Pengetahuan Lokal Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB
63 berupa abu sisa pembakaran di dapur yang dicampur dengan air asam serta aurat
kemaluannya dibasuh dengan air garam. Selain mengurus ibu dengan ramuan- ramuan, dan mantra-mantra. Belian juga berperan di dalam perawatan bayi setelah
dilahirkan. Upah yang diberikan atas jasanya cenderung sangat kecil, biasanya jasanya hanya dibayar dengan uang sekitar 20 ribu hingga lima puluh ribu rupiah
dan selembar kain, uang juga bisa diganti dengan beras. Semua tergantung kemampuan keluarga ibu dan bayi.
Namun ada yang menarik, dibalik perannya yang besar membentuk kepercayaan diri pasiennya melalui mantra-mantra, dan air penyembuh, dan
perawatan bayi setelah dilahirkan, Belian rupanya merupakan aktor yang mensosialisasikan nilai-nilai kepada ibu mengenai nasi pakpak kepada bayi, yang
seperti telah diuraikan sebelumnya diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita di masyarakat Sasak,
baik persawahan maupun pesisir. Kemudian, selain peran orang tua dalam mensosialisasikan taboo makanan, Belian juga berperan dalam melembagakan
taboo makanan. Misalnya, dalam setiap pengobatannya kepada para Ibu yang hamil, Belian akan menyampaikan hal-hal yang dilarang oleh nenek moyang
karena dipercaya jika dilanggar akan menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya selain yang telah dipaparkan sebelumnya pada bab enam, anak-anak
misalnya dilarang keras makan buntut ayam embut manok, otak ayam ecephalon, empela ayam tempula, kerak nasi dan sebagainya. Berikut kutipan
wawancara dengan I
na‟ Js seorang Belian nganak di Desa Loyok yang sering membantu proses kelahiran :
Pada saat sore hari sendikele, bayi yang baru lahir pantang untuk dikeluarkan dari rumah. Saat sore hari mahluk halus banyak
berkeliaran dan mengganggu bayi yang baru lahir. Kalau seorang bayi menangis terus-menerus, maka selain menandakan Ia diganggu oleh
roh halus, juga dimaknai sebagai tanda bahwa bayi tersebut kelaparan. Maka menurut I
na‟Js, jika ada bayi yang baru lahir kemudian menangis tanpa henti dan jika sudah di mantera belum juga berhenti
tangisannya maka I na‟ Js akan menyuruh Ibu untuk memberikan susu
tambahan selain ASI, misalnya susu formula. Jika bayi belum puas juga, maka I
na‟ Js akan menyuruh Ibu untuk memberikan makanan, misalnya nasi pakpak. Menurut Belian jika bayi lapar, meskipun belum
cukup umur untuk menerima makanan, tetap diberikan makanan, karena bisa jadi ibunya tidak menghasilkan ASI yang cukup untuk
bayi. Wawancara dengan I na‟ Js, 14 Juni 2012
Kutipan di atas menunjukkan bahwa beberapa perilaku di dalam kebudayaan masyarakat Sasak tampak tidak selalu memberikan konsekuensi yang
baik kepada kesehatan, namun juga konsekuensi yang buruk terhadap kesehatan fisik, khususnya balita. Dari kategori personalistik yang telah dijabarkan di atas,
maka penyakit bagi ibu dan balita dianggap terjadi karena: 1 hukuman atas kesalahan pelanggaran tabu, 2 kejahatan dari orang lain karena berniat jahat
melalui guna-guna senggeger dan banggruq, dan 3 gangguan jin dan tusela.
Sementara untuk etiologi penyakit naturalistik diserahkan diagnosa dan pengobatannya kepada sistem medis biomedikal. Khususnya bagi kesehatan ibu
hamil dan balita diserahkan kepada bidan yang ditunjuk oleh pemerintah. Dari
64 hasil wawancara dan pengamatan di lapangan hampir tidak ada lagi ibu-ibu yang
menyerahkan bantuan proses kelahiran kepada Belian. Karena bidan dipercaya oleh masyarakat mampu mengatasi komplikasi kehamilan seperti eklamsia.
