Kelembagaan Kemitraan Dalam Pembangunan Hutan

20 pelanggaran dan perilaku oportunis. Institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Ruttan 1986 dalam Kartodihardjo 1998 mendefinisikan institusi sebagai “behavioral rules that govern pattern of action and relationships” dan organisasi adalah “the decision making units – families, firms, bureaus – that exercise control of resources . Dengan demikian, aturan dalam kelembagaan dipergunakan untuk menata aturan main dari pelaku atau organisasi-organisasi yang terlibat. Sedangkan aturan yang ada dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan pelaku dalam permainan tersebut. Kelembagaan dapat menjadi peubah eksogen 13 dalam proses pembangunan, artinya kelembagaan menyebabkan perubahan. Kelembagaan juga dapat sebagai peubah endogen 14 dalam proses pembangunan, sehingga perubahan kelembagaan merupakan akibat dari perubahan pada sistem sosial yang ada. Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank, koperasi, kemitraan, dan lain sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak dari kelembagaan. Kartodihardjo 2006b menyatakan bahwa kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak kepemilikan property rights, aturan representasiperwakilan rule of representations atau batas yuridiksi jurisdictional boundaries. Konsep property atau kepemilikan muncul dari konsep hak rights dan kewajiban obligations yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi Ostrom, 2000. Kepemilikan merupakan hubungan individu dengan individu lain terhadap sesuatu, dan menjadi instrumen dalam mengendalikan hubungan dan mengatur siapa memperoleh apa melalui penggunan yang disepakati bersama Gibbons, 2005; 13 Variabel yang berada diluar sistem teori atau model, dan yang mempengaruhi variabel endogen. 14 Vaiabel yang berada di dalam sistem teori atau model, dan yang dipengaruhi variabel eksogen. 21 Kartodihardjo, 2006b. Perubahan sistem kepemilikan dapat merubah kinerja ekonomi, dan perubahan sistem ekonomi dapat merubah pola kepemilikan masyarakat. Hak kepemilikan merupakan sumber kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, yang dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah, atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Berdasarkan rejim hak kepemilikan yang diungkapkan Schlager dan Ostrom 1996 dalam Ostrom 2000 sebagaimana pada Tabel 3, maka pemilik owner mempunyai strata kepemilikan yang paling lengkap tinggi karena memiliki hak untuk memasuki access dan memanfaatkan withdrawal, hak menentukan bentuk pengelolaan management, hak menentukan keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain exclusion, dan memperjual-belikan hak alienation. Strata pemilikan hak yang paling rendah adalah pengunjung authorized entrance karena hanya memiliki hak memasuki access. Tabel 3 Kumpulan hak yang dimiliki berdasarkan status kepemilikan Strata hak Pemilik Penyewa Pengguna authorized user Authorized entrance Owner Proprietor Claimant 1 Memasuki access X X X X X 2 Memanfaatkan withdrawal X X X X 3 Menentukan bentuk pengelolaan management X X X 4 Menentukan keikusertaan mengeluarkan pihak lain exclusion X X 5 Dapat memperjualbelikan hak alienation X Sumber : Schlager dan Ostrom 1996 dalam Ostrom 2000 Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa, dalam proses pengambilan keputusan yang tercermin dalam struktur kelembagaan. Pengaturan tersebut berdampak terhadap keputusan yang diambil dan dampaknya terhadap kinerja kelembagaan. Aturan representasi sedemikian memunculkan dua jenis biaya, yaitu biaya pengambilan keputusan sebagai akibat partisipasi, dan biaya eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau suatu lembaga sebagai akibat keputusan orang lain atau lembaga lain. Aturan representasi mempengaruhi besaran biaya tersebut, dalam artian nilai uang maupun bukan uang 22 sehingga menentukan apakah output dihasilkan atau tidak. Jenis output yang dihasilkan juga ditentukan aturan representasi dari kepentingan orang atau lembaga. Batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan. Konsep batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Batas yuridiksi berpengaruh terhadap kemampuan pelaku untuk menginternalisasikan manfaatbiaya. Sepanjang tambahan manfaat melebihi atau setara tambahan biaya payoff rules maka para pelaku bersedia memperluas kerjasama dan batas yuridiksinya. Dalam kaitan dengan pembangunan hutan, maka dapat disimpulkan bahwa kelembagaan kemitraan merupakan suatu mekanisme yang mengatur transaksi atau tata hubungan aturan main, norma-norma, kontrak, hukum, adat atau tradisi yang menentukan hubungan antara pengelola hutan petani danatau pemilik lahan dengan INPAK dalam melakukan aktivitas ekonomi. Hubungan ekonomi yang terjalin adalah kerjasama membangun hutan melalui mekanisme administrasi yang menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses kemitraan adalah mengkoordinasikan para pemilik faktor produksi tenaga kerja, lahan, kapital, manajemen dan lain-lain ke dalam proses transformasi faktor produksi yaitu usaha membangun hutan menjadi output berupa kayu bundar. Kemitraan merupakan salah satu bentuk kelembagaan dalam usaha membangun hutan yang dilakukan karena adanya saling ketergantungan interdependency antara rakyat selaku pihak Hulu khususnya petani dengan INPAK selaku pihak Hilir. Wyatt 2003 mengungkapkan bahwa petani mengharapkan pembangunan dan pekerjaan tetapi juga mengharapkan manfaat non-finansial seperti kepastian hak penggunaan lahan dan perlindungan lingkungan. Pada sisi lain, industri sebagai suatu perusahaan berupaya untuk dapat mendekati sumber bahan baku dan menjamin ketersediaannya, mendapatkan peluang bisnis dan memperoleh manfaat ekonomi langsung. Industri primer hasil hutan kayu IPHHK dalam kegiatan produksinya merupakan suatu sistem yang memproses masukan atau inputs diantaranya kayu bundar danatau bahan baku serpih untuk menghasilkan keluaran atau output berupa produk kayu olahan kayu gergajian, kayu lapis, pulp and paper, dan lain-lain. Dalam memenuhi kebutuhan input produksi berupa kayu bundar, maka IPHHK sebagai suatu perusahaan dapat melakukan pertukaran secara inter-firm atau intra-firm. 23 Pertukaran ekonomi secara inter-firm berarti inputs diperoleh atau dipertukarkan dari perusahaan itu sendiri atau perusahan yang terintegrasi atau terkait saham dengan IPHHK. Mekanisme ini merupakan integrasi vertikal dimana assets perusahaan pemasok bahan baku pengelola hutan adalah milik perusahaan yang berintegrasi, sehingga pengendalian pengelolaan alokasi sumberdaya dan penentuan harga sepenuhnya di satu tangan. Pada kondisi tersebut, perusahaan pengelola hutan merupakan ”divisi pemasok bahan baku” dan IPHHK sebagai ”divisi pengolah bahan baku dan pemasaran produk akhir” Nugroho, 2005. Adanya pertukaran ekonomi melalui integrasi vertikal adalah upaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku produksi, sehingga tidak dapat dieksploitasi oleh pihak yang menjadi gantungannya. Integrasi juga merupakan kebijakan perluasan organisasi dan dominasi atas faktor produksi tersebut secara ekonomis atau politis. Integrasi vertikal inter firm dilakukan dengan anggapan bahwa maksimisasi keuntungan perusahaan tercipta ketika kegiatan pengadaan bahan baku dikelola secara internal, daripada mengupayakan membelinya dari pasar. Hal tersebut mungkin dilakukan apabila IPHHK menguasai atau memiliki hak atas faktor produksi lahan sehingga kerjasama dapat berjalan dengan biaya yang murah. Namun, dalam realitanya, kepemilikan lahan seringkali justru berada pada pihak yang lain atau setidaknya menjadi beban konflik sosial dengan pihak lain, sehingga hubungan tersebut menjadi tidak murah. Pada keadaan yang demikian, Klein et al . 1986 dan Gibbons 2005 berpandangan bahwa pelaku ekonomi cenderung melakukan hubungan kontraktual contractual relationships atau koordinasi non- integrasi outsourcing dibandingkan kepemilikan bersama vertical integration. Dengan demikian, alternatif lainnya menghadapi ketidakpastian dan kelangkaan sumber daya adalah dengan mekanisme intra-firm contracts, yaitu input produksi dibeli atau dipertukarkan dari perusahaan atau individu lain. Dalam hal ini, input produksi diperoleh dengan pembelian langsung kontrak jangka pendek, kontrak jangka panjang dengan pemegang IUPHHK yang tidak terkait saham, atau membangun hutan sumber bahan baku dengan pihak lain pemilik lahan atau pemegang konsesiizin melalui kontrak kerjasama dalam pengelolaan dan pembangunannya. 24 Kontrak kerjasama dalam usaha membangun hutan dilakukan IPHHK guna menjamin kontinyuitas keberlangsungan pemenuhan bahan baku kayu bagi proses produksinya. Industri yang secara langsung melakukan kerjasama membangun hutan bersama rakyat KIBARHUT adalah industri pertukangan atau industri pengolahan kayu bundar INPAK. Industri pulp and paper industri pengolahan bahan baku serpih umumnya tidak melakukan hubungan kontraktual secara langsung dengan penduduk setempat dalam membangun hutan tanaman. Kontrak kemitraan justru dijalin oleh perusahaan afiliasinya yang merupakan IUPHHK dalam Hutan Tanaman IUPHHK–HT, dikarenakan adanya keterbatasan lahan konsesi, konflik lahan, dan sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat community empowerment. Kerjasama tersebut bagi IUPHHK–HT dapat dilakukan pada lahanareal konsesinya maupun pada lahan milik di luar areal konsesi, sedangkan INPAK melakukannya pada