Policy Analysis Matrix TINJAUAN PUSTAKA
27
keuntungan sosial suatu komoditas dengan menilai output dan biaya pada harga efisiensi atau social opportunity cost; dan menghitung transfer effect sebagai
dampak suatu kebijakan yaitu menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi output maupun faktor produksi lahan, tenaga kerja, dan modal. Analisis secara
ringkas digambarkan dalam suatu Tabel PAM sebagaimana pada Tabel 4, terdiri 3
baris dan 4 kolom, mengandung 2 dua identitas matriks yaitu tingkat keuntungan profitability identity private dan sosial, dan identitas penyimpangan divergences
identity .
Tabel 4 Tabel PAM
Value of Output
Variable of Input Biaya Profit
Keuntungan Input
Tradable Domestic
Factor
Private PricesHarga Private A
B C
D Social PricesHarga Sosial
E F
G H
Policy TransferEfek Divergensi I
J K
L Sumber : Pearson et al., 2005
Catatan : Private Profit: D=A–B+C;
Social Profit: H=E–F+G; Output Transfer : I=A–E;
Input transfer: J = B–F; Factor transfer: K= C–G;
Net Policy transfer : L=D–H or I–J–K
Dalam kolom pertama terdapat penerimaan atau value of output. Kolom kedua dan ketiga adalah biaya produksi atau input, terdiri dari komponen yang tradable atau
input tradable kolom kedua yaitu input yang dapat diperdagangkan secara
internasional diekspor atau diimpor, dan komponen non-tradable faktor domestik atau input non-tradable yaitu input yang tidak dapat diperdagangkan secara
internasional kolom ketiga. Kolom keempat berisikan keuntungan atau profit. Satuan yang digunakan untuk setiap entry pada Tabel PAM menggunakan satuan mata uang
dalam negeri Rp. Analisis empiris dalam PAM meliputi 3 tiga analisis yang direpresentasikan
dalam ketiga baris PAM, yaitu analisis private baris kesatubaris private, analisis sosial baris keduabaris sosial, dan analisis dampak divergensi baris ketiga.
Analisis private dilakukan dengan menggunakan pendekatan harga pasar private dan analisis sosial menggunakan harga efisiensi atau harga bayangan, sehingga
menunjukkan bahwa perhitungan dalam matriks PAM mencakup analisis finansial dan ekonomi. Perbedaan kedua analisis terdapat pada harga yang digunakan dan adanya
pembayaran transfer berupa pajak danatau subsidi Gittinger, 1982; Nair, 1993.
28
Pada kelayakan finansial yang dianalisis adalah besarnya penerimaan dan pengeluaran riil suatu unit usaha tani, sedangkan kelayakan ekonomi menggunakan
pendekatan biaya dan manfaat sosial atau ditinjau secara ekonomi agregat. Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi secara ringkas disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbedaan analisis finansial dan ekonomi
No Uraian
Analisis Finansial Analisis Ekonomi
1. Obyek
Privatebadan petani Publikperekonomian keseluruhan
2. Harga digunakan
Harga pasar Harga bayangan
3. Manfaat
Private return , manfaat
riil yang diterima oleh petani
The socialeconomic return termasuk
manfaat tidak langsung intangible seperti perbaikan lingkungan
4. Biaya
Biaya riil yang dikeluarkan petani
Manfaat yang hilang, opportunity cost
, termasuk biaya pencegahan kerusakan lingkungan
5. Pajak
Diperhitungkan Tidak diperhitungkan
6. Subsidi
Diperhitungkan Tidak diperhitungkan
7. Bunga atas modal
Dibayarkan karena dianggap sebagai biaya
Tidak dianggap sebagai biaya sebab merupakan transfer payment
8. Tenaga Kerja
Harga Pasar Shadow price
tenaga kerja 9.
Alat dan bahan Harga pasar
Harga yang tidak terdistorsi Sumber : Kadariah et al. 1978
Analisis finansial dengan harga pasar adalah aktivitas pelaku ekonomi secara individu dalam menghasilkan suatu komoditas yang dihitung berdasarkan harga
sesungguhnya yang diterima danatau dibayar pengelola hutan serta telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah berupa subsidi, proteksi, pembebasan bea masuk, pajak dan
kebijakan lainnya atau pun karena adanya pola kemitraan. Analisis ekonomi dengan harga sosial meninjau aktivitas ekonomi dari sudut pandang masyarakat secara
keseluruhan, yang menggambarkan nilai ekonomisosial sesungguhnya the true of social or economic value
. Metode analisis finansial menekankan pada analisis biaya-manfaat terhadap
individu atau privat, sedangkan analisis ekonomi lebih menekankan pada analisis biaya-manfaat terhadap masyarakat. Perbedaan diantara kedua analisis adalah pada
faktor obyek analisis, harga yang digunakan, manfaat, biaya, pengenaan pajak dan subsidi, penggunaan bunga atas modal, tenaga kerja, alat dan bahan.
Berdasarkan Tabel PAM dan dengan menggunakan pendekatan harga pasar analisis privatefinansial dan harga sosial analisis sosialekonomi, diperoleh nilai
29
hasil perhitungan yang merupakan indikator dampak kebijaksanaan. Indikator tersebut Pearson et al., 2005 terdiri atas:
1. Analisis keuntungan privat dan keuntungan sosial
a. Keuntungan Privat atau Private profitability PP yaitu D = A – B + C
Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan. Jika D
≥ 0 berarti sistem adalah layak secara finansial untuk diteruskan artinya memperoleh profit di atas normal. Implikasinya bahwa komoditas mampu
berekspansi, kecuali jika sumberdaya terbatas atau ada komoditas alternatif yang lebih menguntungkan. Nilai D 0 maka sistem adalah tidak layak untuk
diteruskan.
b. Keuntungan Sosial atau Social Profitability SP yaitu H = E – F + G
Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan
efisien. Jika H ≥ 0 dan nilai semakin besar, berarti sistem adalah layak secara
ekonomi untuk diteruskan dan semakin efisien. Sebaliknya bila H 0 berarti sistem komoditas tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi
pemerintah.
2. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif
a. Rasio Biaya Private atau Private Cost Ratio PCR = CA – B
Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR mencerminkan seberapa banyak sistem komoditas
tersebut mampu membayar faktor domestik, dan tetap dalam kondisi kompetitif setelah membayar keuntungan normal D = 0. Usaha akan untung
jika D 0 atau C A – B. PCR menunjukkan kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga privat. Jika nilai PCR 1 berarti sistem
komoditas mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. PCR bernilai semakin mengecil menunjukkan kemampuan yang semakin meningkat
dan memiliki efisiensi secara finansial atau keunggulan kompetitif.
b. Domestic Resources Cost Ratio DRC = GE – F
Rasio biaya sumberdaya domestik adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga sosial. DRC merupakan indikator kemampuan sistem
komoditas membiayai faktor domestik pada harga sosial. Jika DRC 1 berarti sistem komoditas tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi
pemerintah. Kegiatan ini memboroskan sumberdaya domestik yang langka, karena memproduksi komoditas dengan biaya sosial yang lebih besar daripada
biaya impornya. Jika tidak ada pertimbangan lainnya, maka melakukan impor adalah lebih efisien dibandingkan memproduksi sendiri. Jika nilai DRC 1
dan nilainya semakin kecil berarti sistem semakin efisien secara ekonomis
30
dalam alokasi sumberdaya atau memiliki keunggulan komparatif, mempunyai daya saing yang semakin tinggi. Sistem juga mempunyai peluang ekspor yang
semakin besar dan mampu hidup tanpa bantuan dan intervensi pemerintah.
