47 Pewayangan Dewi Rengganis dan Putri Mandalika asal usul mitologi Bau
Nyale juga mensimbolisasi bagaimana pengorbanan seorang wanita terhadap orang lain, khususnya kepada pasangannya unsur non inti budaya Steward.
Pengorbanan seorang perempuan Sasak tercermin dari perjuangannya pada ranah domestik dan produktif. Pada bab enam, digambarkan khususnya pada beban
kerja perempuan Sasak pesisir yang banting tulang mencari nafkah, beban pengasuhan dibagi kepada anak-anaknya. Beban kerja kemudian menjadikan si
ibu menjadi kurang gizi pada saat mengandung, dan pada akhirnya bayi yang dilahirkan juga kurang mendapatkan asupan gizi yang baik, karena kesibukan
ibunya.
Mitologi tersebut juga menggambarkan bagaimana posisi laki-laki yang superior di kalangan masyarakat Sasak. Misalnya bagi kaum lelaki Sasak, tidak
mau berjalan atau lewat di bawah jemuran. Apalagi jika pakaian yang dijemur itu adalah pakaian dari istrinya, anak perempuannya atau anak lelakinya sekalipun.
Seorang suami akan pantang menggunakan pakaian-pakaian istrinya, misalnya kain batik istrinya. Seorang ayah juga akan menghindari makan makanan yang
merupakan sisa dari istri dan anaknya. Sehingga pada aturannya, seperti yang juga telah dijabarkan pada bagian bab enam, bahwa ayah akan duluan memakan
makanan yang telah dimasak. Setelah ayah makan, barulah istri dan anak-anaknya memakan makanan yang tersisa dari ayahnya. Ini juga bisa memicu munculnya
kasus gizi buruk dan kasus gizi kurang. Pada contoh kasus balita Farhan Lampiran 2 dapat menjadi refleksi fakta bahwa budaya kawin cerai di
masyarakat suku Sasak mendorong terjadinya kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah persawahan.
Wilayah Sasak pesisir, dikarenakan pengaruh budaya Bugis dan Bajo telah terinternalisasi ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat nelayan Sasak maka
mitologi yang dianut pun rupanya mengikuti kepercayaan terhadap mitologi khas masyarakat Bugis dan Bajo. Suku Bajo sebagai suku pelaut mendiami kampung-
kampung pesisir di seantero pesisir provinsi NTB seperti di Kabupaten Bima ada di kecamatan Sape yang sebagian besar penduduknya adalah suku Bajo, di
Kabupaten Sumbawa ada Desa Pulau Bungin dan Desa Pulau Kaong yang didiami oleh Suku Bajo, di Kabupaten Lombok Utara ada Kampung Jambianom yang
merupakan perkampungan Suku Bajo, di kabupaten Lombok Tengah ada Dusun Awang yang didiami suku Bajo dan di Kabupaten Lombok Timur ada desa
Tanjung Luar, Desa Labuhan Haji, Desa Maringkik, Desa Ketapang Raya dan Desa Batunampar yang merupakan pusat suku Bajo. Masyarakat Bugis dan Bajo
sendiri merupakan dua etnis yang identik dengan budaya laut. Ekologi laut menjadi landasan dari nilai-nilai budaya yang terbangun di masyarakat Bugis dan
Bajo. Di dusun Gili Belek sendiri, nilai-nilai masyarakat Bajo kental mewarnai kehidupan sehari-hari mereka. Nilai-nilai ini kemudian juga berperan di dalam
menentukan kecenderungan keluarga Sasak memaknai kehamilan, kelahiran dan perawatan anak.
Menurut Nuryaddin 1996
3
dalam kepercayaan suku Bajo dipercayai adanya dunia gaib yang dihuni oleh mahluk halus pamakitalo yang kekuatan
3
Nuryaddin dkk, La Ode Taufik. 1996. Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Suku Bajo di Kampung Boenaga Kecamatan Lasolo Kabupaten Kendari Provinsi
Sulawesi Tenggara, Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari diakses melalui laman : lontar.ui.ac.idfile?file=digital130307-D2000633...Analisis.pdf
48 gaibnya dipercaya bisa mendatangkan berkah atau bencana kepada manusia.
Mahluk tersebut merupakan jelmaan dari roh nenek moyang, leluhur atau roh dari orang-orang yang sudah meninggal. Dunia gaib tersebut dikendalikan oleh dewata
bernama petta sa‟dampalie atau nenek baliang yang menciptakan langit, bumi dan
segala isinya. Nenek Baliang ini dipercayai kerap menampakkan diri di darat, laut, dan permukaan laut.
