Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif
120
Tabel 25 Ringkasan PAM kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa
PP private
profit SP social
profit OT output
transfer IT input
transfer FT factor
transfer NT net
transfer
PCR DRC NPCO NPCI PC
Tipe 1 Bawang -
1 tingkat
115.385.147 199.468.330
74.223.417 4.154.144 5.706.621 84.083.183
0,517 0,371 0,789 1,123 0,578 -
2 tingkat
2.498.631 3.942.644 964.836
254.397 224.780
1.444.013 0,710 0,602 0,924 1,114 0,644
Tipe 2 Sukaraja -
2 tingkat
2.672.323 4.563.818 1.517.669
28.921 344.904
1.891.494 0,670 0,530 0,875 1,014 0,591
Tipe 2 Krucil -
1 tingkat
15.840.361 26.922.516 8.002.976 1.426.062
1.653.116 11.082.155 0,684 0,549 0,885 1,144 0,588
- 2
tingkat 2.836.537 6.696.958
3.008.470 336.391
515.560 3.860.420
0,803 0,623 0,856 1,110 0,424 Tipe 3 Sukaraja
- 2
tingkat 3.699.251 5.092.709
1.087.407 51.117
254.934 1.393.458
0,567 0,474 0,902 1,036 0,726 Tipe 3 Krucil
- 2 tingkat
1.957.878 4.274.046
1.392.713 464.978
521.477 2.316.168
0,859 0,729 0,933 1,128 0,470 Rata-rata
0,701 0,572 0,891 1,083 0,577 Keterangan : PP = keuntungan privat private profit; SP = keuntungan sosial social profit; PCR = rasio biaya privat private cost ratio;
DRC = rasio biaya sumberdaya domestik domestic resources cost ratio; NPCO = koefisien proteksi output nominal nominal protection coeeficient on tradabale output
; NPCI = koefisien proteksi input nominal nominal protection coefficient on tradable input
; PC = koefisien keuntungan profitability koefisien
12
121
Berdasarkan harga sosial, kelembagaan KIBARHUT menghasilkan keuntungan sosial positif SP 0 untuk semua tipe. SP bernilai positif berarti KIBARHUT
memiliki keunggulan komparatif atau efisien secara ekonomi. Analisis keuntungan privat dan sosial
83
tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai kelayakan ekonomis pada kondisi tidak ada divergensi, dan penerapan
kebijakan berlangsung secara efisien. Jika terjadi divergensi dan distorsi kebijakan maka keunggulan kompetitif dan
komparatif dapat dikaji dengan nilai private cost ratio PCR
84
dan domestic resources cost ratio
DRC
85
. Tabel 25 menunjukkan bahwa semua tipe pada kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai PCR 1 dengan nilai rata-rata
0,701. Nilai PCR tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar 1 satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik
sebesar 0,701 atau secara rata-rata membutuhkan kurang dari satu satuan. Rasio PCR 1 tersebut memperlihatkan bahwa KIBARHUT di Pulau Jawa
memiliki keunggulan secara kompetitif, dan keunggulan tersebut meningkat dengan semakin kecilnya nilai PCR yang berarti semakin efisien secara finansial. Berdasarkan
kriteria tersebut maka Tipe 1 Bawang dengan hubungan 1 tingkat merupakan arena aksi yang mempunyai tingkat efisiensi finansial terbaik dibandingkan arena aksi
lainnya dan diikuti oleh Tipe 3 Sukaraja. Semua tipe kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai DRC 1
dengan nilai rata-rata 0,572. Rasio DRC menunjukkan bahwa untuk menghasilkan komoditas kayu FGS melalui kelembagaan KIBARHUT membutuhkan biaya
sumberdaya domestik rata-rata 57,2 terhadap biaya impor yang dibutuhkan. Dengan kata lain, untuk menghasilkan setiap US 1.00 dari hasil kayu jenis FGS maka
KIBARHUT hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US 0,572 untuk memproduksinya. DRC juga memperlihatkan bahwa kelembagaan KIBARHUT di
Pulau Jawa memiliki efisiensi secara sosial atau keunggulan secara komparatif. Keunggulan atau daya saing tersebut semakin meningkat dengan semakin kecilnya
83
Analisis ekonomis dengan harga sosial yang diestimasi estimated social prices meninjau aktivitas ekonomi dari sudut pandang masyarakat keseluruhan dan menggambarkan nilai ekonomisosial
sesungguhnya atau the true value of social or economic value Gittinger, 1982; Pearson et al., 2005.
84
PCR adalah indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem usaha untuk membayar biaya domestik dan tetap memiliki daya saing atau keunggulan kompetitif.
85
DRC adalah indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa.
122
DRC, yang berarti mempunyai keunggulan komparatif yang semakin tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut, maka Tipe 1 Bawang dengan hubungan 1 tingkat adalah
arena aksi yang mempunyai keunggulan komparatif tertinggi dibandingkan tipe lainnya, dan diikuti Tipe 3 Sukaraja.
Selanjutnya, dampak adanya distorsi kebijakan yaitu dalam bentuk larangan imporekspor, pemberian subsidi, pengenaan pajak atau kegagalan pasar
tergambarkan pada pengaruh divergensi effects of divergences. Divergensi atau penyimpanganperbedaan antara harga privat yang dicermati actual market dan
harga sosial yang diduga memberikan kejelasan dampak distorsi kebijakan dan kegagalan pasar effects of distorting policies and market failures. Divergensi
dicermati dari 3 sisi yaitu output output transfer, input input transfer dan output- inputtransfer bersih net transfer.
Transfer output OT merupakan selisih antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. OT pada semua tipe KIBARHUT
di Pulau Jawa mempunyai nilai negatif. OT bernilai negatif berarti konsumen INPAK atau principal membeli, dan produsen menerima harga yang lebih rendah dari harga
seharusnya sehingga seolah-olah implisit dibebani pajaktransfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan sistem usaha KIBARHUT di Pulau Jawa.
Melengkapi analisis dari sisi output, maka pencermatan koefisien proteksi output nominal atau NPCO nominal protection coefficient on tradable output
dilakukan guna menganalisis proteksi atau kebijakan pemerintah yang diberikan. kelembagaan KIBARHUT memiliki NPCO 1 dengan rata-rata sebesar 0,891 Tabel
25. Nilai tersebut menunjukkan harga domestik kayu Sengon di Pulau Jawa adalah lebih rendah dari harga paritasnya, dan tidak ada policy transfer atau proteksi yang
diterima pelaku KIBARHUT. Nilai insentif yang diberikan pemerintah terhadap input produksi dan
dampaknya dapat dilihat dari besarnya nilai tradabale input transfer IT, koefisien nominal proteksi input atau NPCI nominal protection coefficient on tradable input
dan transfer input faktor domestik factor transfer atau FT. Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa menghasilkan IT yang positif IT 0. IT positif terjadi
karena harga privat untuk input-input tradable adalah lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya. Rasio kedua nilai tersebut disebut sebagai NPCI, dan kelembagaan
123
KIBARHUT memiliki NPCI yang lebih dari satu. NPCI 1 tersebut terjadi karena terjadinya kelangkaan pupuk sehingga harga pupuk urea yang dibayarkan petani
adalah lebih tinggi berkisar antara 16,7 – 33,3 daripada harga pupuk subsidi pemerintah. Dampaknya adalah penggunaan input tradable pupuk an-organik dan
obat-obatan sangat rendah dan terbatas, dan umumnya dipergunakan dalam proses produksi komoditas non kayu atau tanaman hortikultur yang ditanam secara
tumpangsari pada awal-awal daur tanaman kayu. Karenanya biaya-biaya yang dikeluarkan petani untuk memperoleh pupuk kimia
dan obat-obatan adalah melebihi jumlah subsidi yang diterima atas input tradable tersebut dan bahan bakar minyak. Hal tersebut banyak ditemukan pada berbagai kasus
sistem usahatani yang dianalisis dengan PAM, sebagaimana diungkapkan Anapu et al
., Aji, Budastra dan Dipokusumo, Pellokila et al., dan Zakaria et al. dalam Pearson et al
. 2005. Pada sisi lain, kondisi tersebut menunjukkan adanya penggunaan input domestik sumberdaya lokal yang tidak diperdagangkan di pasaran dunia
sumberdaya lokal yang lebih besar oleh produsen. Besaran yang menunjukkan perbedaan antara harga privat dan harga sosial yang
diterima produsen untuk pembayaran faktor produksi yang tidak diperdagangkan disebut factor transfer FT. Nilai FT pada berbagai tipe kelembagaan KIBARHUT
mempunyai nilai positif, dan menunjukkan bahwa barang-barang domestik yang tidak diperdagangkan mempunyai harga privat yang lebih tinggi dibandingkan harga
sesungguhnya. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pembayaran sewa lahan, dan biaya modal pada harga sosial serta kewajiban-kewajiban yang dibebankan
pemerintah kepada pelaku usaha termasuk pengenaan pajak dan subsidi bunga yang tidak dimasukkan dalam perhitungan harga sosial.
