42 berprofesi sebagai nelayan. Dalam tabel tampak paling tinggi perempuan yang
berprofesi sebagai pengrajin industri rumah tangga. Industri rumah tangga yang terdapat di desa ini adalah pengrajin anyaman dari lidi kelapa yang dibuat menjadi
alas makan, souvenir dan lain-lain.
Prasarana dan sarana kesehatan yang ada adalah Puskesmas pembantu sebanyai satu unit, tujuh unit Posyandu dan satu unit Rumah Bersalin. Sedangkan
tenaga paramedisnya sebanyak tiga orang, tiga orang dukun bersalin terlatih, dua orang bidan dan satu orang perawat PODES Loyok 2010.
Desa Kotaraja merupakan desa di Lombok Timur yang basis nafkah utama masyarakatnya adalah pertanian sawah. Jarak Desa Kotaraja ke ibukota
Kabupaten Lombok Timur sejauh tujuh kilometer. Desa Kotaraja dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dua, maupun kendaraan roda empat. Jarak tempuh
dari ibukota Kabupaten Lombok Timur ke Desa Kotaraja dengan menggunakan kendaraan bermotor selama tiga perempat jam. Sementara jarak tempuh dari Desa
Kotaraja ke Ibukota propinsi NTB yakni Kota Mataram dengan menggunakan kendaraan roda dua ditempuh selama satu setengah jam. Batas wilayah Desa
Kotaraja adalah sebagai berikut : sebelah Utara Desa Kotaraja berbatasan dengan Desa Tete Batu, sebelah selatan Kotaraja berbatasan dengan Kecamatan Sikur.
Sebelah Timur, Desa Kotaraja berbatasan dengan Desa Loyok, Kecamatan Sikur, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gelora, Kecamatan Sikur dan sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Pringge Jurang, Kecamatan Montong Gading.
Berdasarkan data PODES Desa Kotaraja tahun 2010, diperoleh data bahwa terjadi ketimpangan dalam hal penguasaan lahan pertanian. Jumlah keluarga
memiliki tanah pertanian sebanyak 1.432 KK, sementara rumahtangga yang tidak memiliki lahan pertanian dan bermata pencaharian sebagai buruh tani sebesar
2.109 KK. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Kotaraja tidak memiliki lahan pertanian. Sebesar 59,6 persen penduduk desa tidak memiliki
lahan pertanian. 25,3 persen penduduk desa memiliki lahan yang sempit atau sekitar kurang dari 1 Ha. Sementara lahan pertanian yang luas dikuasai oleh
segelintir penduduk desa saja.
Selain tanaman pangan, masyarakat Desa Kotaraja juga mengusahakan tanaman tembakau. Luas tanaman tembakau yang diusahakan oleh masyarakat
Desa Kotaraja seluas 100.350 Ha dengan hasil produksi mencapai 200 kwintal per hektar. Selain tanaman pangan dan tembakau, masyarakat juga menternakkan
sapi. Sapi diternakkan oleh 300 KK dengan jumlah total ternak sebanyak 395 ekor.
Berdasarkan data PODES Desa Kotaraja, diketahui bahwa berdasarkan jenis kelamin, proporsi penduduk perempuan lebih besar dibandingkan proporsi
penduduk laki-laki. Jumlah penduduk Desa Kotaraja sebanyak 5.608 jiwa, sementara untuk jumlah penduduk perempuan sebanyak 6.764 jiwa. Hal ini
diduga disebabkan karena maraknya migrasi yang dominan dilakukan oleh penduduk laki-laki ke Malaysia dan Arab Saudi. Jumlah total KK keseluruhan di
Desa Kotaraja sebanyak 3.541 KK dan jumlah penduduk total Desa Kotaraja sebanyak 12.372 jiwa
Berdasarkan data PODES Desa Kotaraja, 2010 juga diperoleh gambaran mengenai tingkat pendidikan masyarakat Desa Kotaraja. Tabel berikut
menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat Desa Kotaraja.
