Perilaku oportunis Karakteristik Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa
104
mengakui bahwa pembiayaan untuk menutupi kebutuhan mendesak diperoleh dengan menebangmenjual pohon. Mitra antara mempunyai kepentingan mendapat janji
imbalan bagi hasil yang diterima di akhir daur, memperoleh upah atau pendapatan sebagai agents bagi principal, dan mengoptimalkan pemanfaatan assets produksi
miliknya. Pertarungan kepentingan tersebut dapat memunculkan perilaku oportunis salah satu pelaku atau bahkan semua pelaku yang terlibat actors. Secara ringkas,
indikasi perilaku oportunis yang terjadi pada kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Indikasi perilaku oportunis dalam pelaksanaan KIBARHUT
Indikasi Perilaku
Oportunis Hulu
Hilir Tipe 1
Bawang • Menebang kayu KIBARHUT tanpa
sepengetahuan Hilir • Tidak menjualmemasok kayu hasil
panen ke Hilir • Menanam bibit bantuan di luar lahan
yang dikerjasamakan • Tidak melaksanakan kegiatan
pemeliharaan • Tanaman dilaporkan matitidak
hidup • Bantuan dianggap gratis sehingga
tidak ada kewajiban menjual kayu KIBARHUT ke Hilir
• Ada permintaan biaya transport untuk bibit yang diterima Hulu
• Tidak melakukan pendataanadministrasi pelaksanaan KIBARHUT
• Bibit bantuan dibagi merata ke warga desa untuk populis dan mengamankan posisi
• Sulit dihubungi untuk konfirmasi penjualan – jaminan pasar tidakbelum
dapat diwujudkan • Kualitas bibit dipertanyakan
• Danabantuan pemeliharaan tidak disalurkan, atau disalurkan tetapi
jumlahnya tidak sesuai yang dijanjikan Tipe 2
• Sukaraja • Bibit ditanam di tempat lain • Pupuk bantuan dipergunakan untuk
tanaman non kerjasama • Beranggapan tidak wajib menjual
kayu KIBARHUT ke Hilir • Kualitas bibit tidak sesuai standard siap
tanam dan sulaman tidak direalisasikan • Bantuan pupuk dan obat semprotan biaya
sarpras pemeliharaan sesuai perjanjian tidak direalisasikan
• Krucil • Memanenmenebang tanpa
sepengetahuan pihak Hilir • Sebagian besar tanaman KIBARHUT
hanya Hilir saat ini yang bersedia menampung dan mengolah
Tipe 3 • Sukaraja • Menghambat pertumbuhan tanaman
KIBARHUT • Memposisikan Hulu sebagai penggarap
• Membebankan ongkos akibat pencurian kayu ke Hulu
• Krucil • Menghambat pertumbuhan tanaman
KIBARHUT • Memposisikan Hulu sebagai penggarap
• saat ini Hilir adalah satu-satunya INPAK yang bersedia dan dapat menggunakan
tanaman FGS yang dikelola Hulu Keterangan : Hulu adalah petani agents murni dan mitra antara hubungan tingkat pertama;
Hilir adalah INPAK principal murni dan mitra antara hubungan tingkat kedua.
dari hutan rakyat adalah untuk memenuhi pembiayaan hajatan, biaya sekolah, bayar pajakPBB, dan hari raya.
tind ber
keb Prih
tind lapa
mel ke
mem age
KIB opo
kew atau
sek kay
Tabel 19 dakan oportu
rakibat gaga berlanjutan p
hadi dan Nu dakan atau t
angan sebag
Keteranga A =
B = C =
D = E =
Gambar liputi indika
pihak lain masarkan ou
ents menana
BARHUT. P ortunis yaitu
wajiban men u belum men
kitar 13,3 yu ke Hilir.
9 menunjukk unis karena
alnya tujuan pasokan bah
ugroho 200 tanggapan ag
gaimana ilust
Gambar 1 an :
= menebang phn petani belum m
akan menjual bibit tidak dita
= Menghambat Menanam jeni
17 memper asi kegiatan
atau indus utput pelaksa
am bibit b Pada Tipe 2
u menyatak njual ke prin
nentukan sik petani terin
5 10
15
T B
kan bahwa s adanya perb
pelaksanaan han baku ke
07. Indikasi gents
terhad trasi pada G
17 Jumlah age n tanpa sepeng
menebang poh ke pihak lain a
anam seluruhn pertumbuhan u
is tanaman buk
rlihatkan ba menebang t
stri lain 26 anaan KIBA
antuan di 2 Sukaraja
kan menjua ncipal
, dan kap karena m
ndikasi oport
Tipe 1
awang Tipe
2 Sukaraja
semua pelak bedaan kepe
n KIBARHU principal
se i oportunis
dap berbagai ambar 17.
ents terindikas
getahuan INPA hon tetapi berar
atau tidak ada k nya di lahan yan
untuk Singkon kan pokok yang
hwa indikas tanpa sepen
6,67 agen ARHUT ke p
lahan lain sekitar 20
al hasil pan 20 agents
menunggu sa tunis untuk
Tipe 2
Krucil Tipe
Sukara
ku mempuny entingan. Ti
UT, yaitu ti ebagaimana
agents terse
i issue pelak
si berperilaku AK dan menjua
rgumen pemasa kewajiban men
ng didaftarkan ng Tipe 3 Skrj
g dilarang oleh
si oportunis getahuan IN
ts , berdalih
principal 46
yang tidak petani ter
nen secara s
lainnya ma aat panen na
tidak mema
3 aja
Tipe 3
Krucil
yai indikasi indakan opo
idak dapat t diungkapka
ebut dideskr ksanaan KIB
oportunis al ke pihakindu
aran outputnya njual ke INPAK
sbg lahan KIB atau hpt Tipe
h Mitra rumpu
s pada Tipe NPAK dana
h tidak ada 6,67 agents
k didata seb ridentifikasi
bebas atau asih belum
anti. Pada T atuhi kontra
A B
C D
E
105
i melakukan ortunis dapat
terwujudnya an juga oleh
ripsikan dari BARHUT di
ustri lain a bebas,
K mitra BAHUT
e 3 Kcl ut gajah
e 1 Bawang atau menjual
a kewajiban s
, dan 0,3 bagai lahan
berperilaku u tidak ada
memastikan ipe 2 Krucil
ak memasok
5
n t
a h
i i
g l
n n
u a
n l
k
106
Tindakan oportunis yang terindikasi dilakukan agents Tipe 3 adalah menghambat pertumbuhan tanaman pokok untuk memperpanjang waktu budidaya
tanaman hortikultur 20 agents di Tipe 3 Sukaraja atau untuk mendapatkan hpt 20 agents di Tipe 3 Krucil. Sekitar 13,3 agents lainnya di Tipe 3 Krucil
terindikasi melanggar kontrak dengan menanam rumput gajah, jenis tanaman yang dilarang oleh mitra antara karena perakarannya dianggap dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman pokok. Principal
berupaya meminimalisir kemungkinan terjadinya perilaku oportunis agents
. Salah satu upayanya melalui aturan formal yang mengatur kewajiban principal menampungmemasarkan hasil produksi dengan harga pasar. Aturan ini menunjukkan
adanya kewenangan principal terhadap hasil panen. Pada kontrak formal Tipe 2 dan Tipe 3, upaya tersebut juga diwujudkan melalui dukungan tokoh karismatis atau
panutan yang dipercaya warga, petugas lapangan yang berada dan tinggal di sekitar lokasi, petugas yang secara teratur dan terus menerus melakukan kunjungan ke petani,
serta adanya jaringan pemasaran yang dibangun. Terdapat juga aturan formal yang mengatur sanksi di kontrak formal sehingga ada resiko hukuman untuk berperilaku
oportunis atau ingkar janji. Pada Tipe 1 tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi, sehingga resiko terpapar hukuman karena berperilaku oportunis adalah rendah dan
berdampak pada rendahnya komitmen penegakan kontrak. Pada hubungan kontraktual Tipe 1, terdapat pemahaman umum di kalangan
warga desa dan agents bahwa bantuan principal dianggap “gratis”
78
. Petani beranggapan tidak ada kewajiban memasok kayu, atau memberikan prioritas pertama
untuk melakukan pembelian kayu KIBARHUT ke principal. Situasi tersebut terjadi karena petani selalu membandingkan dengan bantuan dari Pemerintah seperti dalam
rangka Gerhan, dan adanya biaya pengganti transport bibit yang dibayar agents ke mitra antara
. Perilaku oportunis pada Tipe 1 juga terjadi karena tidak adanya peran tokoh atau
ellite warga yang menjadi panutan atau kepercayaan warganya, dan tidak adanya
aturan tertulis dan norma yang mengatur perihal pengawasan, monitoring dan evaluasi oleh petugas principal. Petugas pun belum melakukan tugasnya secara intensif, dalam
78
Sebagaimana disinyalir oleh Darwis et al. 2006 yaitu adanya anggapan yang meluas di warga pedesaan bahwa setiap ada bantuan yang diberikan oleh pemerintah ataupun swasta merupakan hibah
sehingga tidak perlu dikembalikan.
