Ekologi Budaya Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB

16

2.4 Konsep Stratifikasi Masyarakat

Stratifikasi merupakan hasil kebiasaan hubungan yang teratur dan tersusun antar manusia, sehingga setiap orang, setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain baik secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakatnya. Dalam setiap masyarakat akan diketemukan ataupun berkembang dengan sendirinya suatu stratifikasi sosial, hanya masyarakat-masyarakat yang sangat kecil dan homogen tidak mempunyai stratifikasi. Stratifikasi terjadi dengan semakin meluasnya masyarakat, dengan makin terjadinya pembagian pekerjaan Susanto, 1977. Stratifikasi sosial menurut Sorokin adalah perbedaan penduduk masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat hirarkis. Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul Social Stratification mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur Soekanto, 1983. Sedangkan stratifikasi sosial menurut Soemardjan 1964, semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Dengan demikian, maka pengertian kelas adalah parallel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu faktor uang, tanah, kekuasaan atau dasar lain Sajogyo dan Pudjiwati, 1985. Adapun ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut: 1 Ukuran kekayaan: Kekayaan materi atau kebendaan dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja, 2 Ukuran kekuasaan dan wewenang: Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan, 3 Ukuran kehormatan: Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur, 4 Ukuran ilmu pengetahuan: ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik kesarjanaan, atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat- akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih 17 dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya. Pandangan mengenai stratifikasi yang sangat menonjol dalam sosiologi ialah pandangan mengenai kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx. Menurut Marx kehancuran feodalisme serta lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industri modern telah mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang saling bermusuhan, yaitu kelas borjuis bourgeoisie yang memiliki alat produksi dan kelas proletar proletariat yang tidak memiliki alat produksi. Dengan makin berkembangnya industri para pemilik alat produksi, semakin banyak menerapkan pembagian kerja dan memakai mesin sebagai pengganti buruh sehingga persaingan mendapat pekerjaan di kalangan buruh semakin meningkat dan upah buruh makin menurun. Karena kaum proletar semakin dieksploitasi mereka mulai mempunyai kesadaran kelas class consciousness dan semakin bersatu melawan kaum borjuis. Marx meramalkan bahwa bahwa pada suatu saat buruh yang semakin bersatu dan melalui suatu perjuangan kelas class struggle akan berhasil merebut alat produksi dari kaum borjuis dan kemudian mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas classless society karena pemilikan pribadi atas alat produksi telah dihapuskan. Jadi, konsep kelas sosial berdasarkan teori Karl Marx dikaitkan dengan pemilikan alat produksi dan terkait pula dengan posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi. Marx berpendapat bahwa stratifikasi timbul karena dalam masyarakat berkembang pembagian kerja yang memungkinkan perbedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise yang jumlahnya sangat terbatas sehingga sejumlah besar anggota masyarakat bersaing dan bahkan terlibat dalam konflik untuk memilikinya. Anggota masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, kekayaan atau prestise berusaha memperolehnya, sedangkan anggota masyarakat yang memilikinya berusaha untuk mempertahankannya bahkan memperluasnya Morrison, 1995. Weber membedakan kelas dan status standische large. Status seseorang, bertalian dengan penilaian yang dibuat orang lain kepada diri atau posisi sosialnya, sehingga menghubungkan dia dengan sesuatu bentuk martabat sosial atau penghargaan positif dan negatif. Kelompok status adalah sejumlah orang yang mempunyai status yang sama. Kelompok-kelompok status tidak seperti kelas-kelas hampir sepenuhnya menyadari posisi bersama mereka. Kasta merupakan contoh yang sangat jelas dari status, perbedaan sifat kelompok status dipegang teguh agar tetap berpedoman pada faktor-faktor kesukuan, serta biasanya pemberlakuannya dipaksakan melalui ketentuan-ketentuan agama dan atau sanksi-sanksi hukum konvensional Morrison, 1995.

2.5 Struktur Sosial Masyarakat Pesisir

Hakekat hidup dalam suatu masyarakat ialah organisasi kepentingan- kepentingan perseorangan, pengetahuan sikap orang yang satu terhadap yang lain dan pemusatan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok tertentu untuk tindakan-tindakan bersama. Berbagai hubungan yang timbul dari hidup 18 bermasyarakat itu dapat kita lihat sebagai suatu rencana atau sistem yang dapat kita namakan struktur sosial Firth, 1961 dalam Sajogyo dan Pudjiwati, 1985. Struktur sosial adalah fungsi utama dari hidup berkelompok dimaksudkan agar mudah dalam menjalankan tugas dan memenuhi kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, papan keamanan dan sejenisnya. Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan biasanya adalah masyarakat yang hidupnya dekat laut, sungai maupun danau. Dalam kenyataannya, ada kalanya seorang menjadikan aktifitas menangkap ikan sebagai mata pencaharian pokok dan ada pula yang hanya dijadikan sebagai kegiatan tambahan yang memungkinkannya bisa meningkatkan pendapatan untuk menopang hidup dan terpenuhinya kebutuhan hidup. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan nelayan adalah masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah pesisir. Secara konseptual, Blau dalam Ritzer 1992 menyatakan bahwa struktur sosial adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas dalam berbagai posisi sosial yang berbeda dan mempengaruhi hubungan diantara mereka. Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya berbagai tingkat yang tidak sama atau keberagaman antar bagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama sehingga mempengaruhi derajat hubungan antar bagian tersebut berupa dominasi, eksploitasi, konflik, persaingan dan kerjasama. Dalam penjelasan selanjutnya Blau membagi basis parameter pembedaan struktur menjadi dua, yaitu: 1 nominal dan 2 gradual. Parameter nominal membagi komunitas menjadi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup jelas seperti agama, ras, jenis kelamin, pekerjaan, marga, tempat kerja, tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa, nasionalitas, dan sebagainya. Pengelompokan ini bersifat horisontal dan akan melahirkan berbagai golongan. Parameter gradual membagi kelompok komunitas ke dalam kelompok sosial atas dasar peringkat status yang menciptakan perbedaan kelas, seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, kewibawaan, intelegensia, dan sebagainya. Pengelompokan ini bersifat vertikal yang akan melahirkan berbagai lapisan. Parameter nominal ataupun gradual dapat menimbulkan konflik antar individu anggota dari berbagai golongan dan lapisan. Berdasarkan penjelasan tersebut, struktur sosial masyarakat Indonesia, berdasarkan parameter gradual masyarakat masuk ke dalam golongan berdasarkan suku bangsa di Indonesia. Di pulau Sumatera ada suku bangsa Aceh, Gayo, Batak, Mandiling, Medan, Padang, Mingankabau, Bengkulu, Jambi, Palembang, Melayu, Enggano, Mentawai, dan Nias. Di Pulau Jawa ada suku bangsa Sunda, Jawa, Tengger, Madura, Bawean, Tambur, Banten, dan Betawi. Di Pulau Kalimantan ada suku bangsa Dayak, Bulungin, dan Banjar. Di Pulau Sulawesi ada suku bangsa Bugis, Makassar, Luwu, Mandar, To Seko, Banjau, Sangir, Toraja, Toli-Toli, Minahasa, Bolaang Mongondow, dan Gorontalo. Di Kepulauan Nusa Tenggara ada suku bangsa Bali, Bima, Sasak, Lombok, Manggarai, Ngada, Ende Lio, Dompu, Timor, dan Rote. Di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua ada suku bangsa Ternate, Tidore, Dani, Waigeo, Biak, Yapen, dan Asmat. Selain parameter nominal, parameter gradual melihat struktur sosial sebagai stratifikasi sosial di Indonesia dikenal stratifikasi berdasarkan penguasaan alat-alat produksi dan perbedaan kemampuan ekonomi. Misalnya saja di dalam masyarakat nelayan dikenal istilah patron client. Dalam hal ini anggota organisasi pekerja terbagi dua lapisan, yaitu punggawe dan sawi. Punggawe adalah pemilik modal 19 dan sarana maupun prasarana produksi. Sehubungan dengan itu para punggawe dipandang sebagai pemimpin dalam kelompok kerja masing-masing, namun disisi lain mereka seringkali membantu para bawahan atau sawi dengan memberikan pinjaman uang untuk untuk berbagai kebutuhan hidup keluarga termasuk biaya pengobatan, biaya pendidikan anak-anak, dan banyak lagi jenis keperluan lainnya. Bantuan tersebut biasanya ditanggapi para sawi sebagai suatu hutang budi, sehingga mereka merasa berkewajiban memberikan semacam pengabdian kepada pihak punggawe. Selanjutnya, Blau membagi bentuk struktur menjadi dua garis besar, yaitu: 1 intersected social structure, yaitu apabila keanggotaan bersifat menyilang di mana keanggotaan terdiri atas bermacam-macam suku ras ataupun agama yang berbeda-beda, 2 Consolidated social structure, dikatakan consolidate apabila terjadi tumpang tindih parameter, menjadikan penguatan identitas keanggotaan dalam sebuah kelompok sosial. Contoh intersected social structure adalah partai- partai politik di Indonesia, antara lain Golkar, PDI Perjuangan, Demokrat, dan sebagainya. Sementara Consolidated social structure adalah organisasi kesukuan, seperti perkumpulan masyarakat Batak di Jakarta. Masyarakat nelayan Fisher Society merupakan bagian dari masyarakat daerah, artinya adalah masyarakat yang mendiami daerah tertentu, berinteraksi memakai pola dari sistem budaya yang sama, dan diikuti oleh adat istiadat yang disepakati bersama. Sehingga masyarakat nelayan dapat di katakan masyarakat yang dalam kehidupannya bersifat homogen dalam artian tidak terlalu banyak variasi dalam bidang-bidang kehidupannya.

2.6 Orientasi Nilai Budaya

Konsep dalam bidang penyelidikan kebudayaan dan watak manusia dikembangkan Kluckhohn dalam Koentjaraningrat 1990 bersama dengan ahli psikologi O.H. Mowrer untuk mempertajam pengertian mengenai pengaruh kebudayaan terhadap watak manusia dan sebaliknya, konsep itu diumumkan kepada dunia ilmiah melalui sebuah karangan yang berjudul Culture and Personality, A Conceptual Scheme 1941, ia menyimpulkan bahwa watak manusia merupakan suatu rangkaian dari proses-proses fungsional yang berpusat kepada alam rohani yang letaknya di daerah otak dan syaraf dari individu tersebut. Proses-proses fungsional tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar individu yaitu wilayah sekitar fisiknya alam dan gejala-gejala fisik sekitarnya, wilayah sekitar sosialnya sesama manusia dan kelompok-kelompok manusia sekitarnya, wilayah sekitar kebudayaannya nilai-nilai, adat istiadat dan benda-benda kebudayaan sekitarnya dan juga alam rohani sub-sadar individu tersebut. Kluckhohn bersama istrinya F. Kluckhohn menyatakan bahwa tiap sistem nilai budaya dalam tiap kebudayaan itu mengenai lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas dasar itu, ia membuat suatu kerangka teori yang dpat dipakai oleh ahli antropologi untuk menganalisa secara universal tiap variasi dalam sistem nilai budaya dalam semua macam kebudayaan di dunia. Menurut Kluckhohn, kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah: 1 Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia selanjutnya disingkat dengan MH, 2 Masalah