Evaluasi keberlanjutan KIBARHUT Keberlanjutan Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa

151 tingginya indikasi oportunis agents 76,7 di Tipe 1 kontrak non-formal dibandingkan Tipe 2 dan Tipe 3 Tabel 33. Perilaku oportunis tidak hanya dilakukan agents tetapi juga dilakukan principal sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 33. Perilaku ingkar janji principal pada kontrak non-formal skor 3 terindikasi lebih tinggi dibandingkan pada kontrak formal. Tingginya perilaku oportunis berdampak rendahnya komitmen untuk penegakan kontrak pada kontrak non-formal. Artinya, tidak adanya jaminan kepastian hak dan kewajiban para pelaku menyebabkan hubungan menjadi tidak berarti dan tidak bermanfaat bagi semua pelaku yang terlibat actors, sehingga sulit mewujudkan keberlanjutan kontrak di KIBARHUT dengan kontrak non-formal Tipe 1. Temuan tersebut diatas menunjukkan bahwa para pelaku di KIBARHUT Tipe 1 mempunyai kecenderungan tidak mematuhi komitmen awal yang telah diatur dalam kontrak, yang tercermin dari tingginya indikasi perilaku oportunis pasca kontrak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis kesatu adalah tidak sesuai dugaan semula pada kontrak non-formal. Pada KIBARHUT dengan kontrak formal Tipe 2 dan Tipe 3 maka dugaan “adanya komitmen pelaku KIBARHUT untuk menegakkan kontrak sehingga menjamin diperolehnya manfaat sesuai korbanan biaya yang dikeluarkan” adalah sesuai. b. Kedua : kelembagaan KIBARHUT menghasilkan manfaat benefit bagi pelakunya yang dapat menjadi insentif positif untuk keberlangsungan investasi pembangunan hutan KIBARHUT Kajian terhadap manfaat yang dihasilkan kelembagaan KIBARHUT bagi para pelakunya menunjukkan bahwa fungsi produksi dari para pelaku KIBARHUT dapat diturunkan dua kali dan memenuhi syarat negatif terbatas Tabel 20 sehingga disimpulkan bahwa pelaku telah berperilaku efisien dalam mengalokasikan input- input produksinya. Berdasarkan analisis finansial, KIBARHUT terbukti memiliki kelayakan secara finansial berdasarkan analisis secara total Tabel 23 dan berdasarkan sudut pandang masing-masing pelakunya Tabel 24. Kelayakan finansial ditunjukkan dengan NPV yang bernilai positif, BC ratio 1 dan tingkat pengembalian investasi IRR i tingkat bunga yang dipersyaratkan. KIBARHUT juga memiliki keunggulan kompetitif PP positif dan PCR 1 dan keunggulan komparatif SP positif dan DRC 1 sebagaimana pada Tabel 25. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua diterima kebenarannya, sehingga dugaan 152 “adanya manfaat diperoleh para pelaku yang dapat menjadi insentif untuk keberlangsungan investasi pembangunan hutan KIBARHUT” adalah sesuai pada semua Tipe KIBARHUT di Pulau Jawa. c. Ketiga : output produksi kayu dialokasikan pada pasar kayu yang kompetitif sehingga mendukung kesediaan pelaku untuk terus membangun hutan KIBARHUT Kajian terhadap alokasi komoditas yang dihasilkan output atau pasar kayu KIBARHUT menunjukkan bahwa motivasi pelaku untuk memproduksi kayu tercermin dari upaya membangun hutan KIBARHUT yang terus berlangsung sejak 20012002 di Krucil, dan sejak tahun tanam 20032004 di Bawang dan Sukaraja. Kegiatan KIBARHUT terus berlangsung sampai dengan sekarang, dan telah mencapai sekitar 14.537,12 ha tersebar di 20 kabupaten pada 4 provinsi di Pulau Jawa. Para pelaku KIBARHUT juga termotivasi untuk membangun hutan dengan adanya kemudahan pemasaran kayu KIBARHUT. Kemudahan pasar kayu dan jaminan harga pasar didukung adanya saluran pemasaran khas sebagai jaminan pasar yang merupakan komitmen principal pada pelaksanaan KIBARHUT. Mekanisme tersebut pada kontrak formal dilakukan melalui KUP sawmill afiliasi di Sukaraja, melalui koperasi KAMkti dan sawmill afiliasi di Krucil, dan khusus pada kontrak formal di lahan milik dilengkapi adanya pemberian tambahan harga premium price. Pada kontrak non-formal pun terdapat saluran pemasaran melalui koperasi GMS di Bawang walaupun belum terealisasi di lapangan. Mekanisme tersebut ternyata mampu memotivasi para pelaku untuk memproduksi menanam, dan membangun hutan secara terus menerus, serta dapat memasarkan kayu tanaman hasil KIBARHUT secara efektif dan mudah. Namun demikian, upaya membangun hutan KIBARHUT di Tipe 1 kontrak non-formal dengan hubungan 1 tingkat tidak berkelanjutan. Hubungan kelembagaan tersebut terjalin dengan hanya satu orang petani agents di Desa Surjo, Bawang dan hanya terjadi pada tahun 2004. Agents