52 belian merupakan pendukung dalam perawatan kehamilan yang dilakukan oleh
pihak medis. Masyarakat Sasak yang lekat dengan kepercayaan-kepercayaan dan hal-
hal yang magis, tidak bisa terlepas dari peran seorang belian. Belian sendiri merupakan istilah lokal Sasak untuk orang yang mampu memberikan pengobatan
secara tradisonal dan membantu proses perawatan kehamilan dan kelahiran. Menurut Bidan Lila, saat ini kecenderungan masyarakat Loyok, untuk kegiatan
persalinan sudah jarang yang menyerahkan kepada belian. Masyarakat saat ini cenderung lebih menyerahkan tanggung jawab dalam proses persalinan dan
pemeriksaan kehamilan kepada bidan desa yang ditunjuk pemerintah. Karena bidan dipercaya oleh masyarakat mampu mengatasi komplikasi kehamilan seperti
eklamsia. Namun, bukan berarti kemudian peran belian sepenuhnya tersingkir di masyarakat. Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa dengan kepercayaan
masyarakat yang masih sangat kental dengan magis dan kepercayaan-kepercayaan mengenai roh halus, maka belian masih sangat berperan di dalam mendampingi
ibu saat hamil dan proses persalinan. Kepercayaan masyarakat Sasak akan kekuatan magis khususnya ilmu hitam yang bisa mencelakai ibu yang sedang
hamil, serta kemampuan belian yang dipercayai paling mumpuni di dalam menjauhkan dan menyembuhkan ibu dan janin dari gangguan roh halus.
Menurut Ina ‟ Js seorang belian, yang telah tiga tahun menjadi
belian mengakui bahwa jenis perawatan kehamilan yang biasa diberikan oleh ibu yang sedang hamil antara lain selain air jampi-jampi, jeringo sejenis akar-akaran
tanaman sejenis jahe yang disematkan dengan peniti ke pakaian ibu hamil dan bayi, dan memberikan jimat dari benang yang dipulum dan diikat seadanya
dengan hiasan kayu kecil sebagai gelang di tangan ibu dan bayi. Juga memberikan oroh-orohan atau pijat kehamilan yang berfungsi untuk relaksasi ibu hamil, dan
mengendalikan posisi bayi di dalam perut sehingga tidak terjadi bayi sungsang, dan mudah dalam proses kehamilan.
Belian diperlukan sesungguhnya menjelang persalinan atau saat mulai pembukaan tiga. Belian kemudian memberi air jampi-jampi agar bayi dengan
mudah melewati jalan lahir. Setelah air ketuban pecah, yang merupakan tanda bahwa kegiatan persalinan akan segera dilaksanakan, barulah bidan medis
melakukan tugasnya, setelah bayi lahir dan proses kelahiran selesai, perawatan ibu pasca melahirkan dan bayi kembali menjadi tanggung jawab belian. Belian lah
yang mencucikan pakaian ibu yang bernoda darah nifas, memandikan bayi, mengurus ari-ari beserta ritual tanam ari-ari di halaman rumah
7
. Makna ari-ari bayi ditanam di batok tanah liat nemek yang ditanam di halaman rumah
menandakan harapan bahwa kelak anak tidak akan pergi jauh dari rumah, dan jika anak kelak hidup merantau tidak akan pernah lupa akan rumah, orang tua, dan
kampung halaman. Belian nganak juga mengurus ibu pasca melahirkan, ketika tali pusar bayi jatuh atau kira-kira seminggu setelah dilahirkan, atau saat api di atas
7
Menurut May et al., 1989 upacara kelahiran masyarakat Sasak dimulai dari pembersihan ari-ari. Ari-ari bayi tonto yang telah dibersihkan oleh Belian kemudian ditanam oleh ayah. Ini
dimaksudkan agar supaya ayah juga turut merasakan penderitaan istri dari sejak mengandung sampai melahirkan bayinya. Setelah itu dukun beranak belian nganak akan memulai untuk
membacakan doa-doanya mantera pada rangkaian upacara tersebut. Pada upacara ini dibuat semacam sesajen yang akan dibagi-bagikan kepada setiap mereka yang ada disana. Sesajen
tersebut dibuat dari tepung beras dicampur gula kelapa dan kelapa yang sudah agak tua lalu kemudian ditumbuk. Adonan yang sudah halus tersebut disebut songgaq.
53 tempat ari-ari padam, barulah belian nganak melakukan pengobatan kepada ibu.