Kecenderungan ini terjadi karena intervensi program-program kesehatan dan penyuluhan kesehatan, dan pembinaan beberapa Belian nganak termasuk
informan kami IJ sebagai pendamping bidan saat melakukan proses persalinan. Kasus Farhan Lampiran 2 menunjukkan bagaimana peran anjuran dan taboo
makanan di masyarakat Sasak persawahan mendorong terjadinya kasus gizi kurang dan gizi buruk.
Sebagai masyarakat yang berbasiskan persawahan, maka selain kepemilikan lahan pertanian, kepemilikan ternak menjadi sumberdaya kedua yang
bernilai baik bagi petani pemilik, penggarap, maupun buruh tani. Di masyarakat Sasak, sapi bernilai sangat ekonomi tinggi sehingga tidaklah mengherankan sapi
menjadi incaran maling sapi. Makan daging sapi menjadi suatu prestise bagi masyarakat Sasak persawahan sebut saja bebalung, makanan khas suku Sasak
yang mirip-mirip rawon namun berkuah bening ini menjadi makanan yang mahal bagi masyarakat suku Sasak khususnya bagi para keluarga buruh tani. Sapi juga
selain ekonomis juga sangat bermanfaat, baik sebagai tabungan, yang katanya juga untuk menjaga kesehatan. Manfaat kesehatan sapi bagi masyarakat Sasak
nampak pada pengelolaan dan perawatan lingkungan di dalam rumah, khususnya yang tempat tinggalnya masih berlantaikan tanah. Kebersihan rumah bergantung
pada kotoran sapi. Pengetahuan lokal ini dipertahankan hingga saat ini khususnya bagi golongan masyarakat Sasak yang miskin. Kotoran sapi yang masih hangat
kemudian dicampur dengan air diaduk kemudian digunakan untuk mengepel lantai rumah. Lantai rumah dipel dengan cara menyiramkan kotoran sapi tersebut,
lalu disapu perlahan dengan sapu lidi. Setelah dipel, lantai rumah yang dari tanah tersebut dibiarkan mengering beberapa jam, kemudian hasilnya adalah lantai
rumah yang adalah tanah menjadi halus dan licin mengkilap. Kotoran sapi tersebut membuat lantai rumah yang terbuat dari tanah tidak menimbulkan debu,
sehingga rumah menjadi lebih bersih karena debu dari lantai rumah tidak naik ke udara mengotori perkakas rumah dan mengganggu pernafasan.
Selain digunakan sebagai ternak yang membantu di dalam kegiatan pembajakan sawah, sapi juga bisa digunakan sebagai modal untuk berangkat
bermigrasi ke Arab Saudi maupun ke Malaysia. Sapi digadai kemudian uangnya diberikan ke tekong, atau sapi dalam kondisi hidup-hidup diberikan kepada tekong
sebagai jaminan. Melihat pentingnya sapi dan nilai ekonomi yang tinggi, maka di Desa Loyok, dan Desa-desa lainnya di pedesaan sawah kasus pencurian sapi
sangat marak. Maka strategi masyarakat Sasak persawahan untuk menghindari pencurian sapi adalah dengan menempatkan kandang sapi sedekat mungkin
dengan tempat tinggal. Biasanya jarak kandang sapi hanya sekitar 1-2 meter dari rumah induk. Bahkan ada warga yang tidur dengan sapinya, atau tidur di kandang
sapinya. Ini tidaklah mengherankan karena maling sapi juga menggunakan magic unsur non inti budaya Steward, sehingga sapi bisa jalan sendiri keluar kandang
dan menuju si maling. Yang lebih canggih lagi maling sapi biasanya menggunakan truk yang tujuannya untuk mengangkut sapi. Jika jarak kandang
sapi dengan truk sangat jauh maka di tengah-tengah perjalanan, sapi oleh maling kemudian disembelih dan dagingnya diangkut menggunakan truk yang telah
disediakan. Letak kandang sapi yang sangat dekat dengan tempat tinggal bisa
65 memunculkan ISPA infeksi saluran pernafasan akut. Dan disadari bahwa kasus
gangguan pernafasan juga sering terjadi tidak saja menyerang orang dewasa melainkan juga anak-anak. Anak-anak khususnya balita yang daya tahan tubuhnya
belum sekuat orang dewasa menyebabkan dengan mudahnya kuman yang ada dikandang sapi mengganggu kesehatan. Anak yang rentan sakit akan
menyebabkan berat badannya sulit untuk meningkat.
