Teori Rasionalitas Weber Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB

12 Berikutnya adalah theoritical rationality atau rasionalitas teoritis. Rasionalitas ini mencakup suatu penguasaan yang sadar terhadap realitas melalui konstruksi dari meningkatnya abstraksi konsep atau nilai-nilai. Proses dari terbentuknya rasionalisasi teoritikal selalu diikuti dengan penilaian dan intrepertasi individu terhadap pemahamannya terhadap ruang dan waktu world view dan melibatkan konstelasi dan nilai-nilai. Rasionalitas teoritikal menurut Weber dikutip Kalberg 1980 potensial secara tidak langsung di dalam tindakan Tabel 3 Tabel 3. Pola-pola Kesadaran dari Tindakan Rasional Sumber: Kalberg, 1980 Karakteristik individu dari sisi antropologi Tipe Rasionalitas Pola-pola kesadaran dari tindakan sosial Tipe tindakan sosial Proses Mental Non Rasional : Tradisional Tidak rasional - Tidak ada Afeksi Tidak rasional - Tidak ada Rasional : Berorientasi nilai value rational Subordinasi realitas kepada nilai-nilai Substantive Ada Instrumental mean-ends rationality Kalkulasi secara intrumental Formal, practikal Ada Tindakan rasional bisa dihasilkan secara tidak langsung Beragam proses abstraksi Theoritikal Ada Substantive rationality atau rasionalitas substantive serupa dengan rasionalitas praktikal, namun tidak seperti rasionalitas teoritikal, rasionalitas ini secara langsung bisa mempengaruhi tindakan individu. Akan tetapi rasionalitas ini tidak dibangun atas dasar kalkulasi untung rugi, namun terkait dengan dengan masa lalu, saat ini dan masa depan dalam bentuk “value postulate” atau “dalil dari nilai- nilai” Tabel 3. Terakhir adalah formal rationality atau rasionalitas formal secara umum berhubungan dengan konteks sosial dan dominasi struktur yang diperoleh secara spesifik. Jika rasionalitas praktikal selalu mengindikasikan menyebarkan tendensi terhadap kalkulasi dan penyelesaian masalah-masalah rutin melalui pertimbangan rasionalitas instrumental kaitannya dengan pramatis dan kepentingan individu, rasionalitas formal melegitimasi pertimbangan atau kalkulasi instrumental dengan referensi pada aturan-aturan dan kebijakan yang berlaku dimasyarakat Tabel 3. 13

2.3 Ekologi Budaya

Teori ekologi budaya yang dikemukakan Steward berbeda dengan teori ekologi manusia dan ekologi sosial di dalam mencari penjelasan mengenai asal mula gambaran khusus budaya dan pola-polanya yang bertujuan untuk mencirikan perbedaan wilayah dan kaitannya dengan budaya, dan tidak untuk menggeneralisasikan suatu bentuk kebudayaan secara universal. Dalam teori ekologi budaya, lingkungan sangat mempengaruhi budaya suatu masyarakat. Teori ekologi manusia menampilkan masalah dan metode. Permasalahan bertujuan untuk memastikan apakah adaptasi dari suatu komunitas masyarakat terhadap lingkungannya membutuhkan cara khusus atau perilaku khusus atau mungkin mereka memberikan kebebasan terhadap pola-pola perilaku khusus Steward dalam Haenn dan Wilk, 2006. Di dalam teorinya Steward menawarkan yang disebutnya sebagai cultural core atau inti budaya. Inti budaya diartikan sebagai konstelasi dari ciri-ciri utama yang paling mendekati aktivitas subsistensi atau aktivitas kehidupan dan perencanaan ekonomi atau tatanan ekonomi. Unsur budaya termasuk pola-pola tatanan sosial, budaya dan agama. Konsep normatif, di mana tinjauan budaya sebagai suatu sistem dari penguatan perilaku berasal dari sekumpulan perilaku dan nilai-nilai. Bagi teori ini, teknologi, tata guna lahan, kepemilikan lahan, dan ciri- ciri sosial berasal dari budaya. Bagi komunitas yang peradabannya telah maju, inti budayanya ditentukan oleh kompleksnya penggunaan teknologi, dan lamanya sejarah peradaban komunitas tersebut. Faktor teknologi dan ekonomi berperan strategis dalam setiap masyarakat. Inti masyarakat bagi Steward dan menentukan suatu perubahan adalah lembaga teknologi dan ekonomi, sementara unsur-unsur lain seperti organisasi sosial maupun politik lebih kecil peluangnya, dan yang paling kecil peluangnya adalah faktor ideologi termasuk agama Steward dalam Dove dan Carpenter, 2008. Budaya cenderung mengekalkan dirinya sendiri, dan perubahan terjadi namun lambat. Namun, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa zaman milenium pada lingkungan yang berbeda budaya menjadi cepat berubah, dan pada dasarnya perubahan ini dapat diketahui sebagai bentuk adaptasi baru yang memerlukan perubahan teknologi dan produksi. Sebagai contohnya adalah pada zaman pra pertanian menetap, kira-kira 99 persent dari alat untuk kegiatan berburu dan meramu nampaknya merupakan suatu hasil difusi dari keterbatasan mereka terhadap alam. Beberapa teknologi yang lebih maju, seperti teknik metalurgi dapat diterima jika prasyarat seperti stabilnya populasi di komunitas tersebut, adanya waktu rehat yang lebih banyak, dan adanya pembagian kerja atau spesialisasi secara internal. Bagi teori ini, lingkungan tidak membatasi penggunaan teknologi, dan teknologi muncul berdasarkan kondisi ekologi yang ada. Selain teknologi juga organisasi sosial dalam hal kegiatan memperoleh sumberdaya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi khas ekologi yang mereka hadapi. Steward mengilustrasikan komunitas Eskimo yang menggunakan tombak, jebakan, wadah dan dan teknologi lain yang tersebar luas, namun teknologi ini memang dikhususkan untuk mendapatkan ikan dan mamalia laut, populasi orang Eskimo sangat sedikit, dan organisasi perburuan didasarkan pada prinsip kerjasama, dan perburuan dilakukan secara tersebar dan berkelompok berdasarkan kelompok 14 keluarga. Sementara suku Indian Shoshoni di dalam organisasi perburuan tidak atas dasar kerjasama antara kelompok keluarga, melainkan melalui persaingan diantara kelompok-kelompok keluarga. Sumberdaya bagi suku Shoshoni adalah common pool resouces. Kelangkaan sumberdaya menyebabkan bangsa Indian Shoshoni membentuk organisasi perburuan atas dasar persaingan. Dari gambaran contoh di atas dapat kita simpulkan bahwa proses adaptasi dibentuk oleh ekologi yang dihadapi masing-masing komunitas. Basis teoritikal dari bentuk ekologi manusia dielaborasi sebagai model dari faktor-faktor yang menentukan suatu komunitas masyarakat beradaptasi terhadap lingkungannya, dengan dasar pemikiran atau premis penting dari bagaimana kehidupan itu dibangun oleh sebuah komunitas. Kondisi lingkungan tertentu atau keterbatasan alam yang dihadapi oleh setiap masyarakat, yang direspon oleh teknologi yang diciptakan masyarakat akan menimbulkan organisasi sosial dengan tipe tertentu. Yang menarik dari teritisasi Steward mengenai adaptasi ekologi adalah mengenai inti budaya atau cultural cores. Menurut Steward core budaya merupakan konstelasi ciri-ciri komunitas yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas subsistensi dan pengaturan ekonomi di setiap komunitas. Selanjutnya menurut Steward, gambaran nyata setiap komunitas beradaptasi dengan lingkungannya adalah melalui gambaran teknologi. Teknologi bagi Steward merupakan jendela mengenai bagaimana masyarakat melihat lingkungannya. Teknologi memberi pesan kepada kita bahwa apapun jenis lingkungannya adaptasi tergantung kepada alat-alat yang kita bawa ke lingkungan kita. Kemudian segala aspek yang secara langsung berhubungan dengan kerja dari teknologi dikategorikan pula sebagai inti budaya. Maka inti budaya menurut Steward hanya tiga unsur yang saling berinteraksi satu sama lainnya, antara lain teknologi sebagai unsur awal adaptasi, disusul dengan organisasi ekonomi dalam artian sebagai pola-pola perilaku sosial ekonomi misalnya relasi di dalam organisasi kerja, dan kependudukan, meliputi pola-pola pemukiman, kepadatan penduduk, komposisi penduduk, dan sebagainya. Misalnya menurut Steward dalam Dove and Carpenter 2008 menggambarkan suku Shosoneans yang bermukim di wilayah The Greath Basin, North America, menghadapi sumberdaya yang terbatas, maka masyarakat dengan teknologi tertentu berdasarkan tipe sumberdaya yang dihadapi, kemudian membangun organisasi sosial ekonomi dengan tidak mengutamakan tindakan ekonomi komunal, mengurangi kerjasama yang akan menimbulkan kelangkaan sumber makanan keluarga, tidak mengenal adanya property rights, dan tipe penduduk yang tidak terlalu padat dengan kondisi pemukiman yang tidak terpusat namun terpencar-pencar sesuai dengan titik persediaan makanan oleh alam. Bagian inti tersebutlah menurut Steward adalah yang sangat responsif terhadap perubahan dan adaptasi. Berbagai bentuk penyesuian terhadap tekanan-tekanan ekologis secara langsung akan dapat mempengaruhi unsur inti dari suatu struktur sosial. Agar tetap produktif maka suatu perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh faktor ekologis, harus menimbulkan suatu upaya pengaturan kembali yang berpengaruh terhadap struktur sosial komunitas tersebut. 15 Gambar 1. Model Teori Ekologi Budaya Julian Steward Teori Steward mengenai ekologi budaya sekali lagi menekankan bagaimana komunitas masyarakat melakukan kegiatan adaptasi terhadap lingkungan yang dihadapi beserta perubahan yang menyertainya. Model dari ekologi budaya tersebut, terdiri dari empat elemen yang saling terhubung, antara lain: seperti yang telah diungkapkan sebelumnya adalah a cultural core, b teori evolusi multilinier, c tingkat integrasi sosio kultural, d dan tipe budaya. Yang kemudian menjadi perdebatan dan dianggap sebagai kelemahan dari teori ini adalah asumsi bahwa perubahan masyarakat akan menuju pada bentuk masyarakat yang sama meskipun melalui tahapan yang berbeda, dan kecepatan yang berbeda pula tergantung pada teknologi, dan kemampuan adaptasi dari komunitas tersebut. Dalam teorinya lingkungan geografic area, menentukan bentuk dari sistem nafkah atau tipe-tipe subsistensi. Sistem ekonomi ini kemudian akan menentukan kepadatan penduduk sekaligus ukuran dari masyarakat community size dan pada akhirnya pola-pola pemukiman settlement pattern, akan membentuk tingkatan sosial budayanya Gambar 1 Namun, dalam teori ekologi budayanya, Steward rupanya tidak memperhitungkan organisasi sosial, ritual keagamaan, kepemimpinan, ideologi dan politik, dan kelompok masyarakat lainnya, sebagai faktor dinamisasi setiap sistem sosial. Geografic Area Settlement Pattern Community Size Demografi Subsistence Type Socio Cultural Level 16

2.4 Konsep Stratifikasi Masyarakat

Stratifikasi merupakan hasil kebiasaan hubungan yang teratur dan tersusun antar manusia, sehingga setiap orang, setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain baik secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakatnya. Dalam setiap masyarakat akan diketemukan ataupun berkembang dengan sendirinya suatu stratifikasi sosial, hanya masyarakat-masyarakat yang sangat kecil dan homogen tidak mempunyai stratifikasi. Stratifikasi terjadi dengan semakin meluasnya masyarakat, dengan makin terjadinya pembagian pekerjaan Susanto, 1977. Stratifikasi sosial menurut Sorokin adalah perbedaan penduduk masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat hirarkis. Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul Social Stratification mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur Soekanto, 1983. Sedangkan stratifikasi sosial menurut Soemardjan 1964, semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Dengan demikian, maka pengertian kelas adalah parallel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu faktor uang, tanah, kekuasaan atau dasar lain Sajogyo dan Pudjiwati, 1985. Adapun ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut: 1 Ukuran kekayaan: Kekayaan materi atau kebendaan dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja, 2 Ukuran kekuasaan dan wewenang: Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan, 3 Ukuran kehormatan: Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur, 4 Ukuran ilmu pengetahuan: ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik kesarjanaan, atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat- akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih