Fenomena Kawin Cerai Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB

71 Bagi masyarakat Sasak, khususnya Sasak Persawahan perceraian tidak selalu dianggap sebagai suatu penyimpangan dari norma keluarga sejauh perceraian tersebut dilakukan dengan memenuhi ketentuan agama unsur nilai kolektif dari non inti budaya. Hal ini juga ditunjang dengan posisi pemangku adat cenderung melonggarkan dan mempermudah prosedur perceraian. Peraturan pemerintah mengenai prosedur perceraian Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 hampir tidak pernah dijadikan rujukan karena dirasakan menyulitkan dan tidak ada kesadaran hukum untuk mematuhinya. Hukum agama lebih legitimate ketimbang hukum positif yang dianggap hanya lebih menekankan proses administrasi belaka. Frekuensi pernikahan yang dilakukan oleh orang tua balita di lokasi penelitian menunjukkan bahwa jumlah pernikahan ibu maupun ayah bisa menjadi pemicu munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita khususnya pada wilayah persawahan Tabel 17. Sebesar 56,6 persen ayah balita di persawahan dari tipe rumah tangga non nuclear family mengakui telah menikah lebih dari satu kali. Demikian pula halnya yang terjadi pada ibu balita di persawahan. Sebesar 56,6 persen ibu balita dari rumah tangga non nuclear family telah menikah lebih dari satu kali. Dari data juga diperoleh fakta bahwa ayah balita paling banyak melakukan pernikahan dan kemudian bercerai sebanyak enam kali. Sementara ibu balita di persawahan melakukan pernikahan dan perceraian sebanyak lima kali. Tabel 17 Frekuensi Pernikahan Ayah dan Ibu bagi Keluarga Balita Gizi BurukKurang berdasarkan tipe rumahtangga nuclear dan non nuclear family di Wilayah Pesisir dan Persawahan, 2012 No Berdasarkan indikator Wilayah Total Kategori rumah tangga balita Pesisir Persawahan Nuclear Non nuclear Nuclear Non Nuclear Frekuensi Pernikahan Ayah n n n n n 1 1 Kali 15 50 7 23,3 7 23,3 2 6,7 31 51,7 2 1 Kali 6 20 2 6,7 4 13,4 17 56,6 29 48,3 Total 21 70 9 30 11 36,7 19 63,3 60 100 No Berdasarkan indikator Wilayah Total Kategori rumah tangga balita Pesisir Persawahan Frekuensi Pernikahan Ibu Nuclear Non nuclear Nuclear Non nuclear n n n n n 1 1 Kali 17 56,7 7 78 8 26,7 2 6,7 34 56,5 2 1 Kali 4 13,3 2 22 3 10 17 56,6 26 43,5 Total 21 70 9 30 11 36,7 19 63,3 60 100 72 Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan terungkap bahwa fenomena pernikahan berkali-kali, dan kemudian bercerai sesungguhnya sudah merupakan budaya masyarakat Sasak. Masyarakat Sasak pada dasarnya adalah masyarakat patriarkhi, di mana laki-laki berperan dominan, dan diikuti dengan previlege laki-laki baik di keluarga maupun di dalam sistem sosial. Laki-laki Sasak pantang untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan ranah domestik rumahtangga. Semua pekerjaan domsetik bahkan produktif dilakukan oleh kaum perempuan Sasak. Lelaki Sasak pantang untuk hidup di rumah mertua atau orang tua istri, jika itu terjadi, merupakan hal yang memalukan bagi keluarga laki-laki. Perempuan kemudian dipaksa untuk hidup dengan mertua sesaat setelah menikah. Salah satu unsur non inti budaya yang dikemukakan dalam teoritisasi ekologi budaya Steward adalah mengenai mitologi. Fenomena kawin cerai yang telah membudaya seperti yang telah dijabarkan sebelumnya tidak terlepas dari pemahaman dan sosialisasi masyarakat Sasak mengenai konstruksi perempuan Sasak sesuai dengan mitologi Dewi Rengganis dan putri Mandalika mitologi Bau nyale. Pembahasan mengenai mitologi ini akan dijabarkan pada bagian 6.2 pada tulisan ini. Kemudian, yang menarik dari data pada Tabel 17 adalah, jika kita memperhatikan dengan lebih seksama kecenderungan proporsi frekuensi pernikahan ayah dan ibu balita bergizi buruk dan bergizi kurang di wilayah pesisir, kasus pernikahan dan perceraian cenderung lebih rendah. Sebesar 50 persen ayah balita di pesisir mengaku menikah sekali dan mampu mempertahankan mahligai pernikahan. Selanjutnya, jika dilihat dari sisi ibu balita, sebesar 56,7 persen ibu balita dari tipe rumah tangga nuclear family juga menikah sekali, dan belum pernah bercerai sampai saat