Fenomena Kawin Cerai Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB
71 Bagi masyarakat Sasak, khususnya Sasak Persawahan perceraian tidak
selalu dianggap sebagai suatu penyimpangan dari norma keluarga sejauh perceraian tersebut dilakukan dengan memenuhi ketentuan agama unsur nilai
kolektif dari non inti budaya. Hal ini juga ditunjang dengan posisi pemangku adat cenderung melonggarkan dan mempermudah prosedur perceraian. Peraturan
pemerintah mengenai prosedur perceraian Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 hampir tidak pernah dijadikan rujukan karena dirasakan menyulitkan dan tidak
ada kesadaran hukum untuk mematuhinya. Hukum agama lebih legitimate ketimbang hukum positif yang dianggap hanya lebih menekankan proses
administrasi belaka.
Frekuensi pernikahan yang dilakukan oleh orang tua balita di lokasi penelitian menunjukkan bahwa jumlah pernikahan ibu maupun ayah bisa menjadi
pemicu munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita khususnya pada wilayah persawahan Tabel 17. Sebesar 56,6 persen ayah balita di persawahan
dari tipe rumah tangga non nuclear family mengakui telah menikah lebih dari satu kali. Demikian pula halnya yang terjadi pada ibu balita di persawahan. Sebesar
56,6 persen ibu balita dari rumah tangga non nuclear family telah menikah lebih dari satu kali. Dari data juga diperoleh fakta bahwa ayah balita paling banyak
melakukan pernikahan dan kemudian bercerai sebanyak enam kali. Sementara ibu balita di persawahan melakukan pernikahan dan perceraian sebanyak lima kali.
Tabel 17 Frekuensi Pernikahan Ayah dan Ibu bagi Keluarga Balita Gizi BurukKurang berdasarkan tipe rumahtangga nuclear dan non nuclear
family di Wilayah Pesisir dan Persawahan, 2012
No Berdasarkan
indikator Wilayah
Total Kategori
rumah tangga
balita Pesisir
Persawahan Nuclear
Non nuclear
Nuclear Non Nuclear
Frekuensi Pernikahan Ayah
n n
n n
n 1
1 Kali
15 50
7 23,3
7 23,3
2 6,7
31 51,7
2 1 Kali
6 20
2 6,7
4 13,4
17 56,6
29 48,3
Total 21
70 9
30 11
36,7 19
63,3 60
100
No Berdasarkan
indikator Wilayah
Total Kategori rumah
tangga balita Pesisir
Persawahan Frekuensi
Pernikahan Ibu Nuclear
Non nuclear
Nuclear Non nuclear
n n
n n
n 1
1 Kali
17 56,7
7 78
8 26,7
2 6,7
34 56,5
2 1 Kali
4 13,3
2 22
3 10
17 56,6
26 43,5
Total 21
70 9
30 11
36,7 19
63,3 60
100
72 Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan
terungkap bahwa fenomena pernikahan berkali-kali, dan kemudian bercerai sesungguhnya sudah merupakan budaya masyarakat Sasak. Masyarakat Sasak
pada dasarnya adalah masyarakat patriarkhi, di mana laki-laki berperan dominan, dan diikuti dengan previlege laki-laki baik di keluarga maupun di dalam sistem
sosial. Laki-laki Sasak pantang untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan ranah domestik rumahtangga. Semua pekerjaan domsetik bahkan produktif
dilakukan oleh kaum perempuan Sasak. Lelaki Sasak pantang untuk hidup di rumah mertua atau orang tua istri, jika itu terjadi, merupakan hal yang memalukan
bagi keluarga laki-laki. Perempuan kemudian dipaksa untuk hidup dengan mertua sesaat setelah menikah.