3. Dampak kebijakan pemerintah
a. Kebijakan Output
1 Output transfer OT yaitu I = A – E
Transfer output merupakan selisih antara penerimaan berdasar harga privat finansial dengan penerimaan berdasarkan harga sosial bayangan. Nilai
OT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output sehingga membuat harga output privat dan sosial berbeda. Nilai OT
positif menunjukkan besarnya transfer insentif dari masyarakat konsumen terhadap produsen. Artinya masyarakat membeli dan produsen
menerima harga lebih tinggi dari harga seharusnya. Nilai OT positif berarti timbulnya implisit subsiditransfer sumberdaya yang menambah
keuntungan system. Jika sebaliknya atau OT bernilai negatif berarti implisit ada pajaktransfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan
sistem.
2 Nominal Protection Coefficient on Tradable Output NPCO = AE
Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial yang
merupakan indikasi dari transfer output. NPCO menunjukkan dampak kebijakan kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi
yang menyebabkan divergensi antara harga privat dengan harga sosial terhadap output. Jika: i nilai NPCO 1 berarti harga domestik lebih
tinggi dari harga efisiensinya atau harga dunia harga imporekspor sehingga sistem komoditas yang di-analisis menerima proteksi; ii nilai
NPCO 1 berarti harga domestik lebih rendah dari harga impor ekspor sehingga sistem komoditas yang dianalisis tidak menerima proteksi di–
disproteksi; iii nilai NPCO = 1 berarti tidak ada policy transfer.
b. Kebijakan input
1 Tradable input transfer IT yaitu J = B – F
Transfer input adalah selisih antara nilai input yang bisa diperdagangkan pada harga sosial. Nilai J menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang
diterapkan pada input tradable. Nilai J 0 menunjukkan besarnya transfer insentif dari produsen kepada pemerintah melalui kebijakan tarif impor.
2 Nominal Protection Coefficient on Tradable Input NPCI = BF
Koefisien input proteksi nominal merupakan nilai rasio antara biaya input tradable
berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. NPCI menunjukkan dampak kebijakan kegagalan pasar
yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi yang menyebabkan
31
divergensi antara harga private dan harga sosial untuk input yang diperdagangkan tradable input. Jika: i nilai NPCI 1 berarti
pemerintah menaikan harga input tradable di pasar domestik di atas harga efisiensinya harga dunia. Dengan kata lain biaya input domestik lebih
mahal dari biaya input pada harga internasional, sehingga sistem komoditas yang dianalisis seolah-olah dibebani pajak oleh kebijakan yang
ada. Hal ini mengindikasikan sektor yang menggunakan input-input tersebut dirugikan dengan tingginya harga beli input produksi. Penurunan
tarif impor input secara bertahap akan menurunkan nilai NPCI; ii nilai NPCI 1, berarti pemerintah menurunkan harga input tradable di pasar
domestik di bawah harga efisiensinya. Dengan kata lain harga domestik lebih rendah dari harga impor ekspor, sehingga komoditas yang dianalisis
seolah-olah disubsidi oleh kebijakan yang ada. Hal tersebut dapat pula menunjukkan adanya hambatan impor unit, sehingga proses produksi
dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri; iii NPCI = 0 berarti tidak ada policy transfer.
3 Transfer faktor atau factor transfer FT yaitu K = C – G
Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukan perbedaan harga privat dengan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-
faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda
dengan kebijakan pada input tradable. Intervensi pemerintah untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi positif dan negatif.
Jika nilai FT 0 berarti ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi positif.
c. Kebijakan Output-Input
1 Effective Protection Coefficient EPC = A – BE – F
Koefisien proteksi efektif merupakan analisis gabungan antara koefisien output nominal dengan koefisien input nominal. Nilai EPC
menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. EPC menunjukan
tingkat transfer kebijakan dari pasar produk dan input yang diperdagangkan. Bila EPC 0, berarti pemerintah menaikan harga output
atau input yang diperdagangkan di atas harga efisiensinya atau terdapat kebijakan pemerintah yang melindungi produsen domestik telah berjalan
secara efektif. Penurunan tarif impor secara simultan untuk output dan input akan menurunkan nilai EPC. Namun seperti halnya NPCO atau
NPCI, nilai EPC juga mengabaikan efek transfer dari kebijakan pasar faktor. Oleh karena itu koefisien tersebut bukan merupakan indikator yang
lengkap mengenai insentif.