107
arti jarang atau bahkan tidak pernah melakukan kunjungan rutin dan berkala ke agents
. Aksi tersebut diperlukan walau hanya sekedar memastikan bahwa tanaman ada dan hidup, sekaligus menyeimbangkan posisi pelaku terhadap informasi tegakan
hasil kerjasama. Ketidakberdayaan petugas lapangan melakukan pengawasan ke seluruh lahan
agents yang tersebar di Kecamatan Bawang, diperparah tidak tersedianya data tertulis
mengenai agents, luasan lahan, jumlah hibahbantuan diterima per agents dan lokasinya. Catatan yang ada sebatas catatan “seadanya” atau berdasarkan daya ingat
petugas desa dan Keltan. Perilaku oportunis tidak hanya dilakukan agents tetapi juga dilakukan oleh mitra antara dan principal. Mitra antara berperilaku oportunis karena
membebankan biaya pengambilan bibit bantuan ke petani, dan tidak melakukan pendataan dan administrasi KIBARHUT. Perilaku oportunis principal adalah sulitnya
dihubungi untuk konfirmasi penjualan pohon KIBARHUT oleh agents atau mitra antara
. Situasi tersebut mendorong agents untuk juga berperilaku oportunis sebagaimana uraian sebelumnya.
Pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 telah dapat menanamkan pemahaman bahwa terdapat hak principal yang melekat pada pohon yang ditanam agents. Hak dan
kewajiban para pelaku yang terlibat diatur secara formal dalam kontrak termasuk aturan yang mengatur sanksi. Situasi aksi tersebut didukung adanya kepastian dan
jaminan terhadap hak dan kewajiban, dan diimbangi adanya hak kepemilikan dan jaminan kepastian pemanfaatan lahan yang dimiliki agents. Situasi aksi di Tipe 2
tersebut menghasilkan komitmen penegakan kontrak yang tinggi, dengan rata-rata hanya sekitar 16,7 agents yang terindikasi berperilaku oportunis, dan ada sekitar
10 agents yang belum menentukan sikap wait and see yaitu masih menunggu saat panenpenebangan pohon nanti.
Pelaksanaan Tipe 2 dilakukan principal dengan melibatkan bantuanmediasi dari ellite
desa yang diyakini mempunyai karisma dan menjadi panutan warga desa. Keterlibatan dan peran tokoh tersebut tidak hanya dalam sosialisasi kegiatan, tetapi
terlibat langsung dalam aksi KIBARHUT karena mempunyai kemampuan dan peran untuk memotivasi agents dan menjadi penghubung antara principal dan agents. Tokoh
masyarakat sekaligus berperan sebagai pelaku mitra antara sehingga mempunyai
108
peran dan fungsi dalam pengawasan, monitoring, dan keamanan pohon Sengon yang ditanam dan dikelola melalui mekanisme KIBARHUT.
