Pengetahuan Lokal Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB

63 berupa abu sisa pembakaran di dapur yang dicampur dengan air asam serta aurat kemaluannya dibasuh dengan air garam. Selain mengurus ibu dengan ramuan- ramuan, dan mantra-mantra. Belian juga berperan di dalam perawatan bayi setelah dilahirkan. Upah yang diberikan atas jasanya cenderung sangat kecil, biasanya jasanya hanya dibayar dengan uang sekitar 20 ribu hingga lima puluh ribu rupiah dan selembar kain, uang juga bisa diganti dengan beras. Semua tergantung kemampuan keluarga ibu dan bayi. Namun ada yang menarik, dibalik perannya yang besar membentuk kepercayaan diri pasiennya melalui mantra-mantra, dan air penyembuh, dan perawatan bayi setelah dilahirkan, Belian rupanya merupakan aktor yang mensosialisasikan nilai-nilai kepada ibu mengenai nasi pakpak kepada bayi, yang seperti telah diuraikan sebelumnya diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita di masyarakat Sasak, baik persawahan maupun pesisir. Kemudian, selain peran orang tua dalam mensosialisasikan taboo makanan, Belian juga berperan dalam melembagakan taboo makanan. Misalnya, dalam setiap pengobatannya kepada para Ibu yang hamil, Belian akan menyampaikan hal-hal yang dilarang oleh nenek moyang karena dipercaya jika dilanggar akan menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya selain yang telah dipaparkan sebelumnya pada bab enam, anak-anak misalnya dilarang keras makan buntut ayam embut manok, otak ayam ecephalon, empela ayam tempula, kerak nasi dan sebagainya. Berikut kutipan wawancara dengan I na‟ Js seorang Belian nganak di Desa Loyok yang sering membantu proses kelahiran : Pada saat sore hari sendikele, bayi yang baru lahir pantang untuk dikeluarkan dari rumah. Saat sore hari mahluk halus banyak berkeliaran dan mengganggu bayi yang baru lahir. Kalau seorang bayi menangis terus-menerus, maka selain menandakan Ia diganggu oleh roh halus, juga dimaknai sebagai tanda bahwa bayi tersebut kelaparan. Maka menurut I na‟Js, jika ada bayi yang baru lahir kemudian menangis tanpa henti dan jika sudah di mantera belum juga berhenti tangisannya maka I na‟ Js akan menyuruh Ibu untuk memberikan susu tambahan selain ASI, misalnya susu formula. Jika bayi belum puas juga, maka I na‟ Js akan menyuruh Ibu untuk memberikan makanan, misalnya nasi pakpak. Menurut Belian jika bayi lapar, meskipun belum cukup umur untuk menerima makanan, tetap diberikan makanan, karena bisa jadi ibunya tidak menghasilkan ASI yang cukup untuk bayi. Wawancara dengan I na‟ Js, 14 Juni 2012 Kutipan di atas menunjukkan bahwa beberapa perilaku di dalam kebudayaan masyarakat Sasak tampak tidak selalu memberikan konsekuensi yang baik kepada kesehatan, namun juga konsekuensi yang buruk terhadap kesehatan fisik, khususnya balita. Dari kategori personalistik yang telah dijabarkan di atas, maka penyakit bagi ibu dan balita dianggap terjadi karena: 1 hukuman atas kesalahan pelanggaran tabu, 2 kejahatan dari orang lain karena berniat jahat melalui guna-guna senggeger dan banggruq, dan 3 gangguan jin dan tusela. Sementara untuk etiologi penyakit naturalistik diserahkan diagnosa dan pengobatannya kepada sistem medis biomedikal. Khususnya bagi kesehatan ibu hamil dan balita diserahkan kepada bidan yang ditunjuk oleh pemerintah. Dari 64 hasil wawancara dan pengamatan di lapangan hampir tidak ada lagi ibu-ibu yang menyerahkan bantuan proses kelahiran kepada Belian. Karena bidan dipercaya oleh masyarakat mampu mengatasi komplikasi kehamilan seperti eklamsia. Kecenderungan ini terjadi karena intervensi program-program kesehatan dan penyuluhan kesehatan, dan pembinaan beberapa Belian nganak termasuk informan kami IJ sebagai pendamping bidan saat melakukan proses persalinan. Kasus Farhan Lampiran 2 menunjukkan bagaimana peran anjuran dan taboo makanan di masyarakat Sasak persawahan mendorong terjadinya kasus gizi kurang dan gizi buruk. Sebagai masyarakat yang berbasiskan persawahan, maka selain kepemilikan lahan pertanian, kepemilikan ternak menjadi sumberdaya kedua yang bernilai baik bagi petani pemilik, penggarap, maupun buruh tani. Di masyarakat Sasak, sapi bernilai sangat ekonomi tinggi sehingga tidaklah mengherankan sapi menjadi incaran maling sapi. Makan daging sapi menjadi suatu prestise bagi masyarakat Sasak persawahan sebut saja bebalung, makanan khas suku Sasak yang mirip-mirip rawon namun berkuah bening ini menjadi makanan yang mahal bagi masyarakat suku Sasak khususnya bagi para keluarga buruh tani. Sapi juga selain ekonomis juga sangat bermanfaat, baik sebagai tabungan, yang katanya juga untuk menjaga kesehatan. Manfaat kesehatan sapi bagi masyarakat Sasak nampak pada pengelolaan dan perawatan lingkungan di dalam rumah, khususnya yang tempat tinggalnya masih berlantaikan tanah. Kebersihan rumah bergantung pada kotoran sapi. Pengetahuan lokal ini dipertahankan hingga saat ini khususnya bagi golongan masyarakat Sasak yang miskin. Kotoran sapi yang masih hangat kemudian dicampur dengan air diaduk kemudian digunakan untuk mengepel lantai rumah. Lantai rumah dipel dengan cara menyiramkan kotoran sapi tersebut, lalu disapu perlahan dengan sapu lidi. Setelah dipel, lantai rumah yang dari tanah tersebut dibiarkan mengering beberapa jam, kemudian hasilnya adalah lantai rumah yang adalah tanah menjadi halus dan licin mengkilap. Kotoran sapi tersebut membuat lantai rumah yang terbuat dari tanah tidak menimbulkan debu, sehingga rumah menjadi lebih bersih karena debu dari lantai rumah tidak naik ke udara mengotori perkakas rumah dan mengganggu pernafasan. Selain digunakan sebagai ternak yang membantu di dalam kegiatan pembajakan sawah, sapi juga bisa digunakan sebagai modal untuk berangkat bermigrasi ke Arab Saudi maupun ke Malaysia. Sapi digadai kemudian uangnya diberikan ke tekong, atau sapi dalam kondisi hidup-hidup diberikan kepada tekong sebagai jaminan. Melihat pentingnya sapi dan nilai ekonomi yang tinggi, maka di Desa Loyok, dan Desa-desa lainnya di pedesaan sawah kasus pencurian sapi sangat marak. Maka strategi masyarakat Sasak persawahan untuk menghindari pencurian sapi adalah dengan menempatkan kandang sapi sedekat mungkin dengan tempat tinggal. Biasanya jarak kandang sapi hanya sekitar 1-2 meter dari rumah induk. Bahkan ada warga yang tidur dengan sapinya, atau tidur di kandang sapinya. Ini tidaklah mengherankan karena maling sapi juga menggunakan magic unsur non inti budaya Steward, sehingga sapi bisa jalan sendiri keluar kandang dan menuju si maling. Yang lebih canggih lagi maling sapi biasanya menggunakan truk yang tujuannya untuk mengangkut sapi. Jika jarak kandang sapi dengan truk sangat jauh maka di tengah-tengah perjalanan, sapi oleh maling kemudian disembelih dan dagingnya diangkut menggunakan truk yang telah disediakan. Letak kandang sapi yang sangat dekat dengan tempat tinggal bisa 65 memunculkan ISPA infeksi saluran pernafasan akut. Dan disadari bahwa kasus gangguan pernafasan juga sering terjadi tidak saja menyerang orang dewasa melainkan juga anak-anak. Anak-anak khususnya balita yang daya tahan tubuhnya belum sekuat orang dewasa menyebabkan dengan mudahnya kuman yang ada dikandang sapi mengganggu kesehatan. Anak yang rentan sakit akan menyebabkan berat badannya sulit untuk meningkat. Kasus berikut menunjukkan bagaimana peran akumulatif dari budaya kawin cerai, masalah kemiskinan, dan peran buruknya sanitasi di rumah balita karena dekatnya kandang sapi dengan pemukiman, dan budaya mengkonsumsi air nyet Gambar 21 pada Lampiran 7. Seperti yang telah dijabarkan pada bagian tulisan sebelumnya, menunjukkan bahwa budaya Bugis Bajo merasuk ke dalam nilai-nilai masyarakat Sasak pesisir. Nilai-nilai tersebut kemudian khususnya juga berperan di dalam konsep kehamilan, kelahiran dan perawatan anak. Budaya Bugis Bajo yang sampai hari ini masih hidup di pesisir Lombok khususnya terkait dengan permasalahan kesehatan seperti: 1 sangkineh, 2 Dijanjiang atau Dikalautang, 3 Dutai Toyah, 4 Mandi Bubus. Sangkineh merupakan kegiatan selamatan kepada seseorang perempuan yang sedang hamil sekitar berumur kurang lebih tujuh bulan yang bertujuan untuk terhindarnya ibu yang sedang mengandung dari pengaruh roh jahat dan penguasa laut serta anak yang dilahirkan selamat dengan baik. Kegiatan Sangkineh dilakukan oleh seorang Sandro Dende dukun perempuan, dimana perempuan yang disangkineh dikasih mantra penolak bala‟ dan dibuatkan sabuk dari benang tujuh warna dan dikasih manik-manik dan diikatkan dipinggang si perempuan hamil selama masa hamil sampai melahirkan. Sebelum pemasangan sabuk, si perempuan hamil dimandikan oleh dukun atau sandro untuk supaya bersih lahir dan bathin sehingga anak yang dilahirkan juga dalam keadaan bersih. Dijanjiang atau Dikalautang merupakan kegiatan ritual merupakan unsur non inti budaya Steward dengan melarungkan sesajen ke laut yang bertujuan untuk terhindarnya ibu dan anak yang dilahirkan dari balak dan penyakit yang ditimbulkan dari kemarahan penguasa laut dan roh jahat lainnya. Kegiatan Dikalautang dilakukan beberapa minggu setelah kegiatan Sangkineh dilakukan. Kegiatan Dikalautang pada intinya adalah perempuan hamil berjanji kepada penguasa laut dan kekuatan gaib lainnya bahwa jika ibu dan anak yang dilahirkan dalam keadaan selamat, maka akan diadakan selamatan, biasanya mengumpulkan warga terutama perempuan dan anak-anak dan sajikan bubur putih dan dikasi gula aren warna merah. Kegiatan Dikalautang sendiri dilakukan oleh seorang sandro dukun perempuan yang memang keturunan suku Bajo, dilakukan pada saat waktu magrib dan isya dengan melarungkan atau membuang satu sisir pisang, jajan kering dan sebutir telur ayam kampung disertai dengan nyala lampu kecil yang terbuat dari lilitan kain bekas. Sebelum sang sandro membawa sesajen berupa satu sisir pisang dan sebutir ayam kampung dan lain-lainnya ke laut, terlebih dahulu diadakan ritual di dalam ruangan rumah yang bersangkutan si hamil. Ritual Dutai Toyah dilakukan pada saat bayi berumur tujuh hari atau setelah tali pusar si bayi sembuh atau putus. Secara harpiah Dutai Toyah terdiri dari dua kata yaitu Dutai artinya naik dan Toyah artinya ayunan, jadi bisa diartikan Dutai Toyah berarti Naik Ayunan. Kegiatan Dutai Toyah juga dirangkai 66 dengan pemberian nama bagi si bayi. Pada prosesi upacara, bayi dimandikan dengan minyak yang terbuat dari rempah-rempah dan daun-daun lokal, agar sibayi tumbuh sebagai manusia yang sehat dan dewasa. Badan si bayi oleh sandrodukun diurut bersama minyak. Pihak keluarga mengundang tetangga dan masyarakat sekitarnya, mereka dijamu dengan tupat dan bubur putih yang dikasih gula aren merah. Pada saat bayi berumur sebulan, si ibu minta bantuan sandro atau dukun untuk dibuatkan bubus. Bubus terbuat dari beras dan rempah-rempah dan dedaunan pilihan, kemudian di giling di atas lesung batu, kemudian dikasih warna kuning dari kunyit, setelah ditumbuk atau digiling halus, kemudian dibentuk bundar atau bulat sebesar telur cecak, atau juga dibuat pipih seperti uang logam tebal. Setiap bayi selesai dimandikan setiap hari, bubus dilebur pakai air putih di dalam mangkuk kecil, kemudian di usap keseluruh badan si bayi. Pemberian bubus di maksudkan untuk supaya nafsu makan si bayi bagus, badan si bayi menjadi gemuk, badan si bayi menjadi putih dan halus, serta terhindar dari penyakit kulit dan lain-lain. Kegiatan mandi bubus kepada si bayi dilakukan sampai berumur kurang lebih satu tahun. Berbeda dengan masyarakat Sasak persawahan. Masyarakat Sasak pesisir yang telah berakulturasi budayanya dengan masyarakat Bajo memaknai bahwa laut merupakan obat mujarab bagi dirinya, istri dan anak-anaknya. Bagi masyarakat Sasak pesisir, etiologi naturalistik dan etiologi personalistik masih dipegang oleh pengobatan tradisional. Peran sandro atau belian dukun bagi masyarakat Sasak pesisir masih mendapatkan tempat teristimewa bagi masyarakat Sasak pesisir. Selain karena kuatnya budaya Bajo di masyarakat Sasak pesisir, juga karena akses kesehatan biomedis masih sulit diakses oleh masyarakat. Fakta di lapangan, khususnya di Dusun Gili Beleh yang merupakan pulau tersendiri lepas dari daratan pulau Lombok, relatif lebih sulit mendapatkan akses kesehatan medis. Mereka mengaku akan menghubungi bidan jika dirasa kekuatan Sandro tidak dapat menyembuhkan penyakit mereka. Kasus Lugi Lampiran 2 menunjukkan bagaimana peran sandro kemudian menjadi pilihan Ibu jika terkait dalam permasalahan kesehatan keluarganya. Etiologi personalistik diobati sandro melalui air jampi-jampi yang kemudian disemburkan ke pasien, atau dimandikan dan kemudian diminumkan. Sementara untuk etiologi naturalistik, pengobatan sandro kepada pasiennya dalam bentuk ramuan-ramuan tradisional seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Tidak lupa juga, bahwa pengobatan sandro tidak lepas dari mantra-mantra yang mampu mensugesti pasiennya sehingga mendapatkan ketenangan dalam menghadapi proses pengobatan. Pengobatan ini sekali lagi selalu dihubungkan dengan kekuatan magis dari lautan. Terkait dengan kesehatan ibu yang tengah hamil, menurut Harjati 2012 untuk meningkatkan kesehatan pada saat hamil, sandro menyarankan para ibu hamil untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, melakukan tindakan sesuai anjuran orang tua seperti papelomo, mentaati larangannya, pemenuhan nutrisi serta dilakukan pengurutan Saulla. Pengurutan di lakukan pertama kali pada kehamilan pertama dengan tujuan untuk mengetahui posisi bayi dan membuat ibu sehat. Memasuki bulan kedelapan sampai menjelang melahirkan dilakukan pengurutan sebayak tiga kali. Semua itu bertujuan supaya ibu dan anak lahir dengan sehat dan selamat. 67 Penanganan ari-ari pun sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh masyarakat Sasak persawahan. Meskipun makna ari-ari nyaris sama pemaknaannya di Sasak pesisir maupun persawahan, yakni sebagai saudara kembar dari bayi, sehingga penanganannya juga sangat sakral. Namun, selayaknya masyarakat yang sangat menghormati laut sebagai tempat persemayangan roh-roh nenek moyang, maka masyarakat Sasak pesisir tidak kemudian menanam ari-ari di dekat rumah. Seperti layaknya yang dilakukan oleh nelayan Bajo, ari-ari dengan ritual khusus, sama upacara peraq api‟ menyalakan lampu di tempat yang disediakan biasanya dalam tempurung kelapa lalu dibungkus dengan kain putih, kemudian dihanyutkan ke laut. Hal ini dimaknai sebagai upaya agar setiap anak yang lahir tidak melupakan laut sebagai sumber kehidupannya, dan ada juga yang memaknai sebagai jalan agar anak kelak akan berani untuk melintasi lautan. Dari pembahasan pada bab sebelumnya, telah diungkapkan bahwa baik bagi masyarakat Sasak pesisir maupun Sasak persawahan, peran kelembagaan keluarga luas sorohankoren sangat besar dalam penanganan dan perawatan bayi dan balita. Beberapa kasus menunjukkan bagaimana peran seorang ibu atau nenek dari bayi sangat berperan di dalam kegiatan perawatan anak. Meskipun terdapat fakta bahwa ketika anak diasuh papu‟ kerentanan anak untuk menderita kasus gizi buruk dan gizi kurang meningkat karena pemberian nasi pakpak yang terlalu dini. Namun, andalan utama seorang ibu muda yang baru saja bercerai, dengan membawa beban pengasuhan anak, dan terkadang tidak memiliki jaminan anak- anak yang dibawa akan tetap dinafkahi oleh ayahnya, maka papu‟ merupakan penyelamat bagi ibu dan anak-anaknya. Beban pengasuhan juga dibebankan kepada saudari perempuan ibu yang masih perawan atau belum menikah. Seperti kasus balita Farhan pada lampiran. Kas us balita Reza Jama‟ Lampiran 2 juga menguatkan bagaimana peran papu‟ di persawahan maupun pesisir sangat besar di dalam perawatan anak ketika ibu sebagai orang tua tunggal sibuk mencari nafkah. Berdasarkan ekologi yang dihadapi. Terdapat kelembagaan yang sesungguhnya potensial digunakan untuk mengurangi kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah Lombok Timur. Kelembagaan lokal yang muncul sebagai suatu hasil adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya, dan terbentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa masing-masing wilayah pesisir memiliki kelembagaan lokal yang secara tidak langsung menjaga ketahanan pangan pada masing-masing rumah tangga baik di wilayah pesisir dan persawahan. Di wilayah persawahan, kelembagaan sambi istilah di Lombok Timur atau alang istilah di wilayah Lombok Tengah menjadi kelembagaan penting yang berperan di dalam mekanisme keamanan pangan rumahtangga sebelum terjadinya revolusi hijau, seperti yang telah dijabarkan pada bagian tulisan ini sebelumnya. Dahulu, memiliki sambi merupakan suatu hal yang sangat penting oleh setiap rumahtangga Sasak persawahan, selain bangket sawah dan bare kandang sapi bagi mereka yang memiliki hewan ternak sapi. Bagi petani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani yang miskin, mereka pun tidak perlu takut akan rawan pangan, karena Sambi menyediakan suatu mekanisme berbagi padi atau berbagi makanan bagi mereka yang tidak punya lahan pertanian. Di pesisir, selain aktivitas subsistensi rumah tangga dengan jumlah anak yang relatif banyak, hubungan antara pemilik kapal punggawa dan buruh sabi 68 merupakan hubungan sosial yang kemudian berperan di dalam mekanisme jaringan pengaman pemenuhan protein dan pangan rumahtangga. Kelembagaan hubungan patron client ini cenderung berfungsi manakala misalnya para sabi yang hanya mengandalkan modal tenaga, dengan mudah mendapatkan bantuan atau pinjaman dari punggawa, misalnya ketika anaknya sedang sakit, dan kesulitan lainnya. Hubungan punggawa yang sebagian adalah nelayan Bugis dan Bajo juga menyediakan peluang-peluang nafkah kepada anak-anak nelayan Sasak untuk mendapatkan tambahan penghasilan rumah tangga. Hubungan punggawa dengan anak-anak nelayan Sasak terjalin dalam kegiatan nafkah menciro. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya menciro atau dengan kata lain membantu menurunkan ikan dari perahu atau armada penangkapan ikan, adalah usaha anak- anak Sasak mendapatkan uang untuk sekedar membeli jajanan ringan atau makan siang, atau juga diberikan kepada orang tuanya. Hubungan yang langgeng ini bisa menjadi kelembagaan yang digunakan oleh rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

6.6 Fenomena Kawin Cerai

Fenomena kawin kemudian bercerai marak dilakukan dan diakui sebagai budaya oleh masyarakat Suku Sasak. Pernikahan bagi masyarakat suku Sasak dimaknai sebagai lepasnya masa remaja menuju kedewasaan. Pada masyarakat suku Sasak Persawahan terjadi fenomena musim panen atau begabah laki-laki dan perempuan ramai-ramai menikah, dan saat paceklik atau tidak ada pekerjaan lahan, puso, dan rugi tembakau maka pasutri yang adalah orang-orang suku Sasak kemudian ramai-ramai bercerai. Biasanya jika terjadi perceraian, dengan hanya mengucapkan kalimat talak saya ceraikan kamu oleh pihak suami maka sah lah perceraian tersebut, anak bawaan hasil pernikahan kemudian menjadi tanggung jawab atau hak asuh diberikan sepenuhnya kepada istri beserta keluarganya. Tidak peduli perempuan tersebut tidak mampu mengurus buah hatinya, anak tetaplah tanggung jawab ibu. Hasil penelitian pada beberapa masyarakat pedesaan di Jawa Barat menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab tingginya angka perceraian adalah perkawinan usia muda Kustini 2002. Penelitian Marzali 1997 dalam Kustini 2002 memperlihatkan bahwa pada masyarakat Sunda di Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur, tingginya angka perceraian diakibatkan oleh perkawinan antara pasangan yang belum matang, serta kebebasan yang terlalu besar bagi anak muda untuk menentukan calon pasangannya serta singkatnya masa perkenalan sebelum perkawinan. Faktor-faktor tersebut terkait dengan nilai kultural pada masyarakat Sunda yang memandang jelek pada perawan jomblo atau gadis tua. Masyarakat memandang bahwa kawin, apapun resikonya, masih lebih baik dibandingkan menjadi perawan jomblo. Sehingga keluarga yang dibangun pun memiliki fondasi yang sangat rapuh sehingga mudah terjadi perceraian jika timbul pemicu konflik sekalipun. Fenomena pernikahan dini juga marak dilakukan oleh masyarakat suku Sasak baikdi Persawahan maupun Pesisir. Menurut PK informan penelitian mengungkapkan bahwa terkadang ada anak gadis yang baru saja lulus Sekolah Dasar sudah dinikahkan oleh kedua orang tuanya. Bagi masyarakat Sasak sendiri, 69 jika seorang anak gadisnya sering diapeli oleh laki-laki midang adalah merupakan suatu kebanggaan bagi dirinya serta keluarganya. Pada bagian awal bab ini diuraikan mengenai acara ngendang yang memfasilitasi penguatan nilai ekonomi anak perempuan. Laki-laki dan perempuan Sasak bertemu tidak saja dalam mekanisme ngendang, midang, tetapi juga melalui jalan perjodohan. Menurut Daliem 1981 perjodohan sering dilakukan oleh Sasak lapisan atas untuk mempertahankan eksistensinya. Pada banyak kasus karena perjodohan ini pada akhirnya berbentuk perkawinan pararel-causin atau cross causin karena dekatnya hubungan keluarga antara laki-laki dan perempuan yang dinikahkan. Akibatnya akibat hubungan yang terlalu dekat tersebut banyak terjadi kasus anak terlahir cacat. Bukannya menjadi aib bagi keluarga, anak yang terlahir cacat malah dianggap sebagai tanda akan datangnya rezeki bagi keluarga tersebut. Adat Sasak sendiri memiliki cara tersendiri untuk menandai seorang laki- laki dan perempuan untuk memasuki jenjang pernikahan. Merari‟ atau kawin lari merupakan proses yang harus dilalui oleh calon pasangan suami istri masyarakat Sasak. Menurut Lukman 2008 merari ‟ berasal dari kata mara moro atau datang dan ri‟ atau diri, mendatangkan diri menyerah diri. Arti lebih luasnya lagi adalah penyerahan diri dari kedua mahluk yang berlainan jenis untuk bersatu. Pada pelaksanaannya proses merari‟ nampak seperti menculik perempuan yang akan dijadikan istri. Namun perlu digaris bawahi, perempuan yang akan diculik ini dalam kondisi sadar dan setuju bahwa perempuan ini akan dibawa lari oleh lelaki yang calon suaminya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap orang tua perempuan akan sangat bahagia dan terhormat jika anaknya dilarikan atau merari‟ 14 oleh pria pilihannya. Berbeda dengan masyarakat lainnya yang menganggap kawin lari adalah aib keluarga. Beberapa informan mengungkapkan bahwa, jika anaknya diminta baik-baik untuk dinikahi misalnya dengan cara meminang, akan menimbulkan ketersinggungan. Namun, jika anak gadisnya kemudian merari apalagi sampai-sampai terjadi perkelahian antara pemuda yang juga menyukai anak gadis, adalah merupakan kebanggaan bagi orang tua gadis tersebut. Merari‟ juga bermakna filosofis bahwa tidak mudah untuk mendapatkan anak putrinya. Para orang tua di suku Sasak justru akan merasa tidak dihormati bila anak gadisnya dilamar. Sebaliknya , walaupun anak gadisnya dilarikan orang, dan tidak tau kabarnya, orang tua gadis akan sangat bangga, bangga karena lolos dari cercaan masyarakat kalau saja ia diketahui menerima lamaran jejaka yang mencintai anak gadisnya. Maka upaya untuk memiliki gadis dengan merari‟ menunjukkan betapa hebatnya pesona anak gadis untuk dinikahi, sehingga lelaki dengan seluruh daya dan upayanya harus menculik untuk bisa dinikahi. Berdasarkan hasil penelitian Tabel 16 di bawah nampak bahwa rumahtangga balita bergizi buruk di wilayah pesisir, usia ayah balita saat pertama kali menikah adalah didominasi pada selang lebih dari 20 tahun sebanyak 53,3 persen dari tipe rumahtangga nuclear family. Usia termuda dari ayah balita di 14 Fadly 2008 mengungkapkan bahwa merari‟ atau kawin lari berasal dari adat Bali.Kawin lari di daerah Bali disebabkan karena perbedaan kasta, kedua mempelai saling mencintai, namun kedua orang tuanya tidak merestui hingga terpaksa gadis tersebut dilarikan.Namun sistem yang merarik di masyarakat Sasak sudah dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Hal ini terlihat saat proses persembunyian kedua mempelai yang tidak boleh bertemu selama tiga hari, selama belum ada pemebritahuan atau sejati atau selabar kepada pihak keluarga perempuan bahwa anak gadisnya telah dibawa lari merari‟, dalam adat hindu hal tersebut tidak berlaku 70 pesisir pada saat pertama kali menikah adalah 18 tahun. Sementara untuk usia ibu balita bergizi buruk gizi kurang di pesisir cenderung pada usia yang masih sangat belia dalam memulai hidup berumah tangga. Sebanyak 53,3 persen ibu balita pertama kali menikah diusia kurang atau sama dengan 20 tahun dari tipe rumah tangga nuclear family. Usia termuda dari ibu balita di pesisir pada saat pertama kali menikah adalah 15 tahun. Sementara, proporsi dominan usia pernikahan ayah pada rumahtangga balita di persawahan untuk kasus balita gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 53,3 persen dari tipe rumah tangga non nuclear family pertama kali menikah di usia lebih dari 20 tahun. Sementara ibu balita di persawahan menikah di usia yang masih sangat belia pada usia kurang dari atau sama dengan 20 tahun. Sebesar 56,7 persen ibu dari tipe rumah tangga non nuclear family menikah pada usia tersebut. Usia termuda dari awal pernikahan ibu balita di persawahan yakni pada usia 15 tahun. Tabel 16. Usia Ayah dan Ibu Saat Menikah untuk yang Pertama Kalinya bagi Keluarga Balita Gizi BurukKurang berdasarkan tipe rumahtangga nuclear dan non nuclear family di Wilayah Pesisir dan Persawahan, 2012 Jika menggunakan sudut pandang Weber, rasionalitas substantif berada dibalik tindakan sosial menikah dini tersebut. Adanya nilai-nilai malu perawan tua, dijadikannya pernikahan sebagai obat mujarab bagi perempuan yang terkena senggeger, serta diperkuat dengan alasan tindakan tersebut telah ditradisikan, maka pernikahan dini menjadi sesuatu yang wajar meskipun nanti akan memberikan konsekuensi dan penderitaan bagi perempuan dan balitanya kelak. Munculnya rasionalitas ini dapat dijelaskan dalam kerangka berfikir Steward khususnya mengenai unsur non inti budaya yakni magis maka fenomena pernikahan dini merupakan refleksi dari tiga unsur tersebut. Sosialisasi unsur tersebut dari orang tua kepada anak-anaknya kemudian mengekalkan fenomena pernikahan dini. Misalnya, untuk menghindari senggeger atau bagereuk unsur magis dalam non inti budaya maka pernikahan dini menjadi solusi terpilih. Nuclear Non Nuclear Nuclear Non Nuclear n n N n n 1 = 20 thn 5 16,7 1 3,3 2 6,7 3 10 11 18,3 2 20 thn 16 53,3 8 26,7 9 30 16 53,3 49 81,7 Total 21 70 9 30 11 36,7 19 63,3 60 100 n n n n n 1 = 20 thn 16 53,3 8 26,7 6 20 17 56,7 47 78 Total 21 70 9 30 11 36,7 19 63,3 60 100 Total Kategori Rumah Tangga Balita Usia Pernikahan Ibu No. Berdasarkan Indikator Wilayah Persawahan Pesisir Persawahan Total Nuclear Non Nuclear Nuclear Non Nuclear Usia Pernikahan Ayah Pesisir Kategori Rumah Tangga Balita No. Berdasarkan Indikator Wilayah 71 Bagi masyarakat Sasak, khususnya Sasak Persawahan perceraian tidak selalu dianggap sebagai suatu penyimpangan dari norma keluarga sejauh perceraian tersebut dilakukan dengan memenuhi ketentuan agama unsur nilai kolektif dari non inti budaya. Hal ini juga ditunjang dengan posisi pemangku adat cenderung melonggarkan dan mempermudah prosedur perceraian. Peraturan pemerintah mengenai prosedur perceraian Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 hampir tidak pernah dijadikan rujukan karena dirasakan menyulitkan dan tidak ada kesadaran hukum untuk mematuhinya. Hukum agama lebih legitimate ketimbang hukum positif yang dianggap hanya lebih menekankan proses administrasi belaka. Frekuensi pernikahan yang dilakukan oleh orang tua balita di lokasi penelitian menunjukkan bahwa jumlah pernikahan ibu maupun ayah bisa menjadi pemicu munculnya kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita khususnya pada wilayah persawahan Tabel 17. Sebesar 56,6 persen ayah balita di persawahan dari tipe rumah tangga non nuclear family mengakui telah menikah lebih dari satu kali. Demikian pula halnya yang terjadi pada ibu balita di persawahan. Sebesar 56,6 persen ibu balita dari rumah tangga non nuclear family telah menikah lebih dari satu kali. Dari data juga diperoleh fakta bahwa ayah balita paling banyak melakukan pernikahan dan kemudian bercerai sebanyak enam kali. Sementara ibu balita di persawahan melakukan pernikahan dan perceraian sebanyak lima kali. Tabel 17 Frekuensi Pernikahan Ayah dan Ibu bagi Keluarga Balita Gizi BurukKurang berdasarkan tipe rumahtangga nuclear dan non nuclear family di Wilayah Pesisir dan Persawahan, 2012 No Berdasarkan indikator Wilayah Total Kategori rumah tangga balita Pesisir Persawahan Nuclear Non nuclear Nuclear Non Nuclear Frekuensi Pernikahan Ayah n n n n n 1 1 Kali 15 50 7 23,3 7 23,3 2 6,7 31 51,7 2 1 Kali 6 20 2 6,7 4 13,4 17 56,6 29 48,3 Total 21 70 9 30 11 36,7 19 63,3 60 100 No Berdasarkan indikator Wilayah Total Kategori rumah tangga balita Pesisir Persawahan Frekuensi Pernikahan Ibu Nuclear Non nuclear Nuclear Non nuclear n n n n n 1 1 Kali 17 56,7 7 78 8 26,7 2 6,7 34 56,5 2 1 Kali 4 13,3 2 22 3 10 17 56,6 26 43,5 Total 21 70 9 30 11 36,7 19 63,3 60 100