Analisis gabungan input–output dilakukan dengan mencermati nilai selisih antara penerimaan atau keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen,
dengan keuntungan bersih berdasarkan harga sosialnya atau disebut net transfer NT. Penerimaan sosial SP untuk berbagai tipe kelembagaan KIBARHUT adalah lebih
tinggi dibandingkan PP, sehingga nilai NT yang diperoleh adalah negatif NT 0. Net transfer negatif menyebabkan keuntungan rata-rata untuk perhitungan
secara total atau semua komoditas yang diusahakan KIBARHUT sebesar 57,7 setara dengan nilai rata-rata koefisien profit atau profitability coefficient PC yaitu
124
0,577 dari yang seharusnya. Artinya kebijakan pemerintah pada saat ini membuat keuntungan diterima produsen lebih kecil karena terdapat surplus 42,3 yang
dinikmati oleh konsumen komoditas yang dihasilkan dari kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa.
Kebijakan pemerintah juga belum memberikan insentif bagi pelaksanaan KIBARHUT di Pulau Jawa dan tidak ada perlindungan diterima petani atau produsen
kayu KIBARHUT. Kondisi ini ditunjukkan dengan nilai OT negatif dan NPCO 1 yang berarti harga output kayu Sengon di pasar domestik masih lebih rendah
dibandingkan harga dunianya. Harga kayu jenis Sengon di Pulau Jawa pada tingkat pabrik mencapai rata-rata US 70 per m³, sedangkan rata-rata harga dunia adalah US
109 atau harga paritasnya di pintu pabrik adalah sekitar US 86,84
86
. Terdapat perbedaan disparitas sebesar 35,8 antara harga dunia dibandingkan harga pasar
domestik, atau selisih sekitar 25,5 antara harga pasar dibandingkan harga paritasnya di pintu pabrik.
Adanya selisih harga tersebut secara sederhana dianggap memadai untuk membiayai berbagai biaya-biaya terkait ekspor KB. Secara sederhana jika transaksi
ekpor diperkenankan, maka terdapat kemungkinan bagi pemerintah mengenakan 12,75 tarif bea keluar. Tarif bea keluar tersebut dihitung berdasarkan disparitas di
pintu pabrik 25,5 dikurangi 12,75 pajak-pajak yang harus dibayar eksportir
87
, pada harga patokan eskpor sekitar US 109. Jika harga patokan ekspor ditetapkan
lebih rendah dari US109, maka tarif bea keluar dapat dikenakan lebih tinggi dari 12,75 dan begitu juga sebaliknya.
Pengenaan bea keluar sebesar tersebut masih dalam batas kewajaran, sebagaimana diungkapkan Astana 2005 bahwa tarif bea keluar optimal KB adalah
berkisar 15–30 dari harga patokan ekspor. Besaran tarif bea keluar juga harus sudah memperhitungkan kemungkinan adanya biaya sertifikasi dan uji laboratorium yang
86
Penggunaan harga paritas imporekspor suatu komoditas yang tradable adalah harga sosial yang diduga dari harga barang sejenis comparable di pasar internasional, yaitu harga impor cost insurance
freight – CIF untuk komoditas impor dan harga ekspor free on board atau FOB untuk komoditas
ekspor. Harga paritas berdasarkan harga internasional dengan memperhitungkan biaya kapal, asuransi, dan nilai kurs, serta biaya karantina, biaya pelabuhan dan angkutan ke pelabuhan, sehingga menjadi
harga FOB di Indonesia. Artinya, harga paritas diperbandingkan pada lokasi, waktu, kualitas dan bentuk yang sama. Harga paritas tersebut belum menghitung tariff bea keluar dan pajak-pajak
Lampiran 19.
87
Beberapa biaya dan pungutan pada pemasaran ekspor adalah tariff bea ekspor, pajakretribusi sekitar 12,75 dari harga di invoice, yaitu PPN=10, PPH pasal 22=2,5, dan PNBP Rp 50.000
kontainer.
125
diwajibkan untuk transaksi internasional produk kayu diantaranya adalah SPS dan fumigasi, biaya siluman invicible cost di pelabuhan, serta resiko pemasaran
internasional seperti nilai tukar, krisis keuangan, dan tingginya nilai jaminan asuransi. Tarif bea keluar terlalu tinggi menyebabkan harga domestik kayu jenis FGS tertekan
dan bernilai jauh dibawah harga dunianya.Tarif terlalu rendah menyebabkan harga kayu di dalam negeri melonjak terlampau tinggi sehingga mengganggu saluran
pemasaran dan pasokan kayu bagi industri dalam negeri.