43 Tabel 12. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Kotaraja Berdasarkan Jenis
Kelamin, Tahun 2010
Tingkat Pendidikan
Laki-laki org
Persentase Perempuan
orang Persentase
Tidak Sekolah 818
8,87 1016
8,80 Tidak Tamat
SD 1.894
20,53 2.350
20,36 Tamat SD
615 6,67
885 7,67
Tidak Tamat SLTP
1.059 11,48
1.871 16,21
Tamat SLTP 1.594
17,28 1.976
17,12 Tidak Tamat
SLTA 1.954
21,18 2.422
20,98 Tamat SLTA
1.093 11,85
882 7,64
D1 – D3
156 1,69
117 1,01
S1 – S3
43 0,47
23 0,20
Total 9226
100 11542
100
Sumber : PODES Kotaraja, 2012 Berdasarkan data pada Tabel 12 menunjukkan bahwa masyarakat Desa
Kotaraja tergolong memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sebanyak 1894 jiwa penduduk laki-laki bersekolah hingga sekolah dasar namun tidak menamatkan
sekolah. Sementara untuk penduduk perempuan, sebanyak 2350 jiwa. Kemudian sebesar 1954 jiwa atau 21,18 persen penduduk laki-laki tidak menamatkan
sekolah hingga ke jenjang SMU dan sederajat. Sementara jumlah penduduk wanita yang bersekolah hingga sekolah lanjutan atas namun tidak tamat sekolah
sebanyak 2422 jiwa atau 20,98 persen.
44
6 SISTEM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT 6.1 Sejarah
Masyarakat Sasak pesisir, merupakan penduduk pendatang dari darat atau dari wilayah persawahan. Kedatangan komunitas Sasak di wilayah pesisir
sesungguhnya karena saat itu di akhir tahun 1970an sampai dengan tahun 1980 an, masyarakat Sasak yang tak bertanah atau petani yang tidak berlahan hidupnya
terdesak, kemudian menyingkir ke daerah pesisir untuk mengharapkan penghidupan. Masyarakat asli yang dipercaya mendiami desa-desa tua pesisir
seperti Batu Nampar, Krewe, Tanjung Luar, dan Labuan Haji adalah etnis Bajo dan Bugis. Dua etnis ini kemudian menerima kehadiran masyarakat Sasak
persawahan yang tunakisma karena dianggap menguntungkan bagi masyarakat Bugis dan Bajo. Desa-desa nelayan kemudian berkembang dan pada akhirnya
orang-orang Sasak mendominasi desa-desa baru di wilayah pesisir. Masyarakat Sasak kemudian banyak bekerja menjadi sabi
2
di kelompok-kelompok penangkapan cumi-cumi yang dikelola oleh nelayan-nelayan punggawa Bugis dan
Bajo baik di Batu Nampar hingga di wilayah Tanjung Luar di Jerowaru.Tahun 1970-1990an merupakan periode awal masyarakat persawahan Lombok Timur
untuk menjadi sabi di kelompok-kelompok penangkapan yang berjumlah sangat besar. Namun pada akhir 1990-an dan awal 2000an tenaga kerja sabi dari Sasak
persawahan kemudian makin menurun jumlahnya, disinyalir sebagai akibat makin meningkatnya penduduk laki-laki persawahan yang ke Malaysia dan Arab Saudi
untuk mencari nafkah.
6.2 Sistem Kepercayaan dan Mitologi
Pada beberapa literatur Bartholomew, Cederroth, dan Ecklund dikemukakan bahwa masyarakat Sasak digambarkan sebagai seorang muslim
yang taat. Meskipun begitu, kepercayaan tradisional terhadap mahluk halus dan kekuatan gaib masih tetap kuat. Orang-orang Sasak percaya pada hubungan
mikrokosmos benda-benda pusaka yang bertuah dengan lingkungan makrokosmos alam. Bencana dan penyakit dianggap berhubungan erat dengan
sikap manusia terhadap pelanggaran-pelanggaran adat. Agama Islam sebagaimana juga terjadi di wilayah-wilayah lainnya masuk melalui keselarasan dengan nilai-
nilai tradisional. Menurut Cederroth 1996, Melalatoa 1995, dan Budiwati 2000 dalam Shohibuddin 2000 mengungkapkan bahwa secara sejarah, proses
yang amat panjang dan melibatkan berbagai kekuatan politik dari kerajaan- kerajaan di Jawa, Sulawesi, dan juga Bali, dari segi keagamaan masyarakat suku
Sasak di Lombok akhirnya terbelah menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah kelompok Islam Waktu Lima yang ditandai oleh ketaatan pada ajaran-ajaran dan
praktek-praktek yang dianggap ortodoks dari agama Islam. Kedua, adalah kelompok Islam Wetu Telu yaitu mereka yang meski mengaku muslim, tetap
menjalankan praktek-praktek dan kepercayaan pra Islam. Berbeda dengan kelompok pertama, yang menonjol dalam keberagaman kelompok ini adalah
pengetahuan dan kebiasaan lokal, tentang adat istiadat, dan bukannya tentang
2
Sabi atau di daerah lain disebut sebagai nelayan sawi, bekerja sebagai buruh di kelompok nelayan
45 ajaran Islam sebagai rumusan ajaran dan praktek yang berasal dari negeri Arab.
