pada kondisi dimana penggunaan alternatif adalah memungkinkan, maka petani mempunyai kemungkinan menjual komoditas
yang telah diperjanjikan ke pihak lain dengan harapan nilai imbalan yang lebih tinggi. Hubungan kontraktual principal–agents menjadi efisien jika tingkat harapan
manfaat dan keuntungan rewards kedua pihak seimbang dengan korbanan masing– masing dan biaya yang minimal untuk pembuatan kontrak atau kesepakatan. Kontrak
juga menjadi lebih efisien untuk ditegakkan jika pelaku tidak sepenuhnya bergantung ke pihak lain, karena apabila terjadi maka memudahkan adanya eksploitasi oleh pihak
yang menjadi gantungannya. Secara umum bentuk kontrak mencirikan perbedaan di antara perusahaan dan mampu menjelaskan alasan bertahan dan berkelanjutannya
suatu perusahaan dan kemitraan yang dilakukan Fama dan Jensen, 1986. Kontrak perlu disusun dengan membuat aturan main yang dapat dikontrol dan diawasi secara
seimbang dan menjadi aturan yang dipergunakan rules-in-use oleh para pelaku
kemitraan, sehingga dapat ditegakkan secara sukarela enforceable contract. Kontrak juga harus dapat menjamin bahwa keuntungan dari berbuat curang adalah lebih rendah
dari manfaat mematuhi kontrak Maskin, 2001, Ostrom, 2005; Yustika, 2006.