Salah satu unsur non inti budaya yang dikemukakan dalam teoritisasi ekologi budaya Steward adalah mengenai mitologi. Fenomena kawin cerai yang
telah membudaya seperti yang telah dijabarkan sebelumnya tidak terlepas dari pemahaman dan sosialisasi masyarakat Sasak mengenai konstruksi perempuan
Sasak sesuai dengan mitologi Dewi Rengganis dan putri Mandalika mitologi Bau nyale. Pembahasan mengenai mitologi ini akan dijabarkan pada bagian 6.2 pada
tulisan ini.
Kemudian, yang menarik dari data pada Tabel 17 adalah, jika kita memperhatikan dengan lebih seksama kecenderungan proporsi frekuensi
pernikahan ayah dan ibu balita bergizi buruk dan bergizi kurang di wilayah pesisir, kasus pernikahan dan perceraian cenderung lebih rendah. Sebesar 50
persen ayah balita di pesisir mengaku menikah sekali dan mampu mempertahankan mahligai pernikahan. Selanjutnya, jika dilihat dari sisi ibu balita,
sebesar 56,7 persen ibu balita dari tipe rumah tangga nuclear family juga menikah sekali, dan belum pernah bercerai sampai saat ini.
Selanjutnya, terkait dengan budaya kawin dan bercerai, kebanggaan dari seorang laki-laki adalah ketika ia telah menikah lebih dari sekali. Pernikahan yang
lebih dari sekali dianggap sebagai bentuk keperkasaan lelaki Sasak. Superioritas lelaki Sasak kaitannya dengan tradisi kawin cerai tidak terlepas dari bekerjanya
rasionalitas substantif dan di satu sisi rasionalitas praktikal. Prestise lelaki yang menikah berkali-kali, keperkasaan lelaki yang diagungkan dan dianggap mampu
secara ekonomi serta telah ditradisikan menjadi alasan kuat atas tindakan sosial lelaki Sasak menikah dan bercerai berkali-kali.
Fakta di lapangan menunjukkan beberapa responden yang ditanyakan perihal jumlah pernikahannya, laki-laki yang telah menikah berkali-kali dan juga
bercerai berkali-kali dengan lantang dan bangga menyebutkan jumlah pernikahannya. Sementara, laki-laki dengan jumlah pernikahan hanya sekali,
nampak malu-malu mengungkapkan keberhasilannya mempertahankan mahligai pernikahannya. Kecenderungan yang menunjukkan bahwa proporsi rumahtangga
yang menikah berkali-kali lebih banyak di persawahan daripada pesisir kuat alasannya karena budaya komunitas Sasak di wilayah Pesisir telah berakulturasi
dengan budaya Bugis dan Bajo. Orang Bugis dan Bajo sendiri sangat melarang pernikahan dan perceraian berulang-ulang kali. Banyak lelaki Sasak yang telah
menikah dengan perempuan Bugis maupun Bajo. Dari informasi fakta di lapangan, pernikahan bisa menjadi alat mobilitas sosial lelaki Sasak dalam
komunitasnya. Karena jarang sekali lelaki Sasak yang menjadi sabi kemudian meningkat menjadi punggawa di armada penangkapan orang-orang Bajo dan
73 Bugis. Hanya orang yang terpercaya dan berasal dari keluarga sendiri lah yang
diangkat sebagai punggawa. Kemudian, alasan lain mengapa pernikahan berkali-kali proporsinya
kurang di wilayah pesisir karena baik ayah maupun ibu dalam kondisi tekanan ekonomi, terkungkung dalam kondisi kemiskinan, mau tidak mau mengerahkan
tenaga dan pemikiran kepada upaya-upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Ada saja kegiatan yang dilakukan baik untuk mencari nafkah, dan kegiatan pendukung
lainnya. Misalnya, jika musim paceklik datang, para ibu dan ayah akan mencari pekerjaan di darat antara lain sebagai buruh di ladang garam dan tembakau.