lahan milik perusahaan, lahan milik masyarakat, atau lahan milikkonsesi perusahaan lain yang tidak mempunyai keterkaitan. Hubungan kerjasama usaha antara pemegang konsesi IUPHHK–HT dengan penduduk setempat atau antara INPAK dengan pihak pemilik lahan adalah hubungan kemitraan agency relationships yang digambarkan dalam agency theory. Hubungan tersebut mencakup bagaimana menyusun hubungan kontraktual yang optimal sehingga para pelakunya memiliki insentif yang memadai untuk mematuhi kontrak 15 dan bersepakat dalam hal penegakannya Jensen dan Meckling, 1986; Maskin, 2001; Gibbons, 2005; Yustika, 2006. Namun bagi sebagian pelaku khususnya pengusaha, kemitraan terkadang dianggap sebagai beban yang memberatkan sehingga lebih banyak mendorong perilaku sub optimal dari perusahaan dan cenderung memanjakan petani Nugroho, 2003; Priyono, 2004. Keengganan juga muncul karena kemitraan adalah pertukaran ekonomi faktor-faktor produksi yang dimiliki, untuk melakukan suatu proses produksi secara bekerjasama dengan mengusung kesetaraan dan pembagian manfaat dan resiko diantara para pelakunya Kasper dan Streit, 1998; Maskin, 2001; Nugroho, 2003; Yustika, 2006. 15 Kontrak atau transaksi tunggal antara dua pihak yang melakukan hubungan ekonomi secara umum didefinisikan sebagai kesepakatan satu orang atau sekelompok orang untuk melakukan kegiatan atau pertukaran yang bernilai ekonomi dengan pihak lain dengan konsekuensi adanya tindakan balasan reciprocal action atau bayaran Yustika, 2006. 25 Solusinya adalah dengan memformulasikan suatu mekanisme pola kemitraan yang mampu merefleksikan aturan main kontrak yang dibuat selengkap mungkin. Kontrak memuat semua detail hubungan untuk menghindari adanya perilaku oportunis pasca kontrak, termasuk di dalamnya membuat aturan main yang dapat dikontrol dan diawasi oleh para pelaku kemitraan. Dalam realitanya, kontrak selalu tidak lengkap dan memerlukan biaya untuk penegakannya termasuk adanya resiko pengingkaran dan tidak dihormatinya kontrak Yustika, 2006. Karenanya, para pelaku kemitraan melakukan berbagai kegiatan guna mengawasi tindakan pelaku lainnya, termasuk kesepakatan memberikan insentif yang memadai dan penalty untuk menghukum agents bila melakukan tindakan yang bertentangan dengan interest principal Kerr, 1975 dalam Gibbons 1998; Maskin, 2001; Gibbons, 2005. Kelembagaan selalu disertasi sanksi-sanksi formal–informal yang disepakati dan ditegakkan, sebagaimana diungkapkan Kasper dan Streit 1998 bahwa “institutions without sanctions are useless ”. Kartodihardjo 2006a mengungkapkan bahwa keberhasilan hubungan kelembagaan kontrak kemitraan, sangat tergantung dari keberhasilan perusahaan dalam menarik minat para pemilik lahan yang memiliki kendala permodalan, untuk dapat memanfaatkan lahannya dengan komoditas alternatif tanaman kehutanan. Karenanya, ditemukan banyak mekanisme kemitraan yang diterapkan di lapangan dalam rangka pembangunan hutan Nawir dan Santoso, 2005. Walau terdapat berbagai bentuk kelembagaan kemitraan petani dan perusahaan, namun berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 dan SK Mentan No. 940KptsOT.210101997 tentang pedoman kemitraan usaha pertanian, maka kelembagaan yang umum dilakukan pada usaha membangun hutan adalah kemitraan inti–plasma dan kerjasama operasional. Kemitraan inti–plasma merupakan hubungan antara petani atau kelompok tani sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha Sumardjo et al., 2004. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah serta memasarkan hasil produksi. Pola ini di sektor kehutanan dapat ”disepadankan” dengan hubungan kemitraan antara penduduk setempat dengan pemegang IUPHHK–HT pada pengelolaan HTI di luar Pulau Jawa. Kemitraan kerjasama operasional merupakan hubungan bisnis yang dijalankan petani atau kelompok mitra dan perusahaan mitra Sumardjo et al., 2004. Kelompok 26 mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja. Perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk membudidayakan suatu komoditas, serta berperan sebagai penjamin pasar bagi komoditas tersebut. Dalam pelaksanaannya terdapat kesepakatan tentang pembagian hasil dan resiko. Selain itu terdapat kelembagaan kemitraan terpadu yang melibatkan perusahaan, petani, dan lembaga keuangan dalam suatu ikatan kerjasama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi Purnaningsih, 2006. Mekanismenya juga terkadang melibatkan pemerintah sebagai penyedia anggaran dan lembaga keuangan sebagai penyalur dana ke petani danatau perusahaan. Pola kerjasama operasional dan kemitraan terpadu merupakan pola yang dapat ”disepadankan” dengan hubungan kemitraan antara INPAK bersama rakyat untuk membangun hutan KIBARHUT, khususnya di Pulau Jawa.

