Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB
ORIENTASI GIZI MASYARAKAT: STUDI SOSIO BUDAYA
DI PROVINSI NTB
(Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB)
ADRIANA MONICA SAHIDU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Orientasi Gizi Masyarakat: Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Adriana Monica Sahidu I363090011
(4)
RINGKASAN
ADRIANA MONICA SAHIDU. Orientasi Gizi Masyarakat: Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB)
,
di bawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN, ARIF SATRIA, SOERYO ADIWIBOWO, ALI KHOMSANSalah satu provinsi yang mengalami permasalahan kronis mengenai munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang antara lain adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Provinsi yang terkenal sebagai lumbung padi nasional tersebut memang tengah menghadapi permasalahan semakin meningkatnya kasus gizi buruk dan gizi kurang dari tahun ke tahun. Permasalahan gizi buruk yang dialami suatu wilayah bukanlah suatu kasus yang mudah dipecahkan, karena masalah kesehatan berarti juga masalah yang melibatkan banyak dimensi, tidak hanya mengenai masalah teknis, tapi lebih pada konsepsi sistem sosial yang menyangkut nilai-nilai budaya, mengenai penyakit, baik sebagai suatu simbol positif maupun negatif, yang diberi nilai-nilai tertentu oleh masyarakat. Masalah gizi buruk juga dipengaruhi oleh preferensi makanan baik saat kehamilan hingga saat anak tumbuh dewasa. Segala bentuk pantangan makanan pada periode kehidupan di kelompok masyarakat tersebut, terbentuk atas dasar nilai-nilai budaya lokal. Misalnya, di suku Sasak pantang bagi perempuan yang hamil untuk memakan ikan dan segala bentuk daging. Gizi buruk semakin parah ketika keluarga tersebut dihadapkan oleh kehidupannya sebagai kelompok masyarakat lapisan bawah yang marjinal. Hampir semua kasus gizi buruk dan gizi kurang dialami oleh anak-anak yang berasal dari kelompok masyarakat miskin.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui dan menganalisa status gizi balita di komunitas Sasak pesisir dan komunitas Sasak persawahan ; (2) Untuk mengkaji peran pola adaptasi ekologi, sistem sosial budaya dan kebijakan pembangunan terhadap status gizi balita di komunitas Sasak pesisir dan komunitas Sasak persawahan.
Penelitian ini berpijak pada teorisasi Kluckhohn tentang orientasi nilai budaya masyarakat, Blau mengenai struktur sosial masyarakat, adaptasi budaya Julian Steward, dan kenyataan bahwa adanya beragam kebijakan pembangunan dan pengentasan gizi buruk dan gizi kurang diduga juga berkontribusi terhadap masih tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang yang terjadi di dua komunitas suku Sasak baik di pesisir maupun di persawahan. Metode penelitian yang digunakan yakni menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif dengan pendekatan paradigma post-positivism. Penelitian dilaksanakan pada dua komunitas Sasak yaitu yang berada di wilayah pesisir dan wilayah persawahan di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB. Dipilih masing-masing dua desa di wilayah pesisir dalam satu kecamatan dan dua desa di wilayah persawahan dalam satu kecamatan di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB. Unit analisa penelitian ini yakni komunitas suku Sasak di wilayah pesisir dan wilayah persawahan. Namun, mengingat keterbatasan waktu dan biaya maka penelitian ini menggunakan data rumahtangga yang memiliki anak bergizi buruk dan gizi kurang untuk mendalami konteks sosial masyarakat Sasak. Data dianalisis melalui dua pendekatan yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk data kuantitatif dilakukan tabulasi silang
(5)
untuk melihat gambaran kasus gizi buruk dan gizi kurang, serta gizi normal pada dua komunitas berbeda. Data kualitatif berfungsi untuk menjelaskan alasan secara filosofis mengenai faktor pembeda yang menyebabkan booming kasus gizi buruk dan gizi kurang.
Hasil penelitian diperoleh fakta bahwa keterkaitan antara gizi ibu hamil dan balita melalui pemaknaan merupakan refleksi dari orientasi nilai budaya masyarakat Sasak, karena gizi ditentukan oleh apa yang dimakan, apa saja jenisnya, bagaimana pengolahannya, dan bagaimana pemberian makanan tersebut khususnya kepada balita. Pemaknaan akan jumlah anak berperan di dalam faktor penyebab kasus gizi buruk dan kurang di wilayah pesisir. Sementara, di persawahan sebaliknya cenderung marak terjadinya kawin cerai yang menyebabkan keluarga di persawahan lebih rapuh.
Gambaran status gizi balita dipahami dari sudut pandang pola asuh rumah tangga kepada balita bergizi buruk dan kurang. Berdasarkan jumlah anak yang dimiliki oleh rumah tangga balita bergizi buruk dan kurang, ditemukan fakta bahwa jumlah anak di rumah tangga Sasak pesisir cenderung lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga di Sasak persawahan. Jumlah anak yang relatif lebih banyak kemudian akan berperan pada mekanisme pola asuh dan pemberian pangan pada anak yang masih balita. Cara pemberian makanan pendamping ASI oleh ibu kepada balita baik di pesisir maupun persawahan didominasi oleh praktek pemberian makanan yang tidak higienis seperti memberi makan dengan tangan dan di pakpak. Kemudian, anggota keluarga yang dipercaya untuk memberikan makanan pendamping ASI, menunjukkan bahwa di pesisir pemberian makanan pendamping ASI tidak hanya dilakukan oleh papu‟ layaknya di rumahtangga balita bergizi buruk dan gizi kurang di persawahan melainkan diberikan tanggung jawab kepada kakaknya yang belum beranjak dewasa.
Berdasarkan teoritisasi Weber, tindakan sosial dalam hal ini bentuk pengasuhan balita disebabkan oleh bentuk rasionalitas yang berbeda di pesisir maupun di persawahan. Pada wilayah pesisir, orang tua mengasuh anak tidak terlepas atas dorongan rasionalitas instrumental. Hal ini tidak terlepas dari upaya rumah tangga dalam hal pengejaran materi untuk mempertahankan hidup di tengah kehidupan yang sulit. Sementara di wilayah persawahan, orang tua mengasuh anak tidak terlepas dari fakta bahwa keluarga balita sangat rapuh karena maraknya kawin cerai, pernikahan dini, ngerorot dan nurut nine‟ sehingga anak jatuh dalam kondisi gizi buruk/kurang. Seperti yang telah dijabarkan bahwa akar penyebab di persawahan tidak lepas dari peran nilai-nilai budaya Sasak yang kental. Maka, tindakan pola asuh balita didasarkan pada rasionalitas berorientasi nilai yang kuat. Munculnya perbedaan rasionalitas tersebut antara Sasak pesisir dan persawahan tidak terlepas dari pengaruh akulturasi budaya Bugis Bajo dan Sasak serta tidak dipungkiri juga atas pengaruh adaptasi ekologi oleh rumah tangga balita Sasak pesisir dan Sasak persawahan. Hal tersebut tercermin dari orientasi nilai yang terkait erat dengan sumber penyebab kasus gizi buruk dan gizi kurang.
Pengaruh adaptasi ekologi oleh rumah tangga balita Sasak pesisir dan Sasak persawahan tercermin dari orientasi nilai yang terkait erat dengan sumber penyebab kasus gizi buruk dan gizi kurang. Orientasi nilai budaya dibagi menjadi tiga bagian antara lain sistem kepercayaan dan mitologi masyarakat Sasak pesisir dan persawahan, sistem pengetahuan dan teknologi asli yang berkembang
(6)
kaitannya dengan gizi buruk dan kurang, serta kelembagaan dan asosiasi lokal yang efektif dalam penanganan kasus gizi buruk dan kurang.
(7)
SUMMARY
ADRIANA MONICA SAHIDU. The Nutrient Orientation of a Society – a Socio-cultural Study in NTB Province (Study Case in Lombok Island NTB Province), Counselors ARYA HADI DHARMAWAN, ARIF SATRIA, SOERYO ADIWIBOWO, ALI KHOMSAN
Nusa Tenggara Barat Province is one of provinces in Indonesia experiencing a severe problem on malnutrition and undernourishment. The province is a central of national paddy production; however, its malnutrition problem is increasing yearly. Malnutrition problem is a complicated problem since it involves various dimensions. It is not only involving technical problem but also social system conception related to certain cultural values given by a society for the disease as either positive or negative symbols. The problem is also influenced by food preference during the pregnancy and until the child grows to be an adult person. Any dietetic on a life period of certain group is formed based on local cultural values. For example, in Sasak tribe, it is forbidden for a pregnant woman to consume any fishes and meats. The malnutrition problem is worst for marginal families within the lower level of society group. Children from poor society group mostly experience the problem.
The purposes of the research are: (1) to find out and analyze the nutrient status of toddlers in coastal Sasak community and rice field Sasak community; and (2) to study the role of ecological adaptation pattern, social cultural system and developmental policy on toddlers‟ nutrient status in coastal Sasak community and rice field Sasak community.
The research is based on the theorizing of Kluckhohn on cultural value orientation of a society, Blau on social structure of a society, and Julian Steward on cultural adaptation. The research is also based on the reality that various developmental policies and malnutrition and undernourishment alleviation are assumed to contribute on the high level of malnutrition and undernourishment cases in those communities. Qualitative and quantitative methods with post-positivism paradigm are used as the research method. The research is conducted in two Sasak communities in coastal and rice paddy areas in East Lombok Regency NTB Province. Two villages in one sub district area are selected from each of both areas as the research location. The research analysis unit is Sasak tribe community in coastal and rice paddy areas. Due to the time and cost limit, in order to understand the social context of Sasak society, the research uses data of household having malnutrition and undernourishment children. Data is analyzed using two approaches, qualitative and quantitative. Cross tabulation is applied on quantitative data to have a picture on malnutrition, undernourishment and normal nutrition cases in both communities. Qualitative data explains the philosophical reason on differentiation factors causing the booming of malnutrition and undernourishment cases.
Research result indicates a fact that the relationship between pregnant mother and toddlers through an interpretation is the reflection of cultural value orientation of Sasak society; in which, nutrient is determined by what to eat, the food type, how the food is being processed, and how to give the food to toddlers.
(8)
The interpretation on number of children has a role in factors causing malnutrition and undernourishment cases in coastal area. In rice field areas, on the contrary, marriage and divorce is the causative factor of fragile family.
Description on nutrient status of toddlers is perceived from the parenting pattern for malnutrition and undernourishment toddlers in a household. Based on the number of children owned by a household, coastal Sasak tends to have more children than rice field Sasak. The relatively more number of children has role in parenting pattern and food consumption for toddlers. The way the complementary food of mothers‟ milk is giving by mother to her toddler in coastal and rice field areas is dominated by unhygienic feeding such as using hand and pakpak. In terms of family member who is trusted to give complementary food, it shows that in coastal area, it is not only conducted by papu as normally in rice field area‟s household where malnutrition and undernourishment children are but this responsibility is given to the immature older sister/brother.
Based on Weber, social action in this form of childrens parenting is caused by different forms of rationality on the Sasak coastal and Sasak wetland. In coastal areas , parents caring for children can not be separated from instrumental rationality . This fact can‟t be separated from livelihood household strategies in pursuit of material things to sustain life in unpredictable resources. While in the area of wetland , parents caring for children can‟t be separated from the fact that the family of a children is very fragile due to the rise of divorce, remarriage and child marriage. According to ngerorot and nurut nine ', children fall in a malnutrition condition. So that, the root that make malnutrition in Sasak wetland are not separated from the role of Sasak cultural values . Parenting is based on a strong value -oriented rationality. Futhermore, The different rationality between coastal and Sasak wetland can not be separated from the influence of acculturation Sasak culture and Bugis Bajo culture that also the influence of ecological adaptation by Sasak coastal households and Sasak wetland household . This is reflected in the value orientation is closely related to the root causes of malnutrition and under-nourishment .
The influence of ecological adaptation by toddler household in coastal and rice field Sasak is indicated by value orientation related to the cause of malnutrition and undernourishment cases. Cultural value orientation is divided into three, the belief system and mythology of coastal and rice field Sasak societies, the developed knowledge and technology system related to malnutrition and undernourishment, and effective local institution and association in overcoming malnutrition and undernourishment cases.
Keywords : Cultural orientation, Malnutrition and undernourishment, Sasak, East Lombok
(9)
©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya
(10)
(11)
ORIENTASI GIZI MASYARAKAT: STUDI SOSIO BUDAYA
DI PROVINSI NTB
(
Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB
)
ADRIANA MONICA SAHIDU
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
(12)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup
1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.
(Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Pedesaan – Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)
2. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS.
(Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Pedesaan – Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka
1. Dr. Satyawan Sunito
(Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Pedesaan – Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)
2. Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang
(Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik - Universitas Indonesia)
(13)
Judul Disertasi : Orientasi Gizi Masyarakat: Studi Sosio Budaya
di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB)
Nama : Adriana Monica Sahidu
NIM : I363090011
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr Ketua
Dr. Arif Satria, SP., M.Si Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Mayor Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.,Agr. NIP. 19630914 199003 1 002 NIP. 19610905 198609 1 001 Tanggal Ujian: 27 Juni 2014 Tanggal Lulus:
(14)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas nikmat dan rahmatNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan draft disertasi yang berjudul: “Orientasi Gizi Masyarakat-Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB)” dengan segala kekurangannya yang merupakan salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi Sosiologi Pedesaan di Institut Pertanian Bogor.
Selama perjalanan studi dan proses penelitian serta proses penyelesaian disertasi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa bantuan moril dan materiil, doa yang tulus dan ikhlas serta perhatian dan juga berbagai kemudahan fasilitas. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada beberapa pihak yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.
Rasa hormat dan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada komisi pembimbing disertasi: Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr, Bapak Dr. Arif Satria, SP, M.Si, Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, Bapak Prof. Ir. Ali Khomsan, MS yang masing-masing selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang dengan tulus ikhlas serta dedikasi dan kesabarannya telah mencurahkan segala pemikiran dan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan untuk memberi bobot akademis bagi disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA dan Dr. Ir. Titik Sumarti, MS atas kesediaan beliau untuk menjadi penguji luar komisi dalam ujian tertutup. Masukan dan arahan untuk penyempurnaan dan memperbaiki disertasi ini sangat penulis harapkan.
Terima kasih yang mendalam dan penghargaan penulis haturkan kepada segenap bapak/ibu staf pengajar pada program studi S2/S3 Sosiologi Pedesaan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor yang telah banyak memberi bekal ilmu, pencerahan dan pemahaman khususnya tentang teori-teori sosiologi selama dalam proses perkuliahan.
Penulis juga menghaturkan ucapan terima kasih kepada pimpinan Universitas Airlangga khusunya pimpinan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih khusus penulis sampaikan kepada sahabat dan teman di Universitas Mataram Dr. Ir. Sitti Hilyana, M.Si, Dr. Ir. Sadikin Amir, M.Si yang selalu setia menemani saya dari awal proses penelitian, turun ke lokasi penelitian sampai pada saat kegiatan FGD. Tak lupa terima kasih yang luar biasa penulis sampaikan kepada segenap responden dan informan penelitian atas semua informasinya yang sangat berharga bagi disertasi ini. Semoga Allah SWT yang membalas jasa baik beliau semua, Aamiin YRA.
Kepada teman-teman seperjuangan Angkatan 2009 Sosiologi Pedesaan: Ibu Dr. Dra. Soetji Lestari, M.Si, Ibu Dr. Thrywati Arsal, M.Si, Bapak Dr. Sakaria, S.Sos., M.Si, Bapak Dr. Muh Syukur, S.Sos., M.Si dan Bapak Mahmuddin, S.Ag., M.Si yang telah bersama-sama dan selalu berbagi selama masa perkuliahan juga penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada kakak-kakak dan adik-adik kelas yang selalu kompak dan akrab selama menjalankan perkuliahan dengan harapan semoga silaturahmi kita terus terjaga.
(15)
Terimakasih yang mendalam dan rasa hormat penulis tujukan kepada kedua orang tua tercinta Prof. Drs. H. Abdul Karim Sahidu (alm) dan ibunda Hj. Djuwairijah yang telah mendidik dengan kasih sayangnya dan memberikan perhatian dan doa yang tulus, dan ibunda yang selalu bertanya kapan selesai sekolahnya ?. Terima kasih yang mendalam dan rasa hormat yang sama juga penulis haturkan kepada Bapak (alm) dan ibu mertua Hj. Tati Suhaeni atas segala doa dan perhatiannya. Kepada adik-adik (Ir. Berliana Agustin Sahidu dan Cerial Muharram Sahidu) yang selalu direpoti jika penulis turun lapangan, juga kakak dan adik-adik ipar penulis ucapkan terima kasih atas doa dan perhatiannya.
Penghargaan yang mendalam dan terimakasih yang paling istimewa penulis haturkan kepada suami tercinta Laksamana Pertama (P) Agus Heryana, SE yang dengan sabar membantu setiap saat penulis membutuhkan bantuan, dan rela ditinggal dalam waktu yang cukup lama jika penulis harus menyelesaikan tugas-tugas dalam studi. Permohonan maaf yang mendalam kepada anak-anakku tersayang Dhany Feby Nalasatria, SE.MM, yang dalam persiapan pernikahannya terpaksa lebih banyak dilakukan tanpa didampingi mamanya, Gian Raafi‟ Demasatria, SH., M.Kn, yang rajin menanyakan “mama gak ke Surabaya ?” dan si bungsu Putri Amalia Shabrina yang seharusnya didampingi karena baru memasuki masa menjadi mahasiswa, terpaksa menanyakan tugas-tugasnya lewat BBM.
Permohonan ma‟af serta penghargaan dan terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan secara keseluruhan di sini, yang telah membantu secara moril dan materiil, semoga kebaikan dan ketulusan beliau mendapatkan imbalan pahala dari Allah SWT, Aamiin YRA.
Akhir kata, semoga disertasi ini dapat bermanfaat dengan harapan jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang dapat berkurang baik di Indonesia pada umumnya dan di Provinsi NTB khususnya.
Bogor, Juli 2014
(16)
(17)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …….………... iii
DAFTAR GAMBAR ………... v
DAFTAR LAMPIRAN ….………. vi
1. PENDAHULUAN………..……….. 1
1.1 Latar Belakang …..………..…. 1
1.2 Perumusan Masalah………..…. 6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..……..…. 6
1.3.1 Tujuan Penelitian………..………..……..…. 6
1.3.2 Manfaat Penelitian…………..………..…………. 7
1.4 Novelty………..…. 7
2. TINJAUAN PUSTAKA …..………..…. 8
2.1 Konsep Perilaku Kesehatan dan Gizi …..………. 8
2.2 Teori Rasionalitas Weber ... 9
2.3 Ekologi Budaya …..……….………. 13
2.4 Konsep Stratifikasi Masyarakat …….………. 16
2.5 Struktur Sosial Masyarakat Pesisir ………..……. 17
2.6 Orientasi Nilai Budaya……….……. 19
2.7 Konsep Gender dalam Kesehatan…….………. 21
2.8 Kebijakan Pembangunan, Kesehatan, dan Pertanian……... 23
3. KERANGKA PEMIKIRAN …..………. 27
3.1 Kerangka Pemikiran ………. 27
3.2 Hipotesa Pengarah ……… 29
3.3 Definisi Konseptual ………..… 29
3.4 Definisi Operasional………..… 32
4. METODOLOGI PENELITIAN………..…. 34
4.1 Paradigma Penelitian dan Pilihan Paradigma …………..…. 34
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian …….………..…. 34
4.3 Sumber, Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ………. 35
4.4 Cara Pengambilan Sampel …..…………...………..…. 35
4.5 Teknik Analisis Data………...………..…. 36
5. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN…….………….... 37
5.1 Gambaran Umum Wilayah Pesisir : Desa Batu Nampar dan Desa Paremas……..…………...……….. 37
5.2 Gambaran Umum Wilayah Persawahan : Desa Loyok, dan Desa Kotaraja ……..…………...………..…... 39
6. SISTEM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ... 44
(18)
6.2 Sistem Kepercayaan dan Mitologi ..………..…. 44
6.3 Sistem Pemaknaan dan Orientasi Nilai ...……..…. 49
6.4 Pantangan (Taboo) ……….………...…... 55
6.5 Pengetahuan Lokal ... 60
6.6 Fenomena Kawin Cerai ……… 68
7. SISTEM SOSIAL EKONOMI ……...……… 76
7.1 Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Kesehatan ……… 77
7.2 Kebijakan Pembangunan Kesehatan... 85
7.3. Pola Adaptasi Ekologi ………...………….. 88
7.3.1 Sistem Pesisir ………...………. 88
7.3.2 Sistem Sawah ………. 93
7.4 Migrasi Tenaga Kerja ………... 99
7.5 Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga ………... 102
8. KONDISI DAN STATUS GIZI BALITA ………... 105
8.1 Karakteristik Rumahtangga Balita ……….. 105
8.2 Status Gizi Balita ………. 109
8.3 Etika dan Moralitas ... 114
8.4. Analisis Komprehensip Penyebab Status Gizi Buruk/ Kurang ………..… 120
9. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 134
9.1 Kesimpulan ………. 134
9.2 Saran ……… 136
DAFTAR PUSTAKA ……….. 138
LAMPIRAN ……… 145 RIWAYAT HIDUP
(19)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Provinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi (%) …………... 3 Tabel 2. Jumlah Kasus Gizi Buruk berdasarkan Kabupaten
Tahun2005-2008, Tahun 2010-2011, Provinsi NTB Bulan Juni 2011..…… 4 Tabel 3. Pola – pola Kesadaran dari Tindakan Rasional ... 12 Tabel 4. Persentasi Partisipasi para Ibu Membawa Balitanya ke
Posyandu Puskesmas Paruga untuk Melakukan
Penimbangan Sejak Maret 2011 hingga November 2011….... 25 Tabel 5. Kelompok Umur Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin…... 37 Tabel 6. Tingkat Pendidikan Berdasarkan Jenis Kelamin…….…….... 38 Tabel 7. Mata Pencaharian Penduduk Desa Batu Nampar………….... 38
Tabel 8. Jumlah Penduduk Desa Paremas………... 39
Tabel 9. Jumlah Penduduk Desa Loyok……….…... 40
Tabel 10. Tingkat Pendidikan Desa Loyok Berdasarkan Jenis
Kelamin, Tahun 2010…….……….….... 41
Tabel 11. Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Loyok
Berdasarkan Jenis Kelamin………..….….. 41
Tabel 12. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Kotaraja Berdasarkan
Jenis Kelamin, Tahun 2010……….….... 43
Tabel 13. Pemaknaan Kehamilan Bagi Ibu Balita Bergizi Buruk/
Kurang di Wilayah Pesisir dan Persawahan, 2012 ... 49 Tabel 14. Pemaknaan Anak Bagi Ibu Balita Bergizi Buruk/
Kurang di Wilayah Pesisir dan Persawahan, 2012 ... 50 Tabel 15. Pemaknaan Taboo Bagi Ibu Balita Bergizi Buruk/
Kurang di Wilayah Pesisir dan Persawahan, 2012 ... 56 Tabel 16. Usia Ayah dan Ibu Saat Menikah untuk yang Pertama
Kalinya bagi Keluarga Balita Gizi Buruk/Kurang
Berdasarkan Tipe Rumah Tangga Nuclear dan Non Nuclear
Family di Wilayah Pesisir dan Persawahan, 2012………….… 70 Tabel 17. Frekuensi Pernikahan Ayah dan Ibu bagi Keluarga
Balita Gizi Buruk/Kurang Berdasarkan Tipe Rumah Tangga Nuclear dan Non Nuclear Family
di Wilayah Pesisir dan Persawahan, 2012 ...………... 71 Tabel 18. Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas
Tembakau virginia tahun 1970-2006 di Pulau Lombok ... 81 Tabel 19. Alur Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Empat Desa
Lokasi Penelitian, 2012 ...…..…..…………... 92 Tabel 20. Alur Pengelolaan Sumberdaya Pertanian Tanaman Padi,
Palawija, dan Tembakau di Empat Desa Lokasi Penelitian,
2012 ... 96 Tabel 21. Tingkat Pendapatan Rumahtangga Nelayan Sasak Pesisir
Dan Rumahtangga Petani Sasak, 2012 ……… 100 Tabel 22. Sumber Pendapatan Rumahtangga Komunitas Sasak Pesisir
(20)
Tabel 23. Jenis Sumber Mata Pencaharian Rumahtangga Sasak Pesisir
Dan Rumahtangga Persawahan, 2012 ...…... 102 Tabel 24. Pendidikan Ibu dan Ayah dengan Status Gizi Balita Buruk
Dan Kurang, Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok
Timur, 2012 ...……...…… 105 Tabel 25. Jumlah Anak berdasarkan Status Gizi Balita Buruk/
Kurang Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur,
2012 …... 106 Tabel 26. Perbandingan Jumlah Kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang
di Wilayah Pesisir dan Persawahan berdasarkan Jenis
Kelamin Balita, Kabupaten Lombok Timur, 2011 ...…... 109 Tabel 27. Cara Memberikan Makanan Tambahan Balita Berdasarkan
Status Gizi Balita Kurang dan Buruk, Pesisir dan
Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012……… 111 Tabel 28. Anggota Keluarga yang dipercaya untuk Memberi MP-ASI
Balita berdasarkan Status Gizi Balita Buruk/Kurang,
Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012 ... 113 Tabel 29. Perbedaan Aktifitas Diversifikasi Nafkah Rumahtangga
Petani Sasak dan Nelayan Sasak, 2012 …...…... 127 Tabel 30. Perbedaan Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Sasak
Pesisir dan Persawahan kaitannya dengan Kasus Gizi
(21)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Model Teori Ekologi Budaya Julian Steward …….………... 15 Gambar 2. Kerangka Berfikir Penelitian……….…. 31 Gambar 3. Peta Etika Moralitas Sasak Persawahan kaitannya dengan
kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang……..………..…. 117 Gambar 4. Peta Etika Moralitas Sasak Pesisir kaitannya dengan kasus
(22)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Penempatan Kerja TKI/TKW Berdasarkan Kab/Kota… 146 Lampiran 2. Box Kasus Gizi Buruk...…….………... 149 Lampiran 3. Prevalensi Satus Gizi Balita (BB/U) Menurut Provinsi,
Riskesdas 2010 ...………..…. 155 Lampiran 4. Cerita Ibu Pr dan Pak Mn ... 156 Lampiran 5. Hasil-hasil Penelitian Terkait Perilaku Kesehatan,
Gizi, dan Masyarakat Adat Suku Sasak ... 160 Lampiran 6. Kerangka pikir penyebab masalah gizi ... 164 Lampiran 7. Foto-foto Kegiatan di Lapangan ... 165 Lampiran 8. Perbandingan Rasionalitas atas Tindakan Sosial
Pengasuhan Balita Bergizi Buruk/Kurang di Wilayah
(23)
1
1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai melalui pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Perhatian yang sangat besar diberikan pada masalah kesehatan pedesaan, karena selain sebagian besar penduduk negara berkembang seperti Indonesia ada di pedesaan, juga di pedesaanlah terdapat sebagian besar penduduk yang miskin, yang kurang atau tidak menikmati pendidikan serta terdapat sebagian besar penduduk dengan derajat kesehatan yang kurang baik (Adhyatma, 1985).
Beragam upaya telah dilakukan oleh pemerintah agar masalah kesehatan khususnya di pedesaan bisa dikurangi. Program-program pembangunan kesehatan oleh pemerintah kita, melalui Departemen Kesehatan, telah dilaksanakan melalui tahapan-tahapan dan prioritas-prioritas yang telah direncanakan sejak dimulainya era pembangunan (Swasono et al, 1994). Upaya-upaya tersebut antara lain munculnya program pelayanan kesehatan primer, antara lain program posyandu yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak melalui pemeriksaan kehamilan, pemberian imunisasi dini kepada balita dan pemberian makanan tambahan (PMT). Kemudian, pembangunan infrastruktur kesehatan di pedesaan seperti puskesmas pembantu maupun puskesmas keliling, dan rumah sakit di tingkat kecamatan, kabupaten maupun provinsi. Tidak hanya infrastruktur, tenaga-tenaga ahli medis profesional, baik dokter hingga mantri telah diupayakan untuk menempati wilayah-wilayah di pedesaan hingga wilayah terpencil sekalipun.