Kasus berikut menunjukkan bagaimana peran akumulatif dari budaya kawin cerai, masalah kemiskinan, dan peran buruknya sanitasi di rumah balita karena
dekatnya kandang sapi dengan pemukiman, dan budaya mengkonsumsi air nyet Gambar 21 pada Lampiran 7.
Seperti yang telah dijabarkan pada bagian tulisan sebelumnya, menunjukkan bahwa budaya Bugis Bajo merasuk ke dalam nilai-nilai masyarakat Sasak pesisir.
Nilai-nilai tersebut kemudian khususnya juga berperan di dalam konsep kehamilan, kelahiran dan perawatan anak. Budaya Bugis Bajo yang sampai hari
ini masih hidup di pesisir Lombok khususnya terkait dengan permasalahan kesehatan seperti: 1 sangkineh, 2 Dijanjiang atau Dikalautang, 3 Dutai
Toyah, 4 Mandi Bubus.
Sangkineh merupakan kegiatan selamatan kepada seseorang perempuan yang sedang hamil sekitar berumur kurang lebih tujuh bulan yang bertujuan untuk
terhindarnya ibu yang sedang mengandung dari pengaruh roh jahat dan penguasa laut serta anak yang dilahirkan selamat dengan baik. Kegiatan Sangkineh
dilakukan oleh seorang Sandro Dende dukun perempuan, dimana perempuan yang
disangkineh dikasih mantra penolak bala‟ dan dibuatkan sabuk dari benang tujuh warna dan dikasih manik-manik dan diikatkan dipinggang si perempuan
hamil selama masa hamil sampai melahirkan. Sebelum pemasangan sabuk, si perempuan hamil dimandikan oleh dukun atau sandro untuk supaya bersih lahir
dan bathin sehingga anak yang dilahirkan juga dalam keadaan bersih.
Dijanjiang atau Dikalautang merupakan kegiatan ritual merupakan unsur non inti budaya Steward dengan melarungkan sesajen ke laut yang bertujuan
untuk terhindarnya ibu dan anak yang dilahirkan dari balak dan penyakit yang ditimbulkan dari kemarahan penguasa laut dan roh jahat lainnya. Kegiatan
Dikalautang dilakukan beberapa minggu setelah kegiatan Sangkineh dilakukan. Kegiatan Dikalautang pada intinya adalah perempuan hamil berjanji kepada
penguasa laut dan kekuatan gaib lainnya bahwa jika ibu dan anak yang dilahirkan dalam keadaan selamat, maka akan diadakan selamatan, biasanya mengumpulkan
warga terutama perempuan dan anak-anak dan sajikan bubur putih dan dikasi gula aren warna merah. Kegiatan Dikalautang sendiri dilakukan oleh seorang sandro
dukun perempuan yang memang keturunan suku Bajo, dilakukan pada saat waktu magrib dan isya dengan melarungkan atau membuang satu sisir pisang,
jajan kering dan sebutir telur ayam kampung disertai dengan nyala lampu kecil yang terbuat dari lilitan kain bekas. Sebelum sang sandro membawa sesajen
berupa satu sisir pisang dan sebutir ayam kampung dan lain-lainnya ke laut, terlebih dahulu diadakan ritual di dalam ruangan rumah yang bersangkutan si
hamil.
Ritual Dutai Toyah dilakukan pada saat bayi berumur tujuh hari atau setelah tali pusar si bayi sembuh atau putus. Secara harpiah Dutai Toyah terdiri
dari dua kata yaitu Dutai artinya naik dan Toyah artinya ayunan, jadi bisa diartikan Dutai Toyah berarti Naik Ayunan. Kegiatan Dutai Toyah juga dirangkai
66 dengan pemberian nama bagi si bayi. Pada prosesi upacara, bayi dimandikan
dengan minyak yang terbuat dari rempah-rempah dan daun-daun lokal, agar sibayi tumbuh sebagai manusia yang sehat dan dewasa. Badan si bayi oleh sandrodukun
diurut bersama minyak. Pihak keluarga mengundang tetangga dan masyarakat sekitarnya, mereka dijamu dengan tupat dan bubur putih yang dikasih gula aren
merah.