32
2 Transfer bersih atau Net Transfer NT yaitu L = D – H
Transfer bersih adalah nilai selisih antara keuntungan bersih yang benar- benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika nilai
L 0 menunjukkan tambahan surplus produsen disebabkan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sebaliknya berlaku jika
nilai L 0.
3 Profitability Coefficient PC = DH atau A – B – C E – F – G
Profitability Coefficient atau koefisien keuntungan adalah perbandingan
antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial. PC merupakan indikator yang lebih lengkap
dibanding dengan EPC, karena menunjukan dampak insentif dari semua kebijakan harga output, harga input dan faktor domestik dan oleh
karenanya merupakan proteksi dari transfer kebijakan bersih net policy
transfer . Jika PC 1 berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah
memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya jika nilai PC 1 menunjukan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima
produsen lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Berarti produsen harus mengeluarkan sejumlah dana ke masyarakat atau
konsumen. Penurunan secara simultan tarif impor secara bertahap pada output dan input yang diperdagangkan serta adanya subsidi akan
menurunkan nilai PC, sedangkan kebijakan yang efisien pada faktor domestik terutama bunga bank akan meningkatkan nilai PC.
4 Subsidy Ratio to Producer SRP = D – HE = LE
Subsidy ratio to producer atau rasio subsidi produsen menunjukkan
proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk
menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. SRP memungkinkan untuk membuat perbandingan antara besarnya subsidi
perekonomian bagi sistem komoditas pertanian. Jika nilai SRP 0 menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini
menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi yang lebih besar dari biaya imbangan opportunity cost dan sebaliknya jika SRP 0.
PAM usaha membangun hutan berbeda proses analisisnya dengan komoditas tanaman semusim. Proses produksi hutan dari mulai menanam benih sampai tegakan
siap tebang dan menghasilkan kayu bundar tidak dapat diperbandingkan secara langsung, karena membutuhkan waktu lebih dari 1 tahun atau terdapat perbedaan
waktu. Usaha membangun hutan pada awal periode umumnya memberikan hasil yang kecil atau bahkan tidak memberikan hasil sama sekali Nair, 1993, sehingga aliran
33
keuntungan bersih adalah negatif karena biaya investasi mendominasi aliran dana Gambar 2. Pada suatu waktu tertentu terdapat kondisi dimana biaya semakin
menurun dan kemudian keuntungan mulai meningkat sehingga aliran dana cash flow menjadi positif.
Benefit “dengan proyek”
Plus
Net Benefit
Minus Benefit “tanpa proyek
” Tahun
Gambar 2 Aliran biaya dan pendapatan benefit and cost
Analisis suatu usaha atau investasi jangka panjang sebagaimana usaha membangun hutan dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun aliran kas pada titik
waktu tertentu. Aliran kas tersebut dengan mempertimbangkan nilai waktu terhadap uang discounted valuation, sehingga analisis total biaya dan manfaat di masa depan
dapat dilakukan berdasarkan evaluasi nilai saat sekarang net present value atau NPV. Rumus untuk menghitung NPV Gittinger, 1982 adalah sebagai berikut:
Tingkat diskonto discount rate yang dipergunakan dalam menghitung NPV PAM adalah tingkat bunga nominal private untuk baris pertama dan tingkat bunga
nominal sosial untuk baris kedua. Selanjutnya, PAM periode banyak dihitung dan diinterpretasikan dengan cara yang sama dengan komoditas tanaman semusim.
