102 Tabel 23. Jenis Sumber Mata Pencaharian Rumahtangga Petani Sasak di
Persawahan dan Rumahtangga Nelayan di Pesisir, 2012 Jenis sumber
mata pencaharian
Rumahtangga Komunitas
Wilayah pesisir coastal
Wilayah persawahan lowland
Total
Jumlah Persentase
Jumlah Persentase
Jumlah Persentase
Pertanian 2
6.7 17
56,7 19
31.7 Perikanan
19 63.3
1 3.3
20 33.3
Remmitance 9
30 12
40 21
35 Total
30 100
30 50.0
60 100
Keberangkatannya ke Arab Saudi untuk mencari uang guna mengembalikan utang piutang karena gagal dalam usaha tembakau. Sementara
laki-laki yang berasal dari kelas bawah bekerja di Malaysia sebagai buruh di Perkebunan Sawit dan buruh kasar di proyek pembangunan. Pada banyak kasus
migrasi memicu perceraian, karna banyak para Ayah tidak menafkahi anak dan istrinya saat merantau. Yang kemudian juga terjadi adalah para Ayah kemudian
menikah lagi di perantauan dan membawa serta istri yang dinikahinya ke kampung halaman sehingga perceraian sulit untuk dihindarkan. Setelah bercerai,
biasanya para Ayah kurang mampu menafkahi anak-anaknya, sehingga para ibu akan cari selamat kembali ke pangkuan orang tuanya, dan kemudian bekerja atau
menikah lagi.
7.5 Tingkat Pengeluaran Rumahtangga
Masyarakat Sasak, mengembangkan sistem penghidupannya sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan sosial di dalam ruang-ruang
kehidupannya, di tengah arus modernisasi baik melalui revolusi hijau, intervensi pengembangan tembakau Virginia, dan konsolidasi kekuasaan orde baru secara
menyeluruh termasuk pada kebijakan agamaisasi Shohibuddin, 2001, dan pengembangan sektor pariwisata Bennett, 2000. Akibatnya secara struktural
memiskinkan mereka dan mengusir mereka di tanah kelahirannya. Buruh tani yang menjadi kelas dominan di komunitas Sasak akhirnya harus mencari nafkah
hingga ke negeri jiran dan Arab Saudi untuk menghidupi keluarga, tidak jarang juga mereka memperoleh derita, dan menelantarkan kehidupan anak dan istrinya.
Bagi petani yang tak mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut, akhirnya tersingkir dan menjadi masyarakat kelas dua di wilayah pesisir dan kemudian
mengalihkan mata pencahariannya menjadi nelayan. Perubahan juga memukul dasar nilai-nilai religi masyarakat Sasak, melalui penetrasi negara di bidang
ideologi mengenai penetapan lima agama yang diakui negara, sistem pendidikan nasional, sistem peradilan menyebabkan marjinalisasi komunitas Islam Sasak
Wetu Telu Shohibuddin, 2001 dan secara nilai budaya, berakibat pada bangunan konstruksi dan kontestasi dari senggeger love magic untuk memperkuat posisi
laki-laki Sasak untuk berpoligami Bennet, 2000.
103 Apa yang terjadi pada komunitas Sasak merupakan bukti dari kerisauan
Sajogyo dan para muridnya pada persoalan ketidakpastian nafkah livelihood sources uncertainty serta kelangkaan lapangan lapangan usaha dan kesempatan
kerja bagi lapisan bawah pedesaan hal ini dijumpai pada analisis kritisnya tentang peningkatan proporsi landlessness dalam struktur agraria pedesaan Jawa selama se
abad terakhir. Bagi Sajogyo, transformasi agraria yang terjadi di Jawa telah mengguncangkan kelestarian sistem sosial dan ekologi desa. Transformasi agraria
tersebut memberikan beberapa implikasi persoalan struktural pedesaan, yaitu : 1 ketimpangan penguasaan sumber-sumber nafkah agraria yang semakin menajam,
2 hilangnya berbagai sumber nafkah tradisi yang diikuti dengan terbentuknya struktur-struktur nafkah baru non-pertanian yang tidak selalu memberikan
kesempatan pada peningkatan kesejahteraan petani atau lapisan miskin Dharmawan, 2007.
Sistem nafkah rumahtangga petani salah satunya dapat dianalisa pada tingkat pendapatan rumahtangga petani. Melalui analisa ini, kita dapat
memperoleh gambaran mengenai sumber-sumber nafkah utama maupun sampingan yang menyumbang pada pendapatan rumahtangga baik di wilayah
persawahan maupun pesisir. Kemudian, dari analisa ini juga dapat diperoleh informasi mengenai proporsi dua basis nafkah yang saling mengisi yakni sektor
pertanian dan non pertanian. Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total pendapatan petani di persawahan cenderung lebih tinggi
dibandingkan total pendapatan rumahtangga nelayan di wilayah pesisir. Rata-rata pendapatan petani sebesar Rp. 1.049.700 per bulannya. Sementara rata-rata
pendapatan nelayan sebesar Rp. 3.149.100 per bulannya.
Jika melihat siapa anggota rumahtangga penyumbang pendapatan rumahtangga, menunjukkan bahwa untuk rumahtangga petani di persawahan
sumber pendapatan cenderung dari ayah atau suami, dan ibu atau istri. Sementara di wilayah pesisir menunjukkan bahwa rumahtangga mengerahkan seluruh
anggota keluarga baik istri maupun anak-anaknya sebagai sumber pendapatan rumahtangga. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23.
Selanjutnya, jika melihat sumber basis nafkah dari rumahtangga baik di rumahtangga petani maupun nelayan, menunjukkan bahwa di wilayah pesisir,
sebagian besar rumahtangga menggantungkan kehidupannya pada sumberdaya pesisir dengan menjadi nelayan, baik nelayan mandiri maupun nelayan sabi,
pembudidaya rumput laut, dan buruh pada budidaya keramba. Beberapa rumahtangga juga pada musim tertentu menggantungkan kehidupannya pada
ladang garam dengan bekerja sebagai buruh tani di ladang garam milik punggawa Bugis. Sebagian rumahtangga nelayan menggantungkan kehidupannya kepada
kegiatan pertanian khususnya sebagai buruh tani di ladang tembakau dan ada pula sebagai tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi bagi perempuan, dan tenaga kerja di
Malaysia untuk laki-laki.
Sementara, untuk rumahtangga petani sawah menunjukkan bahwa paling banyak rumahtangga menggantungkan kehidupan keluarganya dengan bekerja
sebagai TKI di Arab Saudi atau di Malaysia. Berbeda dengan kondisi di pesisir, di pertanian sawah, TKI yang ke Arab Saudi tidak hanya perempuan saja, namun
didominasi oleh kaum laki-laki kelas menengah yang gagal berusahatani tembakau. Keberangkatannya ke Arab Saudi untuk mencari uang guna
mengembalikan utang piutang karena gagal dalam usaha tembakau.Sementara
104 laki-laki yang berasal dari kelas bawah, bekerja di Malaysia sebagai buruh di
perkebunan sawit dan buruh kasar di proyek pembangunan. Penjelasan lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian pola adaptasi ekologi rumahtangga.
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai pengeluaran pangan maupun non pangan setiap rumahtangga baik di wilayah pesisir maupun wilayah persawahan.
Dengan adanya gambaran mengenai tingkat pengeluaran pangan dan non pangan sesungguhnya bisa kita pahami kondisi taraf ekonomi setiap rumahtangga. Ketika
pengeluaran pangan cenderung lebih besar daripada non pangan maka kecenderungan yang terjadi rumahtangga masih dalam orientasi pemenuhan
pangan keluarga. Sementara, jika pengeluaran non pangan cenderung lebih besar daripada pengeluaran pangan maka, orientasi rumahtangga sudah mapan dalam
pengeluaran pangan, antara lain memproduksi pangan sendiri, sehingga pengeluaran pangan relatif lebih sedikit.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pangan rumahtangga pesisir cenderung lebih besar dibandingkan rumahtangga di
persawahan untuk pengeluaran rutin pangan rata-rata di pesisir sebesar Rp. 56.622 per bulan sementara di rumahtangga persawahan hanya sebesar Rp. 22.433 per
bulan. Sementara, di persawahan rumahtangga dengan pengeluaran rendah mendominasi. Hal ini disebabkan karena jumlah anggota keluarga di wilayah
pesisir cenderung lebih besar. Jumlah anak di pesisir lebih besar, karena anak dianggap sebagai tenaga kerja. Pengeluaran pangan juga cenderung besar di
wilayah pesisir juga karena akses pangan, khususnya beras di pesisir cenderung lebih sulit dan mahal dibanding di persawahan sebagai sentra produksi beras.
Menurut Wolf dan Edward 2001 dalam Suparman, et al., 2008 kerawanan di tingkat rumahtangga umumnya terjadi karena lemahnya daya beli akibat dari
rendahnya penghasilan rumahtangga atau meningkatnya harga pangan.
Penggunaan pendapatan selain digunakan untuk kebutuhan pangan juga untuk non pangan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa selain
kecenderungan penggunaan pendapatan rumahtangga untuk pangan cenderung lebih besar di pesisir dari pada persawahan, penggunaan pendapatan untuk
pengeluaran non pangan di pesisir juga lebih besar dibandingkan pengeluaran rumahtangga persawahan. Rata-rata pengeluaran rumahtangga pesisir untuk
pengeluaran non pangan selama sebulan berkisar Rp. 107.784 sementara di persawahan sekitar Rp. 92.780 per bulannya. Pengeluaran non pangan di pesisir
sendiri terkait erat dengan biaya produksi, serta kebutuhan lainnya. Argumen peneliti kecenderungan ini juga membuktikan bahwa rumahtangga di pesisir
cenderung lebih konsumtif pada pengeluaran non pangan dibandingkan persawahan.
105
8 KONDISI DAN STATUS GIZI BALITA 8.1 Karakteristik Rumahtangga Balita
Tingkat pendidikan ibu dan ayah baik di wilayah pesisir dan persawahan masih relatif rendah. Pendidikan ibu mempunyai peranan penting dalam
mencegah terjadinya masalah gizi pada balita. Pendidikan ibu juga memainkan peranan penting dalam meningkatkan tingkat kecukupan gizi. Berikut adalah
uraian mengenai persebaran tingkat pendidikan ibu balita :
Tabel 24. Pendidikan Ibu dan Ayah dengan Status Gizi Balita Buruk dan Kurang, Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012
Variabel Wilayah
Total Tingkat pendidikan Ibu
Pesisir Persawahan
n n
n Tidak bersekolah
4 13,3
2 6,7
6 10
Tidak tamat SDsederajat 5
16,7 6
20 11
18,3 SDsederajat
15 50
13
43,3
28 46,7
SMPsederajat 4
13,3 8
26,7 12
20 SMUsederajat
2 6,7
2 3,3
DiplomaS1 1
3,3 1
1,7
Total 30
100 30
100 60
100
Tingkat Pendidikan Ayah Wilayah
Total Pesisir
Persawahan n
n n
Tidak bersekolah 5
16,7 3
10 8
13,3 Tidak tamat SDsederajat
1 3,3
1 1,7
SDsederajat 13
43,3
8 26,7
21
35
SMPsederajat 4
13,3 10
33,3
14 23,3
SMUsederajat 7
23,3 9
30 16
26,7 DiplomaS1
Total 30
100 30
100 60
100
Sumber : Data Primer, 2012. Berdasarkan data di atas, ditegaskan bahwa tingkat pendidikan ibu balita
dan ayah balita sebagai responden penelitian cenderung rendah. Sebesar 75 persen Ibu Balita berpendidikan SDsederajat. Demikian halnya dengan tingkat
pendidikan ayah 50 persen ayah balita hanya berpendidikan SDsederajat. Di pesisir hampir sebagian besar 50 persen ibu balita hanya berpendidikan Sekolah
Dasar, demikian pula dengan tingkat pendidikan ayah. Sebesar 43,3 persen ayah balita berpendidikan Sekolah Dasar. Ibu dan ayah balita di wilayah persawahan
cenderung hanya berpendidikan rendah. Sebesar 43,3 persen ibu balita di persawahan hanya tamat Sekolah Dasar. Kemudian, sebesar 33,3 persen ayah
balita berpendidikan tamat SMP. Menurut Atmarita dan Fallah 2004 dalam Ulfani 2011, tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Dengan demikian, pendidikan ibu yang relatif rendah akan