Namun, rupanya apa yang diupayakan oleh pemerintah tidak serta merta menjadi solusi bagi masyarakat pedesaan, khususnya masyarakat suku adat yang masih sangat kuat memegang tradisi. Menurut Swasono, et al., (1994), beberapa penyebab mengapa program-program penanggulangan penyakit secara kuratif dan pencegahan yang ditujukan kepada penduduk yang dianggap paling membutuhkan di negara-negara berkembang banyak menemui kegagalan atau kurang berhasil, hal ini disebabkan karena pemahaman penerimaan dan adopsi teknologi biomedis Barat yang disampaikan tidak terjadi secara singkat seperti yang diharapkan oleh pembawa-pembawanya di Barat. Sementara pada kenyataannya hal tersebut memakan waktu sesuai dengan proses pengambilan keputusan oleh masyarakat. Tidaklah mengherankan jika apa yang diungkapkan oleh Swasono et al, (1994) mengenai sulitnya merubah pola perilaku hidup tidak sehat masyarakat suku Dani di Papua yang terkait dengan adat-istiadat sehingga memunculkan beberapa penyakit endemik bagi masyarakat suku Dani seperti penyakit cacing pita yang banyak diidap oleh masyarakat suku Dani karena mengkonsumsi daging babi dengan pengolahan yang tidak higienis pada upacara kematian warekma, atau tingginya tingkat aborsi tradisional dengan cara-cara yang berbahaya seperti melompat di ketinggian dan memakan ramuan-ramuan tradisional. Kemudian, anak-anak suku Dani pada usia sekolah menjadi kurus dan kurang gizi karena makanan tidak terawat. Pola aktivitas ibu yang terkonsentrasi di ladang dengan tugasnya yang sangat berat, dan hanya membawa anak-anak bayi dan balita yang masih kecil ke ladang dengan menggunakan noken. Sehingga anak sekolah hanya
(24)
2
makan hipere mentah atau hipere bakar yang ditinggalkan sang ibu di dapur, karena tungku tidak dinyalakan pada sore hari.
Artinya bahwa masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan upaya kesehatan itu tidaklah terletak pada masalah teknis semata-mata, yang menyangkut jarak, waktu, biaya dan ketersediaan tenaga medik, melainkan terdapat pada faktor-faktor sosial budaya yang menghambat program-program kesehatan. Menurut A. Kleinman yang diacu oleh Persen dan Barufatti dalam Swasono et al, (1994) mengungkapkan bahwa sistem medis adalah sistem budaya sehingga seseorang tidak akan dapat memahami suatu sistem medis tanpa memahami konteks budaya tempat mereka.
Kemudian, permasalahan gizi buruk yang dialami oleh para bayi, balita, anak-anak dan para ibu, khususnya yang tinggal di wilayah kumuh perkotaan, pedesaan, dan masyarakat terpencil yang wilayahnya cenderung terisolasi bisa menyebabkan kematian. Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54 persen penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Depkes RI, 2005). Kejadian gizi kurang dan gizi buruk pada bayi umumnya terjadi setelah anak berusia enam bulan karena sejak usia tersebut anak mulai dikenalkan pada makanan lumat, lembek dan padat. Pada saat inilah asupan gizi anak seringkali menjadi kurang karena kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memenuhi syarat gizi (Khomsan, 2011). Selanjutnya Khomsan mengatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan kualitas gizi anak adalah pola asuh, di mana para ibu memegang peranan penting dalam pengasuhan anak.
Pola pengasuhan anak, termasuk juga pemberian makanan di usia awal kehidupan manusia sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya, dan status sosial rumahtangga di pedesaan. Misalnya upacara pera‟ api pada orang Sasak dapat mengakibatkan gangguan pada saluran pernapasan bayi atau pemberian nasi pakpak dengan tujuan memperkuat hubungan emosional antara bayi dan ibunya yaitu pada bayi usia tiga hari yang dapat mengganggu kemampuan pencernaannya (Swasono, 1998). Kemudian, kemiskinan di keluarga Sasak dan beban kerja yang berlebihan dari ibu karena harus menanggung nafkah untuk anak-anaknya sebagai akibat budaya kawin cerai, sehingga pola asuh dipegang oleh nenek yang telah lanjut usia juga mengakibatkan rentannya anak mengalami kondisi gizi kurang dan gizi buruk. Menurut Dharmawan (2007) rumahtangga di level bawah melakukan proses manipulasi sosio ekonomi atas berbagai sumber penghidupan (livelihood source) untuk proses penyusunan mekanisme bertahan hidup (survival strategies). Sehingga kondisi yang dialami oleh rumahtangga di komunitas Sasak yang menyerahkan fungsi pola asuh kepada keluarga besar merupakan suatu mekanisme setiap rumahtangga khususnya di lapisan bawah untuk bertahan hidup.
Permasalahan gizi buruk yang dialami suatu wilayah bukanlah suatu kasus yang mudah dipecahkan, karena masalah kesehatan berarti juga masalah yang melibatkan banyak dimensi, tidak hanya mengenai masalah teknis, tapi lebih pada konsepsi sistem sosial yang menyangkut nilai-nilai budaya, mengenai penyakit, baik sebagai suatu simbol positif maupun negatif, yang diberi nilai-nilai tertentu oleh masyarakat. Masalah gizi buruk juga dipengaruhi oleh preferensi makanan baik saat kehamilan hingga saat anak tumbuh dewasa. Segala bentuk pantangan
(25)
3
makanan pada periode kehidupan di kelompok masyarakat tersebut, terbentuk atas dasar nilai-nilai budaya lokal. Misalnya, di suku Sasak pantang bagi perempuan yang hamil untuk memakan ikan dan segala bentuk daging. Gizi buruk semakin parah ketika keluarga tersebut dihadapkan oleh kehidupannya sebagai kelompok masyarakat lapisan bawah yang marjinal. Hampir semua kasus gizi buruk dan gizi kurang dialami oleh anak-anak yang berasal dari kelompok masyarakat miskin. Sehingga pada akhirnya mereka semakin resisten terhadap intervensi pengobatan medis, dan mengupayakan pengobatan yang sekiranya mereka mampu untuk menjangkaunya. Sistem kekerabatan bisa menjadi dua sisi mata uang bagi derajat kesehatan rumahtangga, khususnya masalah pemenuhan pangan. Sistem kekerabatan dengan kolektivitasnya bisa menjamin pemenuhan gizi anggota kerabatnya, melalui mekanisme bagi-bagi makanan dan kasih sayang. Namun, bisa menjadi parasit bagi rumahtangga ketika kelembagaan tersebut tidak menjamin pemenuhan gizi, dan malah mengurangi persediaan pangan keluarga.
Kaitannya dengan isu keragaman wilayah, secara geografis sangat memungkinkan munculnya ketimpangan kesejahteraan komunitasnya. Ketimpangan kesejahteraan antara wilayah Indonesia bagian barat, bagian tengah maupun bagian timur telah menjadi sorotan kebijakan pemerintah sejak periode-periode pembangunan sebelumnya sampai periode-periode pembangunan saat ini. Keragaman kondisi alam di dalam satu daerah pun bisa menjadi pemicu adanya ketimpangan kesejahteraan. Kondisi alam yang berbeda antara daerah pesisir dan daerah persawahan sangat mempengaruhi perilaku masyarakat yang hidup di dalamnya. Kemudian, ketimpangan kesejahteraan komunitas persawahan dan komunitas pesisir di Indonesia telah menjadi perhatian kebijakan pemerintah.
Masalah gizi buruk yang tengah dihadapi oleh negara-negara berkembang, juga tengah dialami oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi ke enam dalam versi BPS (2010). Berikut urutan sepuluh provinsi paling miskin di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1:
Tabel 1. Provinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi (%)
No Provinsi Angka Kemiskinan
1 Papua Barat 36,80
2 Papua 34,88
3 Maluku 27,74
4 Sulawesi Barat 23,19
5 Nusa Tenggara Timur 23,03
6 Nusa Tenggara Barat 21,55
7 Aceh 20,98
8 Bangka Belitung 18,94
9 Gorontalo 18,70
10 Sumatera Selatan 18,30
Sumber: Sensus Nasional BPS 2010
Kemudian, dalam penelitian ini kemiskinan di NTB diasumsikan menjadi salah satu sumber dari munculnya kasus gizi buruk yang luar biasa. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2010, mengungkapkan fakta bahwa dari 33 provinsi di Indonesia 18 provinsi masih memiliki prevalensi berat kurang di atas prevalensi nasional yaitu berkisar antara 18,5 persent di provinsi Banten sampai 30,5 persent di provinsi di NTB. Urutan ke 18 provinsi tersebut dari yang tertinggi
(26)
4
sampai terendah adalah di posisi pertama ditempati oleh NTB (lihat Lampiran 3). Kondisi gizi buruk di Provinsi NTB dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Dari data yang diperoleh Dinas Kesehatan Provinsi NTB, mengenai trend kasus gizi buruk dari tahun 2005 hingga tahun 2011, Kabupaten Lombok Timur yang didominasi oleh masyarakat suku Sasak menempati urutan pertama untuk jumlah kasus gizi buruk. Meskipun jumlah kasus gizi buruk di wilayah ini relatif mengalami penurunan signifikan, namun wilayah Lombok Timur dari tahun ke tahun tetap menduduki peringkat pertama di dalam jumlah kasus gizi buruk. Kejadian gizi buruk yang luar biasa baik di wilayah persawahan maupun pesisir Lombok Timur (Menurut Smith (2009) nyaris 80 persen ekologi Lombok Timur didominasi oleh pertanian sawah, palawija dan hotikultura dan sisanya 20 persen merupakan wilayah pesisir) ini bukan berarti tidak menjadi perhatian pemerintah daerah dan pusat, beragam bantuan dan intervensi kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta dan lembaga-lembaga donor internasional telah turun tangan untuk menangani kejadian gizi buruk di Lombok Timur, namun upaya tersebut masih membutuhkan suatu pendekatan baru, yakni memahami preferensi kesehatan khususnya perawatan bayi dan balita dan pemberian makanan dari sudut pandang sistem orientasi nilai budaya masyarakat.
Tabel 2. Jumlah Kasus Gizi Buruk berdasarkan Kabupaten Tahun 2005-2008, Tahun 2010 -2011, Provinsi NTB Bulan Juni 2011
No Kabupaten/Kota
Jumlah Kasus Gizi Buruk berdasarkan Indeks BB/TB (Jiwa)
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007
Tahun 2008
Tahun 2010
Tahun 2011
1 Mataram 331 236 102 56 41 22
2 Lombok Barat 575 146 211 285 128 56
3 Lombok Tengah 137 95 89 84 74 46
4 Lombok Timur 1534 980 564 401 293 135
5 Sumbawa Barat 104 249 44 31 15 11
6 Sumbawa 690 375 253 214 72 33
7 Dompu 137 170 59 51 35 54
8 Bima 213 90 262 68 49 25
9 Kota Bima 229 124 63 6 20 16
10 Lombok utara 0 0 0 0 23 14
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi NTB, 2011
Jika dipandang dari sudut potensi masyarakat suku Sasak di Lombok Timur, semestinya kondisi dominasi ekologi agraris lebih cenderung menciptakan surplus pangan, dan pada akhirnya juga akan menghindari kasus gizi buruk. Namun, yang terjadi sebaliknya, masyarakat Sasak di Lombok Timur yang subur, rupanya tidak memberikan jaminan bagi balita Sasak untuk hidup dengan gizi yang cukup. Faktor-faktor yang tak terlihat nyata inilah yang akan dianalisa di dalam penelitian ini dianggap sebagai akar masalah dari penyebab munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang di dua wilayah berbeda yaitu Sasak persawahan dan Sasak pesisir di Kabupaten Lombok Timur.
(27)
5
Asumsi pertama yang mendasari penelitian ini, bahwa dengan menggunakan teori Weber mengenai makna dari tindakan sosial (dalam hal ini orang tua balita bergizi buruk dan kurang) kita akan memahami kecenderungan bangunan rasionalitas apa yang dibangun dibalik pola pengasuhan balita oleh orang tua sehingga menjadikan anak jatuh pada status gizi buruk dan kurang. Asumsi kedua, untuk memahami mengapa bangunan rasionalitas bisa muncul dalam tindakan pengasuhan tersebut, maka digunakanlah konseptualisasi Steward melalui teori ekologi budayanya, bahwa adaptasi masyarakat terhadap lingkungan akan menghasilkan bentuk budaya yang khas. Artinya bahwa nilai-nilai sosial dan struktur sosial baik di suku Sasak pesisir dan Sasak persawahan sangat berperan terhadap bangunan rasionalitas sebagai sumber penyebab kasus gizi buruk dan gizi kurang. Nilai-nilai dan struktur tersebut dipahami erat kaitannya juga dengan perbedaan ekologi yang dihadapi oleh dua komunitas tersebut yakni ekologi pesisir, dan persawahan. Bangunan rasionalitas yang dianut oleh orang tua balita akan dianalisa melalui nilai-nilai dalam bentuk pemahaman dan pemaknaan terhadap pola konsumsi dan pemberian makanan, serta perawatan kehamilan, pasca melahirkan dan pemberian ASI dalam kaitannya dengan gizi buruk dan gizi kurang di suku Sasak terkait dengan nilai-nilai agama Hindu, peran keluarga inti (kurenan), peran kerabat (sorohan), perawatan bayi secara tradisional yang mengandung resiko terjadinya kematian bayi.
Penelitian ini merupakan kajian sosiologi kesehatan yang akan mengeksplorasi fenomena perbedaan kejadian gizi kurang dan gizi buruk yang terjadi di dua komunitas baik di suku Sasak persawahan dan Sasak pesisir di Kabupaten Lombok Timur. Lingkup kajian dalam disertasi ini antara lain sejauhmana orientasi nilai budaya, kelembagaan sosial, dan struktur sosial di dua komunitas berperan dalam fenomena gizi buruk dan gizi kurang. Analisa akan dimulai pada tataran perilaku sekitar kehamilan, kelahiran dan perawatan ibu dan bayi, serta pemberian ASI dan makanan, dan nilai-nilai yang timbul dari perbedaan perilaku tersebut. Artinya preferensi yang berbeda tersebut akan dilihat dari sisi orientasi nilai budaya, dan struktur sosial.
Tidak hanya itu, yang penting dan akan dikaji di dalam penelitian ini juga menduga bahwa peran intervensi pemerintah yang terkait dengan kegiatan pembangunan dan bentuk-bentuk upaya pengurangan gizi buruk juga menyumbangkan peran di dalam peningkatan kasus gizi buruk dan kurang di masyarakat Sasak. Dalam penelitian ini pemerintah dianggap menyamakan penyebab adanya gizi buruk dan kemudian memberikan bentuk intervensi kebijakan yang cenderung seragam dan tidak berlanjut. Pemberantasan gizi buruk melalui berbagai program sesungguhnya bisa menjadi sedikit solusi untuk mengurangi gizi buruk dan gizi kurang. Program pemerintah melalui program pemberian asupan makanan tambahan pabrikan, hasilnya tentu saja tidak signifikan meningkatkan partisipasi ibu dan bayi ke posyandu, apalagi untuk menurunkan angka gizi buruk dan gizi kurang.
(28)
6
1.2 Perumusan Masalah
Masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat di mana pun mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak bagi kesehatan ibu dan anak. Pola makan misalnya, fakta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia di mana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu (Maas, 2004).
Kemudian, masalah kesehatan dan perbedaan perawatan kesehatan di satu sistem sosial masyarakat dengan sistem sosial masyarakat lainnya dipahami oleh sudut pandang sosiologi kesehatan sebagai bekerjanya penyebab fundamental antara lain kekuasaan, stratifikasi sosial, dan diferensiasi sosial (Link dan Phelan, 1995 dalam Pescosolido, et al., 2011) dan jaringan sosial (Pescosolido, et al., 2011).
Penelitian ini tidak hanya mengobservasi secara mendalam mengenai kekuatan nilai-nilai budaya sebagai bentuk adaptasi budaya dengan ekologi yang dihadapinya, juga struktur sosial dan kelembagaan pendukung yang berperan di dalam tinggi rendahnya kasus gizi buruk dan gizi kurang, serta dampak intervensi pembangunan kesehatan dan pertanian. Masalah gizi pada hakekatnya adalah merupakan masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan semata. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai faktor yang terkait.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan diangkat di dalam penelitian adalah:
1. Bagaimana gambaran sesungguhnya status gizi balita di komunitas Sasak pesisir dan Sasak persawahan ?
2. Bagaimanakah pengaruh pola adaptasi ekologi, sistem sosial budaya dan kebijakan pembangunan terhadap status gizi balita di komunitas Sasak pesisir dan Sasak persawahan ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian:
1. Untuk mengetahui dan menganalisa status gizi balita di komunitas Sasak pesisir dan komunitas Sasak persawahan.
2. Untuk mengkaji peran pola adaptasi ekologi, sistem sosial budaya dan kebijakan pembangunan terhadap status gizi balita di komunitas Sasak pesisir dan komunitas Sasak persawahan.
(29)
7
1.3.2 Manfaat Penelitian:
1. Secara akademis: penelitian ini merupakan salah satu sarana bagi keilmuwan sosiologi khususnya sosiologi budaya dan sosiologi kesehatan untuk lebih memperkaya pengetahuan tentang nilai budaya yang berhubungan dengan gizi masyarakat khususnya pada suku Sasak.
2. Secara praktis: kajian ini berguna untuk memberikan sumbangan berupa karya orisinil dan berkemampuan untuk memahami fenomena masyarakat desa pada wilayah pesisir dan persawahan.
3. Sebagai bahan masukan bagi kebijakan program pelayanan kesehatan masyarakat selanjutnya.
1.4 Novelty
Penelitian ini berusaha menemukan teori yang menjelaskan timbulnya kasus gizi buruk di suku Sasak dengan mempertimbangkan perbedaan agroekologi yakni Sasak persawahan dan Sasak pesisir.
(30)
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perilaku Kesehatan dan Gizi
Perilaku adalah respon seseorang terhadap rangsangan. Rangsangan bisa berasal dari dalam maupun dari luar individu. Rangsangan dari dalam individu berupa kebutuhan yang dapat dibedakan atas kebutuhan biologis dasar yang tidak dipelajari (makan, minum, seks) dan kebutuhan psikososial yang dipelajari oleh Skinner (Notoatmodjo, 1993). Sedangkan menurut Kwick dalam Notoatmodjo (1993), perilaku adalah semua aktivitas organisme atau individu, yang dapat diamati baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Kosa dan Robertson dalam Notoatmodjo (1996), mengatakan bahwa perilaku kesehatan individu cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diinginkan, dan kurang berdasarkan pengetahuan biologi. Kenyataannya, tiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencegahan, meskipun dengan gangguan kesehatan yang sama. Dari batasan ini perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance), adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit. Oleh karena itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek yaitu:
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari sakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sakit
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman)
2. Perilaku Pencarian dan Peggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau sering disebut Perilaku Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior). Adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita sakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
3. Perilaku Kesehatan Lingkungan, adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya dan bagaimana lingkungan tidak mempengaruhi kesehatannya.
Masalah gizi adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan dan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Sedang yang dimaksud dengan zat gizi adalah zat kimia yang terdapat dalam makanan yang diperlukan manusia untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan. Sampai saat ini dikenal kurang lebih 45 jenis zat gizi dan sejak akhir 1980-an dikelompokkan ke dalam zat gizi makro yaitu zat gizi sumber energy (karbohidrat, lemak dan protein) dan zat gizi mikro, yaitu vitamin dan mineral (Soekirman, 2000).
Status gizi masyarakat biasanya digambarkan oleh masalah gizi yang dialami oleh golongan masyarakat yang rawan gizi. Status gizi anak untuk bertumbuh berbeda sesuai dengan umurnya. Setelah lewat umur setahun, anak membutuhkan kecukupan yang berbeda dengan saat bayi. Sedangkan pada usia
(31)
9
balita, anak mulai memiliki daya ingat yang kuat dan tajam. Dengan makan makanan yang bergizi seimbang secara teratur, diharapkan pertumbuhan anak akan berjalan optimal (Nadesul dalam Sahidu, 2009).
Menurut Hardinsyah (2007), status gizi seorang anak sangat ditentukan oleh konsumsi pangan dan pola pengasuhan yang didapatnya, semakin baik kondisi pangan yang dikonsumsi, baik secara kualitas maupun kuantitas, dan semakin baik pola pengasuhan yang didapat semakin baik status gizi anak. Status gizi berdampak luas, pada pembangunan sosial dan produktivitas ekonomi. Pada masa kanak-kanak, status gizi berpengaruh terhadap imunitas, perkembangan kognitif, pertumbuhan, dan stamina tubuh. Pada masa dewasa, status gizi erat kaitannya dengan kesehatan, stamina dan kapasitas kerja yang maksimal.
Anak yang sehat akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang normal dan wajar, yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya dan memiliki kemampuan sesuai standar kemampuan anak seusianya. Dengan perkataan lain anak yang sehat adalah anak yang dapat tumbuh kembang dengan baik dan teratur, jiwanya berkembang sesuai dengan tingkat umurnya, aktif, gembira, makannya teratur, bersih dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Soegeng, 1999).
Penilaian status gizi berfungsi untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang mempunyai gizi yang baik atau tidak. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi antara lain adalah konsumsi makanan, antropometri, biokimia dan klinis (Riyadi, 2003 dalam Sukandar, 2007).
Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik, dan kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor. Sementara itu, pengertian di masyarakat tentang busung lapar adalah tidak tepat. Sebutan busung lapar yang sebenarnya adalah keadaan yang terjadi akibat kekurangan pangan dalam kurun waktu tertentu pada satu wilayah, sehingga mengakibatkan kurangnya asupan zat gizi yang diperlukan, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi status gizi menjadi kurang atau buruk dan keadaan ini terjadi pada semua golongan umur. Tanda-tanda klinis pada busung lapar pada umumnya sama dengan Tanda-tanda-Tanda-tanda pada marasmus dan kwashiorkor. Anak kurang gizi pada tingkat ringan dan atau sedang tidak selalu diikuti dengan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus (Depkes RI, 2005).
2.2 Teori Rasionalitas Weber
Bagi Weber, setiap tindakan sosial memiliki makna. Tindakan sosial itu harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung di dalamnya, orang perlu mengembangkan suatu metoda untuk mengetahui arti
(32)
10
subyektif ini secara obyektif dan analitis. Dalam keadaan tidak ada metoda seperti itu, kritik-kritik terhadap berbagai pendekatan subyektif pasti benar yang mengatakan bahwa aspek-aspek pengalaman individu yang tidak dapat diamati tidak dapat dimasukkan dalam suatu analisa ilmiah mengenai perilaku manusia. Namun bagi Weber, konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda (Johnson, 1986). Weber kemudian berpendapat rasionalitas dari tindakan sosial para agen/aktor kemudian membentuk sistem atau organisasi sosial dan birokrasi.
Rasionalitas dan peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas di mana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Misalnya, apabila seseorang memilih yang kurang mahal dari dua produk yang sama, kita mengerti perilaku itu sebagai yang rasional karena sesuai dengan kriteria rasionalitas obyektif yang kita terima. Tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas. Penderitaan-penderitaan seperti kemarahan atau cinta atau ketakutan mungkin diungkapkan dalam perilaku nyata dalam bentuk yang sepintas lalu kelihatannya tidak rasional. Tetapi orang dapat mengerti (verstehen) perilaku seperti itu kalau orang tahu emosi yang mendasar yang sedang diungkapkannya (Johnson, 1986).
Menurut Ritzer (1983) suatu sistem sosial yang dikarakteristikkan dengan rasionalitas pada dasarnya memiliki unsur atau dimensi yakni efisiensi, prediktabilitas, kalkulasi, substitusi kepada teknologi, dan kontrol yang lebih terhadap ketidakpastian. Bagi Weber menurut Ritzer (1983) birokrasi nampak sebagai institusi paling efisien yang mampu mengatasi tugas-tugas yang beragam. Salah satu contoh dimensi efisiensi adalah pada keluarga modern, dalam penyiapan makanan diserahkan kepada lembaga yang menyiapkan menu terbatas sehingga mudah dalam pemilihan, dengan menu yang sederhana sehingga mempercepat proses penyajian. Semua hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penyiapan makanan. Unsur selanjutnya adalah prediktabilitas yakni kemampuan prediksi dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam masyarakat yang rasional, individu ingin mengetahui apa yang mereka harapkan atau dapatkan terhadap suatu komoditas untuk memastikan prediktabilitas sepanjang waktu. Olehnya komunitas rasional menekankan disiplin, berdasarkan pada permintaan, sistemtis, formalitas, rutin, konsistensi dan metode operasi. Unsur selanjutnya menurut Ritzer adalah kalkulasi, yakni lebih mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas. Misalnya menurut Ritzer kaitannya dengan Mcdonalisasi adalah restoran cepat saji hanya menjelaskan ukuran mengenai jenis produknya seperti ukuran hamburger yang besar, namun tidak menjelaskan mengenai kualitas hamburger tersebut khususnya bagi kesehatan. Unsur lainnya adalah substitusi dari teknologi non manusia yakni muncul dari keterbatasan terhadap kemampuan rasionalisasi pada apa yang manusia lakukan dan pikirkan. Sehingga masyarakat yang rasional akan melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi dengan cara membatasi individu dengan teknik-teknik, prosedur, rutinitas dan mesin. Unsur yang terakhir menurut Ritzer adalah kontrol. Sistem rasional diorientasikan dan terstruktur. Dengan tujuan untuk mempercepat, dan mengontrol dalam banyak hal. Misalnya kontrol terhadap ketidakpastian hidup (kelahiran, kematian, produksi makanan dan distribusi, perumahan, dan sebagainya. Pada akhir tulisan Ritzer mengenai masyarakat McDonalisasi ia mengungkapkan bahwa ancaman
(33)
11
terbesar dari rasionalitas adalah irasionalitas. Menurut Ritzer, irasionalitas merupakan sesuatu yang tidak terelakkan dari proses. Sistem rasional tidaklah menjadi sistem yang rasional, karena menurut Ritzer rasionalitas memberikan dehumanisasi seperti bagaimana manusia menjadi “robot” saat bekerja dan makan di restoran fast food. Rutinitas dan simplifikasi dari masyarakat yang rasional seperti pada gambaran restoran cepat saji menurut Ritzer membuat hidup menjadi membosankan. Meskipun rasionalitas kemudian memberikan progresifitas hidupdan telah memberikan keuntungan yang tidak terhitung jumlahnya namun tidak terelakkan juga menimbulkan beragam masalah. Sehingga menurut Ritzer, harus dilakukan kontrol penuh terhadap proses rasionalisasi untuk memperbaiki konsistensi irasionalitas.
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan oleh Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-ipe tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan yang nonrasional. Singkatnya, tindakan rasional (menurut Weber) berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan tindakan itu dinyatakan. Di dalam kedua kategori utama mengenai tindakan rasional dan nonrasional itu, ada dua bagian yang berbeda satu sama lain, yakni : (1) rasionalitas instrumental (Zweckrationalitat) yakni Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini. Bagi Weber tindakan ekonomi dalam sistem pasar yang bersifat impersonal mungkin merupakan bentuk dasar rasionalitas instrumental ini. Selanjutnya (2) rasionalitas yang Berorientasi Nilai (Wertrationalitat) yakni sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal di mana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Lebih lagi, komitmen terhadap nilai-nilai ini adalah sedemikian sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan (utility), efisiensi, dan sebagainya tidak relevan. Menurut Johnson (1986) tindakan religius mungkin merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini.
Pada perkembangannya teori rasionalitas dengan dua kategori besar rasionalitas Weber kemudian berkembang variannya menjadi empat jenis rasionalitas. Menurut Kalberg (1980) rasionalitas atas tindakan sosial individu kemudian dibagi atas practical rationality, formal rationality, substantif rationality, dan theoritical rationality. Practical rationality atau rasionalitas praktikal menggambarkan bahwa individu dalam kehidupannya sehari-hari atau dalam aktivitas duniawinya terkait erat dengan sifat pragmatis dan egoistis. Tindakan pragmatis dalam kehidupan sehari-hari sangat penting sehingga membutuhkan pertimbangan dan peningkatan upaya kalkulasi yang cukup. Tipe rasionalitas ini eksis sebagai manifestasi individu pada ranah rasionalitas instrumental (Tabel 3).
(34)
12
Berikutnya adalah theoritical rationality atau rasionalitas teoritis. Rasionalitas ini mencakup suatu penguasaan yang sadar terhadap realitas melalui konstruksi dari meningkatnya abstraksi konsep atau nilai-nilai. Proses dari terbentuknya rasionalisasi teoritikal selalu diikuti dengan penilaian dan intrepertasi individu terhadap pemahamannya terhadap ruang dan waktu (world view) dan melibatkan konstelasi dan nilai-nilai. Rasionalitas teoritikal menurut Weber dikutip Kalberg (1980) potensial secara tidak langsung di dalam tindakan (Tabel 3)
Tabel 3. Pola-pola Kesadaran dari Tindakan Rasional (Sumber: Kalberg, 1980)
Karakteristik individu dari sisi antropologi
Tipe Rasionalitas Pola-pola kesadaran dari tindakan sosial Tipe tindakan
sosial
Proses Mental Non Rasional :
Tradisional Tidak rasional - Tidak ada
Afeksi Tidak rasional - Tidak ada
Rasional :
Berorientasi nilai (value rational)
Subordinasi realitas kepada nilai-nilai
Substantive Ada
Instrumental (mean-ends rationality)
Kalkulasi secara intrumental
Formal, practikal Ada
Tindakan rasional bisa dihasilkan secara tidak langsung
Beragam proses abstraksi
Theoritikal Ada
Substantive rationality atau rasionalitas substantive serupa dengan rasionalitas praktikal, namun tidak seperti rasionalitas teoritikal, rasionalitas ini secara langsung bisa mempengaruhi tindakan individu. Akan tetapi rasionalitas ini tidak dibangun atas dasar kalkulasi untung rugi, namun terkait dengan dengan masa lalu, saat ini dan masa depan dalam bentuk “value postulate” atau “dalil dari nilai-nilai” (Tabel 3).
Terakhir adalah formal rationality atau rasionalitas formal secara umum berhubungan dengan konteks sosial dan dominasi struktur yang diperoleh secara spesifik. Jika rasionalitas praktikal selalu mengindikasikan menyebarkan tendensi terhadap kalkulasi dan penyelesaian masalah-masalah rutin melalui pertimbangan rasionalitas instrumental kaitannya dengan pramatis dan kepentingan individu, rasionalitas formal melegitimasi pertimbangan atau kalkulasi instrumental dengan referensi pada aturan-aturan dan kebijakan yang berlaku dimasyarakat (Tabel 3).
(35)
13
2.3 Ekologi Budaya
Teori ekologi budaya yang dikemukakan Steward berbeda dengan teori ekologi manusia dan ekologi sosial di dalam mencari penjelasan mengenai asal mula gambaran khusus budaya dan pola-polanya yang bertujuan untuk mencirikan perbedaan wilayah dan kaitannya dengan budaya, dan tidak untuk menggeneralisasikan suatu bentuk kebudayaan secara universal. Dalam teori ekologi budaya, lingkungan sangat mempengaruhi budaya suatu masyarakat. Teori ekologi manusia menampilkan masalah dan metode. Permasalahan bertujuan untuk memastikan apakah adaptasi dari suatu komunitas masyarakat terhadap lingkungannya membutuhkan cara khusus atau perilaku khusus atau mungkin mereka memberikan kebebasan terhadap pola-pola perilaku khusus (Steward dalam Haenn dan Wilk, 2006).
Di dalam teorinya Steward menawarkan yang disebutnya sebagai cultural core atau inti budaya. Inti budaya diartikan sebagai konstelasi dari ciri-ciri utama yang paling mendekati aktivitas subsistensi atau aktivitas kehidupan dan perencanaan ekonomi atau tatanan ekonomi. Unsur budaya termasuk pola-pola tatanan sosial, budaya dan agama. Konsep normatif, di mana tinjauan budaya sebagai suatu sistem dari penguatan perilaku berasal dari sekumpulan perilaku dan nilai-nilai. Bagi teori ini, teknologi, tata guna lahan, kepemilikan lahan, dan ciri-ciri sosial berasal dari budaya. Bagi komunitas yang peradabannya telah maju, inti budayanya ditentukan oleh kompleksnya penggunaan teknologi, dan lamanya sejarah peradaban komunitas tersebut. Faktor teknologi dan ekonomi berperan strategis dalam setiap masyarakat. Inti masyarakat bagi Steward dan menentukan suatu perubahan adalah lembaga teknologi dan ekonomi, sementara unsur-unsur lain seperti organisasi sosial maupun politik lebih kecil peluangnya, dan yang paling kecil peluangnya adalah faktor ideologi termasuk agama (Steward dalam Dove dan Carpenter, 2008).
Budaya cenderung mengekalkan dirinya sendiri, dan perubahan terjadi namun lambat. Namun, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa zaman milenium pada lingkungan yang berbeda budaya menjadi cepat berubah, dan pada dasarnya perubahan ini dapat diketahui sebagai bentuk adaptasi baru yang memerlukan perubahan teknologi dan produksi. Sebagai contohnya adalah pada zaman pra pertanian menetap, kira-kira 99 persent dari alat untuk kegiatan berburu dan meramu nampaknya merupakan suatu hasil difusi dari keterbatasan mereka terhadap alam. Beberapa teknologi yang lebih maju, seperti teknik metalurgi dapat diterima jika prasyarat seperti stabilnya populasi di komunitas tersebut, adanya waktu rehat yang lebih banyak, dan adanya pembagian kerja atau spesialisasi secara internal.
Bagi teori ini, lingkungan tidak membatasi penggunaan teknologi, dan teknologi muncul berdasarkan kondisi ekologi yang ada. Selain teknologi juga organisasi sosial dalam hal kegiatan memperoleh sumberdaya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi khas ekologi yang mereka hadapi. Steward mengilustrasikan komunitas Eskimo yang menggunakan tombak, jebakan, wadah dan dan teknologi lain yang tersebar luas, namun teknologi ini memang dikhususkan untuk mendapatkan ikan dan mamalia laut, populasi orang Eskimo sangat sedikit, dan organisasi perburuan didasarkan pada prinsip kerjasama, dan perburuan dilakukan secara tersebar dan berkelompok berdasarkan kelompok
(36)
14
keluarga. Sementara suku Indian Shoshoni di dalam organisasi perburuan tidak atas dasar kerjasama antara kelompok keluarga, melainkan melalui persaingan diantara kelompok-kelompok keluarga. Sumberdaya bagi suku Shoshoni adalah common pool resouces. Kelangkaan sumberdaya menyebabkan bangsa Indian Shoshoni membentuk organisasi perburuan atas dasar persaingan. Dari gambaran contoh di atas dapat kita simpulkan bahwa proses adaptasi dibentuk oleh ekologi yang dihadapi masing-masing komunitas.
Basis teoritikal dari bentuk ekologi manusia dielaborasi sebagai model dari faktor-faktor yang menentukan suatu komunitas masyarakat beradaptasi terhadap lingkungannya, dengan dasar pemikiran atau premis penting dari bagaimana kehidupan itu dibangun oleh sebuah komunitas. Kondisi lingkungan tertentu atau keterbatasan alam yang dihadapi oleh setiap masyarakat, yang direspon oleh teknologi yang diciptakan masyarakat akan menimbulkan organisasi sosial dengan tipe tertentu. Yang menarik dari teritisasi Steward mengenai adaptasi ekologi adalah mengenai inti budaya atau cultural cores. Menurut Steward core budaya merupakan konstelasi ciri-ciri komunitas yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas subsistensi dan pengaturan ekonomi di setiap komunitas. Selanjutnya menurut Steward, gambaran nyata setiap komunitas beradaptasi dengan lingkungannya adalah melalui gambaran teknologi. Teknologi bagi Steward merupakan jendela mengenai bagaimana masyarakat melihat lingkungannya. Teknologi memberi pesan kepada kita bahwa apapun jenis lingkungannya adaptasi tergantung kepada alat-alat yang kita bawa ke lingkungan kita. Kemudian segala aspek yang secara langsung berhubungan dengan kerja dari teknologi dikategorikan pula sebagai inti budaya. Maka inti budaya menurut Steward hanya tiga unsur yang saling berinteraksi satu sama lainnya, antara lain teknologi sebagai unsur awal adaptasi, disusul dengan organisasi ekonomi dalam artian sebagai pola-pola perilaku sosial ekonomi (misalnya relasi di dalam organisasi kerja), dan kependudukan, meliputi pola-pola pemukiman, kepadatan penduduk, komposisi penduduk, dan sebagainya. Misalnya menurut Steward dalam Dove and Carpenter (2008) menggambarkan suku Shosoneans yang bermukim di wilayah The Greath Basin, North America, menghadapi sumberdaya yang terbatas, maka masyarakat dengan teknologi tertentu (berdasarkan tipe sumberdaya yang dihadapi), kemudian membangun organisasi sosial ekonomi dengan tidak mengutamakan tindakan ekonomi komunal, mengurangi kerjasama yang akan menimbulkan kelangkaan sumber makanan keluarga, tidak mengenal adanya property rights, dan tipe penduduk yang tidak terlalu padat dengan kondisi pemukiman yang tidak terpusat namun terpencar-pencar sesuai dengan titik persediaan makanan oleh alam. Bagian inti tersebutlah menurut Steward adalah yang sangat responsif terhadap perubahan dan adaptasi. Berbagai bentuk penyesuian terhadap tekanan-tekanan ekologis secara langsung akan dapat mempengaruhi unsur inti dari suatu struktur sosial. Agar tetap produktif maka suatu perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh faktor ekologis, harus menimbulkan suatu upaya pengaturan kembali yang berpengaruh terhadap struktur sosial komunitas tersebut.
(37)
15
Gambar 1. Model Teori Ekologi Budaya Julian Steward
Teori Steward mengenai ekologi budaya sekali lagi menekankan bagaimana komunitas masyarakat melakukan kegiatan adaptasi terhadap lingkungan yang dihadapi beserta perubahan yang menyertainya. Model dari ekologi budaya tersebut, terdiri dari empat elemen yang saling terhubung, antara lain: seperti yang telah diungkapkan sebelumnya adalah (a) cultural core, (b) teori evolusi multilinier, (c) tingkat integrasi sosio kultural, (d) dan tipe budaya. Yang kemudian menjadi perdebatan dan dianggap sebagai kelemahan dari teori ini adalah asumsi bahwa perubahan masyarakat akan menuju pada bentuk masyarakat yang sama meskipun melalui tahapan yang berbeda, dan kecepatan yang berbeda pula tergantung pada teknologi, dan kemampuan adaptasi dari komunitas tersebut. Dalam teorinya lingkungan (geografic area), menentukan bentuk dari sistem nafkah atau tipe-tipe subsistensi. Sistem ekonomi ini kemudian akan menentukan kepadatan penduduk sekaligus ukuran dari masyarakat (community size) dan pada akhirnya pola-pola pemukiman (settlement pattern), akan membentuk tingkatan sosial budayanya (Gambar 1)
Namun, dalam teori ekologi budayanya, Steward rupanya tidak memperhitungkan organisasi sosial, ritual keagamaan, kepemimpinan, ideologi dan politik, dan kelompok masyarakat lainnya, sebagai faktor dinamisasi setiap sistem sosial.
Geografic Area Settlement Pattern
Community Size
Demografi
Subsistence Type Socio Cultural Level
(38)
16
2.4 Konsep Stratifikasi Masyarakat
Stratifikasi merupakan hasil kebiasaan hubungan yang teratur dan tersusun antar manusia, sehingga setiap orang, setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain baik secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakatnya. Dalam setiap masyarakat akan diketemukan ataupun berkembang dengan sendirinya suatu stratifikasi sosial, hanya masyarakat-masyarakat yang sangat kecil dan homogen tidak mempunyai stratifikasi. Stratifikasi terjadi dengan semakin meluasnya masyarakat, dengan makin terjadinya pembagian pekerjaan (Susanto, 1977).
Stratifikasi sosial menurut Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis). Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul Social Stratification mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur (Soekanto, 1983). Sedangkan stratifikasi sosial menurut Soemardjan (1964), semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Dengan demikian, maka pengertian kelas adalah parallel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu faktor uang, tanah, kekuasaan atau dasar lain (Sajogyo dan Pudjiwati, 1985).
Adapun ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut: (1) Ukuran kekayaan: Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja, (2) Ukuran kekuasaan dan wewenang: Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan, (3) Ukuran kehormatan: Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur, (4) Ukuran ilmu pengetahuan: ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih
(39)
17
dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Pandangan mengenai stratifikasi yang sangat menonjol dalam sosiologi ialah pandangan mengenai kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx. Menurut Marx kehancuran feodalisme serta lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industri modern telah mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang saling bermusuhan, yaitu kelas borjuis (bourgeoisie) yang memiliki alat produksi dan kelas proletar (proletariat) yang tidak memiliki alat produksi. Dengan makin berkembangnya industri para pemilik alat produksi, semakin banyak menerapkan pembagian kerja dan memakai mesin sebagai pengganti buruh sehingga persaingan mendapat pekerjaan di kalangan buruh semakin meningkat dan upah buruh makin menurun. Karena kaum proletar semakin dieksploitasi mereka mulai mempunyai kesadaran kelas (class consciousness) dan semakin bersatu melawan kaum borjuis. Marx meramalkan bahwa bahwa pada suatu saat buruh yang semakin bersatu dan melalui suatu perjuangan kelas (class struggle) akan berhasil merebut alat produksi dari kaum borjuis dan kemudian mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas (classless society) karena pemilikan pribadi atas alat produksi telah dihapuskan. Jadi, konsep kelas sosial berdasarkan teori Karl Marx dikaitkan dengan pemilikan alat produksi dan terkait pula dengan posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi.
Marx berpendapat bahwa stratifikasi timbul karena dalam masyarakat berkembang pembagian kerja yang memungkinkan perbedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise yang jumlahnya sangat terbatas sehingga sejumlah besar anggota masyarakat bersaing dan bahkan terlibat dalam konflik untuk memilikinya. Anggota masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, kekayaan atau prestise berusaha memperolehnya, sedangkan anggota masyarakat yang memilikinya berusaha untuk mempertahankannya bahkan memperluasnya (Morrison, 1995).
Weber membedakan kelas dan status(standische large). Status seseorang, bertalian dengan penilaian yang dibuat orang lain kepada diri atau posisi sosialnya, sehingga menghubungkan dia dengan sesuatu bentuk martabat sosial atau penghargaan (positif dan negatif). Kelompok status adalah sejumlah orang yang mempunyai status yang sama. Kelompok-kelompok status (tidak seperti kelas-kelas) hampir sepenuhnya menyadari posisi bersama mereka. Kasta merupakan contoh yang sangat jelas dari status, perbedaan sifat kelompok status dipegang teguh agar tetap berpedoman pada faktor-faktor kesukuan, serta biasanya pemberlakuannya dipaksakan melalui ketentuan-ketentuan agama dan atau sanksi-sanksi hukum konvensional (Morrison, 1995).
2.5 Struktur Sosial Masyarakat Pesisir
Hakekat hidup dalam suatu masyarakat ialah organisasi kepentingan-kepentingan perseorangan, pengetahuan sikap orang yang satu terhadap yang lain dan pemusatan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok tertentu untuk tindakan-tindakan bersama. Berbagai hubungan yang timbul dari hidup
(1)
176
(a)
(b)
(2)
177
Gambar 20.Bagang Milik nelayan Sasak di Desa Gili Beleh
Gambar 21. Kondisi Balita Adrian
(3)
178
Gambar 24. Kondisi Balita Lugi Gambar 25. Kondisi Balita Satria
(4)
179
Lampiran 8 Tabel Perbandingan Rasionalitas atas Tindakan Sosial Pengasuhan Balita Bergizi Buruk/Kurang di Wilayah Sasak Pesisir dan Persawahan Wilayah/Bentuk Etika Jenis Rasionalitas Rasionalitas Berorientasi Nilai Rasionalitas Instrumental Rasionalitas Substantif Rasionalitas Teoritikal Rasionalitas Formal Rasionalitas Praktikal Sasak Pesisir
Etika pemeliharaan kesehatan Etika malu perawan tua Etika laki-laki toa-toa sampat/tua-tua sapu
lidi/ble‟ble ambon
Etika ekonomi merantau Etika ekonomi rumah tangga banyak anak banyak rezeki Etika Perempuan bekerja Etika kasoan
Etika banggereuk/senggeger
Etika patron-client
Etika pantangan/taboo
Etika pemberian nasi pakpak
Etika anak bekerja (menciro, madat, merawat adiknya) Sasak Persawahan
Etika malu perawan tua Etika malu menjanda Etika laki-laki toa-toa sampat/tua-tua sapu
lidi/ble‟ble ambon
Etika ekonomi merantau Etika merari‟
Etika poligami Tuan Guru Etika kawin cerai
Etika Keluarga Batih (sorohan) Etika ngerorot
Etika nurut mame
Etika banggereuk/senggeger
Etika pemberian nasi pakpak
Etika Ekonomi sapi Etika pantangan/taboo Etika pemberian nasi pakpak
(5)
(6)
181
RIWAYAT HIDUP PENULIS
P
enulis lahir di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 16 November 1961 anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ibu Hj. Djuwairijah dan Bapak Prof. Drs. Abdul Karim Sahidu (alm). Sejak Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, SMP, SMPP sampai dengan perkuliahan diselesaikan di MataramLombok NTB. Pendidikan S1 ditempuh di
Universitas Mataram jurusan Sosial Ekonomi pada Fakultas Pertanian (1980-1985). Pendidikan S2 ditempuh di Universitas Airlangga dengan mengambil jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Studi Ilmu Perilaku dan Promosi Kesehatan (1999-2002). Pada tahun 2009 penulis mengambil Program S3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan dengan beasiswa BPPS DIKTI. Sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1995 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Mataram pada jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian dengan mengajar mata kuliah Penyuluhan Pertanian dan Sosiologi Pedesaan. Kemudian sejak tahun 1996 penulis pindah ke Universitas Airlangga pada Fakultas Kedokteran Hewan sampai dengan tahun 2009. Sehubungan dengan pemekaran dan berdirinya Fakultas baru di Universitas Airlangga yaitu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, maka penulis hijrah ke Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan sampai sekarang. Penulis mengajar mata kuliah Sosiologi Pedesaan, Penyuluhan, Kewirausahaan, Ekonomi Perikanan dan Klimatologi. Penulis menikah pada tahun 1985 dengan Laksma TNI Agus Heryana, S.E dan dikaruniai dua orang putra dan seorang putri, masing-masing Dhany Feby Nalasatria, S.E, M.M. (yang telah menikah dengan Sisca Yuliantina, Amd.Keb., SST), Gian Raafi' Demasatria, S.H, M.Kn., dan Putri Amalia Shabrina yang pada saat ini masih kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.