Kelompok ketiga adalah Sasak Boda, yaitu pemeluk ajaran asli penduduk pribumi yang bersifat animistis. Seperti penduduk Tengger di Jawa, kelompok ini adalah
mereka yang memilih lari ke pegunungan dan tetap tak terislamkan. Belakangan, kelompok ini kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu sekte agama
Budha ketika ada tuntutan dari negara untuk hanya memilih salah satu dari lima yang diakui.
Yang sering menjadi kontroversi adalah pertentangan antara Islam Waktu Lima dengan Islam Wetu Telu. Beberapa poin yang menjadi sumber kontroversi
dan sering digugat oleh kalangan Islam ortodoks dari pola keagamaan kelompok Wetu Telu antara lain adalah Cederroth, 1996 dalam Shohibuddin 2000: 1 di
kalangan komunitas Wetu Telu orang awamnya tidak pernah menjalankan kewajiban sholat lima waktu, yang menjalankan sholat adalah kiyai dan inipun
dilakukan tidak secara tepat, ada banyak kesalahan cara membaca dan dilaksanakan tidak sebagaimana yang ditentukan, 2 orang awam juga tidak
menjalankan puasa selama bulan Ramadhan dan bahkan kiyai mengerjakannya sewaktu-waktu, kebanyakan hanya pada awal, pertengahan dan akhir bulan, 3
biasa mengkonsumsi alkohol baik dalam upacara-upacara adat maupun dalam kebiasaan sehari-hari. Komunitas Wetu Telu mengolah anggur beras dan
menyadap kelapa untuk difermentasikan sebagai minuman keras, 4 membolehkan mengkonsumsi makananan tertentu, terutama babi, namun juga
reptile tertentu dan kura-kura, 5 praktek mengumpulkan darah dari hewan yang disembelih untuk digunakan memasak, 6 kebiasaan berpakaian, terutama
pengenaan ikat kepala putih sapu puteq oleh kiyai ataupun ikat kepala batik oleh orang biasa selama pelaksanaan upacara. Dalam Islam sendiri tidak ada larangan
mengenakan ikatan kepala semacam demikian, namun kebiasaan ini tetap menimbulkan kegusaran di kalangan komunitas Waktu Lima. Sebab, sapu puteq
telah menjadi symbol Wetu Telu dan pengenaannya akan mengimplikasikan perilaku dan kebiasaan yang tidak ortodoks. Lagi pula, kedua jenis ikat kepala ini
menyerupai kebiasaan berpakaian di kalangan pemeluk Hindu-Bali, 7 Pemangku, perumbaq, dan belian, para pejabat keagamaan yang menangani
aspek-aspek ritual non-Islam dari sinkreatisme Wetu Telu dan dengan demikian harus dihapuskan. Lagi pula, pejabat-pejabat yang identik juga terdapat bukan saja
di kalangan pemeluk Boda namun juga Hindu Bali, 8 upacara-upacara penting sepanjang kalender Islam dilakukan dengan cara yang korup, banyak di antaranya
yang ditambah dengan aspek-aspek non-Islam seperti pemujaan roh leluhur, dan 9 Upacara-upacara Islam dilaksanakan tiga hari berikutnya dari yang berlaku di
kalangan Waktu Lima. Ini disebabkan penggunaan kalender kuno di kalangan Wetu Telu yang tidak sama dengan kalender umat Islam pada umumnya.