Menurut Asba 2010, laut, bagi masyarakat Bajo tidak hanya dipandang dari aspek ekonomi, atau laut yang hanya memiliki sumberdaya hayati yang dapat
dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kepentingan ekonomi. Tetapi Laut adalah kawasan yang sangat sakral dan misterius yang mengandung nilai-nilai kearifan
untuk dimanfaatkan mahluk sejagad ini. Masyarakat Bajo di Bajoe misalnya meyakininya bahwa yang mengatur laut adalah kekuatan roh-roh yang berbentuk
makhluk-makhluk gaib. Roh-roh yang bersumber dari angin diatur oleh raja angin, batu karang dan jenis ikan diatur pula oleh penghuni laut. Jika manusia
murka dan menyia-nyiakan pemanfaatan laut maka dewa laut akan menghukumya. Hamparan laut dalam bahasa Bugis: tasi maloang, selalu
ditandai dengan suasana mencekam. Suasana mencekam itu tercermin dalam mitologi yang secara turun-temurun dipelihara oleh masyarakat Bajo. Mitologi
tersebut pada akhirnya memunculkan suatu kepercayaan tertentu, ungkapan bahasa dan tabu Bugis: pemali masih ditaati secara patuh dan turut
mengendalikan tingkah lakunya.
Beberapa kepercayaan tentang konsep pemahaman laut masyarakat Bajo yang didapatkan dalam bentuk tradisi lisan oral tradition antara lain adalah
sebagai berikut: 1 Mitos Nabi Hidere‟, 2 Mitos Sawerigading, dan 3
Kepercayaan Tentang Makhlus Halus, misalnya warga desa Bajoe Kabupaten Bone percaya bahwa di beberapa tempat tertentu di laut ada yang menjaganya.
Tempat-tempat itu antara lain adalah sebagai berikut: 1 Cella waramparang, yaitu permukaan hamparan air di mana sering muncul air yang kemerah-merahan,
2 Hantu laut yaitu roh orang yang mati di laut sering datang mengganggu perahu. Roh itu muncul saat hujan rintik-rintik disertai dengan kilat dan kelihatan
sebagi kunang-kunang di ujung atas tiang layar. Datang pula pada waktu malam saat bulan bersinar remang-remang, 3
Taka‟dewata, yaitu sebuah batu karang di laut yang tidak menetap tempatnya, sering mencelakakan pelaut yang sedang
berlayar. Apabila batu karang tersebut tidak mau merusak atau mencelakakan pelaut, ada semacam lilin berjalan berputar-putar di atas permukaan laut dekat
perahu, 4 Taka‟bekkeng, yaitu bentuk suatu karang yang melingkar di dasar
laut. Para pelaut sering menemukan batu yang melingkar seperti jangkar. Ketika akan berangkat, jangkar diangkat tetapi mata jangkar terpegang oleh
taka‟bekeng tersebut, sehingga tak dapat bergerak dari tempatnya. Dalam keaadan demikian,
nakhoda harus memerangi atau membuka ikatan tersebut dengan jalan doa-doa atau kekuatan magis Asba, 2010
4
. Pemaknaan orang-orang Bajo dan Sasak Pesisir mengenai kesehatan
kaitannya dengan status gizi balita erat kaitannya dengan makna perempuan khususnya perempuan yang sedang mengandung. Menurut Harjati et al., 2012
4
Asba, A. Rasyid. 2010. Nilai-Nilai Kebaharian Masyarakat Bajo dalam Pengembangan Wisata Bahari. Diakses melalui laman : Ml.Scribd.Com...NILAI-NILAI-KEBAHARIAN-MASYARAKAT-
BAJO
...
49 bahwa ibu hamil dikatakan sehat jika dapat melakukan pekerjaan rumah tangga
terlihat segar, dapat mengurus anak, kuat makan, tidak mengidam dan tidak sakit kepala. Seperti yang diketahui bahwa perempuan Bajo dianggap sebagai tulang
punggung keluarga. Perempuan Bajo dan pada akhirnya perempuan Sasak pesisir menduplikasi makna ini, dianggap menguasai ranah produktif maupun ranah
domestik. Beban kerja yang berat menyebabkan kehamilan menjadi diabaikan. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi anak yang dilahirkan kelak.
Kasus Susanto Lampiran 2 balita berumur lima tahun merupakan kasus yang menunjukkan bagaimana konstruksi ibu yang dituntut berperan ganda
menyebabkan anak-anaknya mengalami kasus Gizi Buruk.
6.3 Sistem Pemaknaan dan Orientasi Nilai
Keselamatan kehamilan seorang perempuan Sasak tidaklah berhenti pada upacara adat. Perempuan Sasak yang hamil dituntut memperhatikan dan
menghindari hal-hal yang terlarang. Mulai dari makanan hingga tindak tanduknya selama hamil. Orang Sasak percaya bahwa cerminan jiwa anak kelak dapat
terefleksi saat ibu sedang mengandung anaknya. Hal-hal pantangan bagi perempuan Sasak yang sedang hamil akan dijabarkan pada bagian pantangan
taboo selanjutnya.
Pada Tabel 13 dan Tabel 14 berikut menunjukkan bagaimana para ibu balita Sasak bergizi buruk dan kurang memaknai kehamilan dan hadirnya anak di
dalam rumah tangga baik di wilayah Sasak pesisir maupun persawahan. Tabel 13 Pemaknaan Kehamilan Bagi Ibu Balita Bergizi BurukKurang di
Wilayah Sasak Pesisir dan Persawahan, 2011
Maknaarti kehamilan bagi ibu
Wilayah Total
Pesisir Persawahan
Nuclear Non
Nuclear Nuclear
Non Nuclear
n n
n n
n Merupakan rejeki
dari Allah SWT 10
48 4
44 8
73 8
42 30
50 Titipan anak dari
Allah SWT 3
14 1
11 2
18 5
26 11
19 Menyenangkankea
daan yang pasti diharapkan oleh
setiap pasangan suami istri
2 10
1 11
1 9
1 5
5 8
Keadaan yang merepotkan
6 28
3 33
5 26
14 23
Total 21
100 9
100 11
100 19
100 60
100
Berdasarkan data di atas ditemukan fakta bahwa makna kehamilan bagi Ibu cenderung dominan pada makna kehamilan sebagai Rezeki dari Allah SWT
48 persen. Para Ibu yang memaknai kehamilan dengan makna tersebut berasal
50 dari keluarga yang utuh Nuclear Family. Sementara diwilayah Persawahan baik
para Ibu yang berasal dari Keluarga yang utuh Nuclear family maupun dari Keluarga yang tidak utuh juga dominan memaknai kehamilan sebagai Rezeki dari
Allah SWT 73 persen untuk Para Ibu dari Nuclear Family dan 42 persen dari Non Nuclear Family.
Tabel 14. Pemaknaan Anak Bagi Ibu Balita Bergizi BurukKurang di Wilayah
Sasak Pesisir dan Persawahan, 2011
Pemaknaan anak bagi ibu
Wilayah Total
Pesisir Persawahan
Nuclear Non
Nuclear Nuclear
Non Nuclear
n n
n n
n Anugrahrejeki dari
Allah SWT 5
24 1
11 8
73 14
74 28
47 Titipan Allah SWT 2
10 2
22 1
9 2
11 7
12 Asettabungan
masa depan bagi keluarga
10 48
6 67
1 9
1 5
18 30
Gambaran keberhasilan orang
tua 2
10 1
9 1
5 4
7
Kesempurnaan Hidup
1 5
1 5
2 3
Motivator Hidup 1
5 1
2
Total 21
100 9
100 11
100 19
100 60
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita memaknai bahwa kehamilan merupakan rezeki dari Yang Maha Kuasa, baik ibu balita di
wilayah Pesisir maupun persawahan. Pemaknaan yang berorientasi pada rasionalitas instrumental cenderung dimaknai oleh para ibu di wilayah pesisir
pada tipe rumah tangga nuclear family. Bagi rumah tangga pesisir sendiri, kehadiran anak dimaknai juga sebagai tambahan tenaga kerja misalnya pada Tabel
14 anak bagi Ibu balita yang berasal dari tipe nuclear family lebih kepada aset ekonomi atau tabungan rumah tangga. Hasil temuan di lapangan menunjukkan
bahwa anak-anak, mulai yang masih balita hingga sudah dewasa digunakan sebagai tenaga kerja untuk sumber pendapatan rumah tangga. Di setiap rumah
tangga yang terpilih untuk diteliti rata-rata memiliki jumlah anak mulai dari tiga orang hingga tujuh orang anak lihat kembali pada Tabel 14.
Menurut Daliem 1981
5
anak bagi masyarakat Sasak persawahan di Lombok Selatan merupakan suatu kebanggan, khususnya anak perempuan. Anak
perempuan menjadi sumber rezeki bagi orang tuanya, ketika sang anak banyak diminati
oleh lelaki.
Daliem mengungkapkan
bahwa dalam
acara ngendangberedang
6
gadis-gadis muda bersolek dan disiapkan untuk memikat
5
M. Mimbarman Daliem. 1981. Lombok Selatan dalam Pelukan Adat Istiadat Sasak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan .
6
Acara khusus untuk muda-mudi pada malam pesta perkawinan di Lombok Selatan
51 para lelaki yang membawa pereweh bingkisan. Orang tua bahkan menyiapkan
senggeger guna-guna untuk memikat lelaki. Seorang yang menaruh hati pada seorang gadis akan memberikan bingkisannya terlebih dahulu mengisyaratkan
pada gadisnya dengan sorot lampu senter yang menyilaukan. Seorang gadis yang mempunyai banyak kekasih akan kewalahan menerima pejambek. Terkadang
sampai bertumpuk dan tidak mampu membawanya pulang. Bagi Daliem, ngendang merupakan pemborosan yang luar biasa. Pengeluaran setiap lelaki untuk
menyediakan pereweh sangat besar. Karna semakin mewah pereweh maka semakin besar peluang lelaki tersebut diterima oleh perempuan yang ditaksirnya
pada acara ngendang.
Hasil penelitian menunjukkan juga bahwa beberapa ibu balita memaknai bahwa kehamilan sebagai suatu beban. Pada Tabel 13 sebanyak 23 persen ibu
balita baik di Pesisir maupun persawahan yang memaknai kehamilan sebagai suatu kondisi yang merepotkan. Pemaknaan ini muncul dari para Ibu di pesisir
yang memiliki anak banyak. Sementara di wilayah persawahan pemaknaan ini muncul oleh para Ibu yang pernah mengalami perceraian berkali-kali.
Kehamilan bagi masyarakat Sasak juga merupakan masa-masa rentan seorang wanita terkena penyakit kebatinan yang bisa mengganggu janin dan
ibunya sendiri. Masyarakat Sasak mempercayai bahwa belian atau dukun mendapatkan posisi istimewa dan sangat dipercaya oleh masyarakat, karena
mampu mengobati penyakit kebatinan penyakit personalistik. Pemaknaan terhadap Belian oleh para Ibu didorong oleh rasionalitas berorientasi nilai
didominasi oleh rasionalitas substatif yang bergerak pada ranah nilai-nilai beliefs dan adanya kebiasaan atau tradisi bahwa untuk penyakit guna-guna yang
bisa mengancam janin di dalam kandungan maka obat yang mujarab bukanlah obat medis melainkan obat jampi-jampi dari Belian. Namun, seiring berjalannya
waktu, peran belian perlahan-lahan digantikan oleh tenaga medis yakni bidan, mantri dan dokter khususnya dalam bidang penanganan pemeriksaan kehamilan,
dan proses kelahiran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar ibu hamil di wilayah persawahan memaknai bahwa pemeriksaan kehamilan oleh pihak medis
merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh ibu untuk mengikuti perkembangan janin. Sementara ibu balita di pesisir, juga memaknai hal yang
sama terhadap kegiatan pemeriksaan kehamilan. Namun, ibu hamil di wilayah pesisir menganggap bahwa pemeriksaan tersebut dilakukan hanya jika terjadi
komplikasi atau gangguan kehamilan yang serius.
Meskipun peran belian perlahan-lahan telah berkurang di dalam kegiatan kehamilan, namun unsur-unsur kebatinan penyakit personalistik masih menjadi
kompetensi utama yang hanya bisa ditangani oleh belian. Misalnya beberapa ibu hamil di pesisir maupun di persawahan melakukan pemeriksaan kehamilan oleh
pihak medis hanya jika belian tidak bisa lagi mengobati. Beberapa ibu hamil di pesisir mengungkapkan bahwa belian lah yang bisa menjauhkan dari roh halus.
Bagi ibu-ibu yang tengah mengandung di pesisir, belian dianggap sebagai pelengkap bantuan dari pihak medis. Pelengkap di sini diartikan bahwa ada
upacara-upacara khusus untuk menghindari penyakit yang tidak bisa dilakukan oleh medis, serta membersihkan bayi yang baru saja dilahirkan. Begitu pula
dengan ibu-ibu di wilayah persawahan, beberapa ibu hamil juga memaknai bahwa
52 belian merupakan pendukung dalam perawatan kehamilan yang dilakukan oleh
pihak medis. Masyarakat Sasak yang lekat dengan kepercayaan-kepercayaan dan hal-
hal yang magis, tidak bisa terlepas dari peran seorang belian. Belian sendiri merupakan istilah lokal Sasak untuk orang yang mampu memberikan pengobatan
secara tradisonal dan membantu proses perawatan kehamilan dan kelahiran. Menurut Bidan Lila, saat ini kecenderungan masyarakat Loyok, untuk kegiatan
persalinan sudah jarang yang menyerahkan kepada belian. Masyarakat saat ini cenderung lebih menyerahkan tanggung jawab dalam proses persalinan dan
pemeriksaan kehamilan kepada bidan desa yang ditunjuk pemerintah. Karena bidan dipercaya oleh masyarakat mampu mengatasi komplikasi kehamilan seperti
eklamsia. Namun, bukan berarti kemudian peran belian sepenuhnya tersingkir di masyarakat. Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa dengan kepercayaan
masyarakat yang masih sangat kental dengan magis dan kepercayaan-kepercayaan mengenai roh halus, maka belian masih sangat berperan di dalam mendampingi
ibu saat hamil dan proses persalinan. Kepercayaan masyarakat Sasak akan kekuatan magis khususnya ilmu hitam yang bisa mencelakai ibu yang sedang
hamil, serta kemampuan belian yang dipercayai paling mumpuni di dalam menjauhkan dan menyembuhkan ibu dan janin dari gangguan roh halus.
Menurut Ina ‟ Js seorang belian, yang telah tiga tahun menjadi
belian mengakui bahwa jenis perawatan kehamilan yang biasa diberikan oleh ibu yang sedang hamil antara lain selain air jampi-jampi, jeringo sejenis akar-akaran
tanaman sejenis jahe yang disematkan dengan peniti ke pakaian ibu hamil dan bayi, dan memberikan jimat dari benang yang dipulum dan diikat seadanya
dengan hiasan kayu kecil sebagai gelang di tangan ibu dan bayi. Juga memberikan oroh-orohan atau pijat kehamilan yang berfungsi untuk relaksasi ibu hamil, dan
mengendalikan posisi bayi di dalam perut sehingga tidak terjadi bayi sungsang, dan mudah dalam proses kehamilan.
Belian diperlukan sesungguhnya menjelang persalinan atau saat mulai pembukaan tiga. Belian kemudian memberi air jampi-jampi agar bayi dengan
mudah melewati jalan lahir. Setelah air ketuban pecah, yang merupakan tanda bahwa kegiatan persalinan akan segera dilaksanakan, barulah bidan medis
melakukan tugasnya, setelah bayi lahir dan proses kelahiran selesai, perawatan ibu pasca melahirkan dan bayi kembali menjadi tanggung jawab belian. Belian lah
yang mencucikan pakaian ibu yang bernoda darah nifas, memandikan bayi, mengurus ari-ari beserta ritual tanam ari-ari di halaman rumah
7
. Makna ari-ari bayi ditanam di batok tanah liat nemek yang ditanam di halaman rumah
menandakan harapan bahwa kelak anak tidak akan pergi jauh dari rumah, dan jika anak kelak hidup merantau tidak akan pernah lupa akan rumah, orang tua, dan
kampung halaman. Belian nganak juga mengurus ibu pasca melahirkan, ketika tali pusar bayi jatuh atau kira-kira seminggu setelah dilahirkan, atau saat api di atas
7
Menurut May et al., 1989 upacara kelahiran masyarakat Sasak dimulai dari pembersihan ari-ari. Ari-ari bayi tonto yang telah dibersihkan oleh Belian kemudian ditanam oleh ayah. Ini
dimaksudkan agar supaya ayah juga turut merasakan penderitaan istri dari sejak mengandung sampai melahirkan bayinya. Setelah itu dukun beranak belian nganak akan memulai untuk
membacakan doa-doanya mantera pada rangkaian upacara tersebut. Pada upacara ini dibuat semacam sesajen yang akan dibagi-bagikan kepada setiap mereka yang ada disana. Sesajen
tersebut dibuat dari tepung beras dicampur gula kelapa dan kelapa yang sudah agak tua lalu kemudian ditumbuk. Adonan yang sudah halus tersebut disebut songgaq.