117
Pada masyarakat Sasak pesisir, kasus gizi buruk dan gizi kurang sudah
tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh etika Sasak. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa, jika melihat sejarah masyarakat Sasak pesisir, maka sudah
banyak nilai-nilai budaya Sasak yang telah terakulturasi oleh budaya masyarakat Bugis Bajo. Budaya Bugis Bajo yang maritim, menggeliat secara ekonomi dan
kultur Islam yang lebih kental tanpa campuran nilai-nilai Islam Hindu ala Wetu Telu sudah merasuk ke dalam kehidupan masyarakat Sasak yang marjinal. Sisi
nilai-nilai budaya Sasak yang nampak bergeser adalah budaya kawin cerai, pada beberapa desa-desa di pesisir di wilayah Lombok Timur kawin cerai sudah
dianggap tabu. Di lokasi penelitian sendiri, budaya Sasak sudah mulai terinfiltrasi ke dalam budaya Bajo Bugis. Dasar kepercayaan orang-orang Sasak pesisir juga
dipengaruhi oleh takluknya mereka terhadap laut sebagai sumber kehidupan mereka. Hal tersebut serupa dengan apa yang dipercayai oleh orang-orang Bajo
dan Bugis meskipun tidak dipungkiri bahwa etika kawin cerai masih ditemui, begitu pula etika-etika lainnya yang telah dijelaskan pada bagian Sasak
persawahan.
Kelembagaan yang berperan di dalam pengamanan pangan keluarga Sasak di Pesisir tentu saja bukan hanya berpatok pada keluarga inti atau sorohan saja,
melainkan juga kelembagaan ekonomi Bugis Bajo yakni hubungan patron client antara punggawa dan sabi. Kelembagaan ini digunakan oleh keluarga nelayan sabi
untuk menjamin kehidupan keluarganya. Kesetiaan dan kejujuran sabi dituntut
Gambar 3. Peta Etika Moralitas Sasak Persawahan kaitannya dengan kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang
118 oleh punggawa Bugis Bajo sebagai modal utama untuk sabi mendapatkan bantuan
ekonomi. Dari sudut pandang Weber, titik pembeda antara Sasak pesisir dan
persawahan adalah pada kecenderungan dasar rasionalitas yang mendasari setiap tindakan sosial ayah dan ibu balita melalui etika pola asuh yang pada akhirnya
menyebabkan balitanya berstatus gizi buruk dan gizi kurang. Pada lampiran 2 akan diilustrasikan kecenderungan antara Sasak pesisir dan Sasak persawahan.
Berdasarkan penjabaran tersebut dan atas dasar peta etika yang menjadi akar dasar tindakan sosial pengasuhan balita oleh orang tua balita dengan
menggunakan teoritisasi Weber maka ditarik kesimpulan perbedaan akar penyebab dari kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah pesisir dan persawahan
terletak pada rasionalitas orang tua balita. Pada wilayah pesisir orang tua mengasuh anak tidak terlepas atas dorongan rasionalitas instrumental. Akibat
pengejaran materi untuk mempertahankan hidup di tengah kehidupan yang sulit, misalnya anak kemudian menjadi sumber penghasilan bagi rumah tangga dan para
ibu kemudian menyerahkan pengasuhan kepada anggota keluarga yang belum siap mengasuh maka anak kemudian jatuh pada kondisi status gizi buruk dan gizi
kurang. Sementara di wilayah persawahan, orang tua mengasuh anak tidak terlepas dari fakta bahwa keluarga balita sangat rapuh karena maraknya kawin
cerai, pernikahan dini, ngerorot tindakan yang dilakukan oleh seorang istri sebagai bentuk protes terhadap sang suami atas berbagai pelanggaran perjanjian
yang pernah dilakukan pada saat perkawinan berlangsung dengan harapan diceraikan oleh suami dan nurut mam
e‟ ikut di rumah suami sehingga anak jatuh dalam kondisi gizi buruk dan gizi kurang. Seperti yang telah dijabarkan
bahwa akar penyebab di persawahan tidak lepas dari peran nilai-nilai budaya Sasak yang kental. Maka, tindakan pola asuh balita didasarkan pada rasionalitas
substantif yang kuat pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Sasak. Serta atas dasar kecenderungan rasionalitas berorientasi nilai lah, laki-laki Sasak
membenarkan tindakan “main perempuan” yang berdampak pada hancurnya rumah tangga dan masa depan anak-anaknya.
Berikut adalah ilustrasi gambaran peta etika yang berperan pada terjadinya kasus gizi buruk dan gizi kurang di komunitas Sasak pesisir Gambar 4 :
119
Munculnya bentuk rasionalitas yang mendasari etika orang tua balita di
Pesisir maupun di persawahan dapat dijelaskan melalui teori Steward. Jika di persawahan basis budaya merupakan unsur non inti budaya dari teoritisasi
ekologi budaya Steward lebih dominan di dalam faktor penyebab kasus gizi buruk dan gizi kurang, maka di pesisir, didominasi oleh basis etika ekonomi
merupakan unsur inti budaya dari teoritisasi ekologi budaya Steward. Sempitnya lahan nafkah, dan ketidakpastian hidup yang tinggi menyebabkan seluruh anggota
keluarga termasuk anak-anak yang masih balita, serta perempuan Sasak yang tengah hamil harus berpartisipasi di dalam kegiatan ekonomi rumah tangga.
Seperti yang sudah dijabarkan pada bagian enam dari tulisan ini, menunjukkan bahwa anak-anak juga ikut mencari nafkah baik dengan menciro maupun madat.
Kesibukan untuk mencari nafkah pun bagi seorang ibu baik tengah mengandung maupun tengah menyusui tetap dijalani. Pengasuhan anak-anak yang masih bayi
dan balita diserahkan jika bukan kepada papu
‟, juga diserahkan bebannya kepada anak perempuannya yang tengah beranjak dewasa. Selain itu, etika merantau yang
selayaknya hanya dilakukan oleh lelaki Sasak di persawahan, di pesisir tidak hanya berlaku pada kaum laki-laki, melainkan juga kepada kaum perempuan.
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa ketidakpastian nafkah dan degradasi sumberdaya menyebabkan tidak hanya laki-laki melainkan juga perempuan yang
bisa merantau ke negeri orang.
Gambar 4. Peta Etika Moralitas Sasak Pesisir kaitannya dengan kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang
120
8.4. Analisis Komprehensif Status Gizi BurukKurang
Menurut karakteristik rumah tangga balita baik di pesisir maupun persawahan, ayah dan ibu balita memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah.
Hal ini berperan di dalam pengasuhan balita yang tidak maksimal, dan kemapanan psikologis ayah dan ibu dalam berumahtangga. Pada akhirnya berdampak pada
status gizi balita.
Berdasarkan jumlah anak yang dimiliki oleh rumah tangga balita bergizi buruk dan kurang, ditemukan fakta bahwa jumlah anak di rumah tangga Sasak
pesisir cenderung lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga di Sasak persawahan. Jumlah anak di pesisir didorong oleh dominasi rasionalitas
instrumental dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi rumah tangga. Sementara, di persawahan pada awalnya anak dimaknai sebagai karunia,
dan penentu kebahagiaan di saat pernikahan, namun pada akhirnya anak kemudian mendorong para Ibu untuk menikah lagi demi keamanan sosial ekonomi para ibu.
Jumlah anak yang relatif lebih banyak kemudian akan berperan pada mekanisme pola asuh dan pemberian pangan pada anak yang masih balita.
Berdasarkan penjabaran sebelumnya mengenai gambaranan status gizi balita baik di persawahan maupun di wilayah pesisir disimpulkan bahwa cara
pemberian makanan pendamping ASI oleh ibu kepada balita baik di pesisir maupun persawahan didominasi oleh praktek pemberian makanan yang tidak
higienis seperti memberi makan dengan tangan dan di pakpak. Kemudian, berdasarkan indikator siapa anggota keluarga yang dipercaya untuk memberikan
makanan pendamping ASI, menunjukkan bahwa di pesisir pemberian makanan pendamping ASI tidak hanya dilakukan oleh
papu‟ layaknya di rumah tangga balita bergizi buruk dan gizi kurang di persawahan melainkan diberikan tanggung
jawab kepada kakaknya yang belum beranjak dewasa seperti yang telah diungkapkan pada alinea sebelumnya bahwa jumlah anak di wilayah pesisir
cenderung lebih banyak karena anak dianggap sebagai aset ekonomi rumah tangga. Uraian sebelumnya tentang orientasi nilai budaya menunjukkan perannya
yang sangat besar terhadap pemaknaan ibu baik terhadap proses kehamilan, kelahiran dan perawatan anak dan pada akhirnya bermuara pada orientasi tindakan
sosial ibu terhadap anaknya dalam bentuk pola asuh balitanya. Orientasi nilai budaya menunjukkan dua peran yang dijalankan kultur bagi kehidupan sosial.
Pertama
, nilai-nilai budaya memberi makna. Bagi sebagian besar manusia makna
diberikan melalui agama. Kedua, nilai-nilai budaya memberikan kita aturan dalam tindakan sosial. Kurang gizi kemudian menjadi sangat identik dengan
budaya, identitas, dan kerentanan dari praktek-praktek tradisional yang dihadapkan pada perubahan sosial suatu masyarakat antara lain akibat dari
meningkatnya partisipasi mereka terhadap ekonomi di luar sistem sosialnya melalui kegiatan produksi tanaman-tanaman komersial bagi masyarakat Sasak
Persawahan, dan komoditas perikanan komersial di Sasak Pesisir.
Pada bagian hipotesa ini, argumen yang kami angkat adalah bahwa orientasi nilai budaya tertentu pada masyarakat Sasak berperan di dalam
terjadinya kasus gizi buruk di komunitas masyarakat Sasak baik di persawahan maupun di Pesisir melalui tindakan pola asuh ibu terhadap balita. Artinya budaya
memediasi tindakan-tindakan khususnya seorang ibu yang memiliki balita dalam penelitian ini sebagai fokus analisa. Kemudian budaya dalam hal ini tindakan
121 kawin cerai menyebabkan ketidakamanan nafkah yang pada akhirnya akan
membentuk tindakan sosial khusus yang selanjutnya mengakibatkan seorang anak menjadi kekurangan gizi.
Dari uraian mengenai pemaknaan dan upaya memahami bentuk rasionalitas seorang ibu diketahui bahwa Pemaknaan akan makna kehamilan dan
kehadiran anak yang berorientasi pada rasionalitas instrumental cenderung dimaknai oleh para ibu di wilayah pesisir pada tipe rumah tangga nuclear family.
Bagi rumah tangga pesisir sendiri, kehadiran anak dimaknai juga sebagai tambahan tenaga kerja. Anak bagi ibu balita yang berasal dari tipe nuclear family
lebih kepada aset ekonomi atau tabungan rumah tangga. Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa anak-anak, mulai yang masih balita hingga sudah dewasa
digunakan sebagai tenaga kerja untuk sumber pendapatan rumah tangga. Di setiap rumah tangga yang terpilih untuk diteliti rata-rata memiliki jumlah anak mulai
dari tiga orang hingga tujuh orang anak. beberapa ibu balita memaknai bahwa kehamilan sebagai suatu beban. Pemaknaan ini muncul dari para ibu di pesisir
yang memiliki anak banyak. Sementara di wilayah persawahan pemaknaan ini muncul oleh para Ibu yang pernah mengalami perceraian berkali-kali.
Pemaknaan terhadap Belian oleh para ibu didorong oleh rasionalitas berorientasi nilai didominasi oleh rasionalitas substatif yang bergerak pada ranah
nilai-nilai beliefs dan adanya kebiasaan atau tradisi bahwa untuk penyakit guna- guna yang bisa mengancam janin di dalam kandungan maka obat yang mujarab
bukanlah obat medis melainkan obat jampi-jampi dari Belian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa baik di pesisir maupun di persawahan
para ibu balita bergizi kurang atau buruk cenderung masih sangat teguh memegang tradisi saat kehamilan berlangsung. Tabu atau larangan dalam bentuk
makanan pantangan maupun tindakan yang dianggap bisa membawa kesialan dan kesulitan tetap dipatuhi. Makna tersebut didorong oleh bekerjanya rasionalitas
berorientasi nilai yakni rasionalitas teoritis dan rasionalitas substantif. Sebagian besar tabu saat hamil di wilayah pesisir lebih didominasi oleh budaya Bugis dan
Bajo, dan erat kaitannya dengan mitologi intimnya manusia dengan mahluk laut. Sementara di persawahan tabu saat hamil murni atas bangunan nilai-nilai budaya
Sasak persawahan.
Pemberian nasi pakpak bayi dipercaya akan membantu bayi lebih nyenyak untuk tidur dan membantu pertumbuhan anak, sehingga ibunya bisa mencari uang
Dari sudut pandang tindakan sosial Weber, pemberian nasi pakpak didorong oleh rasionalitas formal, karena tindakan ini didorong atas alasan tradisi, dan
kepentingan material yakni memudahkan para ibu untuk berkonsentrasi mencari uang.
Dorongan rasionalitas instrumental terhadap sapi memberikan kosekuensi besar terhadap kesehatan anggota rumah tangga, khususnya status gizi balita.
Menurut bidan yang bertugas di wilayah penelitian karena letak kandang sapi yang sangat dekat dengan tempat tinggal tidak jarang terjadi kasus ISPA Infeksi
Saluran Pernafasan Akut. Kasus gangguan pernafasan juga sering terjadi tidak saja menyerang orang dewasa melainkan juga anak-anak.
Gambaran dominasi rasionalitas terhadap maraknya pernikahan dini yang ditengarai sebagai sumber munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang
menunjukkan bahwa rasionalitas substantif berada dibalik tindakan sosial menikah dini tersebut. Adanya nilai-nilai malu perawan tua, dijadikannya
122 pernikahan sebagai obat mujarab bagi perempuan yang terkena senggeger, serta
diperkuat dengan alasan tindakan tersebut telah ditradisikan, maka pernikahan dini menjadi sesuatu yang wajar meskipun nanti akan memberikan konsekuensi
dan penderitaan bagi perempuan dan balitanya kelak.
Kehancuran rumah tangga yang cenderung marak terjadi pada masyarakat Sasak Persawahan tidak terlepas dari superioritas lelaki Sasak kaitannya dengan
tradisi kawin cerai. Fenomena kawin dan bercerai berkali-kali tidak terlepas dari bekerjanya rasionalitas substantif dan di satu sisi rasionalitas praktikal. Prestise
lelaki yang menikah berkali-kali, keperkasaan lelaki yang diagungkan dan dianggap mampu secara ekonomi serta telah ditradisikan menjadi alasan kuat atas
tindakan sosial lelaki Sasak menikah dan bercerai berkali-kali.
Ada suatu fenomena menarik yang kemudian menjadi topik penting. Mengenai maraknya kasus kawin cerai di kalangan masyarakat Sasak. Benarkah
fenomena kawin cerai adalah suatu budaya custom bagi masyarakat Sasak?. Dari hasil penelitian, data kualitatif menunjukkan bahwa sebagai masyarakat Sasak
yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, perceraian merupakan sesuatu yang dikecam dan dilaknat oleh masyarakat Sasak. Dahulu, menurut beberapa informan
yang telah berusia lanjut, kasus perceraian dan pernikahan berulang-ulang sangat jarang ditemukan. Namun, tidak dipungkiri oleh beberapa informan, rupanya
konstruksi budaya Sasak jika diteliti sesungguhnya mendorong terjadinya kasus kawin cerai. Misalnya saja, setiap orang tua akan sangat bangga jika anak
gadisnya sering diapeli oleh lelaki dalam bahasa Sasak disebut midang entah dia adalah betul-betul seorang bujangan, atau kah seorang pria yang telah beristri.
Bagi masyarakat Sasak, lelaki beristri bisa melakukan midang. Lelaki yang tidak bertanggung jawab akan memanfaatkan kesempatan ini. Sementara di satu sisi
perempuan sangat bangga ketika memiliki pujaan hati lebih dari satu orang lelaki, meskipun salah satunya adalah suami orang, biasanya gadis-gadis tersebut atau
janda tidak mempermasalahkan. Konstruksi budaya pendukung lainnya adalah merupakan suatu aib bagi setiap keluarga yang memiliki anak gadis kemudian
anak gadisnya belum menikah di usia tertentu atau biasa disebut perawan tua. Bagi kaum lelaki Sasak, kejantanan seseorang akan ditunjukkan melalui
sejauhmana dia mampu menaklukan hati wanita, dan kemudian diartikan dengan jumlah perempuan yang berhasil dinikahinya. Biasanya mereka para lelaki Sasak
tidak akan cangung mengakui bahwa dirinya telah berkali-kali menikah. Sebaliknya lelaki Sasak akan sungkan mengakui jika Ia tidak melakukan
pernikahan dan perceraian berkali-kali.
Korban perceraian orang tua sendiri adalah anak-anaknya. Berdasarkan data yang telah diuraikan sebelumnya baik di Sasak Persawahan maupun Sasak
Pesisir, balita yang berstatus gizi buruk maupun bergizi kurang berasal dari keluarga yang tidak utuh, atau orang tuanya telah bercerai. Pada saat perceraian,
perempuan Sasak berada pada posisi yang sangat lemah. seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, rata-rata para ibu yang memiliki anak berstatus gizi buruk
dan gizi kurang menikah di usia yang sangat belia, dengan pendidikan yang sangat rendah. Artinya para ibu sangat kurang bekal baik secara psikologis maupun
materil. Di Sasak persawahan, ibu saat terikat tali pernikahan, dan cenderung tidak bekerja. Ibu-ibu tersebut betul-betul mengandalkan suami sebagai sumber
nafkah. Beban pengasuhan anak, diserahkan langsung kepada ibu. Perlu diketahui bahwa, di dalam masyarakat Sasak sangatlah tabu baik kaum lelaki yang telah
123 beristri melakukan pekerjaan yang diidentikkan dengan pekerjaan perempuan,
seperti memasak, mengurus anak, menggendong anak, memberi makan, dan sebagainya. Belum lagi, pantang bagi seorang suami makan sisa makanan istri dan
anak-anaknya. Sehingga lelaki atau ayah selalu diutamakan untuk makan terlebih dahulu, jika ada sisa makanan barulah dimakan oleh anak dan istrinya. Ada juga
ibu yang memisahkan makanan khusus untuk ayah, dan untuk dimakan oleh ibu dan anak-anaknya. Ketika perceraian terjadi, dan biasanya terjadi tanpa persiapan
secara moril dan materil bagi ibu, biasanya suami kemudian memutuskan ikatan kewajiban seorang ayah kepada anaknya, dengan menyerahkan anaknya kepada
istrinya tanpa kemudian menafkahi anak-anaknya. Beberapa ibu mengakui mengalami depresi ketika perceraian terjadi. Biasanya suami tidak membekali istri
dengan uang. Sementara ibu, sehari-hari tidak bekerja, yang diandalkannya saat perceraian terjadi adalah kembali kepelukan orangtuanya yang telah renta.
Disinilah muncul ketidakamanan nafkah bagi ibu. Sangat jarang terjadi setelah ayah bercerai dengan ibu, kemudian ayah akan menjalankan tanggung jawabnya.
Bisa dibayangkan, ketika istri yang saat menikah dengan suami hidup sebagai keluarga miskin, kemudian bercerai, maka istri mengalami kemiskinan yang
sangat kronis. Untuk bisa hidup dan menghidupi anak-anaknya, maka biasanya jalan awal untuk selamat dari jurang kemiskinan adalah dengan menikah lagi.
Bukan berarti konflik tidak selesai saat menikah lagi. Biasanya suami baru berkeberatan menerima anak dari pernikahan awal istri. Akhirnya anak menerima
konsekuensi harus berpisah dari ibu, dan kemudian dirawat oleh papu
‟ yang telah renta, dan tidak punya banyak uang dan simpanan. Cara selanjutnya adalah
dengan megganti peran ayah, yakni dengan bekerja serabutan, biasanya para ibu seperti ini sudah merasa jera hidup dalam biduk pernikahan. Bekerja kemudian
berkonsekuensi pada peran domestik yang tidak bisa dijalankan lagi, yakni tidak bisa merawat anak-anaknya. Peran pengasuhan kemudian diserahkan kembali
kepada papu
‟. yang telah renta. Belum lagi perceraian kemudian dilakukan tidak melalui hukum formal, yakni melalui pengadilan agama, melainkan melalui jalan
adat, yang kemudian menghilangkan kewajiban-kewajiban ayah untuk menafkahi anak-anaknya.
Namun, ada fenomena yang menarik. Ketika kita membandingkan kondisi para ibu di Pesisir maupun kondisi ibu di persawahan. Yang jauh lebih siap
menghadapi perceraian sesungguhnya adalah para ibu di Pesisir. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, khususnya pada makna anak, di mana anak dimaknai
oleh rumah tangga di pesisir sebagai asset ekonomi, dan rumah tangga mengerahkan segala daya upaya termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga
untuk mencari nafkah. Maka, ibu di Pesisir selain melakukan pekerjaan domestik juga melakukan pekerjaan produktif. Ketika, suami menceraikan istrinya, istri
lebih tangguh menghadapinya, karena telah terbiasa mencari nafkah. Dilihat dari proporsi orang tua dalam hal frekuensi menikah, jumlah kawin cerai di pesisir
cenderung lebih rendah dibandingkan di persawahan. Argumen kami adalah, karena budaya orang Bugis dan Bajo yang mengharamkan pernikahan dan
perceraian berulang-ulang kali, nilai-nilai ini kemudian berhasil masuk ke dalam budaya masyarakat Sasak yang hidup di Pesisir. Merubah orientasi masyarakat
Sasak Pesisir dalam kecenderungan terjadinya fenomena kawin dan bercerai.
Fenomena perkawinan dan perceraian yang berulang-ulang, kami temukan bahwa hal ini juga didukung oleh kehidupan Tuan Guru yang melakukan