Tokoh agama dan elite desa tersebut dalam perannya sebagai mitra antara mensosialisasikan adanya hak principal yang melekat pada pohon yang ditanam, dan
pendekatan bahwa pohon Sengon adalah barang titipan atau amanah yang harus dipelihara dan dijaga. Pendekatan dengan mediasi dari mitra antara tersebut tentu saja
tidaklah gratis, tetapi ada biaya atau agency cost yaitu biaya pemantauan, biaya pengamanan dan biaya koordinasi yang harus dikeluarkan principal. Biaya tersebut
dikeluarkan dalam bentuk tunai pembayaran honor pengawas, upah sebagai petugas lapangan, upah bulanan, biaya transport dengan besaran yang bervariasi antara Rp
10.000–Rp 175.000 dan non-tunai yaitu mendapat bagi hasil tanaman di akhir daur. Dengan demikian, adanya keseimbangan dan distribusi manfaat yang adil dapat
menekan permasalahan agency diantara pelaku yang terikat perjanjian. Pendekatan tersebut terbukti mampu meredam perilaku oportunis agents pada
pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja dengan adanya keterlibatan tokoh warga elite desa sebagai koordinator wilayah Korwil. Tipe 2 Sukaraja memiliki
mekanisme awal yang jelas dalam proses perolehan kontrak processing contracts dan dalam perekrutan agents dengan koordinasi dan administrasi Korwil sekaligus
selaku mitra antara. Korwil yang ditunjuk, mendapatkan bagi hasil yang jelas dan dinyatakan dalam perjanjian, sehingga bersemangat menjaga keamanan tanaman,
mensosialisasikan dan melakukan pembinaan ke anggota kelompoknya agents. Perilaku oportunis agents di Tipe 2 Krucil sangat rendah karena ada keterlibatan
tokoh agama yang karismatis dan dihormati warga, ada mekanisme awal yang jelas dalam perekrutan agents, dan petugas principal rajin berkunjung ke petani sehingga
terjalin keakraban dan saling mengenal. Keterlibatan tokoh agama
79
sebagai KP mitra antara
dan santri-santrinya sebagai pekerja, pengawas, dan Kordes mendukung keberhasilan pelaksanaan kegiatan. KP mendapatkan imbalan berupa bagi hasil kayu
KIBARHUT, yang sebagiannya dijanjikan menjadi hak petugas lapangan dan Kordes. Adanya janji tersebut menambah semangat dan energi Kordes dan petugas lapangan
79
Pemimpin atau tokoh agama di pedesaan mempunyai peran sentral dan penting dalam kehidupan warganya. Tokoh agama mempunyai karisma yang mampu “mengarahkan” warga
desa dan santrinya untuk melaksanakan suatu kegiatan, serta memunculkan ketakutan mendapatkan kualat jika melanggar wejanganperintah dari pemimpin agamanya Korten,
1987; Rumansara dan Rumwaropen; 1993.
109
untuk menjamin atau setidaknya memastikan bahwa penanaman telah dilaksanakan, pemeliharaan dilakukan, dan tidak ada yang menebang kayu tanpa seijin KP.
Pada pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3, posisi agents adalah sebagai penggarap lahan, karena secara de jure, lahan dimiliki oleh mitra antara KPH Tsm di Tipe 3
Sukaraja dan AvilandKTI bk di Tipe 3 Krucil. Pada pelaksanaan Tipe 3 Sukaraja terdapat aturan yang mengatur partisipasi bersama para pihak dan adanya
tanggungjawab mitra antara terhadap principal. Pada posisi tersebut agents pada Tipe 3 selain mendapatkan seluruh hasil panen tanaman palawija, maka agents di Tipe 3
Sukaraja juga memperoleh bagi hasil kayu sebesar 20. Agents
tidak mempunyai kecil kemungkinan melakukan tindakan sub optimal berupa pemanenan kayu tanpa sepengetahuan mitra antara, karena adanya sanksi
yang diatur dalam kontrak yaitu dicabutnya hak garap lahan atau dikenakan sanksi sesuai hukum dan pengurangan pembayaran bagi hasil. Walaupun terdapat kejelasan
hak dan kewajiban dalam kontrak, namun adanya aturan sanksi pencabutan hak garap menjadikan tidak adanya jaminan kepastian bagi agents dalam pemanfaatan lahan.