tidak bersedia melanjutkan hubungan kemitraan pada periode selanjutnya karena menganggap adanya sebagian danabantuan principal yang tidak disalurkan atau disalurkan petugas lapangan, tetapi jumlahnya tidak sesuai yang dijanjikan. Pada sisi lain, principal menyatakan sulitnya mencari mitra kerjasama, yaitu petani perorangan agents yang memiliki atau 153 menguasai lahan dalam satu hamparan yang relatif luas 99 , sebagai argumen tidak adanya keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak non-formal. Upaya memotivasi para pelaku melalui keteraturan hubungan adalah juga upaya menegakkan kontrak untuk meminimalkan resiko gagalnya tujuan kelembagaan KIBARHUT. Upaya tersebut dapat juga dilakukan principal dengan mengalokasikan biaya untuk berbagai macam pengeluaran guna pemantauan, pengamanan, dan koordinasi agency costs. Hasil analisis kepekaan sensitivity analysis pada Tabel 34 menunjukkan bahwa, adanya agency costs diasumsikan sebagai kenaikan biaya input produksi sebesar 5 masih memberikan kelayakan finansial berdasarkan analisis secara total. Jika analisis berdasarkan masing-masing pelakunya, maka analisis finansial adalah tidak layak bagi principal di kontrak non-formal karena tidak adanya umpan balik aksi balasan memadai dari pelaku yang lainnya. Situasi ini berkaitan dengan tingginya perilaku oportunis antara para pelaku pada kelembagaan dengan kontrak non-formal. Kelembagaan menjadi tidak bermakna bagi para pelakunya sehingga peluang keberlanjutan menjadi terkendala. Berdasarkan temuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol pada hipotesis ketiga adalah tidak sesuai dugaan semula pada KIBARHUT dengan kontrak non-formal. Pada KIBARHUT dengan kontrak formal, hipotesis ketiga yaitu dugaan “pasar kayu KIBARHUT kompetitif dicirikan adanya motivasi para pelaku untuk terus memproduksi menanam dan memasarkan komoditas yang dihasilkan KIBARHUT secara efektif dan mudah” adalah sesuai. d. Sintesis hipotesis utama : kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa berlangsung secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil kajian dan temuan ketiga hipotesis pendukung diketahui bahwa pada kontrak non-formal Tipe 1 terdapat dua hipotesis pendukung yang tidak sesuai dugaan semula yaitu hipotesis kesatu dan hipotesis ketiga, serta satu hipotesis yang sesuai dugaan semula yaitu hipotesis kedua. Dengan demikian dapat 99 Walau tidak ada aturan tertulis, petugas principal mengakui bahwa KIBARHUT dapat dilaksanakan jika agents mempunyai lahan cukup luas sekitar 5 ha yang siap dikerjasamakan. Lahan tersebut sedapat mungkin terhampar dalam satu kawasan yang tidak terlampau terpencar dan siap dikerjasamakan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dan menekan biaya distribusi bibit, pemantauan, dan pengorganisasian KIBARHUT. Hal ini cukup sulit dipenuhi agents secara perorangan, karena pengusahaan lahan milik petani di Kec. Bawang relatif sempit yaitu sekitar ± 0,2 ha. Dengan demikian, KIBARHUT pada hubungan 2 tingkat adalah menjadi solusinya, yaitu beberapa agents bergabung dalam kelompok tani. 154 disimpulkan bahwa hipotesis utama penelitian pada KIBARHUT dengan kontrak non- formal di lahan milik adalah tidak sesuai dugaan semula. Pada KIBARHUT dengan kontrak formal di lahan milik Tipe 2 dan di lahan negara Tipe 3 maka ketiga hipotesis pendukung adalah sesuai dugaan semula, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis utama dalam penelitian ini adalah sesuai dugaan semula sehingga kelembagaan KIBARHUT dengan kontrak formal mempunyai peluang untuk berlangsung secara berkelanjutan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya kepastian hak kepemilikan yang dilengkapi adanya kesepakatan dan kejelasan kontrak memberikan jaminan kepastian hak yang dinikmati menjadi manfaat dan jaminan pelaksanaan kewajiban dari para pelakunya. Jaminan disertai adanya aturan yang mengatur sanksi guna meminimalkan dorongan pelaku melanggar kesepakatan komitmen kontrak atau berperilaku oportunis yang dapat mengganggu keberlanjutan hubungan kemitraan. Dengan demikian, hak kepemilikan yang tidak diimbangi kepastian hukum atau lengkapnya kesepakatan yang diatur dalam kontrak menjadikan para pelaku tidak memiliki insentif memadai untuk terus menerus bersedia berinvestasi membangun hutan, sehingga hubungan kemitraan kelembagaan KIBARHUT menjadi terkendala dan tidak berkelanjutan.

3. Kebijakan berkaitan kelembagaan KIBARHUT

KIBARHUT atau kegiatan kemitraan membangun hutan yang dilakukan industri pengolahan kayu INPAK tidak diatur dalam suatu kebijakan yang spesifik dan khusus. Namun demikian, terdapat 2 dua kebijakan yang mempunyai keterkaitan peluang dan mendukung pelaksanaan KIBARHUT yaitu : a. PP No. 6 Tahun 2007 jo No. 32008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan Membuka peluang adanya kerjasama dengan penduduk lokalsetempat dalam melakukan pengelolaan dan pembangunan hutan hutan alam, hutan tanaman, hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan. Sebagaimana termuat di Pasal 83, pasal 84 huruf c, dan Pasal 99 yaitu pemberdayaan masyarakat setempat dapat melalui kemitraan berdasarkan kesepakatan kedua pihak dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. 155 b. Permenhut No. P.35Menhut-II2008 jo. No. P.9Menhut-II2009 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil hutan Jaminan pasokan bahan baku dapat berasal dari hutan hakhutan rakyat dengan dilengkapi rencana pengadaan bibit, penanaman atau kerjasama penanaman Pasal 32. Aturan ini mengakomodir secara langsung dan nyata kepentingan INPAK, yaitu persyaratan administrasi operasional dan perijinan industri dipenuhi dengan memberikan bukti tertulis adanya kerjasama dalam membangun hutan, yang hasil panennya nanti dipergunakan untuk memasok kebutuhan kayu bagi industri. Pasal ini memberikan tambahan manfaat yang dinikmati INPAK dari KIBARHUT. Tiadanya kebijakan yang mengatur KIBARHUT menjadi keuntungan tersendiri sehingga pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan, kebutuhan para pelaku, serta didukung adanya transaksi dan ketersediaan pasar kayu. Jika pun diperlukan adalah kebijakan yang bersifat insentif bagi yang melakukan Dwijowijoto, 2003, tetapi bukan merupakan regulasi yang bersifat memaksa sehingga menyebabkan pelaksanaan yang sub optimal Nugroho, 2003; Yin et al., 2003; dan Yuwono, 2006. Kebijakan yang memfasilitasi diantaranya adalah apresiasi terhadap pelaksanaan KIBARHUT sebagaimana Pasal 35 Permenhut No. 35Menhut-II2008 jo. No. P.9Menhut-II2009. Kebijakan lainnya yang diharapkan berbentuk penghargaan rewards sebagai INPAK kreatif, inovatif, peduli pada lingkungan dan stakeholder- nya. Kebijakan dapat juga berbentuk dukungan moneter dalam hal penyaluran pembiayaan murah. Fasilitasi pembiayaan dibutuhkan, guna membantu INPAK principal dalam memberikan subsidi pembiayaan atau fasilitas kredit tunda tebang untuk mendukung pelaksanaan KIBARHUT. Kredit tunda tebang disalurkan pada tahun ke-4 kelembagaan KIBARHUT, yaitu pada saat tanaman mulai mempunyai nilai komersial atau nilai jual. Kredit tunda tebang dengan jangka waktu yang pendek diberikan ke agents yang memiliki jaminan berupa tegakan atau tanaman KIBARHUT. Jaminan tersebut berbentuk tegakan yang dalam waktu paling cepat 6 bulan dan selama-lamanya 2 tahun kemudian sudah siap ditebang. Kredit tunda tebang sekaligus merupakan upaya principal mencegah penebangan pohon berdiameter kecil oleh agents yang berdampak rendahnya nilai jual, dan meningkatkan keuntungan bagi agents, serta meningkatkan kepastian pasokan kayu untuk principal.