Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB

105 8 KONDISI DAN STATUS GIZI BALITA 8.1 Karakteristik Rumahtangga Balita Tingkat pendidikan ibu dan ayah baik di wilayah pesisir dan persawahan masih relatif rendah. Pendidikan ibu mempunyai peranan penting dalam mencegah terjadinya masalah gizi pada balita. Pendidikan ibu juga memainkan peranan penting dalam meningkatkan tingkat kecukupan gizi. Berikut adalah uraian mengenai persebaran tingkat pendidikan ibu balita : Tabel 24. Pendidikan Ibu dan Ayah dengan Status Gizi Balita Buruk dan Kurang, Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012 Variabel Wilayah Total Tingkat pendidikan Ibu Pesisir Persawahan n n n Tidak bersekolah 4 13,3 2 6,7 6 10 Tidak tamat SDsederajat 5 16,7 6 20 11 18,3 SDsederajat 15 50 13 43,3 28 46,7 SMPsederajat 4 13,3 8 26,7 12 20 SMUsederajat 2 6,7 2 3,3 DiplomaS1 1 3,3 1 1,7 Total 30 100 30 100 60 100 Tingkat Pendidikan Ayah Wilayah Total Pesisir Persawahan n n n Tidak bersekolah 5 16,7 3 10 8 13,3 Tidak tamat SDsederajat 1 3,3 1 1,7 SDsederajat 13 43,3 8 26,7 21 35 SMPsederajat 4 13,3 10 33,3 14 23,3 SMUsederajat 7 23,3 9 30 16 26,7 DiplomaS1 Total 30 100 30 100 60 100 Sumber : Data Primer, 2012. Berdasarkan data di atas, ditegaskan bahwa tingkat pendidikan ibu balita dan ayah balita sebagai responden penelitian cenderung rendah. Sebesar 75 persen Ibu Balita berpendidikan SDsederajat. Demikian halnya dengan tingkat pendidikan ayah 50 persen ayah balita hanya berpendidikan SDsederajat. Di pesisir hampir sebagian besar 50 persen ibu balita hanya berpendidikan Sekolah Dasar, demikian pula dengan tingkat pendidikan ayah. Sebesar 43,3 persen ayah balita berpendidikan Sekolah Dasar. Ibu dan ayah balita di wilayah persawahan cenderung hanya berpendidikan rendah. Sebesar 43,3 persen ibu balita di persawahan hanya tamat Sekolah Dasar. Kemudian, sebesar 33,3 persen ayah balita berpendidikan tamat SMP. Menurut Atmarita dan Fallah 2004 dalam Ulfani 2011, tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Dengan demikian, pendidikan ibu yang relatif rendah akan 106 berkaitan dengan sikap dan tindakan ibu dalam menangani masalah kurang gizi pada anak balitanya. Karakteristik rumahtangga berikutnya adalah jumlah anak di rumahtangga balita di wilayah pesisir dan persawahan. Tabel berikut mengilustrasikan perbandingan jumlah anak yang dimiliki oleh rumahtangga balita di pesisir dan di persawahan. Tabel 25. Jumlah Anak Berdasarkan Status Gizi Balita Buruk dan Kurang, Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012 Jumlah Anak status gizi buruk dan kurang Komunitas Wilayah pesisir Wilayah persawahan Total n n n 1-2 8 26,7 18 60 26 43,3 3-4 17 56,6 11 36,7 28 46,7 4 5 16,7 1 3,3 6 10 Total 30 100.0 30 100.0 60 100.0 Sumber : Data Primer diolah, 2012. Berdasarkan data tersebut di atas, jumlah anak relatif banyak pada wilayah pesisir atau sekitar 56,6 persen rumah tangga memiliki anak dengan jumlah tiga sampai dengan empat orang, kemudian 15,7 persen rumah tangga memiliki anak dengan jumlah lima sampai dengan tujuh orang anak. Fakta ini kemudian menunjukkan bahwa anak dan jumlah anak yang relatif lebih banyak dimaknai oleh rumah tangga di pesisir sebagai asset ekonomi yakni untuk tenaga kerja yang dapat membantu pekerjaan orang tua kelak, sesuai prinsip mereka banyak anak banyak rejeki. Perubahan ekologi yang dihadapi oleh orang-orang Sasak dari ekologi persawahan kemudian ke ekologi pesisir, selanjutnya posisinya sebagai kaum pendatang dalam sistem sosial orang-orang Bugis Bajo mendorong upaya- upaya adaptasi dari setiap rumah tangga Sasak untuk mampu bertahan. Upaya Adaptasi ini kemudian membangun makna anak ke arah rasionalitas instrumental atau dengan kata lain anak dibayangi oleh tujuan-tujuan ekonomi khususnya bertahan dari bentuk ketidakpastian sumberdaya. Istri dan anak-anak keluarga Sasak pesisir cenderung lebih aktif membantu mancari nafkah. Akibatnya berdampak pada nasib anak-anak mereka. Perawatan anak yang masih balita diserahkan kepada kakak-kakaknya yang lebih tua. Gizi untuk setiap anak balita menjadi terabaikan, ayah maupun ibu sibuk mencari uang, bahkan anak-anak balita dipaksa untuk ikut mencari uang, misalnya menciro 21 dan madat 22 . Selain gizi, anak-anak yang beranjak dewasa juga mengalami ketidakpastian masa depan karena anak-anak di Sasak pesisir jarang bersekolah. Tidak cukupnya biaya adalah merupakan penyebab utama mereka tidak melanjutkan pendidikan, juga karena 21 Adalah kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak nelayan untuk memperoleh upah dengan cara membantu menurunkan hasil tangkapan ikan dari armada penangkapan yang merapat. Dari menciro, anak-anak bisa memperoleh upah Rp.1000-Rp. 2000 per anak. 22 Adalah kegiatan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga nelayan maupun anak yang masih balita untuk mencari sejenis kerang di tepi pantai saat air telah surut. Kegiatan ini sering dilakukan pada saat musim paceklik, untuk membantu ekonomi keluarga. 107 anak-anak di usia yang masih belia sudah mampu mencari uang, yang digunakannya untuk diri sendiri untuk jajan, dan juga ada yang digunakan untuk membantu orang tua. Salah satu pekerjaan yang diminati anak-anak hingga lupa untuk bersekolah adalah pergi menciro atau pergi meminta-minta. Suatu jumlah yang menggiurkan bagi setiap anak-anak yang hidup dengan keterbatasan ekonomi. Rasionalitas instrumental yang mendorong orang tua memaknai anak tersebut tentu pada akhirnya memberikan konsekuensi besar terhadap status gizi balita. Meskipun rasionalitas instrumental dibangun di atas fondasi strategi coping terhadap kerawanan akan pangan, dan kelangsungan suatu rumah tangga. Akses pangan di Pesisir sendiri sangat sulit, selain karena permasalahan distribusi beras dan harga yang melambung sangat tinggi, juga ditambah dengan daya beli rumah tangga Sasak pesisir cenderung sangat rendah. Berpijak pada pandangan Steward mengenai upaya manusia melakukan adaptasi terhadap lingkungan dan perubahannya, maka jumlah anak di rumah tangga pesisir mencerminkan perilaku orang Sasak pesisir beradaptasi dengan sumberdaya pesisir yang sifat sumberdayanya terbuka open access dan stok sumberdaya tidak dapat diprediksi keberadaannya. Sifat sumberdaya tersebut dihadapi dengan membangun kekuatan unit rumah tangga yang kokoh secara ekonomi dengan memiliki anak banyak untuk membantu kedua orang tuanya mencari nafkah. Strategi orang tua tesebut dan beban kehidupan yang tinggi juga memaksa anak-anak yang mulai beranjak dewasa juga beradaptasi dengan cara membantu kedua orang tuanya mencari nafkah dengan menciro dan madat, kemudian mengasuh adiknya yang masih bayi dan balita. Pada unsur inti budaya Steward, jumlah anak yang relatif banyak mencerminkan konsep inti budaya mengenai unsur demografi yang membedakannya dengan rumah tangga yang ada di wilayah Sasak persawahan. Berdasarkan data diperoleh fakta bahwa rata-rata jumlah anak disetiap rumah tangga Sasak persawahan yang relatif lebih sedikit 60 persent rumah tangga memiliki anak dengan jumlah satu sampai dengan dua orang. Bagi rumah tangga di persawahan, anak adalah anugrahrejeki dari Allah SWT. Rasionalitas yang cenderung ke arah nilai-nilai anak sebagai salah satu sumber kebahagian rumah tangga kemudian berubah makna menjadi beban para ibu pada kondisi telah bercerai dari sang ayah. Karena anak lah, kemudian sang Ibu harus membanting tulang mencari nafkah, karena mantan suami pada banyak kasus tidak mau lagi menafkahi anak-anaknya. Atau, jika sang Ibu beruntung, ia kemudian mencari jalan aman dengan kemudian menikah lagi. Di lapangan, para Ibu banyak mengungkapkan bahwa meskipun Ia trauma terhadap pernikahan, namun akhirnya Ia kembali masuk ke dalam kelembagaan perkawinan, karna bagi para Ibu, stigma janda sangat tidak menguntungkan dirinya secara sosial maupun ekonomi. Dengan menikah lagi para Ibu balita bisa mendapatkan keamanan secara sosial maupun ekonomi. Yang kemudian memiriskan hati, jika ayah tiri kemudian tidak berkenan menerima anak bawaan istri dari pernikahan yang sebelumnya. Kejadian ini dialami oleh anak Susanto rincian deskripsi kasus dijabarkan pada Lampiran 1 yang mengalami kehilangan bobot tubuhnya dan kemudian bersatus gizi buruk setelah ditinggal oleh Ibunya setelah menikah kembali, dan si ayah tiri tidak mau menerima balita tersebut karena dianggap sebagai beban bagi rumah tangganya. 108 Sehingga Pada banyak kejadian pengasuhan kemudian diserahkan kepada papu. Menurut Damanik 2010, bahwa status gizi balita sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial terdekat. Di samping itu peran keluarga sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Pola pendidikan yang tepat yang diterapkan oleh orang tua akan sangat membantu anak dalam menghadapi kondisi lingkungan pada masa yang akan datang. Orang tua merupakan tempat bergantung anak- anaknya dan harus memberikan kasih sayang dan perhatian sepenuhnya pada anak hingga remaja. Anak yang kondisinya mengalami kurang gizi atau malah jika kondisi semakin memburuk kemudian berstatus gizi buruk akan mengalami hambatan pertumbuhan yang diakibatkan oleh kekurangan zat-zat gizi baik itu unsur makro maupun mikro. Akibatnya anak akan dengan sangat mudah terinfeksi penyakit- penyakit kronis. Antara lain penyakit saluran pernafasan, bisa juga terinfeksi TBC, dan gangguan kronis saluran pencernaan. Yang kemudian akan menghambat masa depannya dan kualitasnya sebagai manusia, adalah kekuarangan zat gizi sangat mempengaruhi perkembangan mental dan tingkat intelektual anak. Belum lagi secara psikologis khususnya balita di persawahan terguncang karena menjadi korban dari perceraian ayah dan ibunya. Sang Ayah kemudian pada banyak kasus akan melepaskan tanggung jawab baik secara ekonomi, maupun pengasuhan. Peran ayah kemudian hilang di masa-masa penting perkembangan jiwa anak. Selanjutnya, faktor yang juga berperan terhadap jatuhnya status anak ke kategori gizi kurang maupun buruk adalah pada faktor pemberian ASI serta kualitas ASI. Secara umum, jumlah ibu-ibu yang menyusui bayinya sesaat setelah melahirkan dan masa menyusui rata-rata selama dua tahun. Ini menunjukkan kesadaran ibu-ibu pedesaan bahwa dengan memberi ASI bagi balita mereka adalah untuk kesehatan anak mereka juga. Sebenarnya, alasan utama ibu-ibu pedesaan memberikan ASI pada anaknya adalah untuk penghematan karena tidak perlu membeli susu tambahan dan dot. Pemberian ASI yang didasarkan pada rasionalitas instrumental yakni untuk penghematan biaya rumah tangga, karena harga susu pengganti ASI demikian mahalnya, sulit untuk dibeli oleh rumah tangga. Sayangnya, walaupun anak-anak mereka mendapatkan ASI sejak dilahirkan bahkan ada yang sampai umur dua sampai dengan dua setengah tahun, kondisi anak-anak mereka tidak seperti seharusnya anak-anak yang mendapatkan ASI. Penyebabnya adalah buruknya kualitas ASI dan MP-ASI. Kualitas ASI yang baik ditentukan oleh asupan gizi ibu. Pada banyak kasus, para Ibu juga kurang mengkonsumsi makanan yang cukup, malah kadang-kadang mengurangi frekuensi makan lengkap, alias makan seadanya. Kandungan ASI merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Angka Kematian Bayi. Hal ini dimungkinkan karena kualitas ASI yang diberikan tidak mempunyai nilai gizi yang komplit. Berdasarkan petunjuk Departemen Kesehatan, lama masa pemberian ASI yang sempurna bagi seorang anak sampai usia dua tahun. Semakin bertambahnya umur, bayi dan anak tumbuh lebih aktif, sementara ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi anak. Oleh karena itu MP-ASI dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan gizi anak dengan ketersediaan zat gizi dalam ASI. Di Indonesia, terdapat empat jenis makanan bayi dan anak yang telah distandarisasi secara nasional, yaitu: 1 susu formula untuk 109 bayi, 2 susu formula lanjutan, 3 makanan dalam kaleng , 4 makanan pelengkap serealia Gartini, 2004. Sebagian besar ibu-ibu pedesaan telah memberikan makanan tambahan pada usia yang tidak tepat, saat ditanya kapan ibu-ibu memberikan makanan tambahan, rata-rata mereka telah memberinya pada usia satu bulan dengan alasan kalau menangis pertanda anak lapar. Keadaan ini sejalan dengan pendapat Sudjasmin 1993, bahwa anak-anak penderita gizi buruk , sebagian besar sudah diberi makanan tambahan sejak usia kurang dari 4 bulan. Makanan tersebut berupa pisang atau pisang dicampur nasi. Anak-anak penderita gizi buruk yang diteliti Sudjasmin sudah terbiasa diberi makanan jajanan dan makanan jajanan itu berupa chiki, pisang goreng, roti biskuit, ubi, dan agar-agar.

8.2 Status Gizi Balita

Masalah gizi sangat erat kaitannya dengan masalah pangan dan kesehatan. Adapun faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap status gizi balita adalah konsumsi zat gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya masalah gizi pada anak balita antara lain disebabkan oleh konsumsi makanan yang tidak cukup baik dari segi jumlah maupun gizinya. Salah satu penyebabnya adalah pendapatan yang rendah sehingga menyebabkan terbatasnya daya beli. Kemudian pola asuh anak balita juga merupakan faktor penyebab timbulnya berbagai penyakit yang akan berpengaruh terhadap status gizi, didukung pula oleh faktor lingkungan tempat tinggal. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur 2011 mengenai jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang di Kabupaten Lombok Timur, ditemukan fakta bahwa kecenderungan yang terjadi adalah jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah pesisir relatif lebih banyak dibandingkan dengan kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah persawahan. Berikut ilustrasi data mengenai perbedaan jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang : Tabel 26. Perbandingan Jumlah Kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang di Wilayah Persawahan dan Pesisir berdasarkan Jenis Kelamin Balita, Kabupaten Lombok Timur, 2011 Variabel Jenis Kelamin Balita dengan gizi buruk dan kurang Wilayah Total Pesisir Kecamatan Jerowaru Persawahan Kecamatan Sikur n n n Laki-laki 57 26,8 48 22,5 105 49,3 Perempuan 65 30,5 43 20,2 108 50,7 Total 122 57,3 91 42,7 213 100 Sumber : Data Kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang, Kabupaten Lombok Timur, 2011 Berdasarkan data tersebut di atas, ditemukan fakta bahwa kasus gizi buruk dan gizi kurang cenderung banyak di pesisir dibandingkan dengan kasus di persawahan. Di wilayah Pesisir terdapat 122 kasus gizi buruk dan gizi kurang atau 110 sekitar 57,3 persen dari total kasus di dua kecamatan di wilayah Lombok Timur. Sementara di persawahan berjumlah 91 kasus atau sekitar 42,7 persen dari total kasus. Mengacu pada konsep Weber mengenai rasionalitas, seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya fakta penelitian menunjukkan bahwa jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang di pesisir cenderung lebih banyak merupakan akibat dari dari dorongan rasionalitas instrumental akibat dari adaptasi ekologi dan jenis sumberdaya pesisir yang tidak dapat diprediksi mengakibatkan anak dimaknai secara ekonomi dan pola pengasuhannya khususnya pemberian makanan dan jenis makanan menurut argumen efisiensi. Terkait dengan unsur masyarakat yang rasional menurut Ritzer pada tinjauan pustaka, bahwa efisiensi merupakan unsur penting dari rasionalitas, maka untuk meningkatkan efisiensi rumah tangga maka para ibu balita menyerahkan pola pengasuhan balita kepada anak yang lebih tua termasuk penyiapan makanan. Anak yang belum sepenuhnya siap merawat adiknya dengan pengetahuan yang minim pula kemudian menyiapkan makanan seadanya, cepat saji atau instant dengan cita rasa yang dijamin anak-anak maupun balita menyukainya karena penambahan penyedap rasa kimia antara lain mie instant dan jajanan ringan. Dan pada akhirnya tindakan efisiensi tersebut mengakibatkan rentannya balita jatuh pada kondisi gizi burukkurang. Fakta pada tabel 25 juga memberikan informasi penting bahwa unsur demografi rumah tangga pesisir memperlihatkan perbedaan jumlah anak dibandingkan dengan persawahan. Ini merupakan cerminan dari upaya subsistensi atau pengelolaan ekonomi rumah tangga merupakan unsur inti budaya Steward ditambah dengan kondisi sanitasi lingkungan pesisir yang rendah rupanya menyebabkan jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang cenderung lebih banyak. Kenyataan ini juga didukung dengan pemaknaan rumah tangga pesisir yang memaknai hakikat hidup terhadap ruang dan waktu serta dengan alam sekitarnya yang tidak memberikan kepastian nafkah karena jenis sumberdayanya kepada rumah tangga. Pada bagian selanjutnya akan dijabarkan mengenai perbandingan status gizi balita baik di persawahan maupun di wilayah pesisir. Landasan dari perbandingan status gizi balita di pesisir maupun persawahan di penelitian ini yakni aspek pola asuh balita di wilayah pesisir maupun persawahan. Perbandingan akan memfokuskan pada dua indikator penting, antara lain : 1 cara pemberian makanan pendamping ASI oleh ibu kepada balita, 2 siapa anggota keluarga yang dipercaya untuk memberikan makanan pendamping ASI. Indikator cara pemberian makan pada penelitian ini dianggap sebagai indikator penting dalam memahami status gizi balita karena adanya kenyataan di lapangan bahwa pemberian makanan pendamping ASI diberikan dengan cara di pakpak oleh Ibu dan Papu‟. 111 Tabel 27. Cara Memberikan Makanan Tambahan Balita Berdasarkan Status Gizi Balita BurukKurang, Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012 Cara ibu memberi makan pada balita dengan Status Gizi Balita kurang buruk Komunitas Total Pesisir Persawahan Nuclear Non Nuclear Nuclear Non Nuclear n n n n n Disuapi dengan sendok bersih 7 33 2 22 5 46 7 37 21 35 Disuapi dengan tangan dan di pakpak 14 67 7 78 6 54 12 63 39 65 Total 21 100 9 100 11 100 19 100 60 100 Data tersebut di atas, menunjukkan bahwa pemberian makan balita dengan cara disuapi dengan tangan dan dipakpak menjadi cara dominan yang dipakai para ibu untuk balitanya. Di Pesisir pemberian makan dengan cara disuapi dengan tangan dan dipakpak sebesar 67 persen oleh tipe rumah tangga nuclear family. Demikian halnya dengan kondisi di persawahan, pemberian makan dengan tangan dan dipakpak juga cenderung dilakukan oleh rumahtangga balita sebesar 63 persen dari tipe rumahtangga non nuclear family. Beberapa informan menyampaikan bahwa selain karena merupakan suatu kebiasaan atau bagi Weber sebagai tindakan tradisional, pakpak juga dimaksudkan untuk alasan kepraktisan ibu dan papu ‟ agar tidak repot menyediakan makanan olahan khusus untuk balita yang harus melalui tahapan pengelolahan seperti dilumatkan hingga halus. Jika kita menggunakan unsur budaya Steward, maka kebiasaan memberikan nasi pakpak kepada bayi di usia awal kehidupannya bisa jadi merupakan akibat dari sosialisasi nilai-nilai kolektif masyarakat Sasak mengenai pengasuhan anak. Tradisi pemberian nasi pakpak dianggap sebagai teknologi rumah tangga dalam pengasuhan anak yakni dengan bentuk mekanisme ibu dan papu‟ menyediakan makanan pendamping bagi bayi. Pemberian nasi pakpak juga ditengarai atas kuatnya kelembagaan sorohan dalam kacamata Weber yang dimodifikasi Kalberg, tindakan cara pemberian makan kepada balita ini sebagai bentuk rasionalitas substantif, yakni yang didominasi rasionalitas berorientasi nilai dan karena tindakan tersebut ditradisikan atau keluarga luas dalam membantu setiap rumah tangga yang rapuh akibat perceraian khususnya di persawahan. Makna bahwa dengan pemberian nasi pakpak secara cepat memberikan solusi kepada ibu untuk menenangkan anaknya yang lapar dan memudahkan dalam penyediaan makanan mencerminkan pemahaman konsepsi rumah tangga khususnya ibu dan papu‟ terhadap ruang dan waktu. Pada penelitian Nian dan Maspaitella 1972-1973 di Nusa Tenggara Barat menemukan bahwa 46 persen dari respondennya masih diberi nasi yang dikunyah terlebih dahulu. Kebiasaan memberikan makanan yang dikunyakan kepada bayi merupakan pula salah satu faktor penting yang memungkinkan timbulnya 112 penularan penyakit infeksi, yang secara tidak langsung dapat pula mempengaruhi gizi anak. Pakpak sangat berbahaya bagi bayi karena makanan yang diberikan menjadi tidak higienis, dan rentan menjadi sumber penyakit bagi anak. Secara kualitatif, hasil penelitian Ronoatmodjo, 1996 dalam Swasono 1998 menemukan bahwa alasan budaya yang menonjol sebagai penyebab kematian neonatal pada bayi di wilayah Lombok Timur adalah pemberian nasi pakpak waktu ia baru lahir, yang berjumlah hampir dua kali lipat dari pada bayi yang tidak diberi nasi pakpak pada waktu lahir Ronoatmodjo, 1996. 23 Menurut Handayani, et al., 2011 pemberian nasi pakpak sesungguhnya bukan hanya terkait masalah budaya, akan tetapi juga karena keterbatasan waktu sang Ibu menyiapkan makanan karena perempuan Sasak memegang peran produktif. UNICEF 1992 berpendapat bahwa pemberian makanan secara tidak higienis merupakan salah satu penyebab dari munculnya kasus gizi kurang pada bayi dan balita. Praktek pemberian makan yang tidak higienis seperti pemberian nasi pakpak akan menyebabkan infeksi berbahaya pada bayi dan balita. Air dan makanan yang tidak sehat merupakan media bagi kuman penyakit yang berbahaya. Pemberian makanan tambahan pada balita terlalu dini merupakan fakta penelitian yang sangat penting selain juga cara pemberian makanan nasi pakpak yang secara medis tidak higienis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan memberikan nasi lumat yang dipak-pak ibunya di usia bayi baru satu bulan merupakan suatu kebiasaan di masyarakat Sasak. Kenyataan ini terjadi karena adanya kebiasaan di kalangan masyarakat Sasak yang disertai kepercayaan bahwa anak bayi menangis dimaknai karena lapar. Dengan pemberian makan lumat bayi dipercaya akan bertambah kuat, tidak rewel, dan cepat besar. Hasil penelitian HKI 2002 dan Handayani 2011 juga serupa dengan hasil penelitian ini. HKI menemukan fakta bahwa di pedesaan Lombok hampir sebagian besar para balita 84 persen sudah mendapatkan makanan tambahan saat usianya baru empat hingga lima bulan, sementara 12 persen ibu sudah memberikan makanan tambahan kepada bayinya diusia anak baru menginjak dua bulan. Menurut Handayani di wilayah Lombok Timur anak bayi usia dua sampai empat bulan sudah diberikan makanan pendamping ASI. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa papu ‟ merupakan ujung tombak para ibu balita yang dipercaya mengurusi anak-anaknya saat para ibu balita bercerai dan menuntut para Ibu untuk mencari nafkah. Tabel berikut menunjukkan kecenderungan tersebut. Tabel 28 berikut menunjukkan bahwa pada komunitas Sasak pesisir kategori anggota keluarga yang dipercayakan untuk memberikan makanan pendamping 23 Kebiasaan memberi nasi pak-pak pada bayi dilakukan dengan cara mengunyah dulu nasi hingga lembut oleh sang ibu, lalu dikeluarkan dari mulut untuk kemudian diberikan kepada bayi. Sebagian nasi pak-pak diperam dahulu agar lebih lembut dan sebagian lagi langsung diberikan kepada bayi. Hasil kajian Ronoatmodjo menunjukkan bahwa di kecamatan Keruak, Lombok Timur, persentasi kebiasaan makan nasi pak-pak ini masih besar 45. Dari jumlah ini, kurang dari seperempat jumlah bayi 22 diberi nasi pak-pak yang tidak diperam, sedangkan selebihnya 23 mendapat nasi pak-pak yang sudah diperam. Kebiasaan ini telah berlangsung turun temurun berdasarkan keyakinan bahwa dengan memberi makan nasi pak-pak ini, bayi takkan menjadi isah rewel, bisa rukun dan dekat dengan ibunya, juga tubuhnya akan lekas gemuk. Namun nasi pak-pak ini adalah makanan padat yang secara mekanik dapat menyebabkan obstruksi usus bayi dan enterokolitis yang berakibat kematian.