ini. Selanjutnya, terkait dengan budaya kawin dan bercerai, kebanggaan dari seorang laki-laki adalah ketika ia telah menikah lebih dari sekali. Pernikahan yang lebih dari sekali dianggap sebagai bentuk keperkasaan lelaki Sasak. Superioritas lelaki Sasak kaitannya dengan tradisi kawin cerai tidak terlepas dari bekerjanya rasionalitas substantif dan di satu sisi rasionalitas praktikal. Prestise lelaki yang menikah berkali-kali, keperkasaan lelaki yang diagungkan dan dianggap mampu secara ekonomi serta telah ditradisikan menjadi alasan kuat atas tindakan sosial lelaki Sasak menikah dan bercerai berkali-kali. Fakta di lapangan menunjukkan beberapa responden yang ditanyakan perihal jumlah pernikahannya, laki-laki yang telah menikah berkali-kali dan juga bercerai berkali-kali dengan lantang dan bangga menyebutkan jumlah pernikahannya. Sementara, laki-laki dengan jumlah pernikahan hanya sekali, nampak malu-malu mengungkapkan keberhasilannya mempertahankan mahligai pernikahannya. Kecenderungan yang menunjukkan bahwa proporsi rumahtangga yang menikah berkali-kali lebih banyak di persawahan daripada pesisir kuat alasannya karena budaya komunitas Sasak di wilayah Pesisir telah berakulturasi dengan budaya Bugis dan Bajo. Orang Bugis dan Bajo sendiri sangat melarang pernikahan dan perceraian berulang-ulang kali. Banyak lelaki Sasak yang telah menikah dengan perempuan Bugis maupun Bajo. Dari informasi fakta di lapangan, pernikahan bisa menjadi alat mobilitas sosial lelaki Sasak dalam komunitasnya. Karena jarang sekali lelaki Sasak yang menjadi sabi kemudian meningkat menjadi punggawa di armada penangkapan orang-orang Bajo dan 73 Bugis. Hanya orang yang terpercaya dan berasal dari keluarga sendiri lah yang diangkat sebagai punggawa. Kemudian, alasan lain mengapa pernikahan berkali-kali proporsinya kurang di wilayah pesisir karena baik ayah maupun ibu dalam kondisi tekanan ekonomi, terkungkung dalam kondisi kemiskinan, mau tidak mau mengerahkan tenaga dan pemikiran kepada upaya-upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Ada saja kegiatan yang dilakukan baik untuk mencari nafkah, dan kegiatan pendukung lainnya. Misalnya, jika musim paceklik datang, para ibu dan ayah akan mencari pekerjaan di darat antara lain sebagai buruh di ladang garam dan tembakau. Sedikit waktu senggang digunakan ayah dibantu dengan anak lelakinya akan memperbaiki mesin tempel, memperbaiki perahu atau mempebaiki jaring yang rusak. Sementara di persawahan, budaya pernikahan saat panen atau begabah dan lebaran topat, dan perceraian saat paceklik bagi lelaki yang memiliki uang, sementara bagi lelaki yang tidak memiliki uang dapat bercerai dan menikah kapan pun sesuai kesepakatan pasutri proporsinya lebih tinggi karena budaya di persawahan sangat mendukung terjadinya pernikahan dan perceraian tersebut. Selain budaya, lembaga adat dan orang tua pasutri juga dengan mudahnya mengesahkan perceraian secara agama tersebut. Hampir sebagian besar perceraian yang terjadi tidak melalui jalur hukum formal, melainkan melalui jalan hukum adat dan agama. Jika kita juga mengamati Tabel 16 sebelumnya yang memuat data umur di awal pernikahan, dapat kita amati bahwa pernikahan di persawahan juga dilakukan saat pasutri berusia sangat belia. Perempuan yang masih sangat belia yang belum matang secara psikologis untuk menikah menjadi faktor pemicu perceraian. Apalagi pasangan hidupnya juga belum matang secara psikologis dan materi. Hasil wawancara mendalam dengan pasutri yang menikah di usia yang sangat belia mengungkapkan bahwa percekcokan diantara suami dan istri selalu jadi sumber perceraian. Istri terkadang memancing-mancing emosi suami dan selalu memancing agar suami menyebut kata talak perceraian.Suami yang telah habis kesabarannya, pada akhirnya mengucapkan kata talak. Keesokan harinya istri dibawa ke rumah orang tuanya oleh suami sebagai tanda perceraiannya dengan suami. Begitu mudahnya perceraian dilakukan juga dengan pernikahan kembali menyebabkan kasus kawin cerai sampai saat ini masih dalam angka yang tinggi. Sumber percekcokan sebagian besar karena masalah ekonomi rumahtangga yang morat-marit, sementara yang lainnya karena suami bermain perempuan lain selain istrinya, baik saat di Malaysia atau di Arab Saudi, maupun saat hidup bersama istri dan anak-anaknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jumlah pernikahan ayah balita cenderung berhubungan dengan kejadian gizi buruk dan gizi kurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di wilayah persawahan cenderung lebih banyak mengalami kasus ayah balita gizi buruk dan gizi kurang menikah lebih dari satu kali, dan menyebabkan rumahtangga menjadi rapuh dan berakhir pada perceraian dibandingkan dengan kasus di wilayah persisir. Pada kasus di persawahan rumahtangga balita bergizi buruk dan bergizi kurang berasal dari rumahtangga non nuclear family dan sang ayah telah menikah lebih dari satu kali. Sementara di wilayah pesisir relatif lebih sedikit untuk kasus pernikahan ayah yang lebih dari sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan yang terjadi di Sasak persawahan, para ibu yang menikah lebih dari satu kali kemudian akan bergabung 74 dalam keluarga besarnya sebagai suatu mekanisme bertahan hidup dari ketidakmampuannya untuk memberikan penghidupan kepada anak-anaknya setelah perceraian terjadi. Setelah bercerai, peran ibu di persawahan semakin berlipat-lipat. Karena tidak hanya mengurus anak, melainkan juga harus mencari nafkah. Perceraian selain mempengaruhi mental suami dan istri, juga yang paling menjadi korban adalah anak-anak. Beberapa kasus gizi buruk ditemukan fakta bahwa ketika ayah dan ibunya memutuskan untuk bercerai, ayah lalu tidak lagi menafkahi anaknya, dan ibu kemudian harus mencari nafkah secara serabutan, dan pada akhirnya anak-anaknya diserahkan kepada papu ‟ untuk dirawat. Sementara papu‟ sendiri sudah tua dan renta, sehingga tidak maksimal dalam merawat cucunya khususnya yang masih balita. Kuatnya kasus pernikahan dan perceraian di kalangan masyarakat Sasak juga ditengarai oleh pengaruh tokoh agama yakni Tuan Guru melalui perilaku pernikahan poligami yang Tuan Guru jalankan. Tuan Guru sendiri adalah sosok yang sangat dihormati oleh komunitas suku Sasak. Tuan Guru tidak hanya dimaknai sebagai seorang alim ulama yang taat beribadah, melainkan juga sebagai sosok penyembuh dari penyakit jahat penyakit personalistik kiriman manusia melalui ilmu hitam dan setan. Tuan Guru juga dimaknai selain sebagai orang yang shaleh, juga sebagai orang yang peduli terhadap nasib pendidikan agama dari setiap masyarakat Sasak. Maka tidaklah mengherankan jika Tuan Guru membangun pondok-pondok pesantren, yang tujuannya adalah untuk memudahkan mensyiarkan nilai-nilai keislaman bagi pengikutnya. Menurut informan, setiap Tuan Guru dipercaya memiliki ilmu magribi yang dikonstruksi sebagai sumber kekuatan di dalam menarik banyak jamaah.Ilmu magribi kemudian dikonstruksi sebagai anugerah dari Allah SWT sehingga Tuan Guru mampu menyembuhkan seseorang yang terkena guna-guna, mampu memberikan pencerahan dan membawa umatnya ke jalan yang benar. Tidak semua Tuan Guru berasal dari satu aliran keislaman yang sama. Setiap Tuan Guru mewakili tiap-tiap aliran kepercayaan Islam 15 yang telah lama berkembang. Aliran tersebut antara lain: 1 Yatopa, dengan Tuan Guru yang terkenal antara lain H. Fadil Padli Tohir, 2 Ampibi dengan Tuan Guru yang terkenal yakni Tuan Guru Sibawae dan Tuan Guru Bukit, 3 Hisbulloh atau Nahdatul Watan NW 16 dengan Tuan Guru Bajang Zainul Majdi yang saat ini duduk sebagai gubernur NTB. 15 Setiap aliran memiliki ritualnya masing-masing.Misalnya untuk aliran keislaman Yatopa dikenal dengan ritual Hizib.Hizib sendiri sejenis dzikir dan mewajibkan amalan-amalan tertentu.Sementara untuk aliran keislaman Amphibi, lekat dengan keberaniannya di dalam jihad di jalan Allah. Menurut, Ibu Yuli gerakan Ampibi sama dengan FPI di pulau Jawa. Mereka dengan berani menggerebek dan menghancurkan tempat-tempat maksiat, dan yang lebih ekstrim mereka berani membunuh maling yang jelas-jelas bersalah.Terakhir Nahdatul Wathan NW ritual yang biasanya dijalankan adalah pengajian berkala dan kemudian umat atau jamaah melakukan ritual lontar uang kepada Tuan Guru. Menurut informan melontarnya sama modelnya dengan melakukan lontar jumrah saat beribadah haji. Namun yang dilontarkan adalah uang.Menurut Ibu Yuli uang tersebut kemudian dikumpulkan dan kemudian digunakan untuk membangun pondok pesantren dan masjid. 16 Dalam Buku Bartholomew 2001 disebutkan bahwa Nahdatul Wathan secara tipikal dikelompokkan dengan varian Islam tradisonalis dengan bentuk peribadatan yang berlatar belakang sufistik. 75 Menurut informan, Tuan Guru memiliki pengaruh yang luar biasa di kalangan umatnya merupakan bagian dari unsur religi pada non inti budaya Steward. Segala tindak tanduk Tuan Guru, dan apa yang diucapkan oleh Tuan Guru merupakan kebenaran dan diupayakan untuk dilakukan. Sebegitu fanatiknya jemaahnya terhadap Tuan Guru, banyak jamaah yang berebutan mencium tangan Tuan Guru, dengan cara mencium punggung tangan dan telapak tangan Tuan Guru. Tuan Guru juga ibarat pesohor, pengajiannya selalu ditunggu-tunggu oleh umatnya, pengajiannya nyaris tak pernah sepi pengunjung. Di kediamannya orang harus mengantri untuk bisa bertemu meskipun hanya sesaat saja. Tidak segan- segan juga pengikutnya akan mengupayakan keinginan Tuan Guru. Misalnya menurut informan, ada Tuan Guru yang mengatakan bahwa Ia berkeinginan untuk memiliki kendaraan beroda empat, dengan tujuan agar mudah menjangkau tempat ceramah saat mensyiarkan agamanya. Saat itu juga, jemaahnya kemudian berbondong-bondong mengumpulkan uang untuk membelikan Tuan Guru kendaraan roda empat. Menurut informasi, rata-rata Tuan Guru berlimpah kekayaan. Meskipun di setiap kegiatan pengajian berulang kali mengatakan bahwa “saya tidak mau kaya harta”, namun kenyataannya kehidupannya dilimpahi oleh kekayaan. Tuan Guru juga identik dengan kehidupan berpoligami. Rata-rata Tuan Guru beristri lebih dari satu. Tak terkecuali dengan TGB Tuan Guru Bajang yang saat ini menjadi Kepala daerah, informasi terkini TGB telah memiliki istri lagi. Gaung yang dilontarkan oleh Tuan Guru mengenai poligami, adalah menjalankan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang memperistrikan empat orang perempuan. Menurut informan, Tuan Guru di Jerowaru yang sangat terkenal memiliki empat orang istri. Tidak jelas juga apakah empat orang istrinya memang itu, atau Tuan Guru menikah lagi dan kemudian bercerai. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Tuan Guru merupakan sosok penting dalam masyarakat Sasak Pesisir maupun Sasak Persawahan rata- rata para ibu balita memaknai Tuan Guru sebagai orang yang paling berpengaruh, dan segala tindak tanduknya merupakan panutan bagi setiap masyarakat Sasak. Kemudian dalam hal poligami yang dilakukan oleh Tuan Guru, bagi sebagian besar informan menyampaikan persetujuannya terhadap apa yang dilakukan oleh Tuan Guru sebagai bentuk kesalehannya dalam beragama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa poligami merupakan hal yang wajar dan sekaligus dianggap sebagai upaya untuk mendapatkan keselamatan di akhirat. Misalnya, ibu balita di pesisir dan persawahan menganggap bahwa poligami yang dilakukan Tuan Guru adalah upaya untuk menjalankan sunah Rasul. Kemudian pemaknaan mengenai poligami oleh ibu balita baik di pesisir maupun persawahan merupakan upaya memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di akhirat. 76 7 SISTEM SOSIAL EKONOMI Beragam program pembangunan pertanian dan pedesaan pada dasarnya ditujukkan secara langsung maupun tidak langsung untuk meningkatkan status gizi dari masyarakat miskin USAID, 1977. Akan tetapi pada kenyataannya terjadi perbedaan yang besar antara tujuan dasar pembangunan tersebut dengan pelaksanaannya. Meskipun, ada juga kenyataan bahwa pada beberapa hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa intervensi pembangunan khususnya di bidang kesehatan masyarakat secara signifikan meningkatkan status gizi komunitas miskin dengan menghabiskan biaya sekecil mungkin Gwatkin et al., 1979 dalam Fleuret and Feluret, 1980. Namun, menurut Fleuret and Feluret 1980 faktor penyebab tidak langsung dari pembangunan meningkatkan terjadinya kasus gizi buruk dan gizi kurang. Selanjutnya, menurut Fleuret and Feluret 1980 beberapa penelitian menunjukkan misalnya: Berg, 1973, Reutlinger and Selowsky, 1976 intervensi pembangunan rupanya menimbulkan distribusi sumberdaya yang tidak merata, yang kemudian menjadi aspek penting dari penyebab munculnya kasus gizi buruk di kalangan masyarakat miskin khususnya di pedesaan. Dalam penelitian ini, yang telah dibahas sebelumnya pada bab ini menunjukkan bahwa orientasi nilai budaya masyarakat Sasak melalui pemaknaan terhadap kehamilan, kelahiran anak, serta perawatan balita, berperan terhadap meningkatnya kasus gizi buruk atau yang dalam peristilahan Jellife 1957 sebagai cultural blocks, yakni kepercayaan dan praktek-praktek lokal masyarakat yang mempengaruhi pola makan dan kemudian berdampak pada status gizi masayarakat. Kebudayaan sendiri merupakan sistem keseimbangan yang rumit yang tidak akan berubah begitu saja, sehingga inovasi yang dibawa oleh program dengan label pembangunan nampaknya baik bagi suatu bidang misalnya, inovasi pertanian kemudian menimbulkan perubahan-perubahan kedua dan ketiga di bidang lain misalnya kesehatan yang dampaknya melebihi manfaat yang diharapkan. Hampir selalu terdapat implikasi-implikasi yang tidak terduga pada inovasi-inovasi yang terencana, beberapa diantaranya ada yang baik, namun banyak yang kemudian tidak diinginkan. DuBos 1965 dalam Djoht 2002 menyebutkan bahwa model implikasi yang tidak terduga ini dengan istilah ekologi. Semua inovasi teknologi yang berhubungan dengan praktek industri, maupun dengan pertanian atau kedokteran, akan mengganggu keseimbangan alam. Kenyataannya menguasai alam sama artinya dengan mengganggu keteraturan alam. Perubahan tersebut memicu perubahan secara struktural yang pada akhirnya juga memicu terjadinya kasus gizi buruk dan kasus gizi kurang di dua komunitas Sasak, baik di persawahan maupun di pesisir, antara lain kemiskinan, dan kelangkaan sumberdaya. Sehingga pada bagian selanjutnya akan dijelaskan bagaimana suatu intervensi pembangunan atas dampak pengenalan inovasi metode produksi pangan, distribusi dan konsumsi menimbulkan munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang. Masyarakat Sasak pesisir, merupakan penduduk pendatang dari darat atau dari wilayah persawahan. Kedatangan komunitas Sasak di wilayah pesisir sesungguhnya karena saat itu di akhir tahun 1970an sampai dengan tahun 1980 an, masyarakat Sasak yang tak bertanah atau petani yang tidak berlahan hidupnya terdesak, kemudian menyingkir ke daerah pesisir untuk mengharapkan 77 penghidupan. Masyarakat asli yang dipercaya mendiami desa-desa tua pesisir seperti Batu Nampar, Krewe, Tanjung Luar, dan Labuan Haji adalah etnis Bajo dan Bugis. Dua etnis ini kemudian menerima kehadiran masyarakat Sasak persawahan yang tunakisma karena dianggap menguntungkan bagi masyarakat Bugis dan Bajo. Desa-desa nelayan kemudian berkembang dan pada akhirnya orang-orang Sasak mendominasi desa-desa baru di wilayah pesisir. Masyarakat Sasak kemudian banyak bekerja menjadi sabi 17 di kelompok-kelompok penangkapan cumi-cumi yang dikelola oleh nelayan-nelayan punggawa Bugis dan Bajo baik di Batu Nampar hingga di wilayah Tanjung Luar di Jerowaru. Tahun 1970-1990an merupakan periode awal masyarakat persawahan Lombok Timur untuk menjadi sabi di kelompok-kelompok penangkapan yang berjumlah sangat besar. Namun pada akhir 1990-an dan awal 2000an tenaga kerja sabi dari Sasak persawahan kemudian makin menurun jumlahnya, disinyalir sebagai akibat makin meningkatnya penduduk laki-laki persawahan yang ke Malaysia dan Arab Saudi untuk mencari nafkah.

7.1 Kebijakan Pembangunan Pertanian

Menurut Culwick and Culwick 1939, Levy et al., 1936, dan McCulloh, 1929 dalam Fleuret and Fleuret 1980 telah lama ditemukan bukti empiris bahwa produksi pertanian komersial selalu mengarahkan pada penurunan status gizi masyarakatnya. Pernyataan ini erat kaitannya dengan pemahaman kita pada proses-proses agraria yang menyertai kegiatan pembangunan tersebut. Menurut Brokensha dan Riley 1978 dalam Fleuret and Fleuret 1980 sistem pertanian heterokultur merupakan strategi tipikal dari sistem pertanian subsisten yang ditujukkan untuk mengurangi resiko-resiko kerawanan pangan yang dihadapi oleh rumahtangga produsen. Juga terkait dalam hal persediaan dan penyimpanan makanan dengan penggunaan teknologi yang terbatas dan selaras alam. Sementara sistem produksi pertanian secara komersialisasi, di sisi lain, selalu menekankan pada pola pertanaman semusim dengan komoditas pertanian tertentu. Ekonomi uang bergerak melalui penjualan tanaman hasil produksi. Uang yang dihasilkan kemudian tidak serta merta digunakan seutuhnya pada pemenuhan kebutuhan energi anggota keluarga, melainkan penggunaan pendapatan juga diarahkan untuk kebutuhan non pangan antara lain permodalan untuk kegiatan usahatani berikutnya, dan kebutuhan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu penyebab dari muncul dan maraknya kasus gizi buruk dan kasus gizi kurang terkait dengan munculnya kerawanan pangan khususnya pada masyarakat Sasak pada lapisan terbawah yang sebagian besar merupakan petani tidak berlahan ketika introduksi program intensifikasi pertanian, dan selanjutnya pada tahap introduksi pola penanaman tembakau sebagai tanaman komersial selain palawija dan hortikultura. Pembangunan sektor pertanian di wilayah persawahan, seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada bagian sejarah menunjukkan bahwa akibat ketiadaan lahan pertanian, maka sebagian masyarakat Sasak di persawahan kemudian tersingkir ke wilayah pesisir, kemudian bekerja 17 Sabi atau di daerah lain disebut sebagai nelayan sawi, bekerja sebagai buruh di kelompok nelayan 78 untuk menjadi nelayan, sekaligus menjadi masyarakat kelas dua di lingkungan barunya. Kaitan antara kegiatan pembangunan sektor pertanian dengan kasus gizi buruk dan gizi kurang dapat mulai dijelaskan dengan hilangnya kelembagaan lokal sambi setelah munculnya revolusi hijau. Menurut informan penelitian diperoleh fakta bahwa meskipun lumbung padi atau sambi dimiliki bukan secara komunal, melainkan secara perorangan, namun perannya mencegah kerawanan pangan di desa sangatlah penting. Dahulu, sebelum diperkenalkannya bibit unggul IR 64 dan IR 63 melalui program Inmas dan Bimas, Sambi masih ada, dan berfungsi. Saat masyarakat Sasak di Lombok Timur masih menanam padi secara tradisional, dan menggunakan bibit lokal yakni padi bune dan padi bulu yang ditanam enam bulan sekali, fungsi sambi sangat lah penting. Padi bune dan padi bulu yang dapat diikat dan bulirnya tidak mudah rontok sangat cocok disimpan di lumbung padi dalam jangka waktu lama, sehingga lumbung sangat berfungsi untuk menyimpan gabah padi. Sambi sendiri, dari bentuk bangunannya, terbagi atas dua bagian. Bagian pertama atau bagian atas dari sambi merupakan lumbung padi. Pada bagian bawah lumbung, berbentuk bale-bale atau yang dikenal dengan beruga adalah tempat kumpul-kumpul keluarga. Biasanya, dahulu menurut ibu PR informan penelitian, saat sambi masih ada, pada waktu sore hari keluarga dan tetangga baik muda maupun tua, berkumpul di beruga untuk sekedar berbincang-bincang menghabiskan waktu sore hari, sebelum saat magrib datang, sambi merupakan public sphare keluarga Sasak sorohan. Kemudian, menurut ibu PR, lumbung layaknya gudang beras tradisional, juga dimodifikasi secara turun temurun agar terhindar dari serangan hama seperti tikus dan kutu beras. Tikus tidak bisa meyerang karena tiang dari sambi dibuat dari pohon kelapa, sehingga licin dan tidak bisa dipanjat oleh tikus. Serangan kutu beras juga jarang terjadi karena petani saat itu menyimpan dalam bentuk gabah, bukan beras. Kemudian ketika akan dikonsumsi, maka pemilik lumbung akan memanggil tenaga kerja untuk menumbuk padi, dan buruh tumbuk padi tersebut tidak dibayar dengan uang seperti saat ini melainkan dengan gabah. Karena gabah ditumbuk, bukan dirontokkan dengan huller, maka beras yang dihasilkan tidak putih sekali seperti beras dari mesin huller, melainkan sedikit kuning, karena kulit-kulit arinya masih ada. Menurut ibu PR, mendiang orang tuanya percaya bahwa beras yang seperti itu lah yang banyak mengandung gizi. Sisa tumbukan padi berupa potongan- potongan kecil dan halus dari