Pada saat bayi berumur sebulan, si ibu minta bantuan sandro atau dukun untuk dibuatkan bubus. Bubus terbuat dari beras dan rempah-rempah dan
dedaunan pilihan, kemudian di giling di atas lesung batu, kemudian dikasih warna kuning dari kunyit, setelah ditumbuk atau digiling halus, kemudian dibentuk
bundar atau bulat sebesar telur cecak, atau juga dibuat pipih seperti uang logam tebal. Setiap bayi selesai dimandikan setiap hari, bubus dilebur pakai air putih di
dalam mangkuk kecil, kemudian di usap keseluruh badan si bayi. Pemberian bubus di maksudkan untuk supaya nafsu makan si bayi bagus, badan si bayi
menjadi gemuk, badan si bayi menjadi putih dan halus, serta terhindar dari penyakit kulit dan lain-lain. Kegiatan mandi bubus kepada si bayi dilakukan
sampai berumur kurang lebih satu tahun.
Berbeda dengan masyarakat Sasak persawahan. Masyarakat Sasak pesisir yang telah berakulturasi budayanya dengan masyarakat Bajo memaknai bahwa
laut merupakan obat mujarab bagi dirinya, istri dan anak-anaknya. Bagi masyarakat Sasak pesisir, etiologi naturalistik dan etiologi personalistik masih
dipegang oleh pengobatan tradisional. Peran sandro atau belian dukun bagi masyarakat Sasak pesisir masih mendapatkan tempat teristimewa bagi masyarakat
Sasak pesisir. Selain karena kuatnya budaya Bajo di masyarakat Sasak pesisir, juga karena akses kesehatan biomedis masih sulit diakses oleh masyarakat. Fakta
di lapangan, khususnya di Dusun Gili Beleh yang merupakan pulau tersendiri lepas dari daratan pulau Lombok, relatif lebih sulit mendapatkan akses kesehatan
medis. Mereka mengaku akan menghubungi bidan jika dirasa kekuatan Sandro tidak dapat menyembuhkan penyakit mereka. Kasus Lugi Lampiran 2
menunjukkan bagaimana peran sandro kemudian menjadi pilihan Ibu jika terkait dalam permasalahan kesehatan keluarganya.
Etiologi personalistik diobati sandro melalui air jampi-jampi yang kemudian disemburkan ke pasien, atau dimandikan dan kemudian diminumkan.
Sementara untuk etiologi naturalistik, pengobatan sandro kepada pasiennya dalam bentuk ramuan-ramuan tradisional seperti yang telah diungkapkan sebelumnya.
Tidak lupa juga, bahwa pengobatan sandro tidak lepas dari mantra-mantra yang mampu mensugesti pasiennya sehingga mendapatkan ketenangan dalam
menghadapi proses pengobatan. Pengobatan ini sekali lagi selalu dihubungkan dengan kekuatan magis dari lautan. Terkait dengan kesehatan ibu yang tengah
hamil, menurut Harjati 2012 untuk meningkatkan kesehatan pada saat hamil, sandro menyarankan para ibu hamil untuk melakukan pekerjaan rumah tangga,
melakukan tindakan sesuai anjuran orang tua seperti papelomo, mentaati larangannya, pemenuhan nutrisi serta dilakukan pengurutan Saulla. Pengurutan
di lakukan pertama kali pada kehamilan pertama dengan tujuan untuk mengetahui posisi bayi dan membuat ibu sehat. Memasuki bulan kedelapan sampai menjelang
melahirkan dilakukan pengurutan sebayak tiga kali. Semua itu bertujuan supaya ibu dan anak lahir dengan sehat dan selamat.
67 Penanganan ari-ari pun sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh
masyarakat Sasak persawahan. Meskipun makna ari-ari nyaris sama pemaknaannya di Sasak pesisir maupun persawahan, yakni sebagai saudara
kembar dari bayi, sehingga penanganannya juga sangat sakral. Namun, selayaknya masyarakat yang sangat menghormati laut sebagai tempat
persemayangan roh-roh nenek moyang, maka masyarakat Sasak pesisir tidak kemudian menanam ari-ari di dekat rumah. Seperti layaknya yang dilakukan oleh
nelayan Bajo, ari-ari dengan ritual khusus, sama upacara
peraq api‟ menyalakan lampu di tempat yang disediakan biasanya dalam tempurung kelapa lalu
dibungkus dengan kain putih, kemudian dihanyutkan ke laut. Hal ini dimaknai sebagai upaya agar setiap anak yang lahir tidak melupakan laut sebagai sumber
kehidupannya, dan ada juga yang memaknai sebagai jalan agar anak kelak akan berani untuk melintasi lautan.