D. Policy Analysis Matrix

Policy Analysis Matrix atau PAM merupakan metode analisis ekonomi yang diperkenalkan oleh Eric A. Monke dan Scott Pearson pada tahun 1989 dan kemudian dikembangkan oleh Masters dan Winter-Nelson Nelson, 1991; Mohanty et al, 2002; Malian et al, 2004; Pearson et al, 2005. PAM adalah model atau kerangka analisis ekonomi yang lebih lengkap untuk menganalisis keadaan ekonomi dari sudut usaha swasta private profit sekaligus memberi ukuran tingkat efisiensi ekonomi usaha atau keuntungan social social profit. PAM merupakan suatu pendekatan atau analisis normatif yang digunakan untuk mengkaji dampak kebijakan harga maupun investasi, dan memberikan informasi dasar base line information bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian 16 . Menurut Pearson et al. 2005, PAM mempunyai tujuan umum untuk memberikan informasi dan analisis guna membantu pengambil kebijakan dalam hal daya saing suatu sistem komoditas pada tingkat harga dan teknologi yang tersedia, dampak dari suatu investasi publik dan investasi baru riset atau teknologi terhadap tingkat efisiensi sistem komoditas. Tujuan lainnya adalah menghitung tingkat 16 Pertanian secara luas meliputi juga komoditas kehutanan dan perkebunan tanaman dengan rentang waktu yang panjang, perikanan, dan peternakan Pearson et al., 2005. 27 keuntungan sosial suatu komoditas dengan menilai output dan biaya pada harga efisiensi atau social opportunity cost; dan menghitung transfer effect sebagai dampak suatu kebijakan yaitu menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi output maupun faktor produksi lahan, tenaga kerja, dan modal. Analisis secara ringkas digambarkan dalam suatu Tabel PAM sebagaimana pada Tabel 4, terdiri 3 baris dan 4 kolom, mengandung 2 dua identitas matriks yaitu tingkat keuntungan profitability identity private dan sosial, dan identitas penyimpangan divergences identity . Tabel 4 Tabel PAM Value of Output Variable of Input Biaya Profit Keuntungan Input Tradable Domestic Factor Private PricesHarga Private A B C D Social PricesHarga Sosial E F G H Policy TransferEfek Divergensi I J K L Sumber : Pearson et al., 2005 Catatan : Private Profit: D=A–B+C; Social Profit: H=E–F+G; Output Transfer : I=A–E; Input transfer: J = B–F; Factor transfer: K= C–G; Net Policy transfer : L=D–H or I–J–K Dalam kolom pertama terdapat penerimaan atau value of output. Kolom kedua dan ketiga adalah biaya produksi atau input, terdiri dari komponen yang tradable atau input tradable kolom kedua yaitu input yang dapat diperdagangkan secara internasional diekspor atau diimpor, dan komponen non-tradable faktor domestik atau input non-tradable yaitu input yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional kolom ketiga. Kolom keempat berisikan keuntungan atau profit. Satuan yang digunakan untuk setiap entry pada Tabel PAM menggunakan satuan mata uang dalam negeri Rp. Analisis empiris dalam PAM meliputi 3 tiga analisis yang direpresentasikan dalam ketiga baris PAM, yaitu analisis private baris kesatubaris private, analisis sosial baris keduabaris sosial, dan analisis dampak divergensi baris ketiga. Analisis private dilakukan dengan menggunakan pendekatan harga pasar private dan analisis sosial menggunakan harga efisiensi atau harga bayangan, sehingga menunjukkan bahwa perhitungan dalam matriks PAM mencakup analisis finansial dan ekonomi. Perbedaan kedua analisis terdapat pada harga yang digunakan dan adanya pembayaran transfer berupa pajak danatau subsidi Gittinger, 1982; Nair, 1993.