Sedikit waktu senggang digunakan ayah dibantu dengan anak lelakinya akan memperbaiki mesin tempel, memperbaiki perahu atau mempebaiki jaring yang
rusak. Sementara di persawahan, budaya pernikahan saat panen atau begabah dan lebaran topat, dan perceraian saat paceklik bagi lelaki yang memiliki uang,
sementara bagi lelaki yang tidak memiliki uang dapat bercerai dan menikah kapan pun sesuai kesepakatan pasutri proporsinya lebih tinggi karena budaya di
persawahan sangat mendukung terjadinya pernikahan dan perceraian tersebut.
Selain budaya, lembaga adat dan orang tua pasutri juga dengan mudahnya mengesahkan perceraian secara agama tersebut. Hampir sebagian besar perceraian
yang terjadi tidak melalui jalur hukum formal, melainkan melalui jalan hukum adat dan agama. Jika kita juga mengamati Tabel 16 sebelumnya yang memuat
data umur di awal pernikahan, dapat kita amati bahwa pernikahan di persawahan juga dilakukan saat pasutri berusia sangat belia. Perempuan yang masih sangat
belia yang belum matang secara psikologis untuk menikah menjadi faktor pemicu perceraian. Apalagi pasangan hidupnya juga belum matang secara psikologis dan
materi. Hasil wawancara mendalam dengan pasutri yang menikah di usia yang sangat belia mengungkapkan bahwa percekcokan diantara suami dan istri selalu
jadi sumber perceraian. Istri terkadang memancing-mancing emosi suami dan selalu memancing agar suami menyebut kata talak perceraian.Suami yang telah
habis kesabarannya, pada akhirnya mengucapkan kata talak. Keesokan harinya istri dibawa ke rumah orang tuanya oleh suami sebagai tanda perceraiannya
dengan suami. Begitu mudahnya perceraian dilakukan juga dengan pernikahan kembali menyebabkan kasus kawin cerai sampai saat ini masih dalam angka yang
tinggi. Sumber percekcokan sebagian besar karena masalah ekonomi rumahtangga yang morat-marit, sementara yang lainnya karena suami bermain perempuan lain
selain istrinya, baik saat di Malaysia atau di Arab Saudi, maupun saat hidup bersama istri dan anak-anaknya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jumlah pernikahan ayah balita cenderung berhubungan dengan kejadian gizi buruk dan gizi kurang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa di wilayah persawahan cenderung lebih banyak mengalami kasus ayah balita gizi buruk dan gizi kurang menikah lebih dari satu
kali, dan menyebabkan rumahtangga menjadi rapuh dan berakhir pada perceraian dibandingkan dengan kasus di wilayah persisir. Pada kasus di persawahan
rumahtangga balita bergizi buruk dan bergizi kurang berasal dari rumahtangga non nuclear family dan sang ayah telah menikah lebih dari satu kali. Sementara di
wilayah pesisir relatif lebih sedikit untuk kasus pernikahan ayah yang lebih dari sekali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan yang terjadi di Sasak persawahan, para ibu yang menikah lebih dari satu kali kemudian akan bergabung
74 dalam keluarga besarnya sebagai suatu mekanisme bertahan hidup dari
ketidakmampuannya untuk memberikan penghidupan kepada anak-anaknya setelah perceraian terjadi. Setelah bercerai, peran ibu di persawahan semakin
berlipat-lipat. Karena tidak hanya mengurus anak, melainkan juga harus mencari nafkah.
Perceraian selain mempengaruhi mental suami dan istri, juga yang paling menjadi korban adalah anak-anak. Beberapa kasus gizi buruk ditemukan fakta
bahwa ketika ayah dan ibunya memutuskan untuk bercerai, ayah lalu tidak lagi menafkahi anaknya, dan ibu kemudian harus mencari nafkah secara serabutan,
dan pada akhirnya anak-anaknya diserahkan kepada papu ‟ untuk dirawat.