Situasi tersebut berdampak pada adanya dorongan bagi agents di KIBARHUT Tipe 3 untuk ingkar janji atau berperilaku oportunis. Tindakan oportunis yang terindikasi
dilakukan agents adalah menghambat pertumbuhan tanaman kehutanan dengan tujuan memperpanjang waktu budidaya tanaman semusimtumpangsari, sekaligus
mempertahankan hak garap lahan. Guna mengatasi kemungkinan terjadinya perilaku oportunis tersebut, maka
mitra antara mempunyai petugas lapangan yang melakukan koordinasi dan
pengawasan secara langsung ke agents di lapangan. Petugas tersebut adalah mandor PHBM dan LMDH Tipe 3 di Sukaraja atau Wasbun dan jajarannya dibantu Pimbun
dari Puskopad Tipe 3 di Krucil. Pada situasi ini, principal menjadi pihak yang lebih mendapat manfaat karena struktur organisasi mitra antara yang sudah berjalan dan
bekerja di lapangan dianggap lebih mampu mengatasi kemungkinan perilaku oportunis agents.
Pada Tipe 3 Sukaraja, posisi mitra antara dan principal relatif setara karena kayu KIBARHUT dipasarkan sesuai mekanisme yang berlaku di Perum Perhutani.
Mitra antara tidak mempunyai kewajiban menjual kayu tersebut ke principal, tetapi
principal diberikan prioritas pertama membeli apabila persyaratan terpenuhi. Artinya
110
mitra antara telah mengamankan kemungkinan perilaku sub optimal, seperti principal
membeli kayu dengan harga lebih murah dari harga pasar atau menyatakan kayu tidak memenuhi kualifikasi. Pada sisi lain, kemungkinan perilaku oportunis principal dapat
diminimalisir karena adanya kontribusi biaya dari principal untuk membangun hutan KIBARHUT.
Pada Tipe 3 Krucil, hubungan institusional antara principal, mitra antara, dan agents
merupakan sistem institusi bahu-membahu atau interlocking Nugroho, 2002; 2003. Pada sistem tersebut, principal menyediakan keperluan produksi dana yaitu
Rp 1.950.000 per ha yang dibayarkan secara lumpsum dalam 4 tahapan, ketrampilan pengelolaan penyuluhan, teknis silvikultur, pembinaan, monev, dan inventarisasi
tegakan, teknologi pemanenan dan pengolahan kayu. Mitra antara menyediakan lahan, menjamin kemanan tegakan dan sebagian kebutuhan tenaga kerja, sedangkan
petani penggarap agents menyediakan tenaga kerja. Secara tidak langsung, agents terikat pada mitra antara dalam bentuk lahan garapan, dan mitra antara tergantung
pada agents ketersediaan pelaku penanaman dan pengelolaan hutan KIBARHUT. Mitra antara
tidak mempunyai pilihan lain selain menjual kayu hasil panen ke principal
, karena sampai saat ini belum ada industri perkayuan lainnya yang bersedia menampung kayu Balsa dan menggunakannya sebagai bahan baku.
Hal tersebut menunjukkan bahwa, secara tidak langsung, principal telah menghindari terjebak persaingan antar industri perkayuan untuk mendapatkan
komoditas bahan baku kayu di pasar. Inovasi proses produksi telah menjadikan principal
berhasil menciptakan “ceruk” pasar produk kayu olahan dari jenis kayu Balsa yang belum begitu dilirik oleh industri perkayuan di Indonesia, dan sekaligus
membuat pengaman terhadap investasinya membangun hutan tanaman jenis Balsa. Tidak adanya industri perkayuan yang menjadi pesaing potensial di Indonesia,
khususnya di Jawa Timur, yang siap mengolah atau melakukan proses produksi menggunakan jenis Balsa, menjadikan keberlanjutan pasokan bahan baku untuk
industri principal terjamin tanpa bisa “dicuri” atau dimanfaatkan oleh INPAK lainnya.
111