Dari pembahasan pada bab sebelumnya, telah diungkapkan bahwa baik bagi masyarakat Sasak pesisir maupun Sasak persawahan, peran kelembagaan
keluarga luas sorohankoren sangat besar dalam penanganan dan perawatan bayi dan balita. Beberapa kasus menunjukkan bagaimana peran seorang ibu atau nenek
dari bayi sangat berperan di dalam kegiatan perawatan anak. Meskipun terdapat fakta bahwa ketika anak diasuh
papu‟ kerentanan anak untuk menderita kasus gizi buruk dan gizi kurang meningkat karena pemberian nasi pakpak yang terlalu dini.
Namun, andalan utama seorang ibu muda yang baru saja bercerai, dengan membawa beban pengasuhan anak, dan terkadang tidak memiliki jaminan anak-
anak yang dibawa akan tetap dinafkahi oleh ayahnya, maka papu‟ merupakan
penyelamat bagi ibu dan anak-anaknya. Beban pengasuhan juga dibebankan kepada saudari perempuan ibu yang masih perawan atau belum menikah. Seperti
kasus balita Farhan pada lampiran. Kas us balita Reza Jama‟ Lampiran 2 juga
menguatkan bagaimana peran papu‟ di persawahan maupun pesisir sangat besar di
dalam perawatan anak ketika ibu sebagai orang tua tunggal sibuk mencari nafkah. Berdasarkan ekologi yang dihadapi. Terdapat kelembagaan yang
sesungguhnya potensial digunakan untuk mengurangi kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah Lombok Timur. Kelembagaan lokal yang muncul sebagai suatu
hasil adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya, dan terbentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
bahwa masing-masing wilayah pesisir memiliki kelembagaan lokal yang secara tidak langsung menjaga ketahanan pangan pada masing-masing rumah tangga
baik di wilayah pesisir dan persawahan.
Di wilayah persawahan, kelembagaan sambi istilah di Lombok Timur atau alang istilah di wilayah Lombok Tengah menjadi kelembagaan penting
yang berperan di dalam mekanisme keamanan pangan rumahtangga sebelum terjadinya revolusi hijau, seperti yang telah dijabarkan pada bagian tulisan ini
sebelumnya. Dahulu, memiliki sambi merupakan suatu hal yang sangat penting oleh setiap rumahtangga Sasak persawahan, selain bangket sawah dan bare
kandang sapi bagi mereka yang memiliki hewan ternak sapi. Bagi petani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani yang miskin, mereka pun tidak perlu takut
akan rawan pangan, karena Sambi menyediakan suatu mekanisme berbagi padi atau berbagi makanan bagi mereka yang tidak punya lahan pertanian.
Di pesisir, selain aktivitas subsistensi rumah tangga dengan jumlah anak yang relatif banyak, hubungan antara pemilik kapal punggawa dan buruh sabi
68 merupakan hubungan sosial yang kemudian berperan di dalam mekanisme
jaringan pengaman pemenuhan protein dan pangan rumahtangga. Kelembagaan hubungan patron client ini cenderung berfungsi manakala misalnya para sabi
yang hanya mengandalkan modal tenaga, dengan mudah mendapatkan bantuan atau pinjaman dari punggawa, misalnya ketika anaknya sedang sakit, dan
kesulitan lainnya. Hubungan punggawa yang sebagian adalah nelayan Bugis dan Bajo juga menyediakan peluang-peluang nafkah kepada anak-anak nelayan Sasak
untuk mendapatkan tambahan penghasilan rumah tangga. Hubungan punggawa dengan anak-anak nelayan Sasak terjalin dalam kegiatan nafkah menciro. Seperti
yang telah diungkapkan sebelumnya menciro atau dengan kata lain membantu menurunkan ikan dari perahu atau armada penangkapan ikan, adalah usaha anak-
anak Sasak mendapatkan uang untuk sekedar membeli jajanan ringan atau makan siang, atau juga diberikan kepada orang tuanya. Hubungan yang langgeng ini bisa
menjadi kelembagaan yang digunakan oleh rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangannya.