Kebijakan Pembangunan, Kesehatan, dan Pertanian
26 Dari data di atas diperoleh kesimpulan bahwa selain partisipasi masyarakat
sangat rendah dalam kegiatan penimbangan dan beragam intervensi untuk mengurangi angka gizi buruk yakni pemberian makanan tambahan juga tidak
memberikan peningkatan partisipasi seperti yang diharapkan. Misalnya saja pada bulan maret diadakan pemberian PMT dan penyuluhan kepada ibu-ibu, namun
angka DS hanya berkisar 61,31 persen. Sementara pada bulan Juli tidak diberikan intervensi apapun, nilai DS menurun secara tidak signifikan, artinya penurunan
tidak berarti, nilai DS nyaris tetap di 60,31 persen.
Sangat disayangkan bahwa pemerintah memberikan bentuk intervensi kebijakan yang cenderung tidak berlanjut. Pemberantasan gizi buruk melalui
kebijakan dana BOK, sesungguhnya bisa menjadi sedikit solusi untuk mengurangi gizi buruk. Namun, pemerintah dengan program pemberian asupan makanan
tambahan pabrikan, hasilnya tentu saja tidak signifikan meningkatkan partisipasi ibu dan bayi ke posyandu, apalagi untuk menurunkan angka gizi buruk dan gizi
kurang. Anak-anak bosan dengan rasa dan tekstur makanan pabrikan. Sementara program makanan tambahan khas lokal yang dilaksanakan pada tahun 2006 malah
tergolong cukup sukses dalam meningkatkan tingkat partisipasi ibu dan bayi ke Posyandu, begitu juga peningkatan asupan gizi anak. Program makanan tambahan
khas lokal sendiri merupakan program yang kegiatannya memberikan uang kepada para kader posyandu untuk menyiapkan panganan khas lokal yang
memang familiar di lidah anak-anak. Mengatasi gizi buruk tidaklah mudah, hambatan sosial budaya juga menjadi kunci mengapa intervensi kebijakan
mengenai gizi buruk hanya berjalan di tempat, dengan keberhasilan yang kurang berarti.
Beberapa tulisan mengenai permasalahan kesehatan yang ada berpijak pada dua paradigma besar yakni dari sisi paradigma medis, dan antropologi
kesehatan. Pada Lampiran enam dijabarkan mengenai beberapa tulisan dan hasil penelitian yang erat kaitannya dengan budaya dan kesehatan pada komunitas
masyarakat suku adat. Melihat hasil-hasil penelitian yang ada belum ditemukan penelitian yang menekankan bagaimana sistem nilai budaya berperan di dalam
pemaknaan terhadap kesehatan ibu dan anak dan pola kunsumsi pangan keluarga di dua komunitas yang berbeda yaitu Suku Sasak pesisir dan sawah. Dan juga
belum ada yang meneliti bagaimana struktur sosial, baik sistem pelapisan sosial, maupun jejaring kekerabatan berperan di dalam kasus gizi buruk di dua komunitas
berbeda tersebut. Serta peran intervensi negara dalam hal ini pemerintah, dan juga
LSM di dalam memberikan “reaksi berantai” terhadap kejadian gizi buruk. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengisi ruang kosong tersebut dengan mengangkat
kajian orientasi nilai budaya gizi masyarakat ditinjau dari sosiologi budaya dan sosiologi kesehatan di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat.
27
3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berupaya memahami fenomena booming kasus gizi buruk dan gizi kurang yang terjadi di suku Sasak. Seperti yang telah diungkapkan pada
bagian latar belakang bahwa kasus booming terjadi di Kabupaten Lombok Timur. Kejadian tidak hanya di wilayah pesisir coastal yang rentan kemiskinan dan
rendah pada pengelolaan sanitasi, melainkan kasus gizi buruk dan gizi kurang juga terjadi di masyarakat Sasak yang tinggal di persawahan lowland. Atas dasar
inilah penelitian ini ingin memahami akar penyebab munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang terjadi di komunitas suku Sasak. Akar penyebab tersebut dalam
penelitian ini dicoba diungkap dengan berpijak pada teori Weber mengenai pemahaman yang mendalam terhadap tindakan sosial dan rasionalitas di balik
tindakan sosial pengasuhan balita. Kemudian, teori adaptasi budaya Steward diaplikasikan untuk memberi penjelasan kausalitas dari rasionalitas tersebut, serta
kenyataan bahwa beragam kebijakan pembangunan dan pengentasan gizi buruk dan gizi kurang diduga ikut berkontribusi terhadap tingginya kasus gizi buruk dan
gizi kurang pada rumah tangga suku Sasak baik di pesisir maupun di persawahan.
Status gizi di dalam penelitian ini dipahami sebagai faktor yang sangat ditentukan oleh konsumsi pangan dan pola pengasuhan anak. Semakin baik
kondisi pangan yang dikonsumsi baik secara kualitas maupun kuantitas serta semakin baik pola pengasuhan yang didapat semakin baik status gizi anak.
Konsumsi pangan dan pola pengasuhan anak yang dimaknai dalam penelitian ini erat dengan karakteristik rumahtangga antara lain jumlah pernikahan ayah dan
ibu, usia pertama kali ibu menikah serta jumlah anak di dalam rumahtangga.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian pada point kedua, pemahaman mengenai fenomena kasus gizi buruk dan gizi kurang dianalisis dengan
menggunakan teori Weber mengenai rasionalitas dan kemudian penjelasan mengenai perbedaan tindakan sosial antara rumah tangga pesisir dan persawahan
terkait dengan pola pengasuhan balita sehingga terjadi kasus gizi buruk dan gizi kurang baik di lokasi studi. Teori Weber di dalam penelitian ini memperhitungkan
pemaknaan subyektif individu beserta orientasinya. Analisa berdasarkan tipe ideal Weber mengenai tindakan sosial dan rasionalitasnya serta pengembangan
teoritisasi oleh Kalberg antara lain pada gagasan dasar Weber yaitu makna dari tindakan sosial dalam bentuk rasionalitas yang berorientasi nilai dan didasarkan
pada pembenaran nilai-nilai yang ditradisikan, serta alasan emosi dan afeksi. Kemudian, rasionalitas instrumental yakni tindakan yang didorong oleh harapan-
harapan material atau berupa manfaat ekonomi. Selain pada tipe dasar tersebut, analisa kemudian dikembangkan dengan menggunakan tipe rasionalitas varian
baru dengan tetap berlandaskan pada konseptualisasi yang dibangun oleh Weber, antara lain: 1 Practical Rationality atau rasionalitas praktik, 2 Theoritical
Rationality atau rasionalitas teoritik, 3 Formal Rationality atau rasionalitas formal dan 4 Substantive rationality atau rasional substantif.
Pemaknaan yang diukur dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian antara lain: 1 pemaknaan terhadap kehamilan termasuk pemaknaan perawatan
kehamilan, tindakan mematuhi taboo, kemudian juga mengenai pemaknaan proses kelahiran dan pola pengasuhan balita. Misalnya makna mengenai pihak yang
28 dipercayakan menangani proses kelahiran, dan pemaknaan ini dipahami dengan
melihat siapa yang dianggap paling baik oleh ibu di dalam mengasuh anak, menyiapkan makanan, merawat balitanya di saat sakit, dan mengasuh balita, 2
pemaknaan terhadap tindakan pernikahan dini dan kawin cerai yang dipahami dalam penelitian ini adalah sebagai konstruksi nilai-nilai budaya dan ditopang
oleh struktur sosial serta kelembagaan sosial. Misalnya pemaknaan tindakan kawin cerai terkait dengan makna tindakan poligami Tuan Guru sebagai
pemimpin lokal yang menjadi sarana penguatan fenomena kawin cerai.
Kemudian, teori ekologi budaya Steward menjadi gagasan pendukung yang akan membantu menjelaskan kausalitas terjadinya perbedaan rasionalitas
antara rumah tangga Sasak di wilayah pesisir maupun persawahan. Menurut Steward, bahwa inti budaya cultural core merupakan hasil bentukan dari
adaptasi manusia dengan bentuk ekologi yang dihadapinya. Inti budaya cultural core di dalam penelitian ini dimaknai sebagai tiga unsur budaya yang terbentuk
akibat hasil adaptasi ekologi yang dihadapi antara lain teknologi, kelembagaan ekonomi, dan demografi kependudukan. Teknologi atau dalam istilah Steward
material culture menunjukkan bagaimana komunitas menciptakan pola-pola perilaku tertentu untuk beradaptasi dengan lingkungan serta perubahannya.
Kemudian, pola-pola perilaku yang muncul dari proses adaptasi tersebut memunculkan kelembagaan ekonomi sebagai gambaran umum dari pola hidup
masyarakat. Lingkungan juga akan memunculkan model tertentu mengenai gambaran demografi dari komunitas sebagai hasil adaptasi ekologi dalam bentuk
jumlah penduduk, kelahiran, kematian dan pola-pola pemukiman settlement pattern.
Di dalam penelitian ini, selain konsep teoritis Steward mengenai inti budaya cultural core, juga melihat dari sisi peran non core budaya yakni: 1
religi, 2 nilai-nilai kolektif, 3 ritual, dan 4 adat istiadat. Beberapa unsur non core budaya tersebut bersama-sama dengan core budaya ditengarai juga
mendorong terjadinya kasus gizi buruk dan gizi kurang. Unsur-unsur non core juga diasumsikan menjadi titik pembeda antara gambaran tindakan yang menjadi
penyebab kasus gizi buruk dan kurang di Sasak Pesisir dan persawahan.
Analisis sosiologis menekankan pada kajian relasi sosial di dalam keluarga, dan kelompok sosial masyarakat kaitannya pada kasus gizi buruk dan
gizi kurang.. Tulisan ini meminjam konsep Blau mengenai parameter nominal yakni membagi komunitas menjadi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup
jelas untuk membedah peran kelompok-kelompok sosial terhadap munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang. Analisa kelompok sosial antara lain secara
kelompok etnis dan kelompok masyarakat berdasarkan agroekologi yang dihadapi. Misalnya mengkaji kelompok masyarakat Sasak Pesisir, Sasak
Persawahan, dan masyarakat etnis Bugis dan Bajo. Struktur sosial di dalam penelitian inijuga menekankan pada analisa relasi antara laki-laki dan perempuan
di dalam kelembagaan perkawinan yang pada akhirnya mengarahkan pada ketidakseimbangan peran ibu dan Ayah di dalam keluarga inti kaitannya dengan
pola asuh balita, termasuk juga bagaimana sistem strategi ekonomi rumahtangga dibangun dan dijalankan, bagaimana pembagian kerja di dalam keluarga,
kemudian bagaimana sumberdaya yang tersedia bagi rumahtangga diakses dan dikontrol oleh anggota rumahtangga baik istri, suami maupun anak-anak
khususnya dalam hal pangan, karena penelitian ini mengasumsikan akibat
29 ketimpangan pembagian peran di dalam pengasuhan anak dan kekuasaan di dalam
rumah tangga serta pasca perceraian menciptakan bentuk ketidakadilan dan pada akhirnya berdampak pada status gizi anak.
Selain menganalisa sistem sosial, sesungguhnya juga menganalisa bagaimana intervensi negara melalui beragam bentuk kebijakan dalam hal
pembangunan pertanian dan upaya pemberantasan gizi buruk dan gizi kurang berperan di dalam memberikan reaksi berantai terhadap kasus gizi buruk yang
terjadi baik di Sasak pesisir maupun Sasak di persawahan.
Maka dengan kerangka pemikiran ini diharapkan diperoleh pemahaman mengenai kondisi gizi buruk dan gizi kurang di masyarakat Sasak dan
memperhitungkan konsep gagasan idiil yang menjadi landasan filosofis dari pola pengasuhan bayi dan balita. Sehingga pada akhirnya dengan memperhatikan
aspek kelokalitasannya yang terkait dengan kekuatan rasionalitas, etika moralitas, dan struktur sosial serta kelembagaan sosial dapat dipahami secara mendalam
mengenai akar masalah munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang pada masyarakat suku Sasak. Gambar alur pemikiran penelitian ini, divisualisasikan
pada Gambar 2 pada halaman selanjutnya.