Seminggu pasca kelahiran baru lah tugas belian selesai. Belian juga membantu ibu dan anak melaksanakan peraq api
8
atau mate api yang dimaksudkan adalah mematikan atau memadamkan api atau tungku di atas ari-arinya. Tugas Belian
berhenti setelah upacara peraq api. Tahap selanjutnya, setelah seorang ibu menjalani sembilan bulan masa
kehamilan, adalah melahirkan dan merawat anak yang telah dikandung. Anak sendiri memiliki makna tersendiri bagi setiap rumah tangga. Dalam tulisan ini
pemaknaan, khususnya pemaknaan anak ditengarai menjadi penyebab terjadinya kasus gizi buruk balita yang terjadi di empat lokasi penelitian. Seperti yang telah
dijabarkan sebelumnya bahwa ibu-ibu balita di wilayah pesisir memaknai anak sebagai aset atau tabungan masa depan keluarga. Menurut Suparman et al., 2008
bahwa ukuran anggota rumah tangga turut mempengaruhi kemampuan akses ekonomi keluarga terhadap pangan. Jumlah anggota keluarga sering dihubungkan
dengan beban ekonomi keluarga, sehingga semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin rendah ketahanan ekonomi keluarga.
Usia 0-24 bulan bagi anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dan bila bayi dan anak pada usia ini tidak memperoleh
makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan baik pada masa ini ataupun selanjutnya. Untuk
mencapai tumbuh kembang anak yang optimal ibu harus segera memberikan ASI secara eksklusif sampai bayi berusia enam bulan dan meneruskan pemberian ASI
sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. MPASI yang diberikan hendaknya dibuat dari bahan pangan yang murah dan mudah diperoleh Dardjito dan
Suryanto, 2009.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada bagian awal tulisan ini bahwa pemberian ASI maupun MPASI dalam penelitian ini dipengaruhi oleh
pemaknaan ibu terhadap peran ASI dan MPASI tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ASI dimaknai oleh sebagian besar ibu di Pesisir sebagai
sumber kesehatan bagi anak. Di persawahan juga demikian, ASI menjadi sumber kesehatan bagi anak. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemberian ASI
oleh ibu-ibu khususnya di pesisir lebih dari dua tahun, dan tidak ada upaya penyapihan, sehingga kualitas ASI menurun dan tidak menjadi sumber gizi yang
layak bagi balita. Kualitas ASI juga dipengaruhi oleh pola konsumsi makanan ibu. Di persawahan sendiri, ibu mengkonsumsi sayur mayur sebagai pendamping nasi,
namun kurang protein. Sementara di pesisir, ibu yang sibuk mencari nafkah setiap hari selain mengurus masalah domestic juga bergelut pada ranah produksi. Beban
berat tersebut tidak diimbangi dengan asupan gizi yang baik. Antara lain mengkonsumsi makanan seadanya dengan konsumsi protein ikan sebagai
pendamping nasi, namun kurang sayuran.
8
Menurut May et al., 1989 upacara peraq api dilaksanakan setelah tujuh atau sembilan hari
pasca bayi lahir ke dunia. Upacara peraq api adalah upacara pemberian nama kepada anak. Peraq api merupakan upacara pemadaman tungku yang sejak lahir sampai hari upacara tersebut
dinyalakan. Tungku tersebut dimaksudkan untuk memanasi pakaian bayi yang tidak kering dari jemuran dari siang hari atau untuk menghangati batu yang dipakai ibu untuk merawat kesehatan
dari sehabis melahirkan. Api yang dinyalakan selama 7 atau 9 hari pada tungku atau sulung itu disebut sebagai dapuh. Sedangkan kayu yang dibakar pada sulung atau tungku itu disebut sebagai
perereng. Pada upacara peraq api itu, bayi diberi nama dan untuk yang pertama kalinya bayi boleh dibawa ke luar rumah.
54 Kemudian, makna makanan bagi anak di awal-awal usia kehidupannya
bagi ibu balita di Pesisir adalah makanan sebagai sumber kesehatan anak. Demikian pula halnya dengan pemaknaan makanan bagi anak oleh ibu balita di
persawahan . Sayangnya, makna terhadap makanan balita tersebut tidak kemudian menciptakan persepsi ibu terhadap kualitas makanan. Para ibu hanya
memperhatikan bahwa setiap harinya anak harus makan, namun jenisnya tidak serta merta diperhatikan oleh ibu-ibu di persawahan. Makanan instant seperti mie
instant dan jajanan dianggap ibu merupakan makanan yang layak diberikan kepada anak-anak mereka.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ibu balita di wilayah pesisir memaknai pemberian makanan tambahan kepada balita sebagai upaya untuk
membantu pertumbuhan anak. Kemudian, ada juga para ibu yang memaknai MPASI sebagai upaya agar anak tidak lapar. Demikian halnya dengan ibu di
wilayah Sasak Persawahan, beberapa ibu di wilayah pesisir memaknai pemberian MPASI untuk membantu pertumbuhan balita. Sementara ibu balita lainnya
memaknai pemberian makanan tambahan agar anak tidak mudah lapar. Ibu balita yang mamaknai bahwa MPASI diberikan agar anak tidak mudah lapar menjadi
suatu masalah tersendiri bagi balita. Seperti yang telah disampaikan pada bagian enam tulisan ini, bahwa pada kenyataan di lapangan ditemukan bahwa bayi yang
berumur satu sampai dengan dua bulan sudah diberikan makanan lunak oleh ibu atau neneknya papu
‟nya. Makanan lunak biasanya dalam bentuk nasi yang dilumatkan atau beras digiling terlebih dahulu. Akan tetapi, parahnya kalau ibu
dan Papu‟ tidak sempat melakukan penggilingan beras sebelum dimasak,
biasanya nasi dilumatkan oleh ibu atau papu ‟ dengan cara mengunyah langsung
makanan yang akan diberikan kepada bayi. Setelah yakin makanan tersebut lumat, kemudian diberikan kepada bayi. Pemberian makanan tambahan yang tidak
higienis ini dikenal oleh masyarakat Sasak dengan istilah pakpak.
Gizi kurang dan buruk pada balita adalah masalah yang kompleks dan pelik yang tidak dapat diselesaikan dengan solusi tunggal dan sederhana. Secara
teoritis timbulnya masalah ini melibatkan banyak determinan faktor penentu yang saling berhubungan. Asupan makanan yang tidak cukup dan adanya
penyakit pada balita merupakan penyebab langsung terjadinya gizi buruk dan gizi kurang yang saling mempengaruhi. Balita gizi buruk dan kurang cenderung
mudah sakit dan pada akhirnya memperburuk gizinya Maigoda, et al., 2009.
Pemaknaan perawatan anak saat sakit pada ibu balita di wilayah pesisir sendiri cenderung bervariasi. Beberapa ibu balita di pesisir memaknai perawatan
kepada anak yang sakit sebagai bentuk kewajiban dari ibu. Beberapa ibu yang lain memaknai bahwa merawat balita saat sakit merupakan bentuk kasih sayang
kepada anak-anaknya, dan ibu balita di wilayah pesisir lainnya memaknai sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawab oleh seluruh anggota keluarga. Sementara
di persawahan, beberapa ibu balita memaknai bahwa merawat anak saat sakit merupakan bentuk kasih sayang ibu terhadap anaknya. Serta para ibu lainnya di
persawahan memaknai perawatan bayi sebagai kewajiban ibu.
55
6.4 Pantangan Taboo
Tabu makanan adalah suatu larangan dalam mengkonsumsi makanan tertentu karena ada beberapa ancaman atau hukuman bagi orang yang
mengkonsumsinya. Dalam ancaman ini, terdapat kekuatan supranatural dan mistik yang akan menghukum mereka jika melanggar aturan tabu ini. Tabu makanan
sendiri di Indonesia masih menjadi masalah karena masih banyak makanan yang seharusnya dikonsumsi tapi masih ditabukan. Akibat tabu makanan tersebut, ibu
hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak tidak berani mengkonsumsi makanan tertentu sehingga dapat mengurangi asupan makanan yang pada akhirnya akan
menurunkan status gizi mereka Susanto, 1977.
Seperti masyarakat suku adat lainnya, maka bagi masyarakat Sasak juga mempercayai pantangan taboo terhadap kehamilan yang diturunkan dari nenek
moyang.Pantangan taboo masih sangat dipercaya kebenarannya oleh para ibu- ibu Sasak di wilayah Persawahan maupun Pesisir. Beberapa ibu memaknai bahwa
taboo dilakukan karena merupakan bentuk kepatuhan terhadap nasehat orang tua. Kemudian, beberapa ibu balita di pesisir memaknai taboo dipercaya karena jika
tidak dilakukan maka dapat membawa bencana. Begitu pula halnya dengan para ibu-ibu balita di wilayah persawahan, beberapa ibu-ibu memaknai bahwa taboo
jika dilanggar akan menyebabkan bencana bagi dirinya dan keluarganya. Ibu-ibu lainnya memaknai bahwa taboo merupakan bentuk dari nasehat orang tua yang
tidak boleh dilanggar.
Pantangan kehamilan menurut Belian dukun dipercaya mampu mengganggu proses kehamilan dan kelahiran jika pantangan tersebut dilanggar.
Sebut saja pantangan bagi perempuan yang hamil muda untuk makan nanas muda yang dipercaya akan menyebabkan keguguran. Kemudian juga makan durian,
dipercaya menyebabkan kandungan akan panas dan bisa mencetus keguguran. Pantangan berikutnya adalah tidak boleh makan-makanan laut seperti cumi,
hewan bercapit di laut seperti kepiting kruju, gurita, dan ikan pari, semua hewan laut dipercaya bisa menyebabkan komplikasi kehamilan misalnya bayi sulit untuk
dilahirkan dan dianggap sebagai sumber dari penyebab ari-ari bayi lengket. Kepercayaan selanjutnya yang sangat merugikan dan membahayakan ibu dan
anak di dalam kandungan adalah memakan makanan sisa kucing. Meskipun dengan alasan bahwa dengan memakan makanan sisa kucing
9
memudahkan proses kelahiran seperti kucing yang diyakini gampang beranak, namun seperti
yang diketahui dalam ilmu kedokteran medis, kucing merupakan parasit bagi virus toksoplasma, artinya melalui kucing baik mulut maupun kotorannya
membawa virus yang bisa mengancam janin dan menyebabkan bayi lahir cacat.
Selanjutnya, ibu hamil juga sangat pantang duduk didepan pintu, dipercaya bahwa dengan duduk di depan pintu tengah lawang maka niscaya ibu
yang sedang hamil akan sulit untuk melahirkan, karena ari-ari bayi bisa menutup jalan lahirnya. Kemudian, perempuan yang hamil tidak boleh mengalungkan kain
dileher, apalagi melilitkan selendang atau kain dilehernya. Jika pantangan tersebut dilanggar dipercaya bayi di dalam kandungan akan terlilit dengan ari-arinya, dan
9
Biasanya setiap ibu yang hamil muda hingga hamil tua, menyiapkan nasi di piring kaleng dengan sepotong ikan kemudian diberi air. Piring bersisi makanan tersebut disimpan di depan pintu
belakang rumah untuk memancing kehadiran kucing. Setelah kucing memakan makanan tersebut, ibu hamil kemudian memakan sisa makanan kucing tersebut.
56 hal tersebut jika terjadi kepada bayi akan sangat membahayakan bayi bahkan
dapat menyebabkan kematian. Saat hamil muda dilarang memakan buah-buahan yang digantung antara lain pepaya, mangga, dan sebagainya. Ibu hamil saat
mengandung sering mengalami gangguan pencernaan antara lain sulit BAB atau biasa disebut konstipasi. Dan salah satu solusi alami untuk mengatasinya adalah
mengkonsumsi bahan makanan berserat antara lain buah-buahan.
Tabel berikut akan menunjukkan pemaknaan para ibu balita bergizi buruk dan gizi kurang terhadap mematuhi taboo ketika sedang hamil:
Tabel 15. Pemaknaan Taboo bagi Ibu Balita Bergizi BurukKurang di Wilayah
Sasak Pesisir dan Persawahan, 2011 Makna
pantangantaboo ketika sedang hamil
menurut Ibu Balita bergizi
kurangburuk Wilayah
Total Pesisir
Persawahan Nuclear
Non Nuclear
Nuclear Non
Nuclear n
n n
n n
Merupakan suatu keharusan, jika
tidak diikuti akan mendapatkan
bencana 10
48 1
11 6
55 10
53 27
45
Kadang diikuti jika secara logika akal
sehat bisa diterima 1
5 1
11 4
36 1
5 7
12
Hanya merupakan mitos saja, tidak
ada hubungannya
dengan kehamilan dan janin
1 5
2 22
1 5
4 7
Bentuk kepatuhan terhadap nasehat
orang tua 9
43 5
56 1
9 7
37 22
37
Total 21
100 9
100 11
100 19
100 60
100
Dari ilustrasi tabel di atas menunjukkan bahwa baik di pesisir maupun di persawahan para ibu balita bergizi kurang atau buruk cenderung masih sangat
teguh memegang tradisi saat kehamilan berlangsung. Tabu atau larangan dalam bentuk makanan pantangan maupun tindakan yang dianggap bisa membawa
kesialan dan kesulitan tetap dipatuhi. Makna tersebut didorong oleh bekerjanya rasionalitas berorientasi nilai yakni rasionalitas teoritis dan rasionalitas substantif.
Ancaman bencana dan kesialan jika tidak mematuhi tabu yang tertanam dibenak para ibu menjadi momok yang menakutkan. Menurut para ibu, tabu saat hamil
disosialisasikan oleh
papu‟ dan belian. Penguatan atas tabu tersebut juga karena pada beberapa kasus bidan desa tetap mematuhi larangan belian saat sang bidan
tengah hamil. Perbedaannya adalah, sebagian besar tabu saat hamil di wilayah
57 pesisir lebih didominasi oleh budaya Bugis dan Bajo, dan erat kaitannya dengan
mitologi intimnya manusia dengan mahluk laut. Sementara di persawahan tabu saat hamil murni atas bangunan nilai-nilai budaya Sasak persawahan.
Pantangan tidak berhenti saat kehamilan saja, melainkan juga berlanjut pasca kelahiran. Seorang ibu yang baru melahirkan tidak diperbolehkan untuk
memakan ikan. Saat menyusui anak, ikan bisa menyebabkan bau amis pada ASI yang dihasilkan ibu. Menurut IJ, jika dilanggar maka tidak hanya ASI, tubuh ibu
juga akan berbau sangat amis. Sangat disarankan makan sayur-sayuran dan memperbanyak minum air putih agar suplay ASI yang dihasilkan berlimpah.
Kemudian, jika kita beralih pada saat bayi dilahirkan, ada beberapa hal yang harus dikritisi, yakni proses per
a‟api yakni mengasapi ibu dengan bara yang dicampur dengan daun-daunan tertentu, asap bara tersebut dapat mengganggu
pernafasan bayi. Kemudian, pantangan bagi ibu menyusui adalah memakan ikan, karena bisa membuat air ASI amis, juga harus dikritisi. Karena pemberian ASI
apalagi di awal-awal kelahiran membutuhkan asupan protein salah satunya dari ikan sebagai sumber omega 3 untuk kualitas ASI itu sendiri. Selanjutnya, pantang
bagi anak yang meminum susu formula, harus mengkonsumsi ASI. Anjuran ini bisa bermakna baik, yang artinya bahwa bayi akan mendapatkan kolostrum dari
ibunya di awal-awal kehidupannya. Namun bisa juga bermakna negative, karena pada beberapa kasus, ibu tidak bisa langsung menyusui anaknya. Beberapa
penyebab antara lain puting susu yang datar, gangguan emosional ibu baby blue syndrome, dan sebagainya. Sehingga peran susu formula adalah menggantikan
sementara ASI dari ibu yang bermasalah. Kemudian, jika susu formula ditabukan, bagaimana suplai gizi di awal-awal kehidupan bayi jika hanya mengandalkan air
madu saja.
Perlu dipikirkan secara lebih serius yaitu anjuran yang terinternalisasi secara budaya dan masih dilakukan saat ini yakni memberikan makanan lumat
kepada bayi usia dua minggu hingga satu bulan dengan cara di pakpak. Kebiasaan ini masih dilakukan oleh sebagian besar keluarga yang memiliki bayi.
Menurut kebiasaan, bahwa nasi yang agak banyak dikunyah oleh ibu maupun
papu‟, jika masih ada sisanya kemudian disimpan dalam bakul yang di bawahnya berlubang, agar bekas air liur ibu atau
papu‟ ditiriskan. Biasanya agar hangat, nasi yang telah dikunyah oleh ibu atau
papu‟ diletakkan didalam daun pisang kemudian diletakkan di atas tutup panci yang sedang dipanasi di atas tungku. Ada
beberapa konsekuensi jika nasi pakpak tetap diberikan kepada bayi. Pertama, mengenai masalah higienisnya makanan dan rentannya bayi tertular penyakit dari
ibu dan papu ‟nya, karena makanan dikunyah terlebih dahulu oleh ibu atau
papu
‟nya. Kedua, menurut kerangka konseptual UNICEF 1992 yang
menjelaskan mengenai penyebab dari kasus gizi buruk dan gizi kurang, salah satu faktornya adalah tidaktepatnya pemberian makanan tambahan selain ASI pada
usia satu tahun kehidupannya, yang dimaksud dengan pemberian yang tidak tepat ini bisa jadi lebih cepat atau terlambat. Untuk kasus-kasus gizi buruk dan kasus
gizi kurang di Kabupaten Lombok Timur pemberian makanan tambahan lebih cepat dari waktu yang ideal yakni enam bulan usia bayi. Terlalu cepatnya anak
diberikan makanan tambahan bisa mempengaruhi fungsi pencernaan bayi. Hasil penelitian Utami et al., 2011 menemukan bahwa pada kasus pemberian makan
dengan pakpak juga disebabkan karena menurut beberapa ibu yang menjadi responden penelitiannya, pemberian nasi pakpak merupakan suatu kebiasaan dan
58 dianggap wajar di komunitas Sasak. Beberapa responden juga menjawab bahwa
pakpak dilakukan karena mereka tidak memiliki waktu untuk membuat makanan lumat untuk bayinya. Pada beberapa kasus, bayi menangis dimaknai sebagai tanda
dari kelaparan. Dengan memberi nasi pakpak bayi dipercaya akan lebih nyenyak untuk tidur dan membantu pertumbuhan anak. Sehingga Ibunya bisa mencari uang
dalam kasus telah bercerai dan
papu‟ yang telah renta bisa beristirahat. Dari sudut pandang tindakan sosial Weber, pemberian nasi pakpak didorong oleh
rasionalitas formal, karena tindakan ini didorong atas alasan tradisi, dan kepentingan material yakni memudahkan para ibu untuk berkonsentrasi mencari
uang.
Di usia anak yang menginjak masa balita atau dikenal dengan golden age, balita sangat membutuhkan asupan gizi yang mencukupi untuk tumbuh
kembangnya. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan bahwa ada beberapa anjuran dan larangan yang bertolak belakang dengan kebutuhan anak balita,
misalnya saja anak-anak balita sangat membutuhkan asupan protein nabati yang salah satunya bisa diperoleh dari kacang hijau. Melarang balita memakan kacang
hijau berarti telah mengurangi asupan protein nabati yang berasal dari kacang- kacangan. Selain protein nabati, anak-anak balita di usia saat perkembangan otak,
kemampuan motorik, dan sensorik membutuhkan asupan protein hewani antara lain dari ikan sulit diperoleh balita karena adanya pantangan tersebut. Jagung
sebagai pangan alternatif selain beras tidak akan menjadi pilihan alternatif rumahtangga, karena adanya pantangan yang diyakini dapat menyebabkan batuk
pada anak. Sampai saat ini beras memang menjadi primadona bagi masyarakat Sasak sebagai pangan utama khususnya di persawahan.Terkecuali, komunitas
Sasak pesisir keterbatasan kemampuan membeli beras dan akulturasi budaya Sasak dengan Bugis dan Bajo menciptakan preferensi pangan yang beragam tidak
hanya pada konsumsi beras melulu, melainkan juga mengkonsumsi singkong atau ubi kayu.
Konsumsi air nyet atau air mentah oleh keluarga balita dipercaya dapat meningkatkan kesehatan anak. Air nyet sendiri adalah air sumur mentah yang
dimiliki rumahtangga dan konsumsinya tanpa proses memasak hingga mendidih. Sehingga, sangat mengancam kesehatan keluarga termasuk balita. Menurut hasil
penelitian Sahidu 2002 menemukan bahwa masyarakat Sasak persawahan rata- rata mengkonsumsi air mentah dari sumur atau dikenal dengan air nyet.
Kemudian hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa karena rata-rata sumur rumahtangga dekat dengan kandang sapi, maka rata-rata air nyet yang dikonsumsi
oleh rumahtangga mengandung bakteri E. coli yang sangat membahayakan tubuh manusia, sebagian besar balitanya menderita penyakit kulit gatal-gatal yang
berkepanjangan. Menurut Utami et al., 2011 konsumsi air nyet dengan dimasak terlebih dahulu hingga mendidih saat ini mulai dilakukan saat musim penghujan
datang. Karena, menurut hasil penelitiannya pada saat hujan, air-air sumur akan menjadi sangat keruh. Namun, ketika musim penghujan berakhir, air nyet kembali
dikonsumsi tanpa dimasak sampai mendidih. Ini dilakukan oleh rumahtangga untuk mengurangi beban keuangan rumahtangga, khususnya penghematan bahan
bakar untuk memasak.
Ternak khususnya sapi yang identik di komunitas Sasak persawahan tidak hanya bernilai secara ekonomi, namun juga bernilai secara sosial. Masyarakat
Sasak khususnya persawahan, ternak sapi menjadi barang berharga yang rawan