Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB
105
8 KONDISI DAN STATUS GIZI BALITA 8.1 Karakteristik Rumahtangga Balita
Tingkat pendidikan ibu dan ayah baik di wilayah pesisir dan persawahan masih relatif rendah. Pendidikan ibu mempunyai peranan penting dalam
mencegah terjadinya masalah gizi pada balita. Pendidikan ibu juga memainkan peranan penting dalam meningkatkan tingkat kecukupan gizi. Berikut adalah
uraian mengenai persebaran tingkat pendidikan ibu balita :
Tabel 24. Pendidikan Ibu dan Ayah dengan Status Gizi Balita Buruk dan Kurang, Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012
Variabel Wilayah
Total Tingkat pendidikan Ibu
Pesisir Persawahan
n n
n Tidak bersekolah
4 13,3
2 6,7
6 10
Tidak tamat SDsederajat 5
16,7 6
20 11
18,3 SDsederajat
15 50
13
43,3
28 46,7
SMPsederajat 4
13,3 8
26,7 12
20 SMUsederajat
2 6,7
2 3,3
DiplomaS1 1
3,3 1
1,7
Total 30
100 30
100 60
100
Tingkat Pendidikan Ayah Wilayah
Total Pesisir
Persawahan n
n n
Tidak bersekolah 5
16,7 3
10 8
13,3 Tidak tamat SDsederajat
1 3,3
1 1,7
SDsederajat 13
43,3
8 26,7
21
35
SMPsederajat 4
13,3 10
33,3
14 23,3
SMUsederajat 7
23,3 9
30 16
26,7 DiplomaS1
Total 30
100 30
100 60
100
Sumber : Data Primer, 2012. Berdasarkan data di atas, ditegaskan bahwa tingkat pendidikan ibu balita
dan ayah balita sebagai responden penelitian cenderung rendah. Sebesar 75 persen Ibu Balita berpendidikan SDsederajat. Demikian halnya dengan tingkat
pendidikan ayah 50 persen ayah balita hanya berpendidikan SDsederajat. Di pesisir hampir sebagian besar 50 persen ibu balita hanya berpendidikan Sekolah
Dasar, demikian pula dengan tingkat pendidikan ayah. Sebesar 43,3 persen ayah balita berpendidikan Sekolah Dasar. Ibu dan ayah balita di wilayah persawahan
cenderung hanya berpendidikan rendah. Sebesar 43,3 persen ibu balita di persawahan hanya tamat Sekolah Dasar. Kemudian, sebesar 33,3 persen ayah
balita berpendidikan tamat SMP. Menurut Atmarita dan Fallah 2004 dalam Ulfani 2011, tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Dengan demikian, pendidikan ibu yang relatif rendah akan
106 berkaitan dengan sikap dan tindakan ibu dalam menangani masalah kurang gizi
pada anak balitanya. Karakteristik rumahtangga berikutnya adalah jumlah anak di rumahtangga
balita di wilayah pesisir dan persawahan. Tabel berikut mengilustrasikan perbandingan jumlah anak yang dimiliki oleh rumahtangga balita di pesisir dan di
persawahan. Tabel 25. Jumlah Anak Berdasarkan Status Gizi Balita Buruk dan Kurang, Pesisir
dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012 Jumlah Anak
status gizi buruk dan
kurang Komunitas
Wilayah pesisir Wilayah
persawahan Total
n n
n 1-2
8 26,7
18 60
26 43,3
3-4 17
56,6
11 36,7
28 46,7
4 5
16,7 1
3,3 6
10 Total
30 100.0
30 100.0
60 100.0
Sumber : Data Primer diolah, 2012. Berdasarkan data tersebut di atas, jumlah anak relatif banyak pada wilayah
pesisir atau sekitar 56,6 persen rumah tangga memiliki anak dengan jumlah tiga sampai dengan empat orang, kemudian 15,7 persen rumah tangga memiliki anak
dengan jumlah lima sampai dengan tujuh orang anak. Fakta ini kemudian menunjukkan bahwa anak dan jumlah anak yang relatif lebih banyak dimaknai
oleh rumah tangga di pesisir sebagai asset ekonomi yakni untuk tenaga kerja yang dapat membantu pekerjaan orang tua kelak, sesuai prinsip mereka banyak anak
banyak rejeki. Perubahan ekologi yang dihadapi oleh orang-orang Sasak dari ekologi persawahan kemudian ke ekologi pesisir, selanjutnya posisinya sebagai
kaum pendatang dalam sistem sosial orang-orang Bugis Bajo mendorong upaya- upaya adaptasi dari setiap rumah tangga Sasak untuk mampu bertahan. Upaya
Adaptasi ini kemudian membangun makna anak ke arah rasionalitas instrumental atau dengan kata lain anak dibayangi oleh tujuan-tujuan ekonomi khususnya
bertahan dari bentuk ketidakpastian sumberdaya. Istri dan anak-anak keluarga Sasak pesisir cenderung lebih aktif membantu mancari nafkah. Akibatnya
berdampak pada nasib anak-anak mereka. Perawatan anak yang masih balita diserahkan kepada kakak-kakaknya yang lebih tua. Gizi untuk setiap anak balita
menjadi terabaikan, ayah maupun ibu sibuk mencari uang, bahkan anak-anak balita dipaksa untuk ikut mencari uang, misalnya menciro
21
dan madat
22
. Selain gizi, anak-anak yang beranjak dewasa juga mengalami ketidakpastian masa depan
karena anak-anak di Sasak pesisir jarang bersekolah. Tidak cukupnya biaya adalah merupakan penyebab utama mereka tidak melanjutkan pendidikan, juga karena
21
Adalah kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak nelayan untuk memperoleh upah dengan cara membantu menurunkan hasil tangkapan ikan dari armada penangkapan yang merapat. Dari
menciro, anak-anak bisa memperoleh upah Rp.1000-Rp. 2000 per anak.
22
Adalah kegiatan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga nelayan maupun anak yang masih balita untuk mencari sejenis kerang di tepi pantai saat air telah surut. Kegiatan ini sering
dilakukan pada saat musim paceklik, untuk membantu ekonomi keluarga.
107 anak-anak di usia yang masih belia sudah mampu mencari uang, yang
digunakannya untuk diri sendiri untuk jajan, dan juga ada yang digunakan untuk membantu orang tua. Salah satu pekerjaan yang diminati anak-anak hingga lupa
untuk bersekolah adalah pergi menciro atau pergi meminta-minta. Suatu jumlah yang menggiurkan bagi setiap anak-anak yang hidup dengan keterbatasan
ekonomi.
Rasionalitas instrumental yang mendorong orang tua memaknai anak tersebut tentu pada akhirnya memberikan konsekuensi besar terhadap status gizi
balita. Meskipun rasionalitas instrumental dibangun di atas fondasi strategi coping terhadap kerawanan akan pangan, dan kelangsungan suatu rumah tangga. Akses
pangan di Pesisir sendiri sangat sulit, selain karena permasalahan distribusi beras dan harga yang melambung sangat tinggi, juga ditambah dengan daya beli rumah
tangga Sasak pesisir cenderung sangat rendah.
Berpijak pada pandangan Steward mengenai upaya manusia melakukan adaptasi terhadap lingkungan dan perubahannya, maka jumlah anak di rumah
tangga pesisir mencerminkan perilaku orang Sasak pesisir beradaptasi dengan sumberdaya pesisir yang sifat sumberdayanya terbuka open access dan stok
sumberdaya tidak dapat diprediksi keberadaannya. Sifat sumberdaya tersebut dihadapi dengan membangun kekuatan unit rumah tangga yang kokoh secara
ekonomi dengan memiliki anak banyak untuk membantu kedua orang tuanya mencari nafkah. Strategi orang tua tesebut dan beban kehidupan yang tinggi juga
memaksa anak-anak yang mulai beranjak dewasa juga beradaptasi dengan cara membantu kedua orang tuanya mencari nafkah dengan menciro dan madat,
kemudian mengasuh adiknya yang masih bayi dan balita. Pada unsur inti budaya Steward, jumlah anak yang relatif banyak mencerminkan konsep inti budaya
mengenai unsur demografi yang membedakannya dengan rumah tangga yang ada di wilayah Sasak persawahan.
Berdasarkan data diperoleh fakta bahwa rata-rata jumlah anak disetiap rumah tangga Sasak persawahan yang relatif lebih sedikit 60 persent rumah
tangga memiliki anak dengan jumlah satu sampai dengan dua orang. Bagi rumah tangga di persawahan, anak adalah anugrahrejeki dari Allah SWT. Rasionalitas
yang cenderung ke arah nilai-nilai anak sebagai salah satu sumber kebahagian rumah tangga kemudian berubah makna menjadi beban para ibu pada kondisi
telah bercerai dari sang ayah. Karena anak lah, kemudian sang Ibu harus membanting tulang mencari nafkah, karena mantan suami pada banyak kasus
tidak mau lagi menafkahi anak-anaknya. Atau, jika sang Ibu beruntung, ia kemudian mencari jalan aman dengan kemudian menikah lagi. Di lapangan, para
Ibu banyak mengungkapkan bahwa meskipun Ia trauma terhadap pernikahan, namun akhirnya Ia kembali masuk ke dalam kelembagaan perkawinan, karna bagi
para Ibu, stigma janda sangat tidak menguntungkan dirinya secara sosial maupun ekonomi. Dengan menikah lagi para Ibu balita bisa mendapatkan keamanan secara
sosial maupun ekonomi.
Yang kemudian memiriskan hati, jika ayah tiri kemudian tidak berkenan menerima anak bawaan istri dari pernikahan yang sebelumnya. Kejadian ini
dialami oleh anak Susanto rincian deskripsi kasus dijabarkan pada Lampiran 1 yang mengalami kehilangan bobot tubuhnya dan kemudian bersatus gizi buruk
setelah ditinggal oleh Ibunya setelah menikah kembali, dan si ayah tiri tidak mau menerima balita tersebut karena dianggap sebagai beban bagi rumah tangganya.
108 Sehingga Pada banyak kejadian pengasuhan kemudian diserahkan kepada papu.
Menurut Damanik 2010, bahwa status gizi balita sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial terdekat. Di samping itu peran keluarga sangat besar dalam
membentuk kepribadian anak. Pola pendidikan yang tepat yang diterapkan oleh orang tua akan sangat membantu anak dalam menghadapi kondisi lingkungan
pada masa yang akan datang. Orang tua merupakan tempat bergantung anak- anaknya dan harus memberikan kasih sayang dan perhatian sepenuhnya pada anak
hingga remaja.
Anak yang kondisinya mengalami kurang gizi atau malah jika kondisi semakin memburuk kemudian berstatus gizi buruk akan mengalami hambatan
pertumbuhan yang diakibatkan oleh kekurangan zat-zat gizi baik itu unsur makro maupun mikro. Akibatnya anak akan dengan sangat mudah terinfeksi penyakit-
penyakit kronis. Antara lain penyakit saluran pernafasan, bisa juga terinfeksi TBC, dan gangguan kronis saluran pencernaan. Yang kemudian akan
menghambat masa depannya dan kualitasnya sebagai manusia, adalah kekuarangan zat gizi sangat mempengaruhi perkembangan mental dan tingkat
intelektual anak. Belum lagi secara psikologis khususnya balita di persawahan terguncang karena menjadi korban dari perceraian ayah dan ibunya. Sang Ayah
kemudian pada banyak kasus akan melepaskan tanggung jawab baik secara ekonomi, maupun pengasuhan. Peran ayah kemudian hilang di masa-masa penting
perkembangan jiwa anak.
Selanjutnya, faktor yang juga berperan terhadap jatuhnya status anak ke kategori gizi kurang maupun buruk adalah pada faktor pemberian ASI serta
kualitas ASI. Secara umum, jumlah ibu-ibu yang menyusui bayinya sesaat setelah melahirkan dan masa menyusui rata-rata selama dua tahun. Ini menunjukkan
kesadaran ibu-ibu pedesaan bahwa dengan memberi ASI bagi balita mereka adalah untuk kesehatan anak mereka juga. Sebenarnya, alasan utama ibu-ibu
pedesaan memberikan ASI pada anaknya adalah untuk penghematan karena tidak perlu membeli susu tambahan dan dot. Pemberian ASI yang didasarkan pada
rasionalitas instrumental yakni untuk penghematan biaya rumah tangga, karena harga susu pengganti ASI demikian mahalnya, sulit untuk dibeli oleh rumah
tangga. Sayangnya, walaupun anak-anak mereka mendapatkan ASI sejak dilahirkan bahkan ada yang sampai umur dua sampai dengan dua setengah tahun,
kondisi anak-anak mereka tidak seperti seharusnya anak-anak yang mendapatkan ASI. Penyebabnya adalah buruknya kualitas ASI dan MP-ASI. Kualitas ASI yang
baik ditentukan oleh asupan gizi ibu. Pada banyak kasus, para Ibu juga kurang mengkonsumsi makanan yang cukup, malah kadang-kadang mengurangi
frekuensi makan lengkap, alias makan seadanya. Kandungan ASI merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Angka Kematian Bayi. Hal ini
dimungkinkan karena kualitas ASI yang diberikan tidak mempunyai nilai gizi yang komplit. Berdasarkan petunjuk Departemen Kesehatan, lama masa
pemberian ASI yang sempurna bagi seorang anak sampai usia dua tahun.
Semakin bertambahnya umur, bayi dan anak tumbuh lebih aktif, sementara ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi anak. Oleh karena itu MP-ASI
dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan gizi anak dengan ketersediaan zat gizi dalam ASI. Di Indonesia, terdapat empat jenis makanan bayi
dan anak yang telah distandarisasi secara nasional, yaitu: 1 susu formula untuk
109 bayi, 2 susu formula lanjutan, 3 makanan dalam kaleng , 4 makanan
pelengkap serealia Gartini, 2004. Sebagian besar ibu-ibu pedesaan telah memberikan makanan tambahan
pada usia yang tidak tepat, saat ditanya kapan ibu-ibu memberikan makanan tambahan, rata-rata mereka telah memberinya pada usia satu bulan dengan alasan
kalau menangis pertanda anak lapar. Keadaan ini sejalan dengan pendapat Sudjasmin 1993, bahwa anak-anak penderita gizi buruk , sebagian besar sudah
diberi makanan tambahan sejak usia kurang dari 4 bulan. Makanan tersebut berupa pisang atau pisang dicampur nasi. Anak-anak penderita gizi buruk yang
diteliti Sudjasmin sudah terbiasa diberi makanan jajanan dan makanan jajanan itu berupa chiki, pisang goreng, roti biskuit, ubi, dan agar-agar.