Sementara papu‟ sendiri sudah tua dan renta, sehingga tidak maksimal dalam
merawat cucunya khususnya yang masih balita. Kuatnya kasus pernikahan dan perceraian di kalangan masyarakat Sasak
juga ditengarai oleh pengaruh tokoh agama yakni Tuan Guru melalui perilaku pernikahan poligami yang Tuan Guru jalankan. Tuan Guru sendiri adalah sosok
yang sangat dihormati oleh komunitas suku Sasak. Tuan Guru tidak hanya dimaknai sebagai seorang alim ulama yang taat beribadah, melainkan juga sebagai
sosok penyembuh dari penyakit jahat penyakit personalistik kiriman manusia melalui ilmu hitam dan setan. Tuan Guru juga dimaknai selain sebagai orang yang
shaleh, juga sebagai orang yang peduli terhadap nasib pendidikan agama dari setiap masyarakat Sasak. Maka tidaklah mengherankan jika Tuan Guru
membangun pondok-pondok pesantren,
yang tujuannya adalah untuk
memudahkan mensyiarkan nilai-nilai keislaman bagi pengikutnya. Menurut informan, setiap Tuan Guru dipercaya memiliki ilmu magribi yang dikonstruksi
sebagai sumber kekuatan di dalam menarik banyak jamaah.Ilmu magribi kemudian dikonstruksi sebagai anugerah dari Allah SWT sehingga Tuan Guru
mampu menyembuhkan seseorang yang terkena guna-guna, mampu memberikan pencerahan dan membawa umatnya ke jalan yang benar. Tidak semua Tuan Guru
berasal dari satu aliran keislaman yang sama. Setiap Tuan Guru mewakili tiap-tiap aliran kepercayaan Islam
15
yang telah lama berkembang. Aliran tersebut antara lain: 1 Yatopa, dengan Tuan Guru yang terkenal antara lain H. Fadil Padli Tohir,
2 Ampibi dengan Tuan Guru yang terkenal yakni Tuan Guru Sibawae dan Tuan Guru Bukit, 3 Hisbulloh atau Nahdatul Watan NW
16
dengan Tuan Guru Bajang Zainul Majdi yang saat ini duduk sebagai gubernur NTB.
15
Setiap aliran memiliki ritualnya masing-masing.Misalnya untuk aliran keislaman Yatopa dikenal dengan ritual Hizib.Hizib sendiri sejenis dzikir dan mewajibkan amalan-amalan tertentu.Sementara
untuk aliran keislaman Amphibi, lekat dengan keberaniannya di dalam jihad di jalan Allah. Menurut, Ibu Yuli gerakan Ampibi sama dengan FPI di pulau Jawa. Mereka dengan berani
menggerebek dan menghancurkan tempat-tempat maksiat, dan yang lebih ekstrim mereka berani membunuh maling yang jelas-jelas bersalah.Terakhir Nahdatul Wathan NW ritual yang biasanya
dijalankan adalah pengajian berkala dan kemudian umat atau jamaah melakukan ritual lontar uang kepada Tuan Guru. Menurut informan melontarnya sama modelnya dengan melakukan lontar
jumrah saat beribadah haji. Namun yang dilontarkan adalah uang.Menurut Ibu Yuli uang tersebut kemudian dikumpulkan dan kemudian digunakan untuk membangun pondok pesantren dan
masjid.
16
Dalam Buku Bartholomew 2001 disebutkan bahwa Nahdatul Wathan secara tipikal dikelompokkan dengan varian Islam tradisonalis dengan bentuk peribadatan yang berlatar
belakang sufistik.