Cash flow yang telah didiskonto terlebih dahulu tersebut, kemudian dijumlahkan
untuk menghitung BC ratio dari komoditas hasil suatu investasi. BC ratio dihitung dengan membandingkan jumlah semua benefits manfaat dengan costs biaya selama
umur ekonomis proyek yang kemudian di-discounting dengan tingkat bunga tertentu. BC ratio dapat pula dihitung dari perbandingan sedemikian antara Total Present
34
Value dalam tahun-tahun dimana net benefit bernilai positif, dibagi dengan Total
Present Value dalam tahun-tahun dimana net benefit bernilai negatif Gittinger, 1982.
Perhitungan BC Ratio dirumuskan sebagai berikut:
∑ ∑
Benefit-Cost Ratio mempunyai nilai jika terdapat paling sedikit dalam satu tahun dimana nilai B
t
– C
t
bersifat negatif, dan jika sebaliknya maka BC ratio bernilai tak terhingga. BC ratio bernilai 1 satu memberikan return yang positif dan
semakin besar nilai BC ratio maka proyek mempunyai prospektif yang tinggi. Umumnya NPV berkorelasi positif dengan BC ratio sehingga proyek dinyatakan “go”
bila BC ratio 1. Pada situasi dimana NPV dan BC ratio berbeda maka keputusan cenderung
berdasarkan hasil perhitungan BC ratio karena kriteria tersebut lebih dapat menggambarkan tingkat efisiensi suatu kegiatanusaha. Hal ini didasari kenyataan
bahwa evaluasi NPV mempunyai kelemahan karena tidak diketahuinya modal yang diperlukan, sehingga mungkin terjadi NPV lebih besar dari proyek alternatif namun
diperoleh dari belanja investasi yang jauh lebih besar. Artinya NPV hanya dapat diperbandingkan jika kegiatan mempunyai nilai investasi yang sama.
Untuk menghitung BC ratio yang didiskonto diperlukan angka tingkat diskonto, dimana benefit terdiskonto sama dengan biaya terdiskonto atau NPV sama dengan nol.
Nilai discount rate tersebut dikenal sebagai Internal Rate of Return atau IRR Gittinger, 1982, dan rumus untuk menghitungnya adalah:
dimana: B
t
= pendapatan dari hutan tanaman pada waktu ke-t C
t
= biaya kegiatan hutan rakyat pada waktu ke-t i
= tingkat suku bunga yang berlaku t
= jangka waktu i = 1,2,…n Indikator kelayakan investasi dianalisis berdasarkan nilai sekarang dari manfaat
bersih investasi net present value atau NPV, rasio manfaat dan biaya benefit and
35
cost ratio atau BC ratio dan internal rate of return IRR. Kriteria kelayakan
investasi yang dipergunakan adalah NPV 0, BC Ratio ≥ 1, dan memiliki IRR yang
lebih besar dari tingkat discount ratenya. Umumnya angka IRR menghasilkan arah yang sama terhadap sosial dan private BC ratio, dimana kegiatan dapat terus
dilaksanakan karena insentif private konsisten dengan kelayakan feasibility sosial. Pada keadaan dimana IRR menghasilkan sosial BC ratio 1 sedangkan private BC
ratio 1 maka petani atau pelaku ekonomi lainnya tidak berminat berinvestasi pada komoditas yang dianalisis tersebut, sehingga diperlukan perubahan kebijakan publik.
Pada sebagian komoditas sektor kehutanan misal industri perkayuan, analisis PAM dapat dilakukan secara langsung karena proses produksi berlangsung sesaat atau
tanpa rentang waktu yang panjang. Namun, kapasitas produksinya haruslah diselaraskan dengan kemampuan lahan hutan memasok kayu bundar, sehingga tidak
terjadi kelangkaan pasokan atau justru memerlukan biaya lebih tinggi untuk mendistribusikan kayu dari petani produsen ke konsumen INPAK karena
pemasaran yang tidak efisien. Artinya, upaya petani untuk meningkatkan produktivitas pengelolaan hutan dengan meng-efisiensi-kan penggunaan berbagai
input produksinya tidak memberikan dampak yang optimal apabila tidak didukung dengan adanya sistem pemasaran dan pasar kayu bundar yang berfungsi dengan baik.