beras biasanya dijadikan lambuk, kue cemilan yang dicampur dengan gula aren, dan sangat nikmat, dan digemari baik anak-anak, hingga orang dewasa. Dedak gabah hasil dari tumbuk padi digunakan untuk dijadikan sebagai dedak atau makanan ternak. Namun, sejak diintroduksikannya bibit unggul dengan maksud untuk mengejar peningkatan produksi padi oleh pemerintah, kemudian menyingkirkan penggunaan padi bune dan padi buluh. Lahan-lahan persawahan saat itu kemudian ditanami padi varietas unggul yang bisa dipanen tiga kali di dalam setahun, berbeda dengan buluh dan bune yang dipanen hanya dua kali dalam setahun. Jenis yang berbeda dengan bibit lokal, padi IR bulir padinya mudah rontok, sehingga tidak cocok ditaruh di dalam lumbung padi. Karena mudah rontok, maka petani kemudian menyimpan gabah di dalam karung. Karung beras juga tidak disimpan di lumbung karena sulitnya menaikkan karung berisi gabah ke dalam lumbung 79 padi yang letaknya lebih tinggi. Pada akhirnya karung-karung berisi gabah, diletakkan di dalam rumah. Sehingga hama tikus dengan mudah menyerang padi. Sehingga mau tidak mau, gabah tidak boleh terlalu lama disimpan, karena jika bertahan untuk disimpan susutnya besar, artinya petani menjadi merugi. Belum lagi ledakan hasil panen, karena siklus pemanenan yang menjadi lebih pendek dan frekuensinya berubah dari dua kali panen setahun menjadi tiga kali panen. Akhirnya petani lebih menyukai untuk menjual gabah, artinya simpanan yang dulu dalam bentuk gabah, berubah menjadi uang. Selain itu juga menyimpan gabah dengan jenis bibit seperti IR 64 juga memerlukan biaya yang tinggi, sehingga fenomena sekarang petani langsung jual gabah di sawah sesaat setelah panen selesai. Petani sudah malas menyimpan gabah, karena biaya yang harus dikeluarkan untuk membersihkan gabah, mengeringkan, kemudian menyimpan mengeluarkan biaya yang cukup besar, dan bagi sebagian petani merepotkan dan cukup menguras kantong petani. Kemudian beras yang dihasilkan dari penggilangan padi dengan menggunakan huller juga tidak menghasilkan sisa-sisa tumbukan beras, sehingga makanan khas lambuk juga nyaris punah. Dedak yang dihasilkan oleh perontok padi tidak bisa digunakan sebagai pakan ternak, karena dedak yang dihasilkan kasar, ternak tidak begitu menyukai, dan ternak Nampak lebih kurus. Menurut ibu PR, orang-orang tua dahulu, menyampaikan bahwa pamali atau pantang bagi orang Sasak untuk menjual gabah. Selanjutnya, menurut ibu PR, kata orang tua memperingatkan bahwa jika kami menjual gabah, pasti kami cepat lapar. Ditambahkan menurut ibu PR, nasehat itu kemudian menurutnya memang ada benarnya. Saat ini, malah terjadi keanehan, di desa ini, di mana- mana ada sawah dengan padi yang menguning, namun harga beras selangit. Satu liter beras bisa mencapai Rp. 11.000,-. Beras yang paling murah saja sudah Rp. 8.000,- per liternya. Sementara kalau diperhatikan orang Sasak sangat konsumtif dalam konsumsi beras. Menurut IP: “Celakanya orang Sasak kalau makan nasi banyak sekali. Di sini kalau tidak makan nasi tidak kenyang. Jadi jangan heran kalau orang-orang di sini cukup makan dengan nasi dan sayur saja, karena uangnya habis hanya untuk beli beras”Wawancara dengan ibu IP, Tanggal 14 Juni 2012 Dengan kondisi seperti ini, lumbung perlahan-lahan mulai punah keberadaannya. Dan menurut IP, beras menjadi sangat langka dan harganya selangit. Menurutnya, disimpan di mana beras-beras dari lahan sawah di sini ? Masyarakat yang menanam, tapi harus membeli dengan harga selangit, justru itu sangat berbeda ketika dahulu lumbung masih ada, buruh tani tidak akan kelaparan karena padi sudah terjamin ada, berbeda dengan sekarang upahnya segitu-gitu saja, sementara harga beras melambung sangat tinggi. Bagi ibu PR, hal tersebut sangat ironis. Kondisi masyarakat Sasak di Pesisir sangat menyedihkan, selain sulit mendapatkan beras, juga kemudian sulit mencari nafkah dengan mengandalkan sumberdaya di sekitar wilayah pemukiman. Tingginya permintaan akan hasil-hasil laut, meningkatkan eksploitasi baik yang dilakukan oleh nelayan Sasak maupun nelayan Bugis Bajo, juga nelayan di luar wilayah Lombok untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan khususnya cumi-cumi sebagai komoditas andalan perairan 80 Sumbawa. Sehingga, mau tidak mau, nelayan harus menangkap di wilayah yang jauh. Nelayan Sasak yang sebagian besar adalah nelayan kecil, kemudian harus menjadi sabi di armada penangkapan yang dimiliki oleh nelayan punggawa Bugis dan Bajo. Introduksi tanaman tembakau, juga memiliki dampak terhadap status gizi balita di persawahan 18 . Namun, nampaknya menjadi faktor yang tidak langsung. Tanaman tembakau, diakui oleh beberapa informan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat karena tanaman tembakau membutuhkan tenaga kerja yang banyak dalam kegiatan usahataninya. Mulai dari kegiatan pembibitan, hingga proses oven dan pengepakan. Tanaman tembakau tidak dipungkiri jika diseriusi akan memberikan keuntungan yang luar biasa besar. Pada Tabel 18, diilustrasikan perkembangan introduksi tanaman tembakau di pulau Lombok berdasarkan luasan lahan petani yang diperuntukkan untuk produksi tembakau. Data pada Tabel 18 di atas menunjukkan bahwa areal tanam tembakau telah meningkat lebih dari 129 kali lipat, yaitu dari 125 hektar pada tahun 1970 menjadi 16.125 hektar pada tahun 2006. Sejalan dengan peningkatan areal tanam, produksi pun mengalami peningkatan dari 100 ton menjadi 27.242,24 ton pada tahun yang sama. Peningkatan produksi yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh pertambahan luas areal tanam tetapi juga karena peningkatan produktivitas. Akan tetapi, pada kenyataannya berusaha tembakau malah bukan untung namun buntung. Tembakau bagi sebagian besar informan, adalah penyebab maraknya fenomena Janda Malaysia atau dikenal dengan Jamal, dan Janda Arab. Para janda Malaysia, semua berasal dari masyarakat kelas bawah. Para suami-suami rata-rata adalah buruh tani yang menjual tenaganya kepada pemilik lahan pertanian. Berikut adalah ilustrasi kasus rumahtangga dari buruh tani yang kemudian bermigrasi ke Malaysia meninggalkan istri dan anak-anaknya: 18 Menurut Hamidi, Hirwan 2009. Pengembangan tembakau virginia di Pulau Lombok dimulai tahun 1969 yang diawali dengan pelaksanaan uji coba pada tahun 1968 oleh PT. Faroka SA sehingga pada waktu itu petani lebih mengenalnya dengan nama tembakau faroka. Hasil uji coba tersebut tampaknya cukup baik sehingga mendorong ninat beberapa pengusaha tembakau seperti PT. Gabungan Impor-Ekspor Bali GIEB, PT. BAT Indonesia dan PTP XXVII mulai memasuki bisnis tembakau virginia dalam subsistem usahatani pada tahun 1974. Dalam operasionalnya, perusahaan-perusahaan tersebut melibatkan dan membina petani hanya dari sisi budidaya, sistem pengembangan bersifat bebas, pengolahan dilakukan sendiri oleh perusahaan dengan cara membeli daun basah dari petani. Pada tahun 1980, PT. Jarum mulai memasuki bisnis tembakau virginia di Pulau Lombok dengan pola yang sama dengan perusahaan-perusahaan yang lebih dahulu masuk. Masuknya PT. Jarum tidak membuat perkembangan usahatani tembakau virginia tumbuh dengan cepat. Akhirnya pada tahun 1988 mulai dilaksanakan kebijaksanaan pengembangan pola kemitraan melalui program intensifikasi tembakau virginia. Tampaknya, tembakau virginia Lombok memiliki keunggulan kompetitif dan kekhasan tersendiri sehingga pada tahun-tahun berikutnya banyak perusahaan-perusahaan rokoktembakau lainnya juga memasuki bisnis ini. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak sembilan perusahaan pengelola yang telah mendapatkan izin operasional dari Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu PT. BAT Indonesia, PT. Djarum, CV. Trisno Adi, UD Nyoto Permadi, PT. Philip Moris Indonesia, PT.Sadhana Arif Nusa, PT. Gelora Jaya, KUD Tunggal Kayun, dan PT. Mayang Sari Keputusan Gubernur NTB Nomor: 467 Tahun 2005. Pada tahun 2006 jumlah perusahaan pengelola meningkat menjadi tigabelas, yaitu CV. Trisno Adi, PT. Sadhana Arif Nusa, KUD Tunggal Kayun, PT. Philip Morris Ind, PT. BAT Indonesia Tbk, PT. Djarum, PT. Glora Djaya, UD Nyoto Permadi, UD. Cakrawala, PT. Ind. Indah Tobacco Citra Niaga, PT. Indonesia Dwi Sembilan, UD. Keluarga Sakti, dan CV. Karya Putra Makmur.