75 Menurut informan, Tuan Guru memiliki pengaruh yang luar biasa di
kalangan umatnya merupakan bagian dari unsur religi pada non inti budaya Steward. Segala tindak tanduk Tuan Guru, dan apa yang diucapkan oleh Tuan
Guru merupakan kebenaran dan diupayakan untuk dilakukan. Sebegitu fanatiknya jemaahnya terhadap Tuan Guru, banyak jamaah yang berebutan mencium tangan
Tuan Guru, dengan cara mencium punggung tangan dan telapak tangan Tuan Guru. Tuan Guru juga ibarat pesohor, pengajiannya selalu ditunggu-tunggu oleh
umatnya, pengajiannya nyaris tak pernah sepi pengunjung. Di kediamannya orang harus mengantri untuk bisa bertemu meskipun hanya sesaat saja. Tidak segan-
segan juga pengikutnya akan mengupayakan keinginan Tuan Guru. Misalnya menurut informan, ada Tuan Guru yang mengatakan bahwa Ia berkeinginan untuk
memiliki kendaraan beroda empat, dengan tujuan agar mudah menjangkau tempat ceramah saat mensyiarkan agamanya. Saat itu juga, jemaahnya kemudian
berbondong-bondong mengumpulkan uang untuk membelikan Tuan Guru kendaraan roda empat. Menurut informasi, rata-rata Tuan Guru berlimpah
kekayaan. Meskipun di setiap kegiatan pengajian berulang kali mengatakan
bahwa “saya tidak mau kaya harta”, namun kenyataannya kehidupannya dilimpahi oleh kekayaan.
Tuan Guru juga identik dengan kehidupan berpoligami. Rata-rata Tuan Guru beristri lebih dari satu. Tak terkecuali dengan TGB Tuan Guru Bajang
yang saat ini menjadi Kepala daerah, informasi terkini TGB telah memiliki istri lagi. Gaung yang dilontarkan oleh Tuan Guru mengenai poligami, adalah
menjalankan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang memperistrikan empat orang perempuan. Menurut informan, Tuan Guru di Jerowaru yang sangat
terkenal memiliki empat orang istri. Tidak jelas juga apakah empat orang istrinya memang itu, atau Tuan Guru menikah lagi dan kemudian bercerai.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Tuan Guru merupakan sosok penting dalam masyarakat Sasak Pesisir maupun Sasak Persawahan rata-
rata para ibu balita memaknai Tuan Guru sebagai orang yang paling berpengaruh, dan segala tindak tanduknya merupakan panutan bagi setiap masyarakat Sasak.
Kemudian dalam hal poligami yang dilakukan oleh Tuan Guru, bagi sebagian besar informan menyampaikan persetujuannya terhadap apa yang dilakukan oleh
Tuan Guru sebagai bentuk kesalehannya dalam beragama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa poligami merupakan hal yang wajar dan sekaligus dianggap sebagai upaya untuk mendapatkan keselamatan di akhirat.
Misalnya, ibu balita di pesisir dan persawahan menganggap bahwa poligami yang dilakukan Tuan Guru adalah upaya untuk menjalankan sunah Rasul. Kemudian
pemaknaan mengenai poligami oleh ibu balita baik di pesisir maupun persawahan merupakan upaya memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di akhirat.
76
7 SISTEM SOSIAL EKONOMI
Beragam program pembangunan pertanian dan pedesaan pada dasarnya ditujukkan secara langsung maupun tidak langsung untuk meningkatkan status
gizi dari masyarakat miskin USAID, 1977. Akan tetapi pada kenyataannya terjadi perbedaan yang besar antara tujuan dasar pembangunan tersebut dengan
pelaksanaannya. Meskipun, ada juga kenyataan bahwa pada beberapa hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa intervensi pembangunan khususnya
di bidang kesehatan masyarakat secara signifikan meningkatkan status gizi komunitas miskin dengan menghabiskan biaya sekecil mungkin Gwatkin et al.,
1979 dalam Fleuret and Feluret, 1980. Namun, menurut Fleuret and Feluret 1980 faktor penyebab tidak langsung dari pembangunan meningkatkan
terjadinya kasus gizi buruk dan gizi kurang. Selanjutnya, menurut Fleuret and Feluret 1980 beberapa penelitian menunjukkan misalnya: Berg, 1973,
Reutlinger and Selowsky, 1976 intervensi pembangunan rupanya menimbulkan distribusi sumberdaya yang tidak merata, yang kemudian menjadi aspek penting
dari penyebab munculnya kasus gizi buruk di kalangan masyarakat miskin khususnya di pedesaan.
Dalam penelitian ini, yang telah dibahas sebelumnya pada bab ini menunjukkan bahwa orientasi nilai budaya masyarakat Sasak melalui pemaknaan
terhadap kehamilan, kelahiran anak, serta perawatan balita, berperan terhadap meningkatnya kasus gizi buruk atau yang dalam peristilahan Jellife 1957 sebagai
cultural blocks, yakni kepercayaan dan praktek-praktek lokal masyarakat yang mempengaruhi pola makan dan kemudian berdampak pada status gizi
masayarakat. Kebudayaan sendiri merupakan sistem keseimbangan yang rumit yang tidak akan berubah begitu saja, sehingga inovasi yang dibawa oleh program
dengan label pembangunan nampaknya baik bagi suatu bidang misalnya, inovasi pertanian kemudian menimbulkan perubahan-perubahan kedua dan ketiga di
bidang lain misalnya kesehatan yang dampaknya melebihi manfaat yang diharapkan. Hampir selalu terdapat implikasi-implikasi yang tidak terduga pada
inovasi-inovasi yang terencana, beberapa diantaranya ada yang baik, namun banyak yang kemudian tidak diinginkan. DuBos 1965 dalam Djoht 2002
menyebutkan bahwa model implikasi yang tidak terduga ini dengan istilah ekologi. Semua inovasi teknologi yang berhubungan dengan praktek industri,
maupun dengan pertanian atau kedokteran, akan mengganggu keseimbangan alam. Kenyataannya menguasai alam sama artinya dengan mengganggu
keteraturan alam. Perubahan tersebut memicu perubahan secara struktural yang pada akhirnya juga memicu terjadinya kasus gizi buruk dan kasus gizi kurang di
dua komunitas Sasak, baik di persawahan maupun di pesisir, antara lain kemiskinan, dan kelangkaan sumberdaya. Sehingga pada bagian selanjutnya akan
dijelaskan bagaimana suatu intervensi pembangunan atas dampak pengenalan inovasi metode produksi pangan, distribusi dan konsumsi menimbulkan
munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang.
Masyarakat Sasak pesisir, merupakan penduduk pendatang dari darat atau dari wilayah persawahan. Kedatangan komunitas Sasak di wilayah pesisir
sesungguhnya karena saat itu di akhir tahun 1970an sampai dengan tahun 1980 an, masyarakat Sasak yang tak bertanah atau petani yang tidak berlahan hidupnya
terdesak, kemudian menyingkir ke daerah pesisir untuk mengharapkan
77 penghidupan. Masyarakat asli yang dipercaya mendiami desa-desa tua pesisir
seperti Batu Nampar, Krewe, Tanjung Luar, dan Labuan Haji adalah etnis Bajo dan Bugis. Dua etnis ini kemudian menerima kehadiran masyarakat Sasak
persawahan yang tunakisma karena dianggap menguntungkan bagi masyarakat Bugis dan Bajo. Desa-desa nelayan kemudian berkembang dan pada akhirnya
orang-orang Sasak mendominasi desa-desa baru di wilayah pesisir. Masyarakat Sasak kemudian banyak bekerja menjadi sabi
17
di kelompok-kelompok penangkapan cumi-cumi yang dikelola oleh nelayan-nelayan punggawa Bugis dan
Bajo baik di Batu Nampar hingga di wilayah Tanjung Luar di Jerowaru. Tahun 1970-1990an merupakan periode awal masyarakat persawahan Lombok Timur
untuk menjadi sabi di kelompok-kelompok penangkapan yang berjumlah sangat besar. Namun pada akhir 1990-an dan awal 2000an tenaga kerja sabi dari Sasak
persawahan kemudian makin menurun jumlahnya, disinyalir sebagai akibat makin meningkatnya penduduk laki-laki persawahan yang ke Malaysia dan Arab Saudi
untuk mencari nafkah.