Sebagai ajaran dari perkawinan agama Islam dan tradisional, Islam Wetu Telu kemudian mempercayai beberapa mitologi feodalistik yang kemudian
membentuk proses berfikir penganutnya. Mitologi kemudian disosialisasikan melalui kegiatan pewayangan. Misalnya mitologi Dewi Rengganis, karya sastra
Sasak yang sangat terkenal merefleksikan pandangan budaya Sasak terhadap perempuan Sasak, juga sekaligus menunjukkan etika dan moralitas dari budaya
kawin-cerai yang marak di kalangan masyarakat Sasak. Menurut Supratno 2002, mitologi Dewi Rengganis yang diceritakan sebagai seorang putri raja yang sangat
cantik, baik budinya dan suka menolong orang lain. Ia juga mempunyai keimanan
46 terhadap agama yang sangat kuat, yang mampu mempertahankan kehormatan dan
kesuciannya. Ia tidak mudah tertarik pada rayuan laki-laki, tidak tergoda oleh kedudukan dan kekayaan. Meskipun Raden Repatmaja sebagai kekasihnya, tetapi
ia tetap selalu menolak disentuh oleh Raden Repatmaja. Ia baru mau disentuh oleh Raden Repatmaja, bila kekasihnya sudah mempunyai madu 44. Secara harfiah
Raden Repatmaja harus menikah 44 kali dahulu, baru bisa menyentuh dewi rengganis. Secara filosofis, 44 dapat diartikan Raden Repatmaja harus mempunyai
sifat wajib Tuhan 20, sifat mustahil Tuhan 20, dan sifat wajib Rasul empat. Simbolisasi hubungan percintaan Dewi Rengganis, diduga sebagai sumber
terjadinya budaya kawin dan cerai di masyarakat Sasak Kompas, 14 Agustus 1996. Dewi Rengganis sebagai simbolisasi perempuan Sasak, dikonstruksikan
sebagai perempuan yang menunjukkan keikhlasannya terhadap perbuatan kekasihnya yang memiliki istri yang banyak. Kecintaannya pada kekasihnya
meskipun cintanya ternodai dengan perselingkuhan sang kekasih, menguatkan bahwa perempuan Sasak terbiasa untuk menerima ketidaksetiaan pasangannya.
Menurut Supratno 2002 pada cerita Dewi Rengganis versi yang lainnya Dewi Rengganis dengan senang hati mencarikan kekasih lain Raden Repatmaja,
rupanya ini meligitimasi adat bahwa perempuan Sasak akan dengan ikhlas. Sebaliknya, simbolisasi Raden Repatmaja kemudian membentuk nilai-nilai
maskulinitas laki-laki Sasak yang ditunjukkan melalui jumlah istri yang dinikahinya. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa laki-laki Sasak
akan sangat bangga dan dengan suara lantang mengakui berkali-kalinya melakukan pernikahan dan kemudian bercerai.
Mitologi Putri Mandalika yang kemudian mempopulerkan Bau Nyale kemudian juga meligitimasi fenomena kawin cerai dan pernikahan dini di
kalangan masyarakat Sasak. Seperti yang diceritakan dalam legenda Bau Nyale, bagaimana seorang Putri yang diceritakan sangat cantik yang diperebutkan oleh
banyak lelaki yang berpengaruh. Perebutan ini hampir-hampir menjurus pada peperangan yang besar. Terlepas dari pada akhirnya Putri Mandalika tidak
memilih siapa pun dan mengakhiri hidupnya dengan terjun ke laut dan menjelma menjadi Nyale, agar dirinya bisa dimiliki, dirasakan, dan dinikmati oleh banyak
orang. Cerita mitologi ini kemudian melegitimasi kompetisi cinta, dan membentuk konstruksi pemikiran bahwa kebanggan setiap orang tua ketika anak
perempuan diperebutkan orang. Dari hasil wawancara di lapangan, pada tradisi kawin lari atau
merari‟ tidak jarang laki-laki yang ingin melarikan seorang perempuan, harus menghadapi pemuda lainnya yang juga ingin melarikannya.
Salah-salah, salah satu pemuda bisa kehilangan nyawa, karena akan terjadi perkelahian yang hebat. Kompetisi cinta ini, tidak ada sanksi sosialnya, malah
dianggap suatu yang wajar, dan kebanggan bagi pihak perempuan. Kompetisi cinta ini juga mendorong pernikahan muda. Karena telah saling cinta, ditambah
dengan kompetisi yang membanganggakan orang tua, pernikahan dilangsungkan, pasangan yang masih belia lupa pada beban yang mereka akan hadapi bukan saja
sebagai suami istri melainkan juga sebagai orang tua dari anak-anak mereka. Ketidaksiapan mental lambat laun menimbulkan perselisihan, dan pada akhirnya
untuk masalah yang sangat sepele kemudian bercerai. Anak-anak apalagi yang masih bayi dan balita kemudian menjadi korban. Pada kenyataan di lapangan,
anak-anak yang berasal dari keluarga yang pernah bercerai berada dalam kondisi kurang gizi.
47 Pewayangan Dewi Rengganis dan Putri Mandalika asal usul mitologi Bau
Nyale juga mensimbolisasi bagaimana pengorbanan seorang wanita terhadap orang lain, khususnya kepada pasangannya unsur non inti budaya Steward.
Pengorbanan seorang perempuan Sasak tercermin dari perjuangannya pada ranah domestik dan produktif. Pada bab enam, digambarkan khususnya pada beban
kerja perempuan Sasak pesisir yang banting tulang mencari nafkah, beban pengasuhan dibagi kepada anak-anaknya. Beban kerja kemudian menjadikan si
ibu menjadi kurang gizi pada saat mengandung, dan pada akhirnya bayi yang dilahirkan juga kurang mendapatkan asupan gizi yang baik, karena kesibukan
ibunya.
Mitologi tersebut juga menggambarkan bagaimana posisi laki-laki yang superior di kalangan masyarakat Sasak. Misalnya bagi kaum lelaki Sasak, tidak
mau berjalan atau lewat di bawah jemuran. Apalagi jika pakaian yang dijemur itu adalah pakaian dari istrinya, anak perempuannya atau anak lelakinya sekalipun.
Seorang suami akan pantang menggunakan pakaian-pakaian istrinya, misalnya kain batik istrinya. Seorang ayah juga akan menghindari makan makanan yang
merupakan sisa dari istri dan anaknya. Sehingga pada aturannya, seperti yang juga telah dijabarkan pada bagian bab enam, bahwa ayah akan duluan memakan
makanan yang telah dimasak. Setelah ayah makan, barulah istri dan anak-anaknya memakan makanan yang tersisa dari ayahnya. Ini juga bisa memicu munculnya
kasus gizi buruk dan kasus gizi kurang. Pada contoh kasus balita Farhan Lampiran 2 dapat menjadi refleksi fakta bahwa budaya kawin cerai di
masyarakat suku Sasak mendorong terjadinya kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah persawahan.
Wilayah Sasak pesisir, dikarenakan pengaruh budaya Bugis dan Bajo telah terinternalisasi ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat nelayan Sasak maka
mitologi yang dianut pun rupanya mengikuti kepercayaan terhadap mitologi khas masyarakat Bugis dan Bajo. Suku Bajo sebagai suku pelaut mendiami kampung-
kampung pesisir di seantero pesisir provinsi NTB seperti di Kabupaten Bima ada di kecamatan Sape yang sebagian besar penduduknya adalah suku Bajo, di
Kabupaten Sumbawa ada Desa Pulau Bungin dan Desa Pulau Kaong yang didiami oleh Suku Bajo, di Kabupaten Lombok Utara ada Kampung Jambianom yang
merupakan perkampungan Suku Bajo, di kabupaten Lombok Tengah ada Dusun Awang yang didiami suku Bajo dan di Kabupaten Lombok Timur ada desa
Tanjung Luar, Desa Labuhan Haji, Desa Maringkik, Desa Ketapang Raya dan Desa Batunampar yang merupakan pusat suku Bajo. Masyarakat Bugis dan Bajo
sendiri merupakan dua etnis yang identik dengan budaya laut. Ekologi laut menjadi landasan dari nilai-nilai budaya yang terbangun di masyarakat Bugis dan
Bajo. Di dusun Gili Belek sendiri, nilai-nilai masyarakat Bajo kental mewarnai kehidupan sehari-hari mereka. Nilai-nilai ini kemudian juga berperan di dalam
menentukan kecenderungan keluarga Sasak memaknai kehamilan, kelahiran dan perawatan anak.
Menurut Nuryaddin 1996
3
dalam kepercayaan suku Bajo dipercayai adanya dunia gaib yang dihuni oleh mahluk halus pamakitalo yang kekuatan
3
Nuryaddin dkk, La Ode Taufik. 1996. Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Suku Bajo di Kampung Boenaga Kecamatan Lasolo Kabupaten Kendari Provinsi
Sulawesi Tenggara, Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari diakses melalui laman : lontar.ui.ac.idfile?file=digital130